• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Al-Falah di Desa Kauman Lor Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang pada Tahun 1980-2010 T1 152008012 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Al-Falah di Desa Kauman Lor Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang pada Tahun 1980-2010 T1 152008012 BAB IV"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al-Falah

1. Asal-usul pesantren dan perkembangannya

Agama Islam di Indonesia pertama kali dibawa oleh kaum Gujarat dari

India, kemudian dengan perkembangannya agama Islam juga dibawa dari

kaum Arab, Palestina, dan Iran. Proses Islamisasi di Indonesia sangat

mempengaruhi pendidikan Islam tergantung dari pengaruh Islam di suatu

tempat dan pembawanya. Pendidikan Islam yang dikembangkan oleh Sunan

Giri berbeda dengan pendidikan Islam yang diajarkan oleh para Wali. Islam

yang dikembangkan oleh Sunan Giri melalui sistem pondok pesantren yang

banyak dijumpai di Madura, Lombok, dan Makassar, sedangkan pendidikan

Islam yang diajarkan oleh Wali Songo bersifat sinkritisme dilakukan di Pulau

Jawa.

Pesantren sebagai pusat pendidikan pada umumnya terdapat di luar kota

sebagai pusat pendidikan tradisional untuk masyarakat pedesaan. Pendiri dan

pemimpin pesantren ialah Wali yang kemudian diwariskan pada Kyai. Wali

dianggap memiliki kekuatan gaib dan sakti sehingga sangat dihormati. Kyai

mempunyai pengetahuan yang dalam tentang agama Islam dan kekuatan

magis dan ilmu kekebalan.

Wali dalam bahasa Arab adalah seseorang yang dipercaya atau

(2)

wal yu 'll h. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan Waliallah memiliki arti yaitu

orang yang beriman dan bertakwa. “Ingatlah sesungguh wali-wali Allah itu

tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.

Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus 10:62).

Sedangkan pengertian kyai secara luas adalah orang yang memahami agama

Islam secara mendalam dan telah melakukan hijrah ke Mekkah dan kemudian

ia akan mendapat sebutan “Haji”.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah

yang panjang dan unik. Hal yang unik pada kehidupan pesantren akan begitu

banyak memberikan variasi antara satu pesantren dengan pesantren lainnya.

Meskipun demikian dalam berbagai aspek dapat ditemukan aspek

kesamaan-kesamaan umum antara pesantren yang satu dengan yang lainnya. Fungsi

utama dari pendidikan Islam pondok pesantren sebagai lembaga suatu

lembaga pendidikan Islam yaitu untuk mencetak generasi muslim yang

memiliki dan menguasai ilmu-ilmu agama. Sejak dilancarkannya

modernisasi, pendidikan pesantren diharapkan tidak hanya memelihara

tradisi-tradisi ke-Islaman serta mencetak kader-kader ulama, akan tetapi lebih pada

fungsionalisasi sebagai pusat pengembangan masyarakat. Dalam upaya

fungsionalisasi, pesantren dituntut mampu mengikuti dan menguasai

perkembangan melalui pembelajaran yang efektif merujuk pada program

kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkan oleh pondok pesantren

(3)

Pesantren pada dasarnya adalah kombinasi yang harmonis antara budaya

asli Indonesia Indegeneus Culture dengan budaya asli Timur Tengah,

sehingga di samping bernuansa ke-Indonesiaan juga bernuansa ke-Islaman,

akan tetapi untuk melakukan rekontruksi intitusi pendidikan perlu

mempertimbangkan sistem pesantren dengan mempertahankan tradisi belajar

kitab-kitab klasik ditunjang dengan upaya internalisasi unsur keilmuan

modern. Pesantren dijadikan sebagai modal awal, sebab disamping sebagai

warisan budaya Indonesia, pesantren juga menyimpan potensi kekayaaan

khasanah Islam klasik yang terletak pada tradisi belajar kitab kuningnya

(Mastuhu, 1994: 130).

Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya untuk memberikan bimbingan

dan fasilitas dalam rangka mengembangkan potensi fitrah siswa atau santri,

agar menjadi sumber daya insani yang berkualitas dan mempunyai kompetensi

untuk kesempurnaan manusia yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah

serta kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya

jika dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyrakat yang

melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukkan adanya kecocokan nilai

lembaga pendidikan bersangkutan dan masyarakatnya, setidaknya tidak saling

bertentangan. Lebih dari itu suatu lembaga pendidikan akan diminati oleh

anak-anak, orang tua, dan seluruh masyarakat apabila mampu memenuhi

kebutuhan mereka akan kemampuan ilmu dan teknologi untuk menguasai

(4)

moral sosial budaya untuk menempatkan diri mereka di tengah-tengah

pergaulan mereka sebagai manusia (Ridlwan Nasir, 2005: 7).

Dinamika sistem pendidikan pondok pesantren dimulai dari pergeseran,

perubahan, dan perkembangan pesantren dari masa ke masa sesuai dengan

perkembangan zaman. Kualitas dari dinamika pendidikan sistem pendidikan

pesantren tergantung pada kualitas dari seorang pemimpinnya yaitu kualitas

seorang kyai sebagai sosial aktor, mediator, dinamisator, motivator, maupun

sebagai Power (kekuatan) dengan kedalaman ilmu yang di miliki kyai dan

wawasan barunya tentang pendidikan.

Seorang pemimpin apabila mempunyai wawasan yang luas maka mereka

akan cepat mengantisipasi masalah yang ada didalam lembaga yang ia pimpin.

Seorang kyai apabila ia memiliki wawasan luas ia juga akan mengantisipasi

adanya suatu pendapat yang mengatakan bahwa keluaran atau alumni pondok

pesantren tidak berkualitas, maka seoarang kyai akan mengantisipasi dengan

perubahan-perubahan di segala bidang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Kyai yang berpegang pada kaidah dalam menjaga kontinuitas sosial, yaitu

memelihara yang baik dari tradisi-tradisi lama, dan mengambil hal-hal yang

lebih baik dari perubahan-perubahan baru.

Kaidah inilah yang menjadikan pondok pesantren maju dan tidak

kehilangan ciri khususnya. Seorang kyai yang memegang teguh kaidah, maka

apabila menghadapi hal-hal baru akan segera mengevaluasi dan menyaring,

apakah hal tersebut lebih baik dari tradisi lama sebagai sebagai kekhususan

(5)

lama, maka tradisi lama yang akan dipegang teguh, namun bila baru ternyata

benar-benar lebih baik dari tradisi lama, maka hal-hal baru akan diterima.

2. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Falah

a. Letak Geografis

Pondok Pesantren Al-Falah yang berada di bawah asuhan Bapak KH. M

Ghozi Harun terletak di Desa Kauman Lor RT.03/RW. 01 Kecamatan Pabelan

Kabupaten Semarang. Letak pondok pesantren Al-Falah sangat strategis. Desa

Kauman Lor terletak disebelah utara kota Salatiga, di samping terletak didekat

jalan raya, Pondok pesantren ini juga berada didekat Masjid Agung Kauman

Lor, sehingga dengan mudah dijangkau dari beberapa daerah.

b. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Falah

Nama dari pondok pesantren Al-Falah berasal dari bahasa Arab yang

terdapat dalam Al-Qur’an yaitu surat Al-Falaq yang artinya bahwa Tuhan

memiliki shubuh dari segala kejahatan. Maksud dari surat Al-Falaq tersebut

yaitu bahwa manusia harus selalu berlindung kepada Allah karena Allah

adalah maha memiliki dan maha mengetahui apa yang belum engkau ketahui.

Dengan demikian maka pondok pesantren Al-Falah berharap bahwa pondok

pesantren yang didirikan akan menjadi pelindung bagi masyarakat sekitar dari

segala kejahatan yang dilarang oleh agama. Pondok Pesantren Al-Falah mulai

didirikan pada tahun 1930. Pengasuh atau pemimpin pondok pesantren

Al-Falah yang pertama adalah KH. Mashadi yang mana KH. Mashadi adalah

(6)

Munculnya pondok pesantren Al-Falah tidak terlepas dari kondisi

objektif masyarakat sekitarnya. Kondisi masyarakat pada saat itu masih minim

sekali dengan beragam aktivitas religius. Sebaliknya masyarakat sangat akrab

dengan kebiasaan-kebiasaan buruk sehingga mendorong seorang dermawan

yang bernama Mbah Durokhim untuk mendirikan pondok pesantren sebagai

lembaga keagamaan untuk tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan

keagamaan. Mbah Durokhim mewakafkan sebagian tanahnya untuk didirikan

pondok pesantren, kemudian Mbah Durokhim mencari seorang kyai yang

pada akhirnya mbah durokhim bertemu dengan KH. Mashadi yang mana KH

Mashadi ini berasal dari Kota Salatiga tepatnya di Desa Pulutan Salatiga. KH

Mashadi kemudian menerima permintaan mbah durokhim untuk menjadi

seorang kyai di Desa Kauman Lor, KH Mashadi diminta oleh Mbah Durokhim

untuk memilih tanah yang layak untuk dijadikan pondok pesantren.

KH Mashadi memilih tanah di tengah-tengah perkampungan masyarakat

dan jaraknya tidak terlalu jauh dari jalan raya Salatiga-Bringin. Ini diharapkan

agar pondok pesantren Al-Falah mudah dijangkau oleh masyarakat sekitar dan

masyarakat luas. Berdirinya pondok pesantren Al-Falah ini merupakan bukti

perhatian masyarakat yang masih minim dengan aktivitas religius tersebut.

Dan tujuan utama didirikannya pondok pesantren Al-Falah yaitu untuk

mengembangkan agama Islam di Desa Kauman Lor yang mana kondisi

masyarakatnya pada masa itu masih minim sekali pemahamannya tentang

(7)

Pada awalnya KH. Mashadi mengadakan pengajian rutin setiap hari

Selasa dan Minggu di Masjid Agung Kauman Lor yang dihadiri oleh

masyarakat Kauman Lor serta masyarakat luar. Kegiatan lain seperti pelajaran

nahwu, shorof, mriti, jurumiah yang diselenggarakan masih sederhana di

lingkungan masjid sekitar, sehingga terkesan natural dan belum terbentuk

semacam lembaga pendidikan keagamaan yang formal. Fasilitas dan prasarana

yang tersedia sangat terbatas contohnya pengajaran masih dilakukan di dalam

masjid dan belum ada ruangan untuk sekolah Madrasah diniyyah. Namun

dengan berbagai kesederhanaan ini tidak menghambat proses pendidikan dan

pengajaran sebagai nadi dan misi utama pesantren. Dalam perkembangannya

kegiatan tersebut berkembang menjadi sebuah pondok pesantren Al-Falah.

B. Perkembangan Pondok Pesantren Al-Falah dari Masa Perintisan sampai Pada Masa Pembaharuan.

a. Masa Perintisan

Pada masa perintisan ini dimulai dari tahun 1930 ini merupakan

masa-masa pembibitan dan penanaman dasar-dasar berdirinya sebuah wadah

pendidikan dalam bentuk pendidikan dalam bentuk pesantren. Pemimpin yang

pertama mendirikan lembaga pendidikan ini adalah KH Mashadi yang berasal

dari Salatiga. Pada masa perintisan ini KH Mashadi dibantu masyarakat

sekitar untuk mendirikan lembaga pendidikan keagamaan. KH Mashadi

menyadari bahwa di desa Kauman Lor pada saat itu masih sangat minim

sekali pengetahuan tentang agama Islam. Masyarakat di desa Kauman Lor

(8)

agama Islam di desa tersebut, maka pada tahun 1930 didirikanlah pondok

pesantren yang diberi nama pondok pesantren Al-Falah. KH. Mashadi dalam

menyebarkan agama Islam di Desa Kauman Lor juga di dampingi seorang istri

yang bernama Nyai Nafsiah selain itu juga para putra putri KH. Mashadi juga

mendukung ayahnya dalam menyebarkan agama Islam di Desa Kauman Lor.

Di desa itulah kemudian mulai dirintis pengajian-pengajian yang

bersifat umum, sorongan, bandongan maupun klasikal. Pengajian umum

biasanya diselenggarakan seminggu dua kali yaitu pada hari selasa dan hari

minggu. Dan setiap subuh biasanya dilakukan pengajian sistem sorongan dan

klasikal dengan materi Al Qur’an. Selain itu, pada siang hari berlangsung

pembelajaran tentang Kodriah Nagsobandiah, Fikih, Akhlak dan Tasawuf.

Pada masa KH Mashadi pondok pesantren Al-Falah yang mengajar semua

materi pelajaran hanya diajarkan oleh KH Mashadi sendiri tanpa di bantu oleh

orang lain.

Pada masa KH. Mashadi banyak orang yang datang di pondok pesantren

Al-Falah untuk memahami agama Islam. Pada masa selanjutnya dengan

kondisi KH Mashadi yang tidak sekuat dulu, kemudian pondok pesantren di

serahkan oleh KH Masrur yang dibantu oleh KH Abdul Rozak dan KH Jupri

yang berasal dari Salatiga. Kepengurusan pondok pesantren Al-Falah di

serahkan kepada KH. Masrur dan KH. Abdul Rozak pada tahun 1980

dikarenakan putra dari KH. Mashadi meninggal dunia pada usia yang masih

muda sehingga KH. Mashadi memberi kepercayaan kepada KH. Masrur dan

(9)

dan KH Abdul Rozak sendiri adalah teman dari KH Mashadi sehingga KH.

Mashadi mempercayakan Pondok pesantren Al-Falah untuk diasuh oleh

mereka.

Pada masa kepengurusan KH. Masrur pondok pesantren Al-Falah

mengalami kemajuan selain pondok pesantren KH. Masrur mendirikan

Madrasah Diniyyah dan taman pendidikan Al Qur’an yang di beri nama

Madrasah Diniyyah Faalahiyyah, selain mendirikan Madrasah Diniyyah dan

taman pendidikan Al Qur’an KH. Masrur juga mendirikan Panti Asuhan

ARRI’AYAH. Pada dasarnya kedua lembaga tersebut berpacu pada pondok

pesantren Al-Falah. Sistem pelajaran yang diajarkan oleh KH. Masrur dan KH

Abdul Rozak prinsipnya masih sama dengan yang diajarkan oleh KH.

Mashadi namun yang membedakan adalah sistem Madrasah Diniyyah dan

panti asuhan sehingga menjadikan pondok pesantren lebih di kenal oleh

masyarakat luas. Pada masa kepengurusan KH Masrur dan KH Abdul Rozak

pembelajarannya lebih diutamakan pada sistem akhlak dan tingkah laku para

santri, yang mana pelajaran akhlak sangat penting untuk pedoman hidup

dalam bermasyarakat.

Pondok pesantren pada masa pengasuhan KH. Masrur dan KH. Abdul

Rozak mengalami kemajuan sehingga menjadikan banyak orang yang ingin

menimba ilmu agama di pondok pesantren Al-Falah, selain itu KH. Masrur

Dan KH. Abdul Rozak dan dibantu oleh KH. Jupri merenovasi masjid yang

berada disekitar pondok pesantren karena tidak cukup untuk menampung

(10)

Pada masa membangun masjid masyarakat Kauman Lor sangat membantu

baik dari segi materi maupun non materi selain itu masyarakat juga sangat

antusias dalam pembangunan masjid karena masjid tersebut adalah

satu-satunya masjid yang ada di desa Kauman Lor. Perkembangan pondok

pesantren pada masa pengasuhan KH. Masrur dan KH. Abdul Rozak yang

juga dibantu oleh KH. Jupri sangat mengalami kemajuan namun karena

keadaan mereka yang tidak sekuat dahulu kemudian kepengurusan pondok

pesantren diberikan pada KH. Naf’an, KH. Abdul Jalil dan KH. Ghozi Harun

pada tahun 2001. Kepengurusan pondok pesantren Al-Falah sampai sekarang

masih diasuh oleh ketiga kyai tersebut, namun kepengurusan pondok

pesantren diasuh oleh KH. Ghozi Harun. Pada masa kepengasuhan ketiga

kyai tersebut pondok pesantren juga mengalami kemajuan yang pesat yang

mana banyak santri-santrinya datang dari berbagai daerah bahkan ada yang

berasal dari luar pulau Jawa.

Kepemimpinan yang diterapkan oleh ketiga kyai tersebut menjadikan

pondok pesantren Al-Falah menjadi satu-satunya lembaga non-formal di

bidang pendidikan dalam hal keagamaan yang mendapat banyak dukungan

dari masyarakat luas, bahkan setiap ada acara keagamaan pondok pesantren

Al-Falah menjadi satu-satunya pondok pesantren yang dipercaya untuk

menjadi tuan rumah. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh ketiga pengasuh

pondok pesantren hampir sama namun yang membedakan dalam materi

pembelajarannya. Materi pembelajarannya yang di tambah adalah Hadist,

(11)

Mutamimmah, Alfiah, selain kegiatan belajar mengajar yang dilakukan

didalam kelas ada juga kegiatan yang dilakukan di luar kelas seperti kegiatan

Akhirusannah dan kegiatan Jum’at sore yang mana santri-santri ikut

berpartisipasi dalam kegiatan tersebut (KH. Ghozi Harun, 09-08-2010).

Proses belajar mengajar biasanya selain di dalam kelas juga dilakukan di

Masjid. Pengajian umum yang dilaksanakan dipondok pesantren Al-Falah

dilaksanakan setiap malam sabtu. Pengajian umum selain diikuti oleh

masyarakat sekitar masjid juga diikuti oleh masyarakat yang berasal dari luar

desa Kauman Lor. Dan kegiatan belajar Tafsir Al Qur’an biasanya dilakukan

setiap habis shalat subuh. Di pondok pesantren Al-Falah selain ilmu agama

Islam juga diajarkan ketrampilan. Kegiatan belajar ketrampilan tangan

biasanya diajarkan setiap hari Jum’at. Ketrampilan yang diajarkan antara lain

ketrampilan menjahit dan ketrampilan dalam bidang mekanik motor.

Ketrampilan yang diajarkan di luar kegiatan yang ada di dalam pondok

pesantren diharapkan dapat membantu para santri-santrinya untuk terjun ke

dalam masyarakat, Sehingga dengan adanya kegiatan yang dilakukan di luar

kegiatan pondok pesantren banyak para santri-santrinya diminta bantuannya

seperti membuatkan baju seragam anak sekolah TPA yang ada di sekitar desa

Kauman Lor. Dengan hasil yang dicapai para santri menjadikan bekal mereka

untuk terjun kedalam masyarakat maupun untuk terjun kedunia kerja yang

memerlukan tantangan yang cukup keras sehingga dengan keahlian yang

dimiliki oleh para santri akan menjadi jawaban dari tantangan tersebut (KH.

(12)

Dalam melaksanakan kegiatan di luar pondok pesantren biasanya para

santri sangat antusias dalam mengikuti pelajaran jahit menjahit bahkan para

santrinya sangat memperhatikan praktek yang diajarkan oleh guru privat.

Dalam melaksanakan kegiatan tersebut jika ada salah satu santri yang

terlambat biasanya santri tersebut di hukum, biasanya hukumannya adalah

menghafal ayat-ayat Al Qur’an. Untuk memberi tanda masuk dalam pelajaran

tambahan digunakan tanda bel sehingga para santri dapat mengetahui bahwa

kegiatan belajar menjahit sudah dimulai. Dan selain kegiatan belajar menjahit

ada juga pelajaran mekanik motor yang mana gurunya juga berasal dari luar

pondok pesantren. Pelaksanaannya dilakukan setelah selesai kegiatan

ketrampilan menjahit. Pelajaran non-formal ketrampilan menjahit

dilaksanakan setiap hari Jum’at.

Pondok pesantren Al-Falah menyelenggarakan kegiatan non-formal

karena pondok ingin menyiapkan para santri setelah lulus dari pondok mereka

memiliki ketrampilan. Maka dengan ketrampilan yang dimiliki nantinya akan

menjadi bekal untuk masa depan. Selain itu pondok pesantren Al-Falah

menyelenggarakan kegiatan non-formal tentunya untuk menarik perhatian

masyarakat terhadap pondok pesantren Al-Falah. Selain itu,orang tua santri

mempercayakan anak-anak mereka di pondok pesantren.

Materi yang diajarkan pada kegiatan ketrampilan menjahit antara lain

membuat pola dasar, membuat legan badan dan lengan belakang, membuat

rok dan jenis-jenis rok, membuat celana pendek, dan membuat baju kebaya

(13)

motor bakar dan jenis bahan bakar, Dasar-dasar kontruksi motor bakar,

sistem-sistem yang terpenting dalam motor bakar, memahami mesin yaitu

kepala silinder dan klep-klep, silinder dan piston, kopling dan memindahan

transmissi, alternator, kopling stater dan penegang rantai mesin dan poros

engkol, transmissi dan kick stater, selain pelajaran tentang mesin juga

diajarkan tentang alat ukar.

Kegiatan pendidikan mekanik motor diikuti dari berbagai daerah yang

ada disekitar pondok pesantren Al-Falah. Peserta yang ikut berpartisipasi

dalam kegiatan pendidikan mekanik motor antara lain para santri yang ada di

pondok pesantren dan yang berasal dari masyarakat biasa. Kegiatan yang

direncakan oleh pondok pesantren Al-Falah ini mendapat dukungan dari

masyarakat luas. Dengan bukti bahwa kegiatan mekanik motor tersebut diikuti

oleh masyarakat luas, selain pelajaran mekanik motor pelajaran tentang

ketrampilan menjahit juga mendapat respon dari masyarakat luas yang mana

kegiatan tersebut juga diikuti dari berbagai kalangan masyarakat. Peserta

ketrampilan menjahit selain khusus untuk para santri pondok pesantren juga

diikuti oleh pemuda dan ibu rumah tangga yang berada di sekitar pondok

pesantren. Dengan adanya kegiatan-kegiatan diluar pondok pesantren

mengakibatkan pondok pesantren Al-Falah lebih dikenal oleh masyarakat luas.

Pondok pesantren Al-Falah dalam asuhan ketiga kyai yaitu KH. Masrur,

KH. Naf’an, KH. Ghozi Harun sudah mengalami renovasi fisik bangunan

sekolah dan masjid. Pada bangunan masjidnya sudah beberapa kali dilakukan

(14)

tahun 1986 sampai tahun 1990 dan yang kedua pada masa KH Naf’an yaitu

pada tahun 2008 dan yang terakhir pada mas KH Ghozi Harun pada tahun

2012. Dalam proses renovasi masjid dan pondok pesantren biaya

pembangunan ditanggung oleh masyarakat kauman lor dan dari

donatur-donatur setempat, sedangkan dalam proses pengerjaannya masyarakat sekitar

dibantu oleh tukang bangunan sehingga pembangunan masjid dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Dengan demikian maka peran masyarakat

sangat penting dalam perkembangan pondok pesantren Al-Falah.

C. Struktur Organisasi Kepengurusan Pondok Pesantren Al-Falah

Pada masa kepengasuhan KH Masrur pada tahun 1980 struktur

keorganisasian belum tertulis, namun berdasarkan pada kesadaran

masing-masing orang. Untuk mengetahui siapa pengasuh yang paling tinggi

berdasarkan pada pesan Kyai terdahulu. Sekarang struktur keorganisasian

lebih mudah dipahami dan cara kerjanya juga berdasarkan pada bagian apa

yang mereka jabat saat ini. Sebelum dijelaskan struktur organisasi

kepengurusannya, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang dasar dan

tujuan pondok pesantren ini merupakan beberapa kriteria secara eksplisit oleh

para sesepuh pondok pesantren Al-Falah kepada penerus-penerusnya.

a. Dasar-dasar yang ditetapkan oleh pondok pesantren Al-Falah

Pondok pesantren Al-Falah berdiri berazazkan Pancasila dan

undang-undang dasar 1945. Dan selain itu pondok pesantren Al-Falah didirikan yaitu

untuk mewujudkan manusia yang sejati yang berdasarkan pada ajaran Islam.

(15)

Pondok pesantren Al-Falah didirikan berdasarkan tujuan untuk

meningkatkan keimanan, kecerdasan dan ketrampilan dan kesejahteraan umat

Islam berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadist. Struktur organisasi pada masa

sekarang lebih mendetail dalam setiap pembagian tugasnya. Struktur

organisasi pesantren sangat penting dalam rangka mengantarkan kemajuan

organisasi. Pesantren berperan untuk membantu dalam rangka pembelajaran

perilaku keorganisasian yang berkaitan dengan memotifasi kreativitas. Maka

dengan demikian sruktur keorganisasian mempunyai peran yang yang cukup

penting dalam memajukan pondok pesantren.

Selain itu organisasi adalah wadah dalam membentuk dan mempelajari

kepemimpinan dan bagaimana menjadi seorang pemimpin. Organisasi

merupakan sarana belajar, bagaimana berpikir, bertindak, dan

mengembangkan potensi diri, baik hard skill maupun soft skill. Pada pondok

pesantren yang menganut sistem asrama, otoritas lebih merata, artinya

beberapa keputusan didelegasikan atau dipercayakan ke beberapa unit. Seperti

kegiatan-kegiatan santri di dalam asrama atau pondok. Kegiatan-kegiatan

santri dalam pondok dikoordinir dalam satuan organisasi santri. Organisasi

santri ini sengaja dibentuk oleh Pesantren sebagai media pembelajaran,

pendidikan dan pelatihan santri dalam usaha untuk memiliki jiwa

kepemimpinan. Dari berbagai kegiatan organisasi santri secara tidak langsung

akan belajar makna demokrasi dan politik agar nantinya siap bila sudah harus

terjun ke masyarakat. Biasanya dalam organisasi ini juga dimulai dari proses

(16)

apabila mereka terpilih nanti. Sama halnya pada pemilihan capres dan

cawapres yang yang ada di Indonesia. Dan apabila salah satu calon ketua

tersebut telah terpilih biasanya mereka membentuk kebijakan-kebijakan baru

yang harus ditaati oleh para anggota-anggotanya (KH. Ghozi Harun,

28-07-2012).

Tantangan untuk menjadi seorang pemimpin organisasi santri adalah

diberinya kesempatan oleh Pesantren untuk memompa kepemimpinan yang

mana segala peraturan yang telah disepakati dalam pembahasan program kerja

harus bisa ditegakkan tidak hanya pada teman-temannya saja yang diurus

namun juga pada diri mereka sendiri dan teman-teman sepengurusan.

Beragamnya problem yang mewarnai masa kepengurusan menjadikan mereka

dewasa dalam berpikir dan mengasah jiwa kepemimpinan. Kepengurusan

yang mereka jalankan selama 24 jam, sehingga memungkinkan bagi mereka

untuk belajar bagaimana mengatur waktu untuk santri yang diurus dengan

mengurus diri sendiri, karena mereka sendiri statusnya juga sebagai seorang

santri.

Tentunya untuk menjadi seorang pemimpin pada suatu organisasi akan

menjadikan pengalaman bagi pemimpin tersebut juga bagi teman-teman yang

lain. Untuk kepengurusan pondok pesantren tentnya berbeda dengan

organisasi yang dijalankan para santri. Strukutur organisasi yang dijalankan

pondok pesantren menjadi tanggung jawab para kyai dan pengasuh pondok

pesantren tersebut. Dibawah dijelaskan struktur keorganisasian yang di

(17)

Struktur Organisasi

(Sumber: Akta notaris Ahmad Dimyati, SH NO 181. Kauman Lor, RT 03/RW 01, kecamatan Pabelan-Kabupaten Semarang).

D. Sistem Pendidikan yang diterapkan di Pondok Pesantren Al-Falah

Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren adalah sistem

bandongan atau seringkali juga disebut weton, sistem pengajaran ini mulai

dipergunakan di pondok pesantren Al-Falah pada tahun 1980. Metode

bandongan atau weton yaitu metode pembelajaran yang mana guru

membacakan, kemudian murid mendengar dan mencatat. Dalam sistem ini

sekelompok murid (antara 5 sampai 50) mendengarkan seorang guru yang

membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku

Islam dalam bahasa Arab. Seorang murid memperhatikan bukunya

sendiri-sendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata-kata yang sulit untuk

Pelindung 1. Kepala Desa

2. Ta’mir Masjid

Ketua KH M Ghozi H.R

Sekretaris M Maksum

Seksi

Bendahara Umi Nasiroh

Humas Sumadi

Pembangunan Solikhin Usaha Dana

Choirul Anam

(18)

mereka pahami. Metode bandongan adalah kyai menggunakan daerah

setempat, kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan, kalimat demi

kalimat kitab yang dipelajarinya, santri secara cermat mengikuti penjelasan

yang diberikan oleh kyai dengan memberikan catatan-catatan tertentu pada

kitabnya masing-masing dengan kode-kode tertentu sehingga kitabnya disebut

kitab jenggot karena banyaknya catatan yang menyerupai jenggot seorang

kyai. Dengan metode pengajaran bandongan ini lama belajar santri tidak

tergantung lamanya tahun belajar tetapi berpatokan kepada waktu kapan murid

tersebut menamatkan kitabnya yang telah ditetapkan oleh pondok atau oleh

santri itu sendiri, bisa saja santri menargetkan agar iaselesai dalam waktu satu

bulan namun ada juga yang nenargetkan selesai dalam waktu dua sampai tiga

bulan kedepan.

Selain menggunakan metode bandongan pondok pesantren Al-Falah juga

menggunakan metode sorongan. Pengertian metode sorongan yaitu sorongan

berasal kata sorog yang berarti bahwa menyodorkan. Metode sorongan berarti

bahwa santri menghadap kyai atau ustadz pengajarnya satu persatu dan

menyodorkan kitab untuk dibaca dan atau dikaji bersama dengan kyai atau

ustadz tersebut. Metode sorogan itu sendiri merupakan kegiatan pembelajaran

bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan

perseorangan (individual), di bawah bimbingan seorang ustadz atau kyai

(Ridlwan Nasir, 2005:20).

Dalam metode ini santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak biasanya

(19)

tidak mengetahui siapa santri-santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama

jika jumlah mereka puluhan atau ratusan, sehingga seorang kyai tidak sempat

untuk mengabsen para santrinya. Namun dalam setiap kegiatan pembelajaran

yang menggunakan sistem bandongan tentunya para santri menyadari bahwa

pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren sangat penting.

Metodologi pengajaran yang dikenal dengan nama sorogan, wetonan, dan

khataman semuanya menampilkan liberalisasi dalam proses pembelajaran.

Santri bebas untuk mengikuti pengajian atau tidak, dimana pelajaran tidak

diatur dalam silabus yang terprogram, melainkan berpegang pada bab-bab

yang tercantum didalam kitab-kitab yang diajarkan oleh kyai.

Kitab-kitab Islam klasik yang lebih popular dengan sebutan kitab

kuning. Kitab-kitab ini ditulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman

pertengahan. Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari

kemampuannya membaca, serta mensyarahkan (menjelaskan) isi kitab-kitab

tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang santri

dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahwu Salammusibyan,

syaraf, Jurumiah, Mriti dan lain sebagainya (KH.Ghozi Harun, 04-08-2012).

Ada beberapa hal yang penting yang perlu diperhatikan dalam mengikuti

proses pembelajaran kitab di pesantren, yang menyangkut interaksi antara

kyai-santri dan sumber belajar, antara lain sebagai berikut:

a. Kyai sebagai seorang guru dipatuhi secara mutlak, dihormati termasuk

anggota keluarganya, dan kadang dianggap memiliki kekuatan gaib yang

(20)

b. Diperoleh tidaknya ilmu itu bukan semata-mata karena ketajaman akal,

ketetapan metode mencarinya, dan kesungguhan dalam berusaha, melainkan

juga bergantung pada kesucian jiwa, restu, dan berkah dari seorang kyai serta

upaya ritual keagamaan seperti puasa, doa, dan riadhah.

c. Kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Karena itu, kitab

harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah banyak memambah ilmu

pengetahuan kepada para santri.

d. Transmisi lisan para kyai adalah penting. Meskipun santri mampu menelaah

kitab-kitabnya sendiri, namun hal yang demikian ini belum disebut mengaji Al

Qur’an.

Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran kitab-kitab kuning yaitu

Al-Qur’an Hadist, nahwu, shorof, jurumiah, dan mriti yang menggunakan sistem

bandongan biasanya dilakukan hal-hal seperti berikut ini:

a. Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan santrinya.

b. Memperhatikan situasi dan kondisi apakah santrinya sudah siap untuk

mengikuti kegiatan pembelajaran apa belum.

c. Setelah menyelesaikan pembacaan pada batasan tertentu, seorang kyai atau

ustadz memberi kesempatan kepada para santrinya untuk menanyakan hal-hal

yang belum jelas atau belum dipahami. Jawaban dilakukan langsung oleh kyai

atau ustadz atau memberi kesempatan terlebih dahulu kepada para santri yang

(21)

d. Sebagai penutupnya terkadang seorang kyai atau ustadz menyebutkan

kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran yang

telah berlangsung (Baidlowi, 06-08-2012).

Dalam penerapan pembelajaran dengan menggunakan metode

bandongan biasanya santri membentuk lingkaran atau membentuk setengah

lingkaran, namun kadang juga berjejer lurus dan berbanjar kebelakang

menghadap berlawanan arah dengan kyai. Dari berbagai macam bentuk ini

yang jelas para santri dalam pengajiannya mengelilingi secara berkerumun

dengan duduk bersila menghadap kyai. Pembelajaran terhadap kitab-kitab

klasik dipandang penting karena dapat menjadikan santri menguasai dua

materi sekaligus. Pertama, bahasa Arab yang merupakan bahasa kitab itu

sendiri. Kedua, pemahaman atau penguasaan muatan dari kitab tersebut.

Dengan demikian, seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di

pesantren diharapkan mampu memahami isi kitab secara baik, sekaligus dapat

menerapkan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa kesehariannya (Armai

Arief, 2002: 20).

Sistem evaluasi dengan menggunakan metode bandongan yaitu seorang

kyai atau ustad menilai terhadap berbagai aspek yang ada pada dalam diri

santri, baik aspek pengetahuan terhadap penguasaan materi kitab itu atau

perilaku yang mesti ditunjukkan dari pengkajian materi kitab, ataupun

ketrampilan tertentu yang diajarkan dalam kitab tersebut (Muhammad

(22)

a. Aspek pengetahuan (kognitif) dilakukan dengan menilai kemampuan santri

dalam membaca, menterjemahkan dan menjelaskan makna atau isi yang

terdapat dalam kitab-kitab kuning.

b. Aspek sikap (afektif) dapat dinilai dari sikap dan kepribadian santri dalam

kehidupan keseharian dan cara santri tersebut bersosialisasi dengan

lingkungan yang ada disekitar mereka.

c. Aspek keterampilan (skill) yang dikuasai oleh para santri dapat dilihat melalui

praktek kehidupan sehari-hari ataupun dalam bidang fiqh, misalnya dapat

dilakukan dengan praktek atau demonstrasi yang dilakukan oleh para santri

pada halaqah tersebut.

Armai Arief menjelaskan pada umumnya pesantren yang belum

mencangkok sistem pendidikan modern belum mengenal sistem penilaian

(evaluasi). Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang

dipelajari. Santri sendiri yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup

menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab

berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga memberikan kelonggaran

pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu

yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat, dan kalau santri

belum puas, tidak salah baginya untuk pindah pesantren lain dalam rangka

mendalami ilmunya (Armai Arief, 2002: 21).

Pada penerapan metode bandongan ada kelebihan dan kekurangan

(23)

a. Kekurangan metode bandongan

1) Metode ini dianggap lamban dan tradisional, karena dalam menyampaikan

materi sering diulang-ulang.

2) Guru lebih kreatif dari pada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu

jalur (monolog).

3) Dialog antara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat

bosan.

4) Metode bandongan ini kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi

yang disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya.

b. Kelebihan metode bandongan

1) Lebih cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya sangat banyak.

2) Lebih efektif bagi murid yang telah mengikuti system sorogan secara intensif.

3) Materi yang diajarkan sering diulang-ulang sehinnga memudahkan anak untuk

memahami.

4) Sangat efisien dalam mengajarkan ketelitian memahami kalimat yang sulit

untuk dipelajari dan dimengerti.

Pendidikan tradisional di pesantren salah satunya meliputi pemberian

pengajaran dengan struktur, metode, dan literatur tradisional. Pemberian

pengajaran tradisional ini dapat berupa pendidikan formal disekolah atau

madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun

pemberian pengajaran dengan sistem pengajaran dalam bentuk pengajian

weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara

(24)

suatu kitab tertentu. Dalam prakteknya selalu berorientasi pada pemompaan

materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas.

Zamakhsyari Dhofier menyebut metode sorogan sebagai cara belajar

secara individual antara santri dan kyai, yang kemudian terjadi interaksi saling

mengenal di antara keduanya. Metode ini disebut metode sorogan karena

santri atau peserta didik menghadap kyai atau ustad pengajarnyaa secara satu

persatu dan menyodorkan kitab untuk dibaca dan atau dikaji bersama dengan

kyai atau ustadz tersebut. Lebih lanjut Zamakhsyari Dhofier menyebutkan

metode sorogan sebagai cara belajar secara individual antara santri dan kyai,

yang kemudian terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Dan

secara spesifik Dhofier menambahkan bahwa metode ini diberikan dalam

pengajian kepada santri-santri yang telah menguasai pembacaan Al Qur’an

atau sebagai pembelajaran dasar kepada santri-santri baru yang masih

membutuhkan bimbingan individual sebelum mengikuti pengajian kitab di

pesantren (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 21).

Sebagai model pendidikan dasar Zamakhsyari Dhofier juga

menambahkan bahwa santri sebagai peserta didik harus mematangkan diri

pada tingkat sorogan sebelum dapat mengikuti pendidikan tingkat selanjutnya

di pesantren. Hal ini menurut Dhofier, karena hanya santri-santri yang telah

menguasai metode sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari

pelaksanaan metode bandongan dan wetonan. Sebagaimana diketahui, bahwa

mayoritas pembelajaran di pesantren adalah menggunakan kitab-kitab

(25)

santri dapat belajar memahami bahasa Arab lebih mendalam (Zamakhsyari

Dhofier, 1994: 22).

Walaupun metode sorongan dianggap lebih rumit dalam penerapannya,

namun metode sorongan lebih efektif daripada metode-metode pembelajaran

yang lain yang digunakan di pondok pesantren. Dengan cara santri menghadap

kyai atau ustad secara individual untuk menerima pelajaran secara langsung,

sehingga kemampuan santri dapat terkontrol oleh ustadz dan kyai yang

mengajarnya. Maka dengan metode ini kyai dan ustad dapat mengawasi,

menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan para santrinya dalam

menguasai pelajaran, atau sebagai pendidikan dasar di pesantren, untuk

menguasai bahasa Arab yang menjadi bahasa kitab. Kelebihan-kelebihan dari

metode sorongan adalah:

1) Ada interaksi yang terjadi antara kyai dengan santrinya.

2) Santri sebagai peserta didik lebih dapat dibimbing dan diarahkan dalam

pembelajarannya, baik dari segi bahasa maupun pemahaman isi kitab.

3) Dapat dikontrol, dievaluasi dan diketahui perkembangan dan kemampuan diri

santri.

4) Ada komunikasi yang efektif antara santri dan pengajarnya.

Namun selain ada kelebihan yang dimiliki oleh metode sorongan tetapi

juga ada kekurangan dalam menggunakan metode sorongan yaitu tidak

tumbuhnya budaya tanya jawab atau dialog dan perdebatan, sehingga timbul

budaya anti kritik terhadap kesalahan yang diperbuat oleh pengajar pada saat

(26)

sebagian orang atau tenaga pendidik tidak memanfaatkan metode ini sebagai

metode pembelajaran yang resmi.

Teknik pembelajaran dengan menggunakan metode sorongan yaitu

pembelajaran atau pengajian dengan metode sorogan biasanya diselenggarakan

pada ruang tertentu yang disitu tersedia empat duduk untuk ustadz dan kyai

sebagai pengajar, dan didepannya tersedia juga bangku atau meja kecil untuk

meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Sementara itu, santri yang lainnya

duduk agak menjauh sambil mendengarkan apa yang disampaikan atau melihat

peristiwa apa saja yang terjadi pada saat temannya maju menghadap dan

menyorogkan kitabnya kepada ustadz atau kyai sebagai bahan perbandingan

baginya pada saat gilirannya tiba. Namun secara teknis pembelajaran dengan

menggunakan metode sorongan yaitu dengan cara sebagai berikut:

1) Seorang santri yang mendapat giliran menyorongkan kitabnya menghadap

langsung secara tatap muka kepada ustad atau kyai yang mengampu pelajaran

kitab tersebut. Kemudian kitab yang menjadi media sorogan diletakan diatas

meja atau bangku kecil yang ada diantara mereka berdua.

2) Ustad atau kyai tersebut membacakan teks dalam kitab dengan huruf Arab

yang dipelajari baik sambil melihat (bin nadhor) maupun secara hafalan

(bilghoib), kemudian memberikan arti atau makna kata per kata dengan bahasa

yang mudah dipahami dan dimengerti oleh santrinya.

3) Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan ustad atau kyainya

dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya. Selain mendengarkan dan

(27)

mencatat kosakata yang kurang dimengerti dan di terjemahkan dalam bahasa

yang mudah dimengerti oleh mereka sendiri.

Maka dengan demikian bahwa penggunaan metode pembelajaran yang

diterapkan di pondok pesantren hampir sama dengan metode pembelajaran

yang diterapkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Penggunaan metode

bandongan dan metode sorongan yang diterapka di pondok pesantren

Al-Falah pada dasarnya kedua metode tersebut sangat efektif diterapkan pada

proses kegiatan belajar mengajar. Karena metode Bandongan dan metode

sorongan itu sendiri sudah diterapkan sejak pondok pesantren Al-Falah berdiri

hingga sekarang kedua metode tersebut masih digunakan (Nurkholis Madjid,

1997: 12).

Di pondok pesantren Al-Falah metode bandongan dan metode sorongan

juga diterapkan di madrasah diniyyah dan taman pendidikan Al-Qur’an.

Madrasah diniyyah dan taman pendidikan Al-Qur’an yang menerapkan sistem

bandongan ini sangat efektif bila diterapkan dalam proses kegiatan belajar

mengajar karena pada sistem bandongan ini guru menjelaskan dan kemudian

santrinya mendengarkan dan mencatat, karena biasanya santri-santri yang ada

di madrasah diniyyah ini masih memeprlukan penjelasan dari ustad atau kyai.

E. Sistem pendidikan Formal yang ada di pondok pesantren Al-Falah 1. Madrasah Diniyyah

Madrasah Diniyyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan

pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi

(28)

kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya. Seiring perubahan

zaman, madrasah diniyyah yang dulunya hanya sebagai pendidikan non

formal yang diasuh oleh para kyai dan masyarakat di desa, kini menjadi

pendidikan yang formal. Dengan perubahan tersebut berubah pula status

kelembagaannya, yang dulunya dari jalur luar sekolah yang dikelola penuh

oleh masyarakat menjadi sekolah dibawah pembinaan Departemen Agama.

Secara harfiah madrasah diartikan sebagai tempat belajar para pelajar

atau tempat untuk memberikan pelajaran. Kata madrasah juga ditemukan

dalam bahasa Arab Hebrew atau aramy yang berati membaca dan belajar atau

tempat duduk untuk belajar. Dari kedua bahasa tersebut, kata madrasah

mempunyai arti yang sama yaitu tempat belajar. jika diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia, kata madrasah memiliki arti sekolah karena pada mulanya

kata sekolah itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari

bahasa asing, yaitu school.

Sedangkan madrasah diniyyah dilihat dari stuktur bahasa Arab berasal

dari dua kata madrasah dan al-din. Kata madrasah dijadikan nama tempat dari

asal kata darosa yang berarti belajar. Jadi madrasah mempunyai makna arti

belajar, sedangkan al-din dimaknai dengan makna keagamaan. Dari dua

stuktur kata yang dijadikan satu tersebut, maka madrasah diniyyah berarti

tempat belajar masalah keagamaan, dalam hal ini agama Islam. Berdasarkan

penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa madrasah diniyyah adalah

lembaga pendidikan Islam yang memberi pendidikan dan pengajaran agama

(29)

Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang

diselenggarakan madrasah diniyyah, maka dapat disimpulkan ciri-ciri

madrasah diniyyah adalah sebagai berikut:

1) Madrasah diniyyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal sekolah

umum.

2) Madrasah diniyyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.

3) Madrasah diniyyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.

4) Madrasah diniyyah waktunya relatif singkat, dan para santrinya tidak harus

sama.

5) Madrasah diniyyah mempunyai metode pengajaran yang bermacam-macam.

Sistem pendidikan madrasah diniyyah yang ada di pondok pesantren

Al-Falah merupakan pelengkap bagi pondok pesantren tersebut, karena pada

dasarnya madrasah diniyyah didirikan oleh KH. Masrur dan KH. Abdul Rozak

pada tahun 1980 dan disahkan oleh Departemen Agama pada tahun 1991.

Madrasah Diniyyah memiliki tujuan yaitu untuk memenuhi kebutuhan para

santrinya tentang pengetahuan agama. Madrasah diniyyah adalah bagian

terpadu dari sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur

pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang

pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk kelompok pendidikan

keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk

mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang di

(30)

Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyyah

bertujuan untuk:

1) Melayani para pelajar untuk belajar dan berkembang sedini mungkin dan

sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya.

2) Membina para pelajar agar memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap

mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah

atau melanjutkan ketingkat atau jenjang yang lebih tinggi.

3) Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam

jalur pendidikan sekolah umum.

Untuk menumbuh kembangkan ciri-ciri madrasah sebagai satuan

pendidikan yang bernapaskan Islam, maka tujuan madrasah diniyyah

dilengkapi dengan “memberikan bekal kemampuan dasar dan ketrampilan

dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi

muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”.

Dalam program pengajarannya ada bebarapa bidang studi yang diajarkan

seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Bahasa Arab, dan Praktek

Ibadah. Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman

dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam Qur’an dan Hadits.

Pada pelajaran aqidah akhlak berfungsi untuk memberikan pengetahuan dan

bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW,

sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman

sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia dengan

(31)

mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui, memahami dan

menghayati syariat Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk menunjang

pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, dan mengembangkan ilmu

pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa dengan pendekatan yang

komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat

agama Islam supaya menjadi pedoman dalam hidupnya.

Kurikulum yang ada di Madrasah Diniyyah pada dasarnya bersifat

fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan

oleh Departemen Agama Pusat Kantor Wilayat atau Depag Propinsi dan

Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya atau oleh pengelola

kegiatan pendidikan itu sendiri. Prinsip pokoknya yaitu untuk

mengembangkan kurikulum tersebut dan tidak menyalahi aturan

perundang-undangan yang berlaku tentang pendidikan secara umum dan peraturan

pemerintah serta keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang

berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah diniyyah.

Pada dasarnya pendidikan madrasah diniyyah hampir sama dengan

pendidikan formal, namun yang membedakan adalah bahwa mata

pelajarannya lebih kepada ilmu agama Islam yang mendalam seperti pelajaran

Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Ilmu Tajwid, Tauhid, Qiro’ah, Tarih,

dan nahwu. Pelaksanaan sekolah madrasah diniyyah di pondok pesantren

Al-Falah biasanya di laksanakan hari senin sampai hari jum’at dan setiap sabtu

malam dilaksanakan pengajian umum yang diikuti oleh masyarakat sekitar

(32)

2. Taman pendidikan Al Qur’an (TPA) Pada Tahun 1980

Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) mulai diperkenalkan di dalam

lingkungan pondok pesantren pada tahun 1980. Taman Pendidikan Al-Qur’an

(TPA) adalah unit pendidikan non-formal dalam bidang keagamaan yang

berbasis komunitas muslim yang menjadikan Al-Qur’an sebagai materi

utamanya, dan diselenggararakan dalam suasana yang Indah, Bersih, Rapi,

Nyaman, dan Menyenangkan sebagai cerminan nilai simbolis dan filosofis

dari kata TAMAN yang dipergunakan. Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA)

bertujuan menyiapkan terbentuknya generasi Qur’ani, yaitu generasi yang

memiliki komitmen terhadap Al-Qur’an sebagai sumber perilaku, pijakan

hidup dan rujukan segala urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang

mendalam terhadap Al-Qur’an, mampu dan rajin membacanya, terus menerus

mempelajari isi kandungannya, dan memiliki kemauan yang kuat untuk

mengamalkannya secara ikhlas dalam kehidupan sehari-hari (Ridlwan Nasir,

2005: 165).

Pendidikan di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) lebih menekankan

pada dimensi akhlak meskipun tidak pula menampikkan dimensi intelektual.

Peserta didik atau santriwan-santriwati Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA)

akan mendapatkan pendampingan yang lebih intensif dibandingkan

pendidikan formal di sekolah. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa

nyaman dalam belajar sehingga materi yang disampaikan lebih mudah

dipahami, lebih jauh lagi agar lebih mudah diimplementasikan dalam

(33)

sekolah-sekolah Islam terpadu yang mulai banyak berdiri dan berkembang pendidikan

yang berbasis Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).

Pelaksanaan Taman Pendidikan (TPA) di pondok pesantren Al-Falah

dilaksanakan setiap senin sore sampai Jum’at sore. Dan kegiatan rutin yang

sering dilakukan oleh para santri adalah kegiatan Jum’at sore yang mana

kegiatan Jum’at sore adalah kegiatan yang dilakukan di makam sesepuh

pondok pesantren Al-Falah. Kegiatan tersebut diantaranya adalah ziarah kubur

dan membersihkan makam para sesepuh pondok pesantren. Dalam kegiatan

ziarah kubur tersebut pengasuh pondok pesantren memimpin doa dan para

santrinya menirukan apa yang dibacakan oleh kyai atau ustad tersebut. Para

santri tersebut sangat antusias mengikuti kegiatan jumat sore tersebut, karena

kegiatan tersebut adalah kegiatan rutin yang sudah terjadi secara

turun-temurun.

Pelajaran yang diajarkan di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang

ada di pondok pesantren Al-Falah antara lain: Tadarus Al-Qur’an, Ilmu

Tajwid, Hafalan Jus Amma, menulis huruf Al-Qur’an, tarih, Tauhid, Doa,

Ibadah. Selain itu juga diajarkan tentang materi Qiro’ah, khot atau kaligrafi,

dan kedisiplinan atau akhlak. Materi-materi tersebut adalah materi yang

penting untuk diajarkan pada santrinya sehingga dapat menjadi bekal nantinya

bila sudah keluar dari pondok pesantren.

Santri-santri yang mengikuti sekolah Taman Pendidikan Al-Qur’an

(TPQ) biasanya adalah dari panti asuhan arri’ayah yang mana panti asuhan

(34)

didirkan panti asuhan tersebut juga bersamaan dengan didirikannya madrasah

diniyyah dan taman pendidikan Al-Qur’an. Tujuan didirikan pondok pesantren

Al-Falah adalah bertujuan untuk menciptakan kader-kader penerus bangsa

yang berdasarkan ajaran Islam dan ajaran yang ada di pondok pesantren

tersebut. Selain berasal dari anak panti asuhan arri’ayah santri dari Taman

Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) juga berasal dari masyarakat sekitar pondok

pesantren.

Dengan revitalisasi, rekonstruksi dan peningkatan kualitas Sumber Daya

Manusia (SDM), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) akan mampu

memberikan sumbangsihnya demi perbaikan karakter generasi masa depan

bangsa menuju yang lebih baik. Begitu pula dengan Taman Pendidikan

Al-Qur’an (TPQ) yang ada di pondok pesantren Al-Falah yang tujuannya untuk

menciptakan masyarakat atau generasi muda yang lebih Islami (KH. Ghozi

Harun, 18-08-2012).

F. Sistem Pedidikan Non Formal yang ada di Pondok Pesantren Al-Falah 1. Ketrampilan Menjahit

Kegiatan ketrampilan menjahit ini dimulai sejak tahun 2006, yang mana

kegiatan menjahit ini diikuti dari berbagai kalangan. Baik santri yang ada di

pondok pesantren itu sendiri maupun orang yang ada di sekitar pondok

pesantren yang mengikuti kegiatan ketrampilan menjahit. Yang diajarakan

pada ketrampilan menjahit dimulai dari pengenalan dari berbagai jenis tusuk,

(35)

tusuk flanel, tusuk feston, tusuk silang, tusuk pipih, teknik melekatkan benang

dan teknik melekatkan kain perca (Modul Pelajaran).

Selain diajarkan tentang jenis-jenis tusuk, kegiatan ketrampilan menjahit

juga diajarkan membuat pola dasar dalam membuat baju, membuat pola

lengan, membuat pola rok, celana pendek, dan celana panjang, membuat baju

kebaya dan membuat baju seragam atau baju kemeja. Dalam mengikuti

kegiatan Ketrampilan menjahit para peserta sangat memperhatikan guru yang

mengajarkan, sehingga pada saat praktek membuat pola dasar mereka dapat

memahami dan menirukan seperti yang di contohkan oleh guru.

