• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI DAN KONSEP SEKILAS TENTANG SEBARAN MANUSIA PRASEJARAH INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEORI DAN KONSEP SEKILAS TENTANG SEBARAN MANUSIA PRASEJARAH INDONESIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

SEKILAS TENTANG SEBARAN MANUSIA PRASEJARAH

INDONESIA

Gunadi Kasnowihardjo (Balai Arkeologi Yogyakarta)

Abstract

Prehistoric terminology of Indonesia, Wajak human life begins from approximately 40.000 years ago, artifact similar Sumatralith or often mentioned with hoabinhian term was found spread almost all over the archipelago. Based of homo sapiens sites dating and artifact hoabinhian was found on site Wajak approximately 40.000 years. There are still many problems of migration of peoples who inhabited the region of Southeast Asia and the Pacifi c that has not been completely answered.

Keywords: Human of Wajak, migration, artifact hoabinhian

Pendahuluan

Lebih dari 1 juta tahun yang lalu di pulau Jawa pernah hidup satu jenis primata yang oleh para ahli pada waktu itu disebut Pithecanthropus erectus (manusia-kera yang berjalan tegak) yang kemudian disebut Homo erectus. Dalam perkembangan dan proses evolusi selanjutnya, jenis primata tersebut yang akan berevolusi “menurunkan” Homo

soloensis. Adapun pada proses yang paling sempurna yaitu munculnya Homo sapiens atau

manusia modern yang hidup di kala akhir Plestosen – awal Holosen. Di Indonesia, fosil jenis Homo sapiens tertua ditemukan di Desa Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur yang kemudian dikenal sebagai Homo wajakensis (manusia Wajak). Para ahli paleoantropologi akhirnya berkesimpulan bahwa manusia Wajak ini memiliki ciri-ciri Australomelanesid seperti yang dimiliki oleh manusia yang sekarang menjadi penduduk Australia (suku Aborigin) dan disejajarkan dengan manusia-manusia penghuni gua di Niah, Serawak, Malaysia Timur dan Tabon, Pallawan, Philipina (Soejono dan Leirissa, 2008: 92).

(2)

Penelitian arkeologis yang pernah dilakukan di bukit-bukit kerang atau

kjokkenmodinger di pantai Timur Sumatera (Wiradnyana, 2008) dan gua-gua di

Kedah dan Pahang, Malaysia (Haji Taha, 1989) serta beberapa situs –situs dari masa akhir pleistosin – awal holosin ditandai dengan temuan Kapak Perimbas yang monofasial dan sering disebut Sumatralith (Soejono dan Leirissa, 2008: 31). Dalam konteks dengan Asia Tenggara, jenis kapak perimbas dan penetak (chopper – chopping tools) seperti tersebut banyak ditemukan di gua-gua di daerah Bac-Son yang terletak di sebelah Utara Hanoi dan di gua-gua di daerah Hoa-Binh yang terletak di Selatan Hanoi, Vietnam. Alat batu ini diperkirakan berasal dari China Selatan yang kemudian berkembang di Vietnam. Dari sini budaya Sumatralith ini menyebar ke Kamboja Laos, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Melihat asal usul budaya alat batu tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pendukung budaya tersebut adalah manusia yang bercirikan ras Mongoloid.

Teuku Jacob menjelaskan bahwa manusia Wajak yang oleh Dubois diklasifi kasikan sebagai proto-Australoid, adalah hasil campuran antara ras Australomelanesid dan ras Mongoloid (Jacob, 1977: 117). Walaupun pertanggalan absolut fosil Manusia Wajak masih belum ditemukan, akan tetapi apabila kita mengacu pada pernyataan Teuku Jacob tersebut, maka dapat disimpulkan pula bahwa kedatangan ras Mongoloid di Jawa kira-kira berlangsung sedikitnya 10.000 tahun yang lalu, hal ini sesuai dengan hasil analisis pertanggalan C-14 dari fosil fauna Wajak (Shutler, 1994; 2). Sementara berdasarkan posisi stratigrafi situs diketahui secara relatif bahwa manusia Wajak diperhitungkan telah ada sejak antara 40.000 – 25.000 tahun yang lalu (Soejono dan Leirissa, 2008: 92).

Di atas telah disebutkan bahwa manusia Wajak yang Australomelanesid sisa-sisanya masih ditemukan di Australia. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya sampel yang digunakan pada kesempatan ini adalah kepulauan Melanesia, satu kawasan di Pasifi k yang dekat dengan Benua Australia. Kepulauan Melanesia meliputi beberapa kelompok pulau yaitu New Guinea (Papua), New Britain, Bismarck, New Ireland, Solomon, Royalty, New Hibride, dan Kepulauan Fiji, serta pulau-pulau kecil lainnya yang seluruhnya berjumlah 341 gugusan. Pembagian wilayah antara Melanesia, Polynesia, dan Micronesia adalah berdasarkan ciri budaya atau kulturalnya. Diantara ketiga wilayah tersebut, secara kultural Melanesia yang paling dekat dengan Indonesia. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya situs-situs yang dijadikan sampel diambil dari kawasan

(3)

Melanesia. Di dalam mengkaji prasejarah Melanesia, kita tidak akan lepas dari konteks proses migrasi bangsa-bangsa yang sekarang ini mendiami beberapa wilayah seperti Asia Tenggara, Oceania, dan Australia (Irwin, G.J, 1980: 324-332).

Artikel berjudul “Sekilas Tentang Manusia Prasejarah Indonesia” sengaja saya angkat dalam Jurnal Papua yang bertemakan “migrasi manusia” ini dengan tujuan: Pertama, mengingatkan kepada para peneliti arkeologi bahwa masih banyak permasalahan migrasi bangsa – bangsa yang mendiami wilayah Asia Tenggara dan Pasifi k yang belum tuntas terjawab. Kedua, khusus bagi para peneliti arkeologi di Balai Arkeologi Jayapura khususnya dan Balai Arkeologi lainnya yang berada di Kawasan Timur Indonesia pada umumnya, mudah-mudahan artikel ini dapat memberikan inspirasi dalam merencanakan kegiatan penelitian di waktu-waktu yang akan datang.

Manusia Wajak, Homo sapiens tertua di Indonesia

Berbicara tentang Homo wajakensis, kita akan selalu diingatkan pula kepada seorang dokter asal Belanda yang memiliki keinginan keras untuk datang ke Hindia Belanda (Indonesia) untuk membuktikan atau mencari bukti-bukti akan teori evolusi Charles Darwin seperti yang tertuang dalam bukunya berjudul The Origin Of Species, walaupun saat itu masih sarat akan polemik-akademik. Dengan mendaftar sebagai tentara Belanda untuk tenaga medis, bersama isteri dan anak Dubois akhirnya dikirim ke Sumatera. Di sela-sela waktunya bertugas sebagai dokter tentara Belanda, Dubois selalu mencari waktu untuk melakukan “misi utamanya” yaitu mencari fosil dan sisa-sisa nenek moyang manusia. Sayang ekspedisi Sumatera rupanya belum berhasil, dan dia mengalihkan perhatiannya ke Jawa. Hal ini juga dipicu adanya informasi tentang temuan fosil tulang-belulang manusia di Desa Campurdarat, Kabupaten Tulungagung yang kemudian dikenal sebagai fosil Wajak I. Berdasarkan data tersebut Dubois melakukan penggalian di lokasi disekitar tempat penemuan fosil Wajak I, dan beruntung dia juga menemukan fosil manusia Wajak II (Widianto, inpress).

Selain tulang-belulang dari Campurdarat di atas, temuan penting Eugene Dubois selama penelitiannya di Jawa adalah beberapa fosil tulang hominid yang dia pastikan sebagai makhluk nenek moyang manusia yang selama ini dicari-cari oleh para pengikut teori evolusi Darwin. Temuan spesies hominid yang dinamakan Pithecanthropus erectus

(4)

yang kemudian disebut Homo erectus inilah missing link yang berhasil ia temukan di Trinil, Madiun, Jawa Timur tidak jauh dari aliran Bengawan Solo. Temuan yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah fosil cranium, femur, dan gigi hominid yang dipastikan dari satu individu yang sama. Sebagai seorang ahli anatomi, Dubois berhasil merekonstruksi dan menyimpulkan bahwa cranium, gigi, dan tulang paha tersebut milik hominid yang telah berjalan tegak, walaupun bentuk muka menyerupai kera. Dalam publikasinya disebutkan bahwa hominid tersebut adalah makhluk manusia-kera yang berjalan tegak.

Homo erectus (Latin: “manusia yang berdiri tegak”) adalah spesies yang

telah punah dari genus Homo. Pakar anatomi Belanda Eugene Dubois pertama kali menggambarkannya sebagai Pithecanthropus erectus berdasarkan fosil tempurung kepala dan tulang paha yang ditemukannya di Trinil, Jawa Timur. Sepanjang abad ke-20, antropolog berdebat tentang peranan Homo erectus dalam rantai evolusi manusia. Pada awal abad itu, setelah ditemukannya fosil di Jawa dan di Zhoukoudian, para ilmuwan mempercayai bahwa manusia modern berevolusi di Asia. Hal ini bertentangan dengan teori Charles Darwin yang mengatakan bahwa manusia modern berasal dari Afrika. Namun, pada tahun 1950-an dan 1970-an, beberapa fosil yang ditemukan di Kenya, Afrika Timur, ternyata menunjukkan bahwa hominine memang berasal dari benua Afrika. Sampai saat ini para ilmuwan mempercayai bahwa Homo erectus adalah keturunan dari makhluk mirip manusia era awal seperti Australopithecus dan keturunan spesies Homo awal seperti Homo habilis. Homo erectus dipercaya berasal dari Afrika dan bermigrasi selama masa Pleistosen awal sekitar 2,0 juta tahun yang lalu, dan terus menyebar ke seluruh Dunia Lama hingga mencapai Asia Tenggara (Poirier, 1981: 280 – 285; Pope, 1984: 277 – 297). Tetapi hasil penelitian yang dilakukan secara intensif di Sangiran beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa Homo erectus Sangiran telah ada sejak 1,9 juta tahun yang lalu (Widianto dan Simanjuntak, 2009).

Volume otak rata-rata Homo erectus bervariasi antara 750 cc hingga 1200 cc, sedangkan volume otak Homo erectus Jawa rata-rata 900 cc lebih kecil dibandingkan dengan volume otak Homo erectus dari China yang mencapai 1043 cc (Poirier, 1981: 277). Temuan fosil manusia purba dalam jumlah yang mencapai 11 buah tengkorak di suatu di Desa Ngandong, Kabupaten Blora, Jawa Tengah pada tahun 1931 dan 1941. Berdasarkan lokasi temuan yang berada di teras Bengawan Solo, maka Dubois dan von

(5)

Koenigswald menyebutnya Homo soloensis. Dinding cranium ke 11 tengkorak tersebut relatif sudah menipis sehingga volume otak lebih besar dibanding otak Homo erectus. Yaitu antara 1150 cc dan 1300 cc (Poirier, 1981: 281). Berdasarkan volume otaknya, maka dapat diperkirakan bahwa Homo soloensis lebih maju daripada Homo erectus. Sementara manusia Wajak yang diklasifi kasikan sebagai Homo sapiens tertua di Indonesia diketahui bahwa volume otaknya mencapai 1550 cc (Widianto, inpress), merupakan kapasitas yang sama dengan otak Neanderthal Eropa yaitu antara 1525 cc – 1600 cc (Poirier, 1981: 332).

“Eugene Dubois was given two fossil skulls from Wadjak, central Java.(yang

benar mestinya east Java) These were cemented in limestone, and unaccompanied by

any cultural assemblage” (Poirier, 1981: 363). Sebagai “manusia modern” manusia

Wajak walaupun dalam taraf sederhana pasti telah mengenal berbagai jenis peralatan dan tentu saja api sebagai sarana dalam mempertahankan hidupnya. Secara kontekstual antara temuan fosil tulang-belulang manusia Wajak dan peralatan yang dimilikinya dalam satu lokasi penelitian, selama ini memang tidak ditemukan. Akan tetapi konteks secara universal dapat diketahui dari adanya temuan alat – alat batu seperti serpih-bilah, kapak perimbas, serta alat-alat yang terbuat dari tulang maupun tanduk binatang merupakan bukti budaya akhir masa pleistosen dan awal holosen (Soejono dan Leirissa, 2008: 27).

Alat batu hoabinhian, yang merupakan perkakas milik Homo sapiens ini ditemukan memanjang dari Sumatera hingga Asia Tenggara Daratan, kemudian ditemukan pula di Cina Selatan dan Taiwan. Di Sumatera Utara, artefak Hoabinhian ditemukan terkait dengan tiga jenis situs yaitu: 1. Situs-situs terbuka di daerah batu kapur di tepian pantai; 2. Situs-situs terbuka yang berada di perbukitan dekat pantai dan di kaki-kaki Pegunungan Bukit Barisan; dan 3. di Bukit Kerang atau kjokkenmoddinge. Alat batu yang juga dikenal sebagai Sumatralith ini banyak ditemukan di pantai Timur Sumatera Utara telah diteliti sejak tahun 1925 oleh Van Stein Callenfels dan pada tahun 1972 dilanjutkan oleh Van Heekeren (McKinnon, 1991: 132). Artefak sejenis Sumatralith atau sering juga disebut dengan istilah Hoabinhian di Indonesia ditemukan tersebar hampir di seluruh kepulauan.

Di Indonesia bagian Timur, temuan perkakas Hoabinhian ditemukan pula di gua-gua pegunungan kapur di wilayah Timor Barat. Hasil penelitian di Gua Jepang, dan Gua Camplong, Kabupaten Kupang ditemukan beberapa fl akes yang terbuat dari silicifi ed tuff

carbonatan dan cangkang kerang yang mengindikasikan bahwa gua-gua tersebut pernah

(6)

Malaka Tengah, Kabupaten Belo selain ditemukan beberapa fl akes, ditemukan pula cangkang moluska laut dan tulang binatang vertebrata yang