MAKALAH MASALAH PENGANGGURAN
KONDISI PENGANGGURAN DI INDONESIA
Studi Kasus Pada Kota Bekasi
Dari tahun ke tahun
Disusun Oleh
Sintha Dewi Arini
09610207
A.MASALAH PENGANGURAN SECARA UMUM
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar,
pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya
pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada,
menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama
kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada,
menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama
kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anggota keluarganya.
Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus
mengarah pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses, pendamping,
Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja.
Permagangan mungkin salah satu alternatif solusi praktis dan tepat. Hal ini didasarkan bahwa dunia usaha terkesan tertutup terhadap mahasiswa yang datang untuk melakukan kegiatan penelitian (riset) sehingga
menguatkan adanya kesenjangan tersebut. Tapi ini juga belum ditangani secara serius dan terpadu.
Salah satu bentuk pengangguran yang populer dewasa ini adalah pengangguran terdidik. Kekurangselarasan
antara perencanaan pembangunan pendidikan dengan perkembangan lapangan kerja merupakan penyebab
utama terjadinya jenis pengangguran ini. Pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan
(1) timbulnya masalah-masalah sosial dengan tingkat rawan yang lebih tinggi.
(2) menciptakan pemborosan sumber daya pendidikan. (3) menurunkan apresiasi masyarakat terhadap
pendidikan.
Apresiasi ini sebenarnya harus menjadi "Conditio sine Quanon" untuk pembangunan SDM. Sulit dibayangkan SDM berkualitas akan tercapai bila tidak disertai oleh meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) pendidikan. Dan akan sangat muskil APK meningkat, bila tidak
TABEL 1
Perkembangan APK Perguruan Tinggi
Periode Tahun Mahasiswa
Penduduk 19-24
tahun APK (%)
Seb. Repelita 1968 156.500 9.705.000 2% Repelita I 1973 231.000 11.962.000 2% Repelita II 1978 342.166 14.747.000 2% Repelita III 1983 823.925 15.667.600 5% Repelita IV 1988 1.356.756 19.464.700 7% Repelita V 1992 1.795.500 21.288.100 8%
Total 4.705.847 92.834.400 27%
Sumber : Pusat Informatika, Balitbang Dikbud
Menurunnya apresiasi masyarakat terhadap pendidikan itu ditandai oleh:
(a) berkurangnya jumlah siswa (di samping akibat keberhasilan KB),
(b) meningkatnya jumlah tenaga kerja (TK) unskill and uneducated dalam sektor sekunder,
(c) rendahnya angka melanjutnya pendidikan (di Jawa Barat hanya 57% lulusan SD meneruskan ke SMP),
Tabel 2
Analisis Keseimbangan antara Kebutuhan dan Penyediaan Tenaga Kerja menurut Tingkat Pendidikan Sampai Pelita VI
No. Tingkat Pendidikan Kebutuhan (000) % Persediaan (000) % Keseimbangan (000)
1 Tidak sekolah (3.900) (34) - - 3.900
2 Tid. tamat SD 955 8 1.817 15 863
3 Tamat SD 8.430 73 2.530 21 (5.899) 4 Tamat SMP 2.164 19 2.104 18 (60)
5 Tamat SLKTP 383 3 153 1 (229)
6 Tamat SMU 1.412 12 2.191 19 779
7 Tamat SMK 1.551 14 2.042 17 491
8 Tamat PT (S0) 344 3 393 3 50
9 Tamat PT (S1) 173 2 631 5 457
Jumlah 11.511 100 11.862 100 351
B. DATA PENGANGGURAN KHUSUS DI KOTA JAKARTA
Meski menyandang predikat sebagai kota besar ternyata Jakarta masih menyimpan masalah serius. Selain masalah kemacetan lalu lintas, tingginya jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) Jakarta juga dihadapkan pada masalah tingginya angka
pengangguran. Buktinya, jumlah pengangguran di kota Jakarta selalu meningkat setiap tahun. Hingga Agustus 2008 ini, pengangguran di Jakarta berjumlah 543 ribu orang atau bertambah 998 orang dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 542.002 orang. Penganggur itu rata-rata berusia 19 hingga 23 tahun.
