Menghindari Taklid dalam Beragama
Muhammadiyah terkenal sebagai organisasi pembaharu yang dalam keputusan-keputusannya tentang agama sering dilakukan dengan jalan Ijtihad ketimbang Taklid. Sikap ini pun nampak tercermin dalam keberagamaan warga dan simpatisannya. Namun tak jarang dalam bersikap, sering warga dan simpatisan Muhammadiyah nyrempet-nyrempet taklid. Ini mungkin karena ketidaktahuannya tentang taklid. Lalu apa sebetulnya taklid itu?
Ilmu menurut para ulama salaf bukan sekedar pengetahuan hukum-hukum, meskipun hal itu diperoleh melalui metode taklid kepada yang lain, atau membangun teori-teori landasan tanpa argumen yang memuaskan. Ulama mengetahui kebenaran melalui para tokohnya, dan mengikuti individu-individu bukan dalil.
Salah satu contoh taklid yang membabi buta, misalnya karena kagumnya pada seseorang kemudian ia berkata: “Meski langit itu biru, kalau Kiyai ini mengatakan merah saya mempercayainya.”. Bagi warga dan simpatisan Muhammadiyah pun bisa terjebak dalam hal ini, karena kekagumannya pada tokoh yang bersangkutan kemudian mempercayainya dan menyebarkannya tanpa alasan yang jelas.
Ilmu bagi para ulama salaf adalah ilmu yang mandiri, disertai argumen-argumen di dalamnya, tidak harus sejalan dengan siapa pun, ilmu berjalan dengan dalil-dalil, dan ia beroperasi dengan kebenaran yang andal.
Untuk hal ini, misalnya, Ibnul Qayyim mendasarkan larangan dan celaan atas sikap-sikap taklid firman Allah:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya….” (al-Isra’: 36).
Ia berkata, “Berdasarkan kesepakatan para ahli ilmu, taklid bukanlah mengetahui (berilmu).” Kemudian ia menuturkan pula dalam I’lamul-Muwaqqi’in lebih dari delapan puluh versi tentang pembatalan sikap taklid, dan penolakan terhadap tuduhan-tuduhan para pendukungnya.
Jika kebekuan atas lahiriah nash tercela, sebagaimana hal ini terdapat dalam kelompok Zahiriyah lama dan baru, maka lebih tercela lagi kebekuan atas perkataan para ulama pendahulu, tanpa memperhatikan padanya perubahan zaman, kebutuhan, dan tingkatan pengetahuan. Kami memprediksikan, seandainya para mujtahid dahulu sempat hidup di zaman kita dan melihat apa yang kita lihat, tentu mereka akan banyak mengubah hasil ijtihadnya.
Bagaimana tidak, sedangkan para mujtahid setelahnya, menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fikih Prioritas, akan mengubah hasil ijtihad tersebut karena perbedaan ruang dan waktu, betapapun antar mereka saling berdekatan. Bahkan, bagaimana hal itu tidak berubah, sedangkan para mujtahid sendiri –pada kurun yang sama—telah mengubah beberapa pernyataannya karena perubahan ijtihad yang mereka kehendaki. Mungkin karena pengaruh umur, kematangan, ruang dan waktu.
Demikian pula diriwayatkan tentang Imam Ahmad, bahwa dalam satu persoalan yang ia pecahkan ditemukan beberapa versi jawaban yang diberikannya. Hal itu karena fatwanya disampaikan dalam situasi yang berbeda.
Bagaimana sikap kita saat ini dalam hal menghadapi taklid ini? Untuk menghindari taklid ini, paling tidak kita harus mengetahui secara ilmiah alasan dari suatu pendapat yang dilontarkan seseorang. Dengan mengerti alasan yang secara dalil bisa dipertanggungjawabkan tersebut, kita sudah berupaya menghindari taklid meski tidak melakukan ijtihad sendiri. Demikian pula dalam berpedoman pada keputusan-keputusan tarjih yang ada, kita juga perlu tahu apa sebetulnya alasan-alasan yang mendasarinya keputusan-keputusan tersebut. Sehingga dengan demikian kita terlepas dari sikap taklid yang memang tidak diperkenankan oleh Allah SWT. Untuk itu, kajian-kajian mengenai keputusan tarjih ini sangat diperlukan oleh warga Muhammadiyah. Sikap-sikap yang demikian akan merangsang warga Muhammadiyah untuk selalu bertanya dalam pengajian-pengajian, sehingga pengajian yang dilaksanakan menjadi hidup. Waallahu ‘alam bishowab. (eff).
Sumber: