• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Empowerment fixz

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jurnal Empowerment fixz"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

EMPOWERMENT

PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DAN

PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA

Oleh : Prof.Dr.H.Engking S.Hasan,M.Pd

dan Sri Nurhayati,S.Pd,M.Pd ... KEAKSARAAN BERBASIS KELUARGA DI

(3)

PENGANTAR REDAKSI

Rencana pembangunan pendidikan nasional jangka panjang adalah membangun

pemerataan pendidikan di semua kalangan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa

fokus utama pendidikan yaitu menciptakan pendidikan yang bermutu dan berdaya

saing global. Untuk mewujudkan misi tersebut dibutuhkan para penggerak yang

mempunyai etos kerja, koordinasi, dan tata nilai yang dapat mendukung terhadap

peningkatan kualitas pendidikan. Penerbitan Jurnal Ilmiah Empowerment ini

diharapkan dapat mendukung terciptanya kualitas pendidikan yang bermutu dan

berdaya saing global.

Pada edisi perdana Jurnal Ilmiah Empowerment ini, kami menyajikan beberapa penulis

yang memiliki kompetensi, pengalaman, dan integritas di bidang Pendidikan Luar

Sekolah, sehingga kami memandang memang perlu untuk menyebarkan gagasan dan konsep

kontemporer tentang Pendidikan Luar Sekolah kepada masyarakat luas.

Sebagai penutup Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis atas

kontribusinya serta Pimpinan STKIP Siliwangi atas dukungan dalam penerbitan Jurnal

Ilmiah Empowerment ini. Tidak lupa juga, kami mohon maaf apabila di dalam

penulisan Jurnal Ilmiah Empowerment ini terdapat kesalahan. Untuk itu kami terbuka

menerima saran dan kritik untuk memperbaiki kualitas jurnal ini.

Cimahi, Februari 2012

(4)

1. Jurnal Empowerment menerima naskah yang meliputi hasil penelitian, pikiran dan pandangan dari segala bidang pendidikan atau profesi yang belum pernah dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk diterbitkan dalam jurnal lain.

2. Naskah dapat dikirim dalam bentuk softcopy (dalam bentuk CD) ke Redaksi Jurnal Empowerment dengan alamat STKIP Siliwangi Jl. Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi-Jawa Barat. Atau naskah dapat dikirim ke alamat email : empowerment@yahoo.com

3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan menggunakan MS Word, jarak spasi 2, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12, margin 1 inci pada setiap sisinya. Panjang maksimal seluruh naskah (termasuk gambar, tabel, dan daftar pustaka) berjumlah 20 halaman.

4. Naskah disertai abstrak dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris terdiri dari maksimal 200 kata, dan kata kunci sebanyak 4-6 kata yang ditempatkan di bawah abstrak.

5. Sistematika penulisan naskah meliputi : a. Pendahuluan

berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan yang telah dicapai dari penelitian yang telah dilakukan.

b. Metode

menguraikan tentang prosedur pelaksanaan penelitian, bahan atau alat yang digunakan, serta teknik pengumpulan data.

c. Hasil dan Pembahasan

memuat gambara yang jelas tentang kajian atau hasil penelitian yang dikaitkan dengan rumusan masalah serta hasil penelitian sejenis yang telah dipublikasi sebelumnya. Diskusi mengenai hasil kajian atau penelitian diuraikan pada bagian ini.

d. Kesimpulan dan Saran

memuat kesimpulan penelitian yang singkat dan jelas. Jika ada sertakan saran-saran yang muncul sebagai akibat dari hasil kajian atau penelitian yang telah dilakukan.

e. Daftar Pustaka

ditulis dan disusun berdasarkan abjad, dengan urutan untuk setiap pustaka : nama penulis, tahun terbit, judul/sumber artikel, nama penerbit,/jurnal, edisi/volume, halaman, nama kota dan nama penerbit.

6. Naskah yang diterbitkan telah melalui penilaian sekurang-kurangnya oleh dua independent referee.

(5)
(6)

PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DAN

PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA

Oleh:

Prof.Dr.H. Engking S. Hasan,M.Pd

Direktur Pascasarjana STKIP Siliwangi Bandung dan

Sri Nurhayati, S.Pd, M.Pd Dosen STKIP Siliwangi Bandung

Abstract

Indonesia today is still struggling to find the best way in developing its human resources. The essence of human development according to Tilaar (1998:107) is the development of dignity and human quality, and to develop human dignity and quality is to give them choices, so the role of education is very vital in giving human the ability to choose and to widening their horizons on what they need to choose. According to National Education System Law No. 23, there are three lines of education: formal, nonformal, and informal education. Coombs (1973) defines nonformal education as every organized and sistematic activity outside the well-established schooling system, conducted independently or as part of wider activity, and intended to serve specific students in order to achieve their learning goals (Sudjana, 2004:22). This paper aims at providing

information on how nonformal education has become the answer of today’s

struggling of Indonesia in developing its human resources.

Kata Kunci: Pendidikan nonformal, pembangunan manusia, kualitas sumber daya manusia.

Pendahuluan

(7)

Ada fakta menarik dalam hasil survey UNDP pada tahun 2011 yang dikutip dari harian The Jakarta Post (http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/02/

indonesia-ranks-124th-2011-human-development-index.html), Indonesia menempati posisi ke 124 dari 187 negara yang disurvey dengan skor 0,617 yang mengalami kenaikan skor sebesar 0,004 dari tahun sebelumnya. Ini berarti secara statistik pembangunan manusia Indonesia mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya.

Indonesia bukanlah negara yang jumlah penduduknya sekecil Singapura (5,08 juta jiwa pada Juni 2010) dan Malaysia (28,53 juta jiwa pada Juni 2010). Dalam pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai angka yang fantastatis, yaitu sebanyak 259,94 juta jiwa (http://nasional.kompas.com/read/2011/09/19/

10594911/Jumlah.Penduduk.Indonesia), tersedia [on line] diakses tanggal 20

Februari 2012. Sehingga percepatan penaikan angka Indeks Pembangunan Manusia di negara-negara yang jumlah penduduknya relatif kecil tentu lebih mudah daripada di negara yang jumlah penduduknya lebih besar. Selain itu, Indonesia juga secara geografis mencakup area yang sangat luas yang berdampak pada kecepatan mobilitas sumber daya yang diperlukan dalam rangka pembangunan manusianya. Seringkali, Indonesia tampak sangat jelek bila dibandingkan dengan prestasi pembangunan manusia di negara lain. Padahal, belum tentu perbandingan tersebut dilakukan secara adil. Mungkin saja, kesalahan yang seringkali kita perbuat adalah kesalahan membandingkan. Meskipun negara yang dibandingkan dengan Indonesia dalam hal pembangunan manusia masih satu kawasan, namun dari segi kompleksitas manusia dan area, Indonesia tentu memiliki keunikan dan tingkat evolusinya sendiri.

Dengan segala kemampuan, kompleksitas, serta segala keterbatasan yang dimiliki secara unik oleh bangsa Indonesia, pemerintah dan masyarakat Indonesia sudah melakukan berbagai upaya positif dalam rangka membangun sumber daya manusianya. Upaya-upaya tersebut tersebar di seluruh bidang, baik di bidang agama, ekonomi, seni, pendidikan, budaya, politik, sosial dan kemasyarakatan, sampai upaya-upaya di bidang informasi dan teknologi.

(8)

tingkat kemampuannya untuk membangun dirinya sendiri dengan mengolah hasil pendidikannya menjadi kebiasaan kebiasaan yang konstruktif dan produktif. Pembangunan manusia akan berdampak secara langsung pada pembangunan suatu bangsa, seperti yang dikemukakan oleh Suryadi (2009:11) yang berpendapat bahwa memajukan pendidikan berarti sama dengan memajukan martabat bangsa agar sejajar dengan negara-negara maju lainnya.

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, pendidikan di Indonesia dibagi ke dalam tiga jalur, yaitu: jalur pendidikan formal, jalur pendidikan nonformal, dan jalur pendidikan informal. Selama ini proses pembangunan manusia Indonesia melalui upaya-upaya pendidikan, lebih ditekankan pada pendidikan persekolahan atau pendidikan formal saja. Perhatian pemerintah dan masyarakat jarang sekali diarahkan kepada pendidikan nonformal yang sebenarnya memiliki nilai penting yang sama. Bahkan, dalam beberapa konteks situasi bisa dipandang lebih penting dalam rangka pembangunan manusia Indonesia secara efektif, efisien, integratif, kreatif, dan holistik. Hal ini senada dengan pemikiran Tilaar (1998:16) yang menyatakan bahwa jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah itu saling komplementer dalam sistem pendidikan nasional, sehingga perhatian yang sama dan adil harus diberikan kepada jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah.

Pembangunan manusia Indonesia melalui jalur pendidikan formal selama ini sudah kita ketahui bersama. Meskipun pendidikan formal tampak lebih wajib dan dibutuhkan daripada pendidikan nonformal, pendidikan nonformal memiliki kiprah dan kontribusi yang tidak lebih penting daripada pendidikan formal. Hal ini senada dengan pendapat Suryadi (2009:28) yang menyatakan hal bahwa pendidikan nonformal belum mendapat pemahaman dan perhatian yang proporsional dari pemerintah maupun masyarakat dalam pembangunan nasional, baik yang berkenaan dengan peraturan perundangan maupun dukungan anggaran ehingga pemerataan pelayanan pendidikan nonformal bagi masyarakat di berbagai laposan dan di berbagai daerah belum dapat dilaksanakan secara informal.

Kurangnya informasi mengenai kiprah dan kontribusi pendidikan nonformal dalam pembangunan manusia Indonesia menjadikan pendidikan nonformal

dipandang sebagai jalur pendidikan kelas dua . Makalah ini bertujuan untuk

(9)

Pendidikan Luar Sekolah untuk Membangun Manusia Indonesia lama sebelum sekolah-sekolah didirikan di Indonesia, pendidikan diselenggarakan secara nonformal dan informal. Pada awalnya, pendidikan yang berjalan di masyarakat berupa pesantrian-pesantrian yang bila ditilik dari segi sejarah, berawal ketika penyebaran islam di nusantara ini dilakukan secara intensif oleh Wali Songo. Sudjana (2004:2) menulis bahwa pendidikan nonformal telah tumbuh dan berkembang dalam alur kebudayaan setiap masyarakat, dan sering bersumber pada agama dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Coombs (1973) dalam Sudjana (2004:22) mendefinisikan pendidikan nonformal sebagai setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nonformal memiliki tiga fungsi yaitu sebagai pengganti (substitusi), penambah (supplemen, dan pelengkap (komplemen) pendidikan formal bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dalam rangka pengembangan diri dan potensinya. Pendidikan nonformal mempunyai karakteristik memberi penekanan lebih pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional yang untuk tahap selanjutnya diarahkan pada longlife learning.

Dalam perkembangannya, di masa kini pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) mengalami perubahan cakupan seperti yang dikemukakan Rogers

The term non-formal education now covers a very wide continuum of educational programmes. At one extreme lies the flexible schooling model - national or regional sub-systems of schools for children, youth and adults. At the other extreme are the highly participatory educational programmes, hand-knitted education and training, tailor-made for each particular learning group, one-off teaching events to meet particular localised needs. Pendapat Rogers tentang perubahan paradigma pendidikan nonformal dalam makalahnya yang ditulis pada tahun 2004 tersebut membukakan mata kita bahwa pendidikan nonformal kini telah mengalami perluasan yang signifikan. Perluasan ini berdampak pada lebih meluas dan beragamnya jenis layanan pendidikan luar sekolah yang beredar di masyarakat.

(10)

Upaya-upaya yang muncul sebagai inisiatif pemerintah disalurkan kepada masyarakat melalui birokrasi pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal. Adapun program Ditjen PAUDNI di Tahun 2011 ini yang dikutip dari situs resminya

(http://www.paudni.kemdiknas.go.id/profil_paudni.html) tersedia [on line]

diakses tanggal 20 Februari 2012, diarahkan untuk memenuhi tuntutan peningkatan kualitas layanan dengan tetap berupaya terus mendorong ketersediaan dan akses layanan pendidikan yang semakin luas.

Dalam melaksanakan tugasnya, Ditjen PAUDNI menyelenggarakan fungsi: 1. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan layanan PAUD yang

memenuhi standar pelayanan minimal PAUD dan mendorong peningkatan mutu layanan secara simultan, holistik-integratif dan berkelanjutan, dalam rangka mewujudkan anak yang cerdas, kreatif, sehat, ceria, berakhlak mulia sesuai dengan karakteristik, pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga memiliki kesiapan fisik serta mental untuk memasuki pendidikan lebih lanjut.

2. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan keaksaraan usia 15 tahun ke atas yang berbasis pemberdayaan, berkesetaraan gender dan relevan dengan kebutuhan individu dan masyarakat dalam kerangka Literacy Initiative For Empowerment /LIFE. 3. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan

kecakapan hidup, kursus dan pelatihan, dan pendidikan kewirausahaan yang bermutu dan berdaya saing serta relevan dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat, dunia usaha dan dunia industri, khususnya bagi penduduk putus sekolah dalam dan antar jenjang, sehingga dapat bekerja dan/atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional.

4. Meningkatkan ketersediaan, mutu serta profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan PAUDNI melalui peningkatan kualifikasi, kompetensi serta pemberian penghargaan dan perlindungan yang bermutu, merata, berkelanjutan, dan berkedilan.

5. Mengembangkan layanan pembelajaran untuk menumbuhkan minat dan budaya baca masyarakat melalui penyediaan dan peningkatan layanan Taman Bacaan Masyarakat, penyediaan bahan-bahan bacaan yang berguna untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan dan produktifitas baik untuk aksarawan baru maupun untuk masyarakat umum lainnya.

(11)

7. Meningkatkan pelayanan pendidikan kepramukaan dalam rangka membangun karakter bangsa melalui pembinaan gugus depan, peningkatan mutu pembina dan pelatih pramuka serta jambore pramuka.

8. Meningkatkan mutu pelayanan program PAUDNI melalui pengembangan model dan program percontohan yang dilakukan oleh UPT Pusat dan Daerah.

9. Meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, kesetaraan dan kepastian layanan program PAUDNI melalui penyelenggaraan program PAUDNI oleh satuan kerja perangkat daerah Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota dan lembaga PAUDNI yang dikelola oleh masyarakat. 10. Meningkatkan kapasitas kelembagaan PAUDNI, baik di tingkat pusat

maupun daerah melalui perbaikan sistem manajemen informasi, peningkatan sarana dan prasarana yang memadai, agar lembaga PAUDNI mampu memberikan pelayanan prima bagi semua warga dan terjamin kepastian dan keberlangsungannya.

Dari fungsi-fungsi yang diselenggarakan Ditjen PAUDNI di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa layanan pendidikan nonformal dan informal di Indonesia secara resmi sangatlah luas. Mencakup layanan Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Keaksaraan, Pendidikan kecakapan hidup, kursus dan pelatihan, pendidikan kewirausahaan, layanan Taman Bacaan Masyarakat, Pendidikan Pemberdayaan Perempuan, Pendidikan Keorangtuaan, dan Pendidikan Kepramukaan.

Apabila layanan-layanan pendidikan nonformal ini sungguh-sungguh dilaksanakan, maka dampaknya akan sangat luar biasa bagi pembangunan manusia Indonesia. Terdapat beberapa karakteristik penting dari program-program pendidikan nonformal yang muncul sebagai inisiatif dari pemerintah. Pertama, sumber pendanaan program dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah. Kedua, meskipun pelaksanaan program pendidikan nonformal dilakukan oleh masyarakat sepenuhnya, namun pemerintah tetap melakukan supervisi, monitoring, dan evaluasi program. Ketiga, program-program pendidikan nonformal tersebut biasanya dimunculkan sebagai bagian dari kebijakan atau program pemerintah baik pemerintah Kota, Provinsi, maupun Pusat.

Luasnya cakupan layanan pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) sama luasnya dengan kehidupan manusia itu sendiri. Dari mulai pendidikan anak usia dini sampai dengan pendidikan keorangtuaan. Hal ini bagaikan

(12)

cenderung kurang menarik bagi masyarakat perkotaan karena biasanya hanya muncul sebagai program-program pemerintah (government centered) meskipun tampak seperti melayani kebutuhan masyarakat, tapi sebenarnya hal itu dilakukan sebagai bagian dari agenda pemerintah. Hal ini berdampak pada kurangnya motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam program-program pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sehingga perjalanan program-program pendidikan nonformal yang dimunculkan oleh pemerintah biasanya berjalan sendat seiring dengan tersendat-sendatnya pendanaan program dari pemerintah.

Sedangkan upaya-upaya yang muncul sebagai inisiatif dari individu atau masyarakat meliputi program-program yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan yang ada di masyarakat. Program-program pendidikan nonformal ini biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, keresahan masyarakat akan berbagai permasalahan pendidikan yang ada di masyarakat. Misalnya, program les atau bimbingan belajar bagi para siswa sekolah formal. Kedua, idealisme yang muncul baik dari individu maupun masyarakat mengenai gambaran pendidikan yang berkualitas ideal yang ingin direalisasikan dalam lingkungan sekitarnya. Misalnya, program homeschooling

yang dewasa ini marak di masyarakat. Yang terakhir adalah, lahirnya inovasi-inovasi baru dalam hal pembelajaran di bidang-bidang tertentu yang dibutuhkan dan diminati oleh masyarakat yang belum mampu diadopsi oleh sekolah formal. Misalnya program kursus Mathemagics.

Idealnya, layanan pendidikan nonformal yang muncul sebagai inisiatif dari pemerintah dan inisiatif dari individu atau masyarakat ini dapat bersinergi dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya. Contohnya, program Pendidikan Keaksaraan dapat disinergikan dengan pelatihan-pelatihan merangkai bunga yang menarik dan populer. Pendidikan pemberdayaan perempuan dapat disinergikan dengan Hypnotic Goal Setting Workshop dan program sejenis lainnya yang banyak beredar di masyarakat. Bila hal ini diimplementasikan maka akan menjadi suatu terobosan baru dalam penyelenggaraan layanan pendidikan nonformal. Dengan program pelatihan atau kursus-kursus yang memang menggunakan penemuan-penemuan terkini (up to date) di bidang pembelajaran, pemerintah tidak perlu lagi pusing bagaimana menaikkan angka partisipasi sekolah dan bagaimana menolkan angka buta aksara, karena program pembelajarannya sendiri sudah sedemikian menariknya untuk diikuti oleh warga belajar yang merupakan sasaran pembangunan manusia Indonesia.

(13)

dini, pendidikan keaksaraan, Home Schooling, kursus dan bimbingan belajar, pelatihan, dan peningkatan budaya baca melalui taman bacaan masyarakat.

Pendidikan anak usia dini di Indonesia diberikan bagi anak Indonesia dari Sabang sampai Merauke dari usia 0-6 tahun. Usia 0 tahun ini tidak bisa dimaknai bahwa pendidikan anak usia dini diberikan setelah anak lahir. Namun, pendidikan diberikan dari sejak masa kehamilan ibu ketika fetus berusia 1 minggu sampai dengan anak lahir dan berkembang sampai usia 6 tahun. Mengingat banyaknya penemuan-penemuan empirik terkini yang menyimpulkan bahwa perkembangan besar dari segi fisik, kecerdasan, dan karakter justru terjadi pada usia 0-6 tahun, menyebabkan layanan pendidikan anak usia dini menjadi krusial dan sangat mendesak bila kita ingin membangun manusia Indonesia yang berkualitas dan berkarakter.

Dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa pada tahun 2011, kebutuhan akan layanan PAUD Indonesia ke depan akan lebih banyak. Dengan demikian, para sarjana, akademisi, dan praktisi pendidikan nonformal memiliki kesempatan yang luas untuk bekerja bersama dengan pemerintah dalam membentuk lembaga-lembaga PAUD yang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Selama ini, pemerintah melalui ditjen PAUDNI selalu memberikan bantuan dana bagi para pengelola PAUD dalam rangka pengembangan PAUD maupun dalam rangka pembentukan lembaga-lemabaga PAUD baru yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Dalam penentuan indeks pembangunan pendidikan manusia, angka buta aksara adalah salah satu penentunya. Apabila suatu negara memiliki angka buta aksara yang tinggi, maka skor indeks pembangunan pendidikan akan semakin rendah. Oleh sebab itu, layanan pendidikan untuk pemberantasan buta aksara sangatlah urgent bagi pembangunan manusia Indonesia.

(14)

Pendidikan keaksaraan tidak hanya berkutat dengan pemberantasan angka buta huruf saja. Namun berkaitan dengan peningkatan kemampuan keaksaraan fungsional dan advanced literacy yang mencakup kemampuan analisis, berpikir konseptual dan kritis, serta mencakup kemampuan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya dalam rangka memberikan kontribusi yang bernilai bagi kemajuan dan kesejahteraan, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan di sekitarnya.

Peran para sarjana, akademisi, dan praktisi pendidikan nonformal sangat sentral dalam pemberian layanan pendidikan keaksaraan yang sangat krusial ini. Bersama-sama dengan pemerintah, para sarjana, akademisi, dan praktisi pendidikan nonformal dapat meningkatkan kemampuan keaksaraan masyarakat dari yang asalnya buta huruf, menjadi masyarakat yang mampu membaca, memperoleh dan mengolah informasi serta mampu memiliki kapasitas yang sesuai dengan tingkat advanced literacy.

Home Schooling (Sekolah rumah) sangat marak terutama di kota-kota besar, hal ini dikarenakan banyaknya orangtua yang merasa lebih siap menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah ataupun karena kesibukan (misalnya para artis remaja) dan kebutuhan khusus (anak autis yang butuh pengawasan orangtua).

Sekolah rumah ini berbeda dengan sekolah umum baik dalam hal pembelajarannya maupun dalam pendekatan kurikulumnya. Pembelajaran lebih bersifat student centered dan pendekatan kurikulumnya lebih banyak menggunakan materi-materi yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Sekolah rumah banyak dipilih karena dapat menyesuaikan dengan pribadi siswa yang unik. Para siswa dapat berfokus untuk mempelajari subjek-subjek yang dapat memperkuat kekuatan dirinya tanpa harus dipaksa untuk mengikuti pelajaran-pelajaran yang memang tidak disukainya sampai siswa dapat memperoleh suatu kecakapan khusus dalam bidang yang dia geluti dan menjadi menonjol di bidangnya tersebut.

(15)

Implikasi Sekolah Rumah pada pembangunan manusia Indonesia secara langsung adalah pada peningkatan rata-rata lama pendidikan yang pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi indeks pembangunan pendidikan manusia Indonesia. Selain itu, pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan pribadi siswa akan mempercepat pengaktualisasian potensi siswa sehingga dapat berkontribusi positif bagi pembangunan masyarakat dan negara Indonesia dengan aktualisasi dirinya itu.

Kursus, Bimbingan Belajar, dan Pelatihan merupakan layanan pendidikan nonformal yang tidak pernah surut peminat. Ketiga layanan pendidikan nonformal ini banyak yang muncul sebagai inisiatif masyarakat. Meskipun banyak lembaga pemerintah yang juga memiliki badan pendidikan dan pelatihan (diklat), secara riil di lapangan, lebih banyak lembaga kursus, bimbingan belajar, dan pelatihan yang muncul akibat inisiatif-inisiatif masyarakat sebagai reaksi terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

Kursus dan pelatihan merupakan wadah (tempat) belajar siapapun yang ingin memperoleh pengetahuan atau keterampilan spesifik tertentu dengan kurikulum yang spesifik. Nama kursus disesuaikan dengan isi kursus. Misalnya Kursus Memasak untuk kursus yang berisi segala pengetahuan dan keterampilan khusus untuk memasak saja. Atau kursus menjahit untuk kursus yang berisi segala pengetahuan dan keterampilan khusus untuk menjahit saja.

Bimbingan belajar merupakan tempat dan kesempatan belajar di luar sistem sekolah yang penekanannya lebih kepada upaya untuk menguasai materi-materi yang berkaitan dengan kurikulum yang dipelajari di sekolah. Bimbingan belajar ini mengalami booming di Indonesia terutama ketika diberlakukannya standar kelulusan baik untuk ujian akhir semester ataupun ujian akhir nasional.

Implikasi kursus, pelatihan, dan bimbingan belajar bagi pembangunan manusia Indonesia sangatlah signifikan. Kursus dan pelatihan merupakan tempat yang tepat bagi siapapun yang ingin mengurangi gap antara kebutuhan lapangan kerja riil dan kemampuan yang dimiliki seseorang. Hal ini tentu dapat mengurangi pengangguran dan jumlah kemiskinan di Indonesia. Berkurangnya angka pengangguran dan kemiskinan akan memberikan pengaruh positif dalam indeks pembangunan kesehatan dan indeks pembangunan ekonomi yang dalam tahap selanjutnya berdampak besar pada skor pembangunan manusia Indonesia.

(16)

Indonesia dan daerah untuk membangun masyarakat yang berpengetahuan (Knowledge society), berbudaya, maju dan mandiri (Suryadi, 2009). Dalam implementasi di lapangan, lembaga yang memberikan layanan program pengembangan minat dan budaya baca ini adalah Taman Bacaan Masyarakat (TBM).

Pengembangan minat baca pada jalur pendidikan nonformal ini bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu Taman Bacaan Masyarakat, Bahan Bacaan, dan Calon Pembaca. TBM merupakan tempat pertemuan antara calon pembaca dan bahan bacaan yang merupakan sumber untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis. Pengetahuan dan keterampilan praktis yang didapatkan dari aktivitas membaca tersebut selanjutnya dapat berdampak pada peningkatan produktivitas masyarakat dan bangsa pada umumnya.

Implikasi membaca pada pembangunan manusia Indonesia sangatlah besar. Pengetahuan pada zaman sekarang ini berubah sangat cepat. Bila manusia Indonesia tidak mengikuti perkembangan pengetahuan dengan sering membaca hasil-hasil perkembangan pengetahuan dalam bidang tertentu, maka tentu akan tertinggal karena berkutat dengan pengetahuan dan data yang sudah tidak valid. Ketersediaan bahan bacaan yang up to date tentu sangat membantu pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan masyarakat tentang bidang yang digelutinya. Dengan peningkatan pemahaman akan bidang yang digeluti oleh masyarakat, maka pendapatan masyarakat akan mengalami peningkatan. Peningkatan ekonomi ini akan berdampak pada indeks pembangunan ekonomi yang selanjutnya berdampak pada peningkatan indeks pembangunan manusia Indonesia.

Taman Bacaan Masyarakat yang ada di masyarakat ada yang didirikan sepenuhnya oleh masyarakat dan ada pula yang sepenuhnya didirikan oleh pemerintah. Bahan bacaan yang ada di Taman Bacaan Masyarakat itu ada yang sepenuhnya berasal dari masyarakat itu sendiri. Taman Bacaan Masyarakat sekarang menjangkau semua tempat yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Misalnya TBM @ Mall, TBM di perumahan, TBM di pendopo desa, TBM di pasar, TBM di perkampungan, dan lain-lainnya.

Penutup

(17)

nonformal memiliki dimensi yang begitu luas, karena peran, fungsi, dan layanannya selalu mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat.

Gambaran kiprah dan kontribusi pendidikan nonformal dalam rangka membangun manusia Indonesia telah disampaikan sehingga diharapkan adanya limpahan perhatian dan dukungan dari pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan nonformal agar percepatan pembangunan manusia bisa tercapai sekaligus percepatan skor Indeks Pembangunan manusia pun bisa tercapai dan hanya ketika Indonesia bisa mencapai skor IPM yang tinggi sajalah negara kita bisa berubah status dari negara berkembang menjadi negara maju seperti yang kita idam-idamkan sejak awal pembentukan negara kesatuan ini.

Daftar Rujukan

Sudjana, Djudju. 2004. Pendidikan Nonformal. Bandung: Alfabeta.

Sujiono, Yuliani Nurani. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks.

Suryadi, Ace. 2009. Mewujudkan Masyarakat Pembelajar. Bandung: Widya Aksara Press.

Tilaar, H.A.R. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya

Djojonegoro, Wardiman. 1998. Education and Culture Key Aspects of

Indonesia’s Development. Jakarta: Ministry of Education and Culture.

Rogers, A. 2004. 'Looking again at non-formal and informal education - towards a new paradigm', the encyclopaedia of informal education, (online),

( www.infed.org/biblio/non_formal_paradigm.htm, diakses tanggal

20 Februari 2012)

Soewarman, Engking. 2002. Strategi Menciptakan Sumber Daya Manusia Unggul. Jurnal Pendidikan dan Kebbudayaan, No. 37 (8): 532-542. Nurhayati, Sri. 2011. Proses Pembelajaran Pendidikan Holistik Berbasis

Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini: Studi Kasus di Kelompok Bermain ANNUR di Desa Lampegan Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: PPS STKIP Siliwangi Bandung.

Hatta, Muhammad. 2012. Rethinking Educational Administration. Makalah disajikan dalam Seminar International Rethinking Educational Administration, Universitas Pendidikan Bandung, Bandung, 11 Februari.

http://nasional.kompas.com/read/2011/09/19/10594911/Jumlah.Penduduk.

Indonesia (diakses tanggal 20 Februari 2012)

http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/02/indonesia-ranks-124th-2011-human-development-index.html (diakses tanggal 20 Februari

(18)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE THEURAPEUTIC

COMMUNITY (TC) DALAM MEMBANGUN KESADARAN KELAYAN

EKS PENYALAHGUNA NAPZA

(Studi di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung)

Oleh:

Lenny Nuraeni,S.Pd,M.Pd Dosen PS PLS STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) Mendeskripsikan dan menganalisis persepsi Kelayan

Eks Penyalahguna NAPZA terhadap penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti

Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung, 2) Mendeskripsikan dan menganalisis tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA setelah mengikuti program pemulihan dengan menggunakan

Metode Theurapeutic Community di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung, 3) Menganalisis

hubungan antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran pada

Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik dengan teknik pengumpulan data wawancara, angket, observasi, studi literatur, dan studi dokumentasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA yang ada di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung terdiri dari 3 Panti Rehabilitasi Sosial diantaranya adalah Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera Lembang (BPSPP), Yayasan Sekar Mawar, dan Yayasan Rumah

Cemara. Sampel diambil sebanyak 62 orang dengan cara proportional random sampling.

Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh keterangan bahwa variabel X (Metode

Theurapeutic Community) memberikan pengaruh terhadap variabel Y (kesadaran) secara signifikan. Persamaan regresi yang dibentuk oleh kedua variabel tersebut adalah Y = 68,218 + 0,765 X. Hubungan di antara kedua variabel tersebut dikategorikan sedang. Hal ini ditunjukan oleh harga koefisien korelasi sebesar 0,571. Namun demikian harga tersebut signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %, dimana harga t hitung jatuh di daerah penolakan (H0 ditolak). Atas

dasar harga-harga tersebut maka disimpulkan bahwa Metode Theurapeutic Community (TC)

efektif dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA.

Kata Kunci: Metode Theurapeutic Community (TC), Kesadaran Kelayan eks penyalahguna NAPZA

A. PENDAHULUAN

(19)

Dewasa ini masih banyak sekali remaja yang menimbulkan keresahan masyarakat, seperti banyaknya mengenai bentuk kenakalan remaja. Salah satu persoalan adalah meningkatnya kenakalan remaja yang manjadi penyalahguna NAPZA. Akibat langsung yang dirasakan adalah semakin maraknya penyalahgunaan NAPZA terutama dikalangan remaja, pemuda, bahkan meluas melibatkan banyak siswa SMU dan SLTP bahkan sampai SD. Kondisi ini sangat memprihatinkan jika tidak bisa diatasi secara efektif, maka akan merusak generasi muda Indonesia dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan bangsa dan negara.

Salah satu usaha mengatasi hal tersebut pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan beberapa undang-undang yang mengatur produksi, impor, ekspor, menanam, menyimpan, mengedarkan dan menggunakan Narkotika dan Psikotropika. Hampir setiap negara mempunyai ketentuan-ketentuan hukum yang keras dan memiliki satuan-satuan aparat keamanan yang handal dalam usaha menangkal masalah ini. Di Indonesia, ketentuan hukum itu antara lain dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 yang dalam satu bagiannya, yaitu pasal 23 ayat 2, dengan tegas melarang perbuatan menyimpang untuk memiliki atau menguasai narkotika. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara maksimum selama 10 tahun dan denda setinggi-tingginya sebanyak lima belas juta rupiah dan bagi pemakai narkotika menurut ayat 7, diancam pidana maksimum 3 tahun penjara.

Namun demikian mengapa jumlah orang yang menggunakan NAPZA dari tahun ke tahun terus meningkat? Boleh jadi persoalannya bukan hanya terletak pada kecanggihan hukum yang disusun atau tingkat kehandalan aparat keamanannya, melainkan juga pada bagaimana kebiasaan menggunakan NAPZA tersebut tersosialisasikan dalam masyarakat. Kebiasaan semacam itu tentu tidak dengan tiba-tiba atau hanya mencuat sesaat, atau ditularkan melalui proses sosial yang panjang dan secara sosiologis melibatkan sistem serta struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Menurut data Mabes POLRI, April 2007 kasus narkoba pada saat ini berjumlah 7735 kasus narkotika, 7151 kasus psikotropika, dan 722 kasus bahan adiktif. Menurut data yang dihimpun dari Depkes, presentase zat yang paling banyak adalah golongan opium. Pengguna jarum suntik pada penyalahgunaan NAPZA terakhir mengalami peningkatan dari 22,2 % pada tahun 2006 menjadi 61,8 % pada tahun 2007.

(20)

yang menyangkut kesehatan psikologis, sosial dan keamanan. Dampak yang dialami yakni dapat merusak ciri dan citra masa depan bangsa. Ancaman bagi potensi generasi muda selaku generasi penerus dan generasi yang diharapkan dapat mempertahankan eksistensi bangsa dan negara, merongrong tata kehidupan masyarakat sehingga pada gilirannya akan melemahkan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Dari dampak tersebut, maka keberadaan pusat-pusat rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA sangat diperlukan.

Di Wilayah Bandung terdapat beberapa lembaga baik itu lembaga milik pemerintah maupun lembaga milik swasta yang melaksanakan program rehabilitasi bagi remaja penyalahguna NAPZA yang mempunyai tujuan untuk memulihkan, menyadarkan dan menumbuhkan peran serta fungsi kehidupan yang normal dan dapat kembali ke dalam kehidupan yang normal serta diterima oleh masyarakat sebagai manusia yang berguna.

Dalam upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat khususnya pada kelompok berisiko tinggi dapat dilakukan melalui penyebaran informasi yang menyeluruh mengenai penyalahguna NAPZA, sehingga pada akhirnya setiap orang akan mampu melindungi dirinya sendiri. Menurut UU pokok kesehatan RI yaitu:

Tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan di dalam usaha-usaha kesehatan

masyarakat . Depkes, : .

Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu proses penyadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan adalah melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan bagian terpenting dan integral dari pembangunan nasional yang memiliki nilai dan kekuatan strategis dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam peningkatan Sumber Daya Manusia ini pemerintah terus berupaya untuk memajukan Pendidikan Nasional. Di bidang pendidikan terlihat upaya serius dari pemerintah untuk membangun Sistem Pendidikan Nasional yang mampu mendayagunakan seluruh warga negara agar turut aktif dalam pembangunan. Diupayakan pula pendekatan sinergis atau kerjasama untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar mendukung penyediaan tenaga kerja yang produktif dan efisien melalui pengembangan Pendidikan Luar Sekolah (PLS).

(21)

Pendidikan Non Formal sebagai sub Sistem Pendidikan Nasional memegang peranan penting dalam menggerakan masyarakat salah satunya melalui kegiatan pembelajaran partisipatif yang terefleksi dalam pembelajaran kelompok untuk meningkatkan pengertian, pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan pengertian PNF menurut Coombs (D. Sudjana, 2004:22) Pendidikan Non Formal adalah sebagai berikut: Pendidikan Non Formal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, diluar sistem persekolahan yang mapan dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai tidak hanya diperoleh melalui jalur pendidikan formal. Pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah pun dapat menjadikan seseorang lebih berdaya bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat. Satu pelaksanaan PLS tersebut diantaranya yaitu melalui Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

Dengan berdiam dalam suatu tempat Panti Rehabilitasi Sosial Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA diharapkan dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang berada dibawah bimbingan para ahli. Dalam pelaksanaan program rehabilitasi terdapat beberapa pendekatan seperti biologis, psikologis sosial, spritual dan religi. Salah satu metode yang digunakan dalam proses rehabilitasi dari para pecandu NAPZA adalah Metode Theurapeutic Community (TC). Metode ini dianggap lebih efektif untuk menyembuhkan serta menyadarkan para Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung. Dengan adanya metode tersebut maka Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dapat lebih mengembangkan kemampuan dirinya, memahami diri dan lingkungannya sehingga dalam indvidu terjadi perubahan sikap dan memiliki kecakapan serta mampu menerapkan pola hidup sehat serta meningkatkan kesadarannya terhadap bahaya yang ditimbulkan dari pekerjaannya tersebut. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti dan mengkaji permasalahan tentang: Efektivitas Penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) Dalam Membangun Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA (Studi di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung).

B. TUJUAN

(22)

1. Mendeskripsikan dan menganalisis persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA setelah mengikuti program pemulihan dengan menggunakan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

3. Menganalisis hubungan antara penggunaan Metode Theurapeutic

Community (TC) dengan kesadaran pada Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA

di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

C. METODE

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap dan mengkaji hubungan antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung. Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan metode penelitian yang sesuai dalam rangka memudahkan pengumpulan data sesuai dengan ketentuan dalam melakukan kegiatan penelitian. Berkenaan dengan

pendapat Suharsimi Arikunto : bahwa: Metode adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data .

Winarno Surakhmad (1990:21) memiliki definisi metode adalah sebagai berikut: Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesis dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu, cara utama ini digunakan setelah penyelidik memperhitungkan kewajarannya, ditinjau dari arti luas, yang biasanya perlu diperjelas lebih spesifik dalam setiap penyelidikan.

Berkaitan dengan uraian diatas, maka metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala yang terjadi pada saat sekarang. Dengan kata lain, penelitian deskriptif mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada suatu penelitian dilaksanakan.

(23)

situasi-situasi tertentu termasuk hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pendangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.

Dari penjelasan tersebut, maka metode deskriptif dianggap sebagai metode yang paling relevan untuk digunakan dalam penelitian. Karena penelitian ditujukan pada masalah yang tejadi pada masa sekarang dan dalam pelaksanaannya tidak terbatas pada pengumpulan data dan penyusunan data, akan tetapi lebih jauh lagi dianalisis setiap data yang terkumpul. Sejalan dengan hal tersebut, Winarno Surakhmad (1990: 140) menjelaskan ciri-ciri metode deskriptif, yaitu: (1) Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang aktual; dan (2) Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa serta menginterpretasikan hasil data. Oleh sebab itu metode ini sering dikenal dengan metode analitik.

Adapun penelitiannya adalah korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel Metode Theurapeutic Community (X) dengan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA (Y). Nana Sudjana (1989: 77) memberikan definisi mengenai metode korelasional adalah sebagai berikut: Studi korelasional adalah studi yang mempelajari hubungan dua variabel atau lebih, yakni sejauh mana variansi dalam variabel lain. Derajat hubungan antara variabel-variabel dinyatakan dalam suatu indeks yang dinamakan koefisian korelasi. Korelasi dapat menghasilkan dan menguji suatu hipotesis mengenai hubungan antar variabel .

Hal diatas dipertegas pula oleh Suharsimi Arikunto (1998: 201) mengemukakan bahwa: Penelitian yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan berapa eratnya hubungan serta berarti tidaknya hubungan itu. Studi korelasional itu digunakan untuk menelaah hubungan antara variabel-variabel ini diusahakan dengan mengidentifikasi variabel yang ada kemudian dilihat apakah ada hubungan antara keduanya.

(24)

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a) Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera Lembang

Pada mulanya, Panti ini bernama Asrama Pembangunan yang merupakan warisan dari Federal Belanda pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1955, namanya diubah menjadi Panti Karya Mulya yang berfungsi sebagai tempar transit/bimbingan sosial/keterampilan bagi Gepeng (Gelandangan dan Pengemis), pemukiman sementara wanita tuna susila (hasil razia) dan tempat latihan Satgaso (Satuan Tenaga Sosial).

Pada Tahun 1978 ditetapkan menjadi sarana rehabilitasi sosial pengemis, gelandangan dan orang terlantar (SRPGOT) Marga Mulya Lembang.

Selanjutnya berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. 58/HUK/1986 tanggal 03 Juni 1986, panti ini digunakan untuk pelaksanaan rehabilitasi sosial korban Narkotika dengan menggunakan sarana dan fasilitas SRPGOT

Marga Mulya Lembang dengan nama Sarana Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika (SRKN) Marga Mulya Lembang.

Pada Tahun 1994, berdasakan SK Menteri Sosial No. 6/HUK/1994 tentang pembentukan 18 panti di lingkungan Departemen Sosial RI, nama SRKA Marga Mulya Lembang diubah menjadi Panti Sosial Pamardi Putera Binangkit Lembang PSPP Binangkit Lembang .

Sejalan dengan Otonomi Daerah, pada tanggal 29 Februari, PSPP Binangkit diserahkan dari Departemen Sosial ke Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah provinsi Jawa Barat, Panti Sosial Pamardi Putera

Binangkit Lembang berubah menjadi Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera BPSPP Lembang Bandung.

b) Yayasan Rumah Cemara

(25)

Penyelenggaraan dan staf dari Rumah Cemara adalah mantan kelayan dari suatu panti rehabilitasi. Atas dasar keprihatinan mereka terhadap maraknya korban yang berjatuhan akibat barang haram itu, maka akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan suatu tempat pemulihan dengan Metode Theurapeutic Community (TC) yang kemudian berdirilah pusat pemulihan Rumah Cemara.

Pusat Pemulihan Rumah Cemara merupakan lanjutan atau pindahan dari panti rehabilitasi yang bernama Agung Pekerti yang terletak di Kota Bandung. Akibat manajemen yang kurang baik maka panti rehabilitasi agung pekerti dibubarkan, oleh pihak-pihak yang peduli maka sisa-sisa dari agung pekerti ini dibentuklah pusat Rumah Cemara.

Pertama kali didirikan, Pusat Pemulihan Rumah Cemara terletak di Jalan Setrasari Indah No 4 A. Kemudian karena sesuatu dan lain hal akhirnya Pusat Pemulihan Rumah Cemara berpindah tempat ke Jl. Geger Kalong Girang No 52 RT 01 Kelurahan Isola Kecamatan Sukasari Kota Bandung dibandingkan dengan bangunan di Setrasari Indah, bangunan di Gegerkalong Girang lebih luas dan lingkungannya lebih mendukung terhadap proses pemulihan, maka untuk itu penyelenggara dan staf berusaha menciptakan setting yang menyenangkan bagi para pecandu NAPZA yang ikut program pemulihan.

Hal-hal yang menjadi latar belakang berdirinya Pusat Pemulihan Rumah Cemara antara lain adalah:

1) Adanya data yang diperoleh dari rumah sakit di Bandung. Pasien ketergantungan NAPZA yang diterima pada tahun 1998 sebanyak 16 orang tahun 1999 sebanyak 104 orang, dan tahun 2002 mencapai 150 orang.

2) Kemudian di sebuah LSM Yayasan Bahtera Bandung, yang mendampingi pemakai NAPZA suntikan (IDU-Injecting Drug User) dalam rangka pengurangan bahaya, terdapat 460-an IDU yang sedang mengikuti program dampingan tersebut.

3) Di Polda Jawa Barat, 2003 terdapat 19 IDU yang sedang ditahan 4) Polwiltabes Bandung dalam 5 bulan terakhir ini menangani 63 kasus

Narkotika dengan 132 tersangka dan 34 kasus psikotropika dengan 53 tersangka. 85 % dari seluruh jumlah tersangka adalah usia produktif, yaitu 17 s/d 45 tahun.

(26)

Data-data tersebut menunjukan peningkatan pemakaian NAPZA ilegal di Bandung beserta dampak negatifnya (angka kriminalitas, kematian akibat over dosis, serta penularan virus hepatitis dan HIV) secara terus menerus. Hal inilah yang menjadi landasan Pusat Pemulihan Rumah Cemara untuk berdiri dan terus bertahan memberikan pelayanan kepada para pecandu yang ingin pulih dari ketergantungan NAPZA.

Biaya yang diperoleh untuk mendirikan Pusat Pemulihan Rumah Cemara adalah swadaya dari seluruh penyelenggara. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan kelayan (kelayan) untuk program pemulihan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga kelayan. Bahkan dengan adanya sistem subsidi siang yang ditawarkan oleh Pusat Pemulihan Rumah Cemara dapat membantu para kelayan yang kurang mampu.

Saat ini biaya yang harus dikeluarkan kelayan setiap bulannya bervariasi sekitar Rp. 150.000,00 sampai dengan Rp. 1.500.000,00/orang. Biaya yang dihimpun tersebut digunakan sebagai biaya operasional setiap bulan yang jumlahnya berkisar antara 10 juta sampai dengan 15 juta rupiah.

Status kepemilikan panti rehabilitasi seluas 900 m² ini adalah milik swasta atau masyarakat, dengan hak sewa. Yaitu gedung atau balai yang digunakan sebagai sarana program pemulihan merupakan rumah milik salah satu penyelenggara Pusat Pemulihan Rumah Cemara.Pusat Pemulihan Rumah Cemara berada di bawah naungan Yayasan Insan Hamdani Jakarta.

c) Yayasan Sekar Mawar

Yayasan Sekar Mawar adalah sebuah Yayasan Sosial yang berada di bawah naungan keuskupan Bandung yang bergerak dalam bidang pencegahan dan penanggulangan masalah penyalahgunaan dan ketergantungan pada NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya).Yayasan ini didirikan oleh para rohaniawan dan pemuka umat dari berbagai bidang keahlian dalam lingkungan keuskupan Bandung.

(27)

Yayasan Sekar Mawar memiliki dasar hukum yang melindungi dasar hukum yang melindungi berjalannya segala kegiatan yang di adakan, yaitu:

1)Akte Notaris : Nomor 35 tanggal 20 Maret 2000.

2)Notaris : Ibu Lien Tanudirdja, SH. Beralamat di Jln. Naripan 43, Bandung.

3)Terdaftar pada Direktorat Sosial Politik Propinsi Jawa Barat, dengan nomor 289/LK-Yayas/2000, tanggal 14 Oktober 2000.

2. Analisis Penelitian dan Pembahasan

a) Persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap Metode Theurapeutic Community (TC) yang diselenggarakan di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

Persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap Penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang diselenggarakan di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung cenderung tinggi. Hal ini dilihat dari skor umum responden sebesar 125.1290, apabila skor ini dibandingkan dengan skor ideal diperoleh skor kecenderungan responden sebesar 75,84 %.

Faktor-faktor yang dijadikan indikator dalam menilai efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dapat dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Pihak konselor bahwa terdapat beberapa kegiatan atau tahap yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi diantaranya: Pertama melakukan tahap pendekatan awal, yaitu mencakup kegiatan identifikasi dan pemberian motivasi pada Kelayan beserta keluarganya sebelum Kelayan mengikuti program pemulihan di Panti Rehabilitasi. Profesi yang terlibat dalam tahap ini adalah pekerja sosial dan staf lembaga lainnya. Tahap ini dilaksanakan di lingkungan masyarakat dalam rangka rekruitmen Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA.

Kedua, melakukan tahap penerimaan, yaitu mencakup kegiatan

registrasi, pengisian kontrak kerja, penyelesaian administrasi, menempatkan kelayan pada program dan penentuan pembimbing bagi kelayan setelah calon kelayan resmi diterima sebagai Kelayan. Profesi yang terlibat dalam tahap ini adalah pekerja sosial dan staf lembaga lainnya. Ketiga, melakukan tahap orientasi, yaitu mencakup kegiatan pengenalan program dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan program, serta pengenalan fasilitas yang dimiliki lembaga, termasuk pelaksanaan asesmen terhadap kelayan. Profesi yang terlibat dalam tahap ini adalah pekerja sosial, psikolog dan staf lembaga lainnya.

(28)

1)Rehabilitasi dalam bentuk kegiatan yang difokuskan pada penanaman disiplin pribadi, pemantapan perubahan tingkah laku, peningkatakan keterampilan, pembinaan mental-spiritual, bimbingan sosial dan pemberian konsultasi pada keluarga kelayan. Profesi yang terlibat adalah pekerja sosial, psikolog dan pembimbing agama dan instruktur keterampilan.