Kegiatan ketrampilan menjahit ini menjadi tujuan pokok selain tujuan

untuk keagamaan. Ketrampilan menjahit ini merupakan titik perubahan yang

ada di pondok pesantren Al-Falah yang mana kegiatan ketrampilan menjahit

ini menjadi agenda yang ada di pondok pesantren Al-Falah. Pengasuh pondok

pesantren Al-Falah memasukkan kegiatan ketrampilan menjahit ini menjadi

agenda pelajaran yang pokok, karena kyai ingin mengajarkan bekal untuk

hidup para santrinya selain ilmu agama juga ketrampilan yang telah diajarkan

selama mereka berada di pondok pesantren. Hasil dari ketrampilan menjahit

yang dimiliki oleh para santri ini menjadikan pondok pesantren Al-Falah lebih

dikenal masyarakat luar. Dengan pencapaian yang maksimal tersebut

menjadikan santri di minta untuk membuatkan seragam sekolah bagi Taman

pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dari desa lain. Ini merupakan nilai tambah yang

(36)

tidak dipandang sebelah mata lagi oleh masyarakat luas ((KH. Ghozi Harun,

18-08-2012). .

2. Ketrampilan Mekanik sepeda motor

Ketrampilan mekanik sepeda motor ini juga merupakan ketrampilan

yang diterapkan pada pondok pesantren Al-Falah. Kegiatan ketrampilan

mekanik motor dimulai dari tahun 2006 yang mana kegiatan ini juga di ikuti

dari berbagai kalangan baik dari lingkungan pondok pesantren maupun dari

lingkungan luar pondok pesantren. Kegiatan ketrampilan mekanik motor ini

diajarkan pada setiap hari jum’at karena pada hari jum’at adalah hari libur

pondok sehingga para santri sangat antusias dengan kegiatan yang dilakukan.

Pelajaran yang diajarkan adalah pengetahuan umum dan motor bakar,

jenis-jenis motor bakar, jenis oli mesin, tindakan pencegahan dalam

penanganan minyak rem, cara kerjs mesin, dasar-dasar kontruksi motor bakar,

sistem-sistem yang terpenting dalam motor bakar, perletakan dan pergerakan

katup. Dalam pembelajaran ketrampilan menjahit ini para santri sangat

bersemangat dalam mengikuti pelajaran ketrampilan mekanik motor, terutama

para santriwan yang tertarik untuk mempelajari lebih mendalam dunia

otomotif (Modul Pelajaran).

Ketrampilan ini juga menjadi salah satu tujuan pokok yang diagendakan

oleh pondok pesantren Al-Falah karena dengan kegiatan yang dilakukan di

luar kegiatan pondok ini akan merangsang pikiran para santri untuk

berkembang dan menciptakan sesuatu yang baru. Sehingga dengan keahlian

(37)

lingkungan masyarakat. Tujuan utama dalam kegiatan ketrampilan mekanik

motor adalah supaya para santri tahu jenis-jenis mesin yang ada di dalam

sepeda motor dan para santri tahu bagaimana caranya memperbaiki sepeda

motor yang rusak jadi seperti sebelumnya. Maka apabila ada salah satu wali

siswa yang motornya rusak di harapkan anak didik pondak tahu bagaimana

cara memperbaikinya ((KH. Ghozi Harun, 18-08-2012). .

3. Panti Asuhan

Panti Asuhan Arri’ayah ini pertama kali didirikan oleh KH. Masrur pada

tahun1980, KH Masrur mendirikan panti asuhan ini diharapkan anak-anak

yang tidak memiliki orang tua tetapi mereka tetap memahami ajaran agama

Islam. Panti asuhan ini berdiri di lingkungan pondok pesantren Al-Falah dan

berada di yayasan Al-Falah. Keberadaan panti asuhan sebagai lembaga sosial

yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan, terutama agama Islam,

dalam perannya juga ikut mencerdaskan kehidupan bangsa yang telah diakui

oleh masyarakat.

Panti asuhan Arri’ayah ini sangat mendapat dukungan dari masyarakat,

bahkan dari para ulama-ulama luar sangat mendukung dengan sistem panti

asuhan tersebut. Panti asuhan ini selain bergerak dalam bidnag sosial juga

sebagai pusat pendidikan agama yang didukung oleh lembaga pendidikan

formal yang dekat dan terjangkau. Baik dari tingkat Sekolah Dasar (MI

Miftahul Najihin Kauman Lor), MTs Tarqiyatul Himmah Kauman Lor.

Panti asuhan arri’ayah juga memilik tujuan yaitu terbentuknya anak yang

(38)

masyarakat sekitar pondok pesantren. Selain itu tujuan didirkan panti asuhan

oleh KH Masrur yaitu ingin menampung anak untuk dididik dan di bekali ilmu

agama dan akhlak. Anak-anak panti asuhan ini juga diajarkan ketrampilan

tangan dan diajarkan ilmu agama Islam. Diharapkan nanti apabila anak-anak

tersebut sudah dewasa dan terjun ke dalam lingkungan masyarakat mereka

dapat berfungsi bagi masyarakat luas bukannya hanya bagi masyarakat

Kauman Lor saja tetapi berguna bagi masyarakat luas (Umi Shobihah,

09-08-2012).

Sistem pendidikan yang digunakan dalam pondok pesantren sangat

bermanfaat bagi para santriwan dan santriwati. Dengan metode pembelajaran

bandongan dan sorongan ini maka dapat mencetak para santri-santri yang

berkualitas baik dari segi ilmu agamanya maupun dari segi ilmu ketrampilan

tangan yang diajarkan selama belajar di pondok pesantren dan akan menjadi

bekal untuk para santri apabila sudah terjun kedalam masyarakat. Dengan

sistem pendidikan yang diterapkan oleh pondok pesantren Al-Falah yang

dimulai dari berdirinya Madrasah Diniyyah, Taman Pendidikan Al-Qur’an dan

Panti Asuhan, selanjutnya pondok pesantren Al-Falah menerapkan sistem

pendidikan non-formal yang mana kegiatan tersebut mulai diperkenalkan pada

Referensi

Dokumen terkait

Di SMK Al Falah, SMK Pancasila dan SMK-SPP Dharma Lestari para kepala sekolah berpengalaman bermukim dan belajar di lingkungan pondok pesantren sehingga tidak kesulitan berperan

bersifat elitis yaitu pendidikan yang bergaya Eropa dengan bahasa.. Belanda sebagai bahasa pengantarnya, dengan tujuan

Pondok Pesantren Al-Falah Gunung Kasih sebagai salah satu lembaga pendidikan islam berupaya membuka wacana global yang terjadi di masyarakat sekitar pondok

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang manajemen pembelajaran di Pondok Pesantren Al Falah Putera Banjarbaru mulai dari proses

Pondok pesantren AL-FALAH PUTERA belum memiliki sistem informasi khusus yang berguna untuk promosi pondok pesantren ke masyarakat yang lebih luas, membantu pihak

Faktor pendukung penerapan strategi dakwah dalam mempersiapkan kader muballigh di pondok pesantren Darul Falah Jekulo Kudus adalah kemampuan kyai atau pengasuh yang

Objek yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah guru yang mengajar di Madrasah Tsanawiah Bina Bangsa Yayasan Pondok Pesantren Al-Falah, berbeda dengan penelitian

Program IbM (Pengabdian masyarakat) yang akan dilakukan di Pondok Pesantren Anak Tahfidzul Qur’an (PPATQ) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Raudlatul Falah Desa Bermi Kecamatan