• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum | Rustamaji | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 6781 15201 3 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum | Rustamaji | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 6781 15201 3 PB"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482. PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA MELALUI TELAAH SISI KEMANUSIAAN

APARAT PENEGAK HUKUM

RENEWAL OF CRIMINAL PROCEDURE LAW THROUGH THE STUDY OF THE HUMAN SIDE OF LAW ENFORCEMENT OFFICERS

Muhammad Rustamaji

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS); Peer Group Pusat Penelitian Pengkajian Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (P3KHAM) LPPM UNS

Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan Solo, Surakarta 57126 E-mail: hatchi_ajie@yahoo.com

Diterima: 25/03/2017; Revisi: 07/04/2017; Disetujui: 12/04/2017

ABSTRAK

Pembaruan hukum atas Hukum Acara Pidana dapat dilakukan dengan menelisik sisi dinamis manusia dan kemanusiaan aparat penegak hukum.Metode penulisan demikian menggunakan perspektif ilmu hukum yang dikonsepsikan sebagai realitas. Oleh karenanya, kajian empiris atas Hukum Acara Pidana dipilih sebagai kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan yang dilakukan oleh manusia. Kajian pada aspek manusia inilah yang akan meruntuhkan Hukum Acara Pidana yang disebut sebagai ‘hukum yang tiada tempat untuk menafsir’. Pembaruan hukum yang tidak sebatas mengkaji norma namun memfokuskan hingga ke tataran nilai demikian, pada akhirnya menemukan keseimbangan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia yang harus dipahami oleh para aparat penegak hukum dengan prophetic intelligence.

Kata Kunci:Pembaruan Hukum, Hukum Acara Pidana, Sisi Manusia

.

ABSTRACT

Reform the law on penal procedure can be done by searching the human dynamic and the human side of law enforcement officers. This writing method using the perspective of jurisprudence ia conceived as areality. Therefore, empirical studies on criminal procedural law chosen as the study that looked at the law as a reality that is done by humans. Thus studies of the human aspect, which further undermine the criminal procedural law known as the ‘law that has no place to interpret’. Legal reform is not limited to assessing the norm, but also focus up to the level of value, finally found a balance of law enforcement and the protection of human rights that must be understood by law enforcemeny officer with prophetic intelligence.

Keywords:Law Reform, Penal Procedure, Human Side.

PENDAHULUAN

(2)

pada ketentuan KUHAP1 semata. Kesalahpahaman demikian tentunya tidak dapat dipisahlepaskan dari ketentuan Pasal 3 KUHAP2 yang menjadi pagar pembatas yang kukuh sebagai “asas legalitas” berlakunya penerapan KUHAP.

Dengan formulasi “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”3 setidaknya terdapat dua kesan yang ingin disampaikan oleh sang pembentuk undang-undang. Kesan pertama yaitu berkenaan dengan bahwa ketentuan KUHAP yang disebut sebagai “karya agung” Bangsa Indonesia merupakan susunan peraturan peradilan pidana yang finite dan lengkap. Kesan demikian sejatinya menunjukkan sisi logosentrisme KUHAP yang kedap dan tidak lagi menerima kemajuan yang mungkin saja terjadi pasca diundangkannya ketentuan tersebut. Kesan kedua atas ketentuan Pasal 3 KUHAP demikian adalah penegasian peran penegak hukum yang dilimitasi secara maksimal sehingga penegak hukum tidak ubahnya menjadi penegak undang-undang, yaitu penegak KUHAP itu sendiri.

Namun apakah sisi logosentris dan limitasi sisi humanis penegak hukum dalam konteks penegakan hukum pidana demikian dapat dibenarkan? Bukankah banyaknya judicial review atas KUHAP menunjukan realitas bahwa KUHAP yang usianya sudah lebih dari tiga dasawarsa, sudah mulai tertinggal oleh perkembangan zaman dan dinamika penegakan hukum pidana

1‘KUHAP’ merupakan sebutan populis dari Undang

-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

2

Bunyi ketentuan Pasal 3 KUHAP demikian dapat diperbandingkan dengan RUU KUHAP pada pasal yang sama sebagaimana dapat dikemukakan sebagai berikut; Pasal 3 ayat (1) Ruang lingkup berlakunya undang-undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan, (2) Ketentuan dalam undang-undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Draf RUU KUHAP versi 10 Desember 2014, Kemenkumham RI, Jakarta, 2014, hlm.5

3Andi Hamzah mengemukakan bahwa Pasal 3 salah susun dan kata ‘ini’ juga harus dihilangkan, karena ada

undang-undang lain selain daripada KUHAP yang mengatur acara pidana. Ketentuan Pasal 3 KUHAP yang

menyertakan kata ‘ini’ pada akhir rumusan formulasinya, seolah membatasi ketentuan mengenai Hukum Acara Pidana

(3)

kekinian?4Bukankah langkah pembaruan hukum harus dilakukan terhadap ketentuan hukum maupun aspek manusia sebagai penegak hukum yang selama ini seakan terkungkung dalam positivisme hukum ala KUHAP?

Mencermati perkembangan KUHAP yang direduksi sekedar menjadi prosedur formal yang statis, telaah tulisan ini selanjutnya memilih memfokuskan kajiannya pada sisi kemanusiaan aparat penegak hukum yang terlalu sederhana dimensinya ketika dikerdilkan fungsinya hanya sebatas sebagai “corong undang-undang”5. Fokus amatan sisi manusia dan kemanusiaan aparat penegak hukum demikian, tentu saja membawa serta beragam dinamika dalam penegakan hukum pidana yang membuka peluang dekonstruksi maupun pengungkapan antitesis terhadap ketentuan tekstual KUHAP yang statis tersebut.

METODE PENELITIAN

Perspektif ilmu hukum dalam penulisan ini adalah ilmu hukum yang dikonsepsikan sebagai realitas. Oleh karenanya, kajian hukum empiris dipilih sebagai kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan. Kajian hukum empiris demikian bersifat deskriptif, sehingga kajiannya adalah

das sein (apa kenyataannya)6.

Ketika kajian hukum empiris digunakan untuk membahas keberlakuan hukum acara pidana pada kasus-kasus tertentu, yang dipertanyakan adalah bagaimana penerapan hukum acara pidana ini dalam kenyataannya. Mulai dari poin inilah kemudian muncul beragam pertanyaan empiris, seperti

4

KUHAP sebagai karya Agung Bangsa Indonesia, pada kekiniannya terus mengalami ujian ketika dihadapmukakan dengan Undang-udang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Muhammad Rustamaji,

Simulacra Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Ingsutan Kewenangan Praperadilan, Jurnal Yustisia, Edisi 95, Mei-Agustus 2016, Tahun XXV, hlm.116

5

Pembelajar hukum yang akhirnya hanya menjadi aparat penegak undang-undang, mendapat kritik tajam berkenaan dengan model pendidikannya yang tidak menyentuh link and match dalam aras kehidupan keseharian yang acapkali dikeluhkan publik. Muhammad Rustamaji & Dewi Gunawati, Model Pembelajaran Moot Court bagi Strata-1 Ilmu Hukum Sebagai Pencapaian Pendidikan Hukum Progresif, Jurnal Yustisia, Edisi 78, September-Desember 2009, Tahun XX, hlm.24-26

6

(4)

benarkah hukum acara pidana bersifat statis sedangkan seperti diketahui penegaknya demikian dinamis, yaitu manusia? Bagaimana hukum acara pidana diperbaharui ketika kekerasan masih saja menimpa orang yang berhadapan dengan hukum? Faktor-faktor nonhukum apa yang mendorong pembaruan hukum terhadap hukum acara pidana demikian? Ragam pertanyaan empiris inilah yang mempertegas kajian atas fenomena hukum yang muncul seiring penegakan hukum acara pidana dimaksud.

Curzon menjelaskan kajian sosiologi hukum dimanfaatkan untuk menunjukkan studi spesifik tentang situasi yang menggambarkan aturan-aturan hukum beroperasi, dan tingkah laku yang dihasilkan dari beroperasinya aturan-aturan hukum itu. Pandangan Curzon7 demikian diperoleh setelah mengemukakan pandangan beberapa penulis lain seperti:

1) Pound, yang menunjukkan studi sosiologi hukum ini sebagai studi sosiologi yang sebenarnya, yang didasarkan pada konsep yang memandang hukum sebagai suatu alat pengadilan sosial; 2) Lloyd, menuliskan bahwa sebagai sesuatu yang pokoknya merupakan ilmu deskriptif yang

memanfaatkan teknik-teknik empiris. Hal itu berkaitan dengan pertanyaan mengapa perangkat hukum dan tugasnya dibuat. Ia memandang hukum sebagai produk suatu sistem sosial dan sebagai alat untuk mengendalikan dan mengubah sistem itu;

3) Eugen Ehrlich8, memberikan perhatian terhadap adanya hubungan, alias mata rantai hukum dan ilmu sosial. Ehrlich meyakini bahwa para yuris dapat, dan harus belajar dari ekonom dan para pakar ilmu sosial.

7

Achmad Ali, Wiwie Heryani, Ibid, dapat dilihat pula Curzon,L.B. Jurisprudence, M&E Handbook,1979, hlm. 137-138.

8

(5)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sebagai serangkaian tatacara dan acara dalam beracara, Hukum Acara Pidana (HAP) merupakan hukum yang diciptakan dengan persistensi yang tinggi untuk ditepati kepastian hukumnya. Itulah mengapa, hukum acara acapkali dipandang sebagai hukum yang statis dan tidak memerlukan dinamisasi dalam penegakannya. Oleh karenanya, ketika HAP disebut sebagai “hukum yang tiada tempat untuk menafsir”, seakan ungkapan demikian menjadi pembenar akanstatisnya sifat HAP tersebut.

Akan tetapi, sebagai suatu aturan hukum yang diberlakukan dan diterapkan kepada subjek yang senantiasa dinamis, yaitu manusia, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, benarkah anggapan statis atas HAP demikian? Bukankah hukum itu selalu i nterpretif, sebagaimana disampaikan Dworkin?9 Bukankah kebekuan tekstual hukum itu sangat mungkin dicairkan sehingga menjadi perdebatan dan menunjukkan realitas yang melee, sebagaimana dikemukakan Sampford?10 Bukankah logosentrisme HAP yang kaku (rigid) sekalipun, tetap dapat dibongkar alias didekontruksi sebagaimana diutarakan Derrida?11

Mencermati ragam pertanyaan demikian, agaknya statement awal yang menyatakan HAP sebagai hukum statis yang hanya memedulikan kepastian hukum, atau bahkan terjebak pada kepastian teks hukum semata, pada akhirnya harus diruntuhkan. Bukankah hukum sebagai ‘tatanan tertib’ manusia lebih kaya dari sekedar kumpulan aturan formal-yuridis? Bukankah

hukum merupakan dunia yang kompleks, serumit dan sekompleks dunia manusia yang diaturnya?12.

9

Ronald Dworkin, Law’s Empire, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, 1986, p.225-227

10

Charles Sampford, The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, New York, 1989, hlm.104. Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Nonsistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 107.

11

Muhammad Al Fayyadl, Derrida, cet. V, LkiS, Yogyakarta, 2012, hlm.111

12

(6)

Oleh karenanya, pada kajian ini, fokus bahasan selanjutnya akan mengungkap lebih jauh mengenai sisi manusia yang dikenal sebagai aparat penegak hukum dalam kajian pembaruan Hukum Acara Pidana. Mencermati hubungan manusia dan hukum, Bernard L. Tanya mengemukakan, semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor peraturan, maka semakin ia menganggap hukum sebagai unit tertutup yang formal-legalistik. Sebaliknya, semakin bergeser ke manusia, semakin teori itu terbuka dan menyentuh mozaik sosial kemanusiaan13. Poin inilah yang senafas dengan pidato pengukuhan Barda Nawawi Arief sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pidana (1994). Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa gencarnya sorotan dan kritik masyarakat terhadap menurunnya kualitas penegakan hukum pidana, jelas tidak ditujukan pada merosotnya kemampuan dan kematangan intelektual menguasai norma -norma hukum pidana, akan tetapi justru ditujukan pada terjadinya kemerosotan atau erosi nilai. Jadi tampaknya ketidakmatangan nilai atau kejiwaan inilah yang terutama menjadi keprihatinan masyarakat, dan seyogyanya juga harus menjadi keprihatinan semua lembaga pendidikan tinggi hukum14.

Terinspirasi dari ilustrasi menjalankan sebuah mobil pada suatu kosmologi beserta pengendara yang memegang lisensi (Surat Izin Mengemudi; SIM) yang dimiliki sebagai simbol ‘ilmu mengemudi’ yang dikuasainya, Barda Nawawi Arief menjelaskan pola hubungan

mengenai dioperasionalisasikannya WvS (KUHP buatan Belanda) dalam konteks keindonesiaan oleh aparat negara15. Dengan menggunakan pola pemikiran yang serupa, ternyata gambaran hubungan KUHAP, aparat penegak hukum, serta konteks negara hukum Indonesia, dapat dijelaskan pula korelasinya. Penggambaran demikian menjadi penting guna

13

Ibid.