2)Resosialisasi dalam bentuk kegiatan yang dilakukan untuk melibatkan kelayan pada berbagai aktivitas sosial yang positif di luar lingkungan lembaga, yaitu melalui pelaksanaan Praktek Belajar Kerja (PBK) di perusahan-perusahaan, melakukan pembinaan terhadap lingkungan sosial kelayan, melakukan bakti sosial, menyelenggarakan pameran dan widya wisata, serta melakukan home visit. Profesi yang terlibat adalah pekerja sosial dan staf lembaga lainnya, termasuk instruktur keterampilan.

3)Bimbingan lanjut, yaitu kegiatan bimbingan lanjutan yang dilaksanakan setelah kelayan selesai mengikuti program pemulihan sosial di Panti Rehabilitasi dan kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakatnya.

b) Tingkat Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung?

Dari hasil pengolahan data mengenai variabel kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung menunjukan pada kategori yang sangat tinggi. Hal ini dilihat dari rata-rata skor umum responden sebesar 74,4194, apabila skor ini dibandingkan dengan skor ideal diperoleh skor kecenderungan responden sebesar 78,34 %. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kartini Kartono (1981: 49), yang menyatakan bahwa: kesadaran itu diartikan sebagai intensionalitas atau relasi antara subjek yang aktif

mengalami dengan objek yang dialami . Selanjutnya kartini Kartono

(1981: 6) menyatakan bahwa intensionalitas itu selalu mengandung tiga aspek yaitu aspek kognitif (pengenalan atau ginositis), aspek emosional (afektif, perasaan), dan aspek kemauan (volutif, konatif).

(29)

Timbulnya kesadaran bukan semata-mata dipengaruhi oleh penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC). 67,4 % kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Freud yang mengemukakan pendapatnya tentang kesadaran, dengan membandingkan jiwa dengan gunung es dimana bagian lebih kecil yang muncul di permukaan air menggambarkan daerah kesadaran, sedangkan massa yang jauh lebih besar di permukaan air menggambarkan daerah ketidaksadaran. Dalam daerah ketidaksadaran yang sangat luas ini ditemukan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide dan perasaan yang ditekan suatu dunia bawah yang berisi kekuatan-kekuatan vital yang tak kasat mata yang melaksanakan kontrol penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan dasar individu. Dari pendapat Freud tadi, dapat diketahui bahwa ketidaksadaran dapat memberikan kontrol dan dorongan-dorongan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan individu. Hal ini dapat dilihat dari tingkat korelasi sebesar r = 0,571. Sedangkan daerah kesadaran yang diibaratkan gunung es tadi hanya mempu memberikan pengaruh sebesar 32,6 %.

c) Apakah tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dipengaruhi oleh penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC)?

Penelitian yang dilakukan mengajukan satu hipotesis, hasil analisis ini membuktikan hipotesa penelitian yang menyatakan bahwa: Terdapatnya hubungan yang berarti antara penggunaan Metode

Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran Kelayan Eks

Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung . Dari

pengujian yang dilakukan hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini diterima, hipotesis yang menguji kedua variabel X dan Variabel Y dibuktikan dengan mengujikan t hitung yang memperoleh nilai lebih besar dari t tabel pada tingkat kepercayaan 95 % dengan dk = 60.

Hasil analisis data penelitian mengenai penggunaan Metode

Theurapeutic Community (TC) dalam membangun kesadaran Kelayan

(30)

di Panti Rehabilitasi sebesar 100 %, maka kesadaran akan meningkat sebesar 76,5 %. Berarti efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic

Community (TC) dapat meningkatkan kesadaran Kelayan Eks

Penyalahguna NAPZA. oleh karena itu semakin tinggi efektivitas penggunaan Metode Theurpeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi maka semakin tinggi pula kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA untuk tidak kembali lagi mengkonsumsi NAPZA. Dengan demikian, untuk menaikan tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA perlu lebih ditingkatkan mengenai efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti-panti Rehabilitasi Wilayah Bandung.

Pada perhitungan koefisien determinasi menunjukan bahwa efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA adalah 32,6 % sedangkan sisanya 67,4 dipengarui oleh faktor lain. Berdasarkan kontribusi tersebut diatas, penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA, namun penggunaan Metode Theurapeutic

Community (TC) perlu ditingkatkan dalam membangun kesadaran

Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA.

(31)

E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah diolah dan dianalisis pada BAB IV disimpulkan bahwa penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung berada pada kategori tinggi. Hal ini didukung oleh adanya pendapat responden yang mengatakan bahwa penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) sangat efektif karena dalam pelaksanaannya lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan kelompok yang menekankan prinsip-prinsip self-help (bantu diri). Kegiatan kelompok yang dilaksanakan oleh Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial misalnya adalah: Morning Meeting, Encounter Group,

Peer/Personal Accountability Group Evaluation (P.A.G.E.), Static Group,

Evening Wrap Up, Weekend Wrap Up, Discussion Group, Seminar Group.

Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA memiliki kecenderungan tinggi. Hal ini didukung oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Persepsi melalui adanya suatu pemberian makna yang ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional, sehingga persepsi bersifat subjektif. Hal inilah yang memungkinkan adanya persepsi yang bersifat positif atau negatif. Apabila yang dipersepsikan berupa informasi tentang bahaya NAPZA dari proses pemaknaan sensasi, maka apabila seseorang berhasil memperoleh pemaknaan yang positif dari penyampaian informasi tersebut, dengan mudah akan sampai pada proses penyadaran, (2) memori dilakukan Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dengan merekonstruksi seluruh masa lalu dari satu petunjuk memori kecil yaitu dengan cara membuang kenangan-kenangan yang negatif ketika mengkonsumsi NAPZA, (3) partisipasi dilakukan oleh Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dengan mengikuti setiap kegiatan yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi Sosial. Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA berpartisipasi aktif dalam melaksanakan semua kegiatan tersebut karena mereka memiliki motivasi yang kuat.

Hasil Uji Empiris menyatakan bahwa pengaruh yang dihasilkan oleh Metode

Theurapeutic Community (TC) terhadap kesadaran Kelayan Eks

(32)

2. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dibuat rekomendasi untuk para pihak yang terkait diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Bagi Lembaga Penyelenggara

Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi di Panti yang dilakukan terhadap Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA pihak pengelola lembaga harus lebih semakin profesional dalam melaksanakan program Rehabilitasi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dengan menggunakan Metode Theurapeutic Community (TC).

b) Bagi Konselor

Peran konselor dalam penggunaan Metode Theurapeutic Community

(TC) sangat besar sehingga konselor harus memusatkan perhatian pada peningkatan kesadaran dan pemahaman kelayan untuk tidak kembali lagi mengkonsumsi NAPZA. Konselor harus lebih banyak terlibat di dalam pelaksanaan Metode Theurapeutic Community (TC) sehingga mampu meningkatkan motivasi dan kesiapan kelayan dalam mengikuti program pemulihan dan menjaga agar kelayan selalu berada dalam kondisi yang memiliki motivasi dan kesiapan yang cukup tinggi dalam mengikuti program pemulihan.

c) Bagi Kelayan

Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terbentuk karena adanya penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC). Oleh karena itu Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA diharapkan agar dapat mengikuti kegiatan dengan baik, memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk berubah dengan memperbaiki diri agar benar-benar dapat melepaskan diri dari ketergantungan NAPZA, dapat mengisi waktu luang dengan kegiatan positif terutama setelah selesai menjalani terapi dan rehabilitasi serta berada kembali di tengah-tengah kehidupan masyarakat, serta setelah keluar dari Panti Rehabilitasi Sosial harus terus mempertahankan keinginan untuk tidak menggunakan NAPZA lagi, menjalankan ajaran agama dan mentaati norma-norma yang berlaku di masyarakat.

d) Bagi Masyarakat

Penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan dalam penyembuhan Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Sehingga apabila ada anggota keluarga yang terkena NAPZA dapat mengikuti kegiatan Rehabilitasi di Panti Rehabilitasi Sosial yang menggunakan Metode

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (1990). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.