Peningkatan jumlah pengangguran ini salah satunya disebabkan oleh derasnya laju urbanisasi dari daerah kota-kota besar. Selain juga diakibatkan banyaknya lulusan SMA yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kondisi ini tak pelak membuat Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) kota Jakarta bekerja ekstra keras. Kepala Disnakertrans mengatakan peningkatan jumlah pengangguran ini bukan hanya masalah Pemprov saja, melainkan juga menjadi masalah provinsi-provinsi lain di Indonesia. Bahkan sudah menjadi masalah nasional yang juga turut dipikirkan oleh pemerintah pusat. Sebab, tingginya jumlah pengangguran dikota Jakarta
disebabkan oleh tak terbendungnya laju urbanisasi dari berbagai daerah ke kota-kota besar seperti Jakarta.
Saat ini Disnakertrans sedang memilah-milah dari jumlah 543 ribu pengangguran ini, mana yang memang asli usia produktif yang
menganggur asal kota Bekasi dan mana yang berasal dari luar kota. Pemilahan ini berguna untuk mencari pemecahan masalah yang tepat. Disnakertrans juga berupaya menurunkan jumlah pengangguran
Langkah-langkah produktif untuk
melaksanakan reorentasi lembaga pendidikan, reorentasi itu menyangkut recana mengurangi pengangguran yang ada, (1) reorentasi
pendekatan, (2) reorentasi program, dan (3) reorentasi kelembagaan.
1. Reorentasi pendekatan, khususnya dalam
memodifikasi pendekatan dari kuantitatif menjadi kuantitatif-kualitatif. Dalam arti pendekatan
pemerataan harus diimbangi secara proporsional dengan perhatian terhadap mutu proses dan hasil pendidikan. Dengan demikian, secara bertahap mutu lulusan dapat lebih diterima dunia kerja dan secara absolut mampu mengimbangi laju
dinamika dunia kerja. Konsekwensi dari pada itu, pendidikan harus dilihat sebagai upaya rasional. Dalam arti lain pendidikan harus dilihat sebagai proses investasi bukan lagi proses konsumtif. Sehingga pesan-pesan dan kepentingan yang berada di luar kepentingan pendidikan harus mulai dihapus. Dan campur tangan, dari pihak manapun, yang kurang proporsional dengan
upaya peningkatan kualitas program pendidikan sebaiknya dihindari.
2. Reorentasi program, memberdayakan
Lembaga pendidikan merupakan sub sistem dari sistem sosial pembangunan, oleh itu keberadaan dan
eksistensinya tidak lepas dari sub sistem lainnya. Dengan demikian sharing ide maupun aktivitas lainnya yang
bernuansa sinergi dengan komponen lain hendaknya harus merupakan bagian tak terpisahkan dari program perbaikan sinambung (countinues improvement)
program pembelajaran. Pengabaian dari fakta tersebut hanya menciptakan "menara gading" yang tidak memiliki manfaat yang berarti bagi perbaikan kesejahteraan
masyarakat secara umum, khususnya bagi penciptaan kesiapan lulusan untuk berkiprah dalam dunia kerja.
Reorentasi kelembagaan, perlu mengkaji ulang
keberadaan lembaga pendidikan yang memiliki tingkat kejenuhan untuk lulusannya di lapangan kerja. Konversi IKIP ke dalam Universitas merupakan langkah kongkrit yang perlu terus dilaksanakan secara konsisten, konversi itu berimplikasi pada menurunnya jumlah penawaran
tenaga pengajar yang secara langsung akan
menyebabkan meningkatnya penghargaan dan harkat hidup tenaga pendidik. Kebijaksanaan konversi ini pun dapat dilakukan untuk lembaga pendidikan lainnya