14

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pustaka Magister, Semarang, 2011, hlm. 59-60.

15

(7)

menentukan sikap untuk memosisikan KUHAP yang notabene menjadi rule of the game dalam penegakan hukum, ketika ‘melaju’ di dalam kosmologi Indonesia.

Sebagai sebuah konsep ‘asing’, Hukum Acara merupakan salah satu produk yang

berkaitan dengan politik etis yang bersemboyan “geen exploitatie maar educatie” (tidak boleh

lagi eksploitasi, tetapi edukasi). Dikemukakan oleh Soetandyo bahwa ketika pemerintah kolonial mulai menyelenggarakan pendidikan dengan gaya klasikal seperti yang dianut di Eropa. Tak pelak lagi, sejalan dengan kebijakan Idenburg, program pendidikan untuk anak-anak pribumi dalam bidang kehukuman dan kehakiman ini nyata kalau diarahkan guna memperoleh rechtsamtenaren yang cakap dan berkepribadian kolonial yang secara khusus hendak melayani kebutuhan hukum orang-orang pribumi16.

Karakteristik hukum acara yang sudah melintasi periodisasi waktu yang panjang dan lahir di belahan dunia lain dengan sifat rigid (kaku) yang diperamnya, memunculkan pertanyaan besar mengenai keterposisiannya ketika memasuki konfigurasi hukum dan konteks keindonesiaan. Pertanyaan mengenai apakah hukum acara yang dituangkan dalam KUHAP dapat berjalan begitu saja ketika memasuki suatu konteks kenegaraan, menjadi salah satu hal yang mengemuka.

Dengan mengikuti ilustrasi yang sudah dikemukakan Barda Nawawi Arief sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa ketika ‘mobil KUHAP’ berkeinginan berjalan dengan baik, maka

mobil KUHAP demikian harus dikendarai oleh pengemudi yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang baik pula mengenai mobil yang dikendarai nya, maupun segala aspek kewilayahan yang hendak dilaluinya. Artinya, ketika KUHAP memasuki kosmologi Indonesia, mau tidak mau para penegak hukum yang bertugas menegakkannya harus

16

(8)

memahami secara benar apa yang dikandung KUHAP, maupun memahami dengan baik pula karakter hukum Indonesia sebagai ‘kontur jalan’ yang akan dilewatinya.

Penegak hukum yang memahami kandungan KUHAP dan karakter hukum Indonesia, dengan demikian dapat dikatakan sudah menguasasi ‘ilmu mengemudi’ yang dipersyaratkan

penegakannya dalam konteks Indonesia. Melalui ‘ilmu mengemudi’ yang dikuasai dengan baik dan benar inilah yang selanjutnya mengantarkan “mobil” KUHAP melalui struktur kosmologi Indonesia dengan selamat dan mencapai tujuannya.

Mencermati pandangan Barda Nawawi Arief, diketahui bahwa urgensi kualitas keilmuan demikian tidak hanya dimaksudkan semata-mata untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pengembangan ilmu hukum itu sendiri. Akan tetapi, kualitas keilmuan tersebut juga untuk meningkatkan kualitas nilai dan produk dari proses penegakan hukum (in abstracto maupun in concreto). Bukankah kualitas, kesuksesan, kebahagiaan hidup (dunia dan akhirat), termasuk kualitas penegakan hukum di dunia, hanya dapat dicapai dengan ilmu?17 Aspek penguasaan keilmuan inilah yang semakin menunjukkan bahwa sisi manusia dan kemanusiaan aparat penegak hukum memegang peran penting ketika langkah pembaruan hendak dilaksanakan.

Oleh karenanya, KUHAP yang sarat dengan keseimbangan yang serasi antara orientasi “penegakan dan perlindungan ketertiban masyarakat” di satu sisi dengan “kepentingan dan

perlindungan hak-hak asasi manusia”18 di sisi lain, tentu harus dijalankan oleh aparat penegak hukum yang memahami ilmu mengenai penegakan hukum dan HAM dengan sangat baik. Hal demikian dikatakan menjadi semacam prasyarat agar ‘kendaraan’ yang bernama KUHAP

17

Barda Nawawi Arief menunjukkan bahwa kedalaman penguasaan keilmuan tersebut bahkan harus bersumber dan berkesesuaian dengan ilmu ketuhanan, antara lain dinukilkan Hadist Nabi, man aroda dunya fa’alaihi bil ‘ilmi, man

arodal akhirota fa’alaikhi bil ilmi, wa man aroda huma fa’alaihi bil ‘ilmi (Barang siapa menghendaki kebahagiaan hidup di dunia maka dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebahagiaaan hidup di akhirat maka dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebahagiaan keduanya maka dengan ilmu) (HR.Bukhari). Barda Nawawi Arief, Pendekatan

Keilmuan dan Pendekatan Religius…Ibid, hlm. 10-11.

18

(9)

demikian tidak menabrak ‘struktur jalan’ kehidupan bersama, mengoyak ‘sparasi’ tata

kehidupan, maupun melanggar ‘rambu-rambu’ komunalitas hidup berbangsa. Karena, apabila

yang terjadi adalah beragam benturan dalam mengaplikasikan KUHAP, tentu akan membawa ekses negatif bagi sang ‘pengendara’. Pelanggaran atas KUHAP segera saja akan memicu sentimen negatif bagi aparat penegak hukum, bahkan ‘merendahkan sang pengemudi’ karena

dianggap tidak cakap dalam mengendarai kendaraannya. Artinya, sang penegak hukum tidak menguasai ilmu dan kapabilitas yang harus dipahaminya dengan baik ketika melakukan penegakan hukum yang notabene berbasis keseimbangan penegakan hukum dan HAM. Penguasaan keilmuan yang tidak memadai demikian, pada konteks yang lebih luas dapat semakin memperburuk penilaian masyarakat dunia atas Indonesia sebagai suatu bangsa atas konsepsi kemanusiaan yang diperamnya. Contoh kasus konkrit, mengenai meninggalnya Siyono dalam proses penegakan hukum, atau terbunuhnya aktivis HAM Munir, tentu dapat dikaji kandungan hikmah filosofisnya dalam kerangka aplikasi KUHAP.

(10)

menemukan luka pukulan (ketokan) di kepala, tetapi hal itu tidak menyebabkan perdarahan atau kematian19.

Pada kondisi demikian, maraknya kekerasan 20 dalam penggunaan kewenangan penegakan hukum di satu sisi semakin memperjelas bahwa cara berhukum dengan memegang teguh tekstual hukum semata tidak akan pernah mencukupi. Teks hukum yang formalistik harus diisi dengan ilmu sehingga sang penegak hukum tidak terjerembab pada ujaran Lord Acton (1887) bahwa ‘Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely’21. Sementara pada sisi yang berbeda, langkah represif aparat demikian menunjukkan terjadinya distorsi pemahaman22 atas kandungan nilai suatu formulasi normahukum acara pidana sebagai landasan penegakan hukum.

Sedangkan pada kasus pembunuhan berencana terhadap Munirtanpa melalui suatu proses penegakan hukum atas tuduhan terhadapnya, akan tetapi langsung ‘dieksekusi’ menggunakan

arsenik, hingga saat ini menjadi beban sejarah penegakan hukum yang belum tertuntaskan.

19

Bandingkan dengan pernyataan Kepolisian sebelumnya yang mengklaim bahwa Siyono meninggal setelah berkelahi dengan anggota Detasemen Khusus Antiteror 88 dan menyatakan Siyono tewas akibat perdarahan di Kepala yang disebabkan benturan dengan benda tumpul. Isyana Artharini, “Penyebab Kematian Terduga Teroris Siyono Terungkap”, BBC Indonesia, 11 April 2016.

20

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis data motif penyiksaan oleh oknum Polri pada periode juni 2013 s.d. Mei 2014 untuk memeroleh keterangan, sebagai bentuk penghukuman, sebagai metode mengakui kejahatan, bahkan guna memberikan keterangan palsu dan tindakan tidak manusiawi lainnya, yang mencapai 64 kasus. Adapun metode penyiksaan oleh oknum Polri, baik dengan cara memukul, menendang, mengikat dengan sangat erat, menembak, menyetrum, menelanjangi, menusuk, menutup kepala, mengancam dan melakukan tekanan psikologis, penggunaan cahaya menyilaukan, pemaksaan minum obat tertentu, pembatasan akses kesehatan dan makanan serta keamanan, merendahkan martabat, membenamkan kepala dalam air, membakar bagian tubuh, menyekap, mencambuk, mencabut bagian tubuh, serta kematian dalam tahanan, mencapai 121 kasus. KontraS, “Mengenal Penyiksaan dan Tindakan Tidak Manusiawi Lainnya!”, (Jakarta: KontraS, 2015). Pada Mei-Agustus 2015, KontraS juga menerima empat pengaduan kasus penyiksaan yang dilakukan oknum Polri yang mengakibatkan tujuh orang tewas, dan 16 orang lainnya luka-luka. KontraS, “Darurat Penghentian Praktik Penyiksaan, Pemberatan Hukuman Pelaku Penyiksaan dan Hentikan Kriminalisasi Bagi Korban/Keluarga Penyiksaan”, Siaran Pers KontraS 24 Agustus 2015, (Jakarta: KontraS, 2015), diunduh dari https://www.kontras,org/home/index.php?module=pers&id=2149

21

Gestrude Himmelfarb, Lord Acton:A Study in Concience and Politics, University of Chicago Press, Chicago, 1952, p. 1.

22

(11)

Pertanyaan besar yang harus dikemukakan adalah, bagi para penentang HAM yang tidak setuju dengan perjuangan Munir, maupun bagi para pihak yang melancarkan praduga bahwa Munir adalah ‘penjual rahasia negara’, bukankah langkah yang benar sebagai kesepakatan bersama (common sense) adalah diadili dan dibuktikan kesalahan tindakan seseorang tersebut dalam suatu proses persidangan yang fair dan imparsial? Akan tetapi, yang terjadi pada Munir bukanlah proses penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan, bahkan proses persidangan yang baik untuk membuktikan praduga terhadap Munir tersebut. Hal yang justru terjadi adalah pembunuhan tanpa landasan hukum dan tanpa memperhatikan sistem penegaka n hukum yang telah disepakati bersama sebagai langkah yang paling adil dan fair dalam menentukan kesalahan seseorang.

(12)

dan HAM tersebut justru memicu munculnya kesadaran mengenai HAM yang semakin mendalam. Munir justru menjadi martir dan dijadikan simbol perjuangan yang belum tu ntas mengenai HAM di Indonesia.

Mencermati gambaran ekses buruk yang dapat timbul akibat tidak memadainya keilmuan mengenai penegakan hukum dan HAM, serta luasan cakupan dan besarnya dukungan akan pentingnya penegakan hukum dan HAM, maka aspek yang selanjutnya harus dipikirkan adalah mengenai sumber daya manusia yang menjalankan penegakan hukum dan HAM dimaksud. Kualifikasi dan kompetensi pengemban hukum yang biasa-biasa saja tentu saja tidak akan mampu menjawab tuntutan dunia agar pemenuhan dan per lindungan HAM terlaksana dengan baik. Oleh karenanya, diperlukan kualitas dan kuantitas personal penegak hukum yang tinggi guna mengemban tanggungjawab reinput pengembalian ekses tindak pidana ke jalan yang benar. Sehingga pada kulminasi tertentu officium nobile sebagai predikat mulia bagi semua aparat pengak hukum, mewujud dalam bentuk yang tidak hanya sekedar wacana dan utopia.

Guna memenuhi kualifikasi sumber daya manusia demikian, gagasan mengenai

prophetic intelligence dalam menentukan kualifikasi penegak hukum yang memahami HAM, tampaknya perlu dipertimbangkan. Penggambaran mengenai penegak hukum yang memahami HAM dengan kualifikasi tinggi tersebut menekankan pada aspek manusia sebagai fokus kajian. Kemampuan mentransformasikan diri untuk berani melakukan rule breking 23

mensyaratkan apa yang disebut prophetic intelligence (PI). Kecerdasan kenabian inilah yang memandu sekaligus memberikan keberanian holistik dalam bertindak progresif ketika mengemban hukum.

23

(13)

Sebagaimana mencermati perkembangan kekinian, disiplin psikologi mengembangkan

prophetic intelligence atau kecerdasan kenabian, sebagai pendekatan menyeluruh dari

pendekatan kecerdasan yang sebelumnya ada. PI inilah yang memandu cognitive intelligence, emotional intelligence, adversity intelligence, dan spiritual intelligence24. Pembenaman PI dalam kemauan dan kemampuan mentransformasi diri inilah yang dimaksud dengan kualifikasi tinggi dalam tipologi penegak hukum yang progresif.

Terhadap hasil temuan PI demikian, dunia hukum sangat berkepentingan ‘meminjam’ konsep kecerdasan kenabian ini guna mengatasi krisis hukum maupun kegamangan pemenuhan penegakan hukum dan perlindungan HAM yang terjadi. Terlebih ketika optik krisis tersebut diarahkan pada moralitas25 para penegak hukum. Dapat dikemukakan bahwa kecerdasan kenabian merupakan kemampuan seseorang untuk mentranformasikan dirinya dalam interaksi, sosialisasi dan adaptasi dengan lingkungan vertikal dan horizontal. Konsepsi dualistik lahiriah dan batiniah, kehidupan duniawi dan ukhrowi, diambil untuk dipahami manfaat dan hikmahnya. Pada sisi inilah pengejawantahan irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang selanjutnya diimplementasikan dalam sistem

penegakan hukum, menemukan momentumnya untuk dicamkan kembali.

Pada prinsipnya, setiap orang dapat meraih kecerdasan kenabian, dengan syarat mau melakukan transformasi diri. Khusus bagi penegak hukum, transformasi diri ini mencakup penyadaran, penemuan, dan pengembangan diri dengan mengamalkan serta menghayati sifat prinsip kejujuran (sidiq), dapat dipercaya (amanah), terbuka (tabliq), dan cerdas (fatonah). Transformasi diri penegak hukum yang menepati jalan Illahi demikian, dimaksudkan untuk

24

M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 262.

25

Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Jaksa AF beserta barang bukti uang suap Rp1,5 Milyar oleh Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Kejaksaan Agung, merupakan contoh kasus terbaru gambaran moralitas

(14)

membuka peluang seluas-luasnya untuk mendapatkan bimbingan Alloh SWT yaitu khoirunnas

anfaum linas ketika menjalankan tugas mulia sebagai penegak hukum.26

Ketika transformasi diri telah dilakukan, maka rule breaking menjadi sikap tindak yang tampak. Hukum progresiflah yang digunakan sebagai tawaran pendekatan penegakan hukum, bukan melulu logosentrisme teks hukum yang dikedepankan. Logosentrisme sebagai kecenderungan sistem pemikiran yang mencari legitimasinya dengan mengacu pada dalil -dalil kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinal27, menjadi penghalang utama yang sudah saatnya harus mulai ditinggalkan dalam rangkaian transformasi diri sang penegak hukum. Pada faset inilah ditemukan apa yang ada di balik setiap tindakan penegakan hukum, maupun kepada masyarakat pada umumnya sebagai orang yang bermanfaat bagi sesamanya. Para penegak hukum dengan transformasi diri demikian akan membawa penyadaran bahwa penegakan hukum harus dilaksanakan dengan cara yang baik, agar tujuan penegakan hukum yang sejatinya baik dapat mencapai tujuannya. Pada kulminasi inilah Hukum Progresif digunakan untuk memperluas dan sekaligus mengasah multiple intelligence yang dipandu

prophetic intelligence. Sehingga ketika palu diketukkan dengan irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, upaya penegakan hukum dengan segenap tahapan

yang dilaluinya menjadi harapan selanjutnya yang menunjukkan sebuah upaya holistik dalam rangkaian penegakkan keadilan hukum dan pemenuhan serta perlindungan HAM yang dipertanggungjawabkan secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sekaligus secara horizontal kepada semua manusia.

26

Dengan menepati jalan Illahi melalui upaya transformasi diri dan munajad dengan ragam ibadah kepadaNya, serangkaian langkah demikian semoga menghadirkan keridhoan sehingga Alloh Swt berkenan membimbing hambaNya menjadi sebaik-baik manusia yaitu manusia yang memberi manfaat bagi sesamanya. Muhammad Rustamaji,

“Mengggali Akar Transendensi Pancasila, Menuju Ilmu Hukum Berketuhanan Yang Masa Esa” dalam Absori, Kelik Wardiono, Shidarta, Aan Asphianto ( Ed.), Transendensi Hukum Prospek dan Implementasi, Genta Publishing & Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana UMS, Yogyakarta, 2017, hlm. 394-395.

27

(15)

KESIMPULAN

Hukum Acara Pidana yang dipersepsikan statis karena harus menjaga kepastian hukum, bagaimanapun masih memiliki sisi dinamis yang terus mencari bentuknya. Sisi dinamis tersebut tidak lain mewujud dalam perilaku para penegak hukumnya dalam memahami KUHAP yang bukan hanya sebatas gugusan norma, namun lebih jauh daripada itu menyasar kandungan nilainya.

Pemahaman yang baik mengenai KUHAP yang ditopang dengan pendidikan hukum yang tidak sebatas melaksanakan business as usual, tetapi menukik dalam hingga mencapai

prophetic intelligence, akan sangat menentukan kualitas penegakan hukum dan perlindungan HAM.

Pada sisi inilah pembaruan hukum acara pidana dilakukan dengan suatu perubahan besar yang membidik faset (sisi) manusia dan kemanusiaan penegak hukum. Langkah pembaruan hukum demikian, meskipun dirasa layaknya suatu cacatan pinggir, diharapkan memberi kedalaman pembaruan hukum yang patut dipikirkan dan ditindaklanjuti sebagai suatu objek ilmu yang masih meninggalkan lahan garap yang perlu dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali & Wiwie Heryani, 2012, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Achmad Fauzi, 2016, “Badai Suap Korp Adhyaksa”, Harian Jawa Pos, Rabu 30 November. Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Nonsistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia), Genta Publishing, Yogyakarta.

(16)

Barda Nawawi Arief, 2011, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong

Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pustaka Magister, Semarang.

Barda Nawawi Arief, 2012, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2013, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.

Charles Sampford, 1989, The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, New York.

Curzon,L.B., 1979, Jurisprudence, Macdonald &Evans Ltd, Handbook Series.

Gestrude Himmelfarb, 1952, Lord Acton:A Study in Concience and Politics, University of Chicago Press, Chicago.

Isyana Artharini, 2016, “Penyebab Kematian Terduga Teroris Siyono Terungkap” BBC Indonesia, 11 April.

M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta.

M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta.

Muhammad Al Fayyadl, 2012, Derrida, Cet.V, LkiS, Yogyakarta.

Muhammad Rustamaji & Dewi Gunawati, 2009, Model Pembelajaran Moot Court bagi Strata-1 Ilmu Hukum Sebagai Pencapaian Pendidikan Hukum Progresif, Jurnal Yustisia, Edisi 78, Tahun XX, September-Desember.

(17)

Muhammad Rustamaji, 2016, Simulacra Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Ingsutan Kewenangan Praperadilan, Jurnal Yustisia, Edisi 95, Tahun XXV, Mei-Agustus.

Muhammad Rustamaji, 2017, “Mengggali Akar Transendensi Pancasila, Menuju Ilmu Hukum Berketuhanan Yang Masa Esa”, dalam Absori, Kelik Wardiono, Shidarta, Aan Asphianto (Ed.), Transendensi Hukum Prospek dan Implementasi, Genta Publishing & Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana UMS, Yogyakarta.

Ronald Dworkin, 1986, Law’s Empire,The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge. Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing,

Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh langsung terjadi pada impor bawang merah, di mana peningkatan harga yang cukup tajam pada pertengahan tahun 2014 akibat kelangkaan barang, ditindaklanjuti

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan nilai daya dukung lereng pasir tanpa perkuatan dengan lereng pasir yang diberi perkuatan Geogrid serta

Berlandaskan tujuan Universitas Mercu Buana, yaitu menjadi lembaga pendidikan tinggi yang unggul untuk menghasilkan tenaga professional berjiwa wirausaha yang menguasai

Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Eka Rusnani Fauziah (2013). Hasil yang dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh game online terhadap

Tesis ini memuat pokok-pokok bahasan yang meliputi bagaimana peran notaris dalam perubahan anggaran dasar yayasan, tanggung jawab hukum notaris terhadap akta yang

Dari hasil analisis data kuesioner tentang ganguan komunikasi akibat kebisingan suara dapat disimpulkan bahwa sebanyak 36,2 % lebih responden sering mengalami gangguan

Penelitian yang dilakukan terhadap Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil Surakarta (AK-TEKSTIL Surakarta) dimaksudkan untuk mengetahui sistim

Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarganya sedarah atau semenda dalam garis