Badan Narkotika Nasional. (2007). Kamus Istilah Tentang dan Yang Berhubungan Dengan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif Lainnya, Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional. (2007). Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA, Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional. (2007). Memilih Lingkungan Bebas Narkoba, Jakarta: BNN. Badan Narkotika Nasional. (2007). Pedoman Pelaksanaan P4GN Melalui Peran Serta

Kepala Desa/Lurah Babinkamtibmas dan PLKB di Tingkat Desa atau Kelurahan, Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional. (2007). Pencegahan Penyalahgunaan NARKOBA Sejak Usia Dini, Jakarta: BNN.

Balai Pemulihan Sosial Pamardin Putera.(2006). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Peningkatan Penanganan Anak Nakal dan Korban Narkotika Jawa Barat Tahun Anggaran 2006, Bandung: BPSPP.

Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat Subdin Pemulihan Sosial Seksi Pemulihan Anak Nakal dan Korban Narkotika. (2005). Pedoman Metode Dua Belas Langkah Pada Rehabilitasi Korban NAPZA Melalui Pendekatan Pekerjaan Sosial, Jakarta: Dinsos.

Direktorat Jendral Pelayanan Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA Departemen Sosial RI. (2003).Standarisasi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA Dalam Panti, Jakarta: Depsos RI

Direktorat Jendral Pelayanan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI. (2003). Metode Theurapeutic Community (Komunitas Terapeutic) Dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan NAPZA, Jakarta: Depsos RI.

Fakih., et, al. (2001). Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Yogya: Insist. Gerungan .W.A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.

Hamalik, O. (1999). Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara.

Hariworjanto-S, K. (1987). Metoda Bimbingan Sosial Masyarakat. Bandung. PT. Bale Bandung.

Harvill, Jacobs & Masson. (2000). Group Counseling: Strategies & Skills. Virginia: Brooks/Cole Publishing Company.

Hastuti, P (2005). Metode Theurapeutic Community pada rehabilitasi Korban NAPZA Melalui Pendekatan Pekerjan Sosial. Bandung. Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat.

Hatimah, I. (2000). Strategi dan Metode Pembelajaran PLS. Bandung: Andira.

Hawari, D. (2003). Penyalahgunaan Narkotika atau obat Keras dan penanggulangannya. Jakarta: Gramedia.

Hidayat, T. (2000). Materi Simposium Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba. Bekasi : Yayasan Tunas Harapan Bangsa.

Idochi-Anwar, M. (2003). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta.

(34)

Kartaatmaja, R. (2002). Pekerjaan Sosial. Bandung. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.

Kartono, K (1987). Patologi Sosial 3 Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta: CV. Rajawali.

Kusuma, W (2008). Pengantar Psikologi. (Edisi Kesebelas). Batam: Interaksara.

Mercer, D.E & Woody, G. E. 2000. Individual Drugs Counseling: Therapy Manual For Drugs Addiction Series. Maryland: U.S. Departemen of Health And Human Services.

Nazir, M. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nasution, S. (2003). Metode Research (penelitian ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Sosial. (1997). Pedoman Dukungan Keluarga (Family Support) Dalam Rehabilitasi Sosial Bagi Penyalahguna NAPZA,

Bandung: Dinas Sosial

Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Sosial. (1997). UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Bandung: Dinas Sosial

Poerwadarminta. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007. (2007). Perlindungan Anak. Bandung:

Citra Umbara.

Pramesti, G. (2006). Panduan Lengkap SPSS 13.0 dalam Mengolah Data Statistik. Jakarta. Elex Media Komputindo

Rakhmat, J. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Simanjuntak, B. (1991). Pengantar Kriminologi & Pathologi Sosial. Bandung: Tarsito. Stanislaus-S, U. (2006). Pedoman Analisis Data Dengan SPSS. Yogyakarta. Graha Ilmu. Sudjana, D. (2003). Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan

Filsafah dan Teori Pendukung Azas. Bandung: Nusantara Press.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Surachmad, W. (1998). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Syamsudin-M, A. (2001). Psikologi Kependidikan. Bandung. Remaja Rosda Karya. Togar-M, S. (2007). Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Bagi Pemuda.

Jakarta. Badan Narkotika Nasional (BNN).

Triyanti, W. (2004). Pengaruh Kredibilitas Pengelola Terhadap Peningkatan Kesadaran Orang Tua Dalam Mengikutsertakan Anaknya Pada Program PAUD di Kecamatan Lembang. Skripsi pada FIP/PLS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Universitas Pendidkan Indonesia. (2007). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI

UU RI. No 5 Th. 1997. (2007). PSIKOTROPIKA. Bandung: Citra Umbara UU RI No 22 Th. 1997. (2007). NARKOTIKA. Bandung: Citra Umbara

(35)
(36)

STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEAKSARAAN TINGKAT

LANJUTAN MELALUI

VOKASIONAL SKILL

MENJAHIT

DI PKBM ASH-SHODDIQ

DESA PAGERWANGI KECAMATAN LEMBANG

KABUPATEN BANDUNG

Oleh: Purnomo,S.Pd,M.Pd

Dosen PS-PLS STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Masalah pokok berfokus pada bagaimana strategi pembelajaran keaksaraan tingkat lanjutan,

melalui vokasional skill menjahit. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1)

Untuk mendeskripsikan perencanaan pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan

melalui vocational skills menjahit yang dilakukan oleh PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi

Kecamatan Lembang. 2) Untuk mendeskripsikan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan yang dilakukan PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang. 3) Untuk mendeskripsikan hasil yang diperoleh setelah dilaksanakan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit oleh PKBM Ash-shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang.

Landasan teoritis yang mendasari penelitian ini adalah Peranan Pendidikan Nonformal dalam

Pendidikan Nasional, Strategi Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan, dan Konsep Vokasional

Skill.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga belajar keaksaraan pasca tingkat dasar yang berjumlah 8 orang, pengelola program berjumlah 1 orang, tutor berjumlah 1 orang, sehingga populasi berjumlah 10 orang. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.

Penelitian strategi pembelajaran dimulai dari tahapan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, serta evaluasi dan hasil pembelajaran. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, studi dokumentasi, studi literatur, catatan lapangan dan format penilaian disertai dengan soal-soal evaluasi sumatif keaksaraan tingkat lanjutan melalui

vokasional skill menjahit.

Berdasarkan data dan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa strategi pembelajaran

keaksaraan tingkat lanjutan (pasca tingkat dasar) melalui vokasional skill menjahit menjadi salah

satu pendekatan yang tepat dalam proses pembelajaran keaksaraan. Permasalahan dalam belajar yang dirasakan oleh warga belajar, terutama berkaitan dengan psikologisnya seperti rasa jenuh,

bosan dan susah mengingat dapat teratasi dengan menggunakan pendekatan vokasional skill

menjahit. Selain itu warga belajar memiliki dua kemampuan, yakni kemampuan keaksaraan (membaca, menulis, berhitung) dan keterampilan dasar menjahit

Gambar

Tabel
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
+5

Referensi

Dokumen terkait

nyata calistung yang telah dicapai oleh warga belajar. Lakukan penilaian pada setiap akhir pembelajaran untuk. memastikan apakah yang dipelajari sudah bisa atau belurn.

Qasmi) Cha.irman OfpaTtment

Kesuksesan permainan ini bergantung kepada kecepatan dan perhitungan sang pemain agar ular yang dikontrolnya tidak terjebak dinding atau bagian tubuhnya sendiri.Algoritma

Perontokan dengan power thresher menghasilkan gabah tidak terontok yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara manual (0,18 % Tabel 2.. Pengaruh Waktu Penundaan dan

Penentuan banyaknya faktor yang dilakukan dalam analisis fak- tor adalah mencari variabel terakhir yang disebut faktor yang tidak saling berkorelasi, bebas satu sama lainnya dan

Berdasarkan hasil analisis mean menunjukkan bahwa variabel yang memiliki tingkat kepuasan yang terendah yaitu variabel pekerjaan pada item 8 yang menyatakan bahwa saya

2= sangat mudah dilakukan 3= mudah dilakukan 4= cukup mudah dilakukan 5= agak mudah dilakukan 6= cukup sulit dilakukan 7= sulit dilakukan 8= sangat sulit dilakukan 9=

1) Perencanaan pengembangan lembaga litbang agar dapat menjadi Pusat Unggulan Iptek. 2) Program dan kegiatan yang akan dikembangkan harus mengacu pada tema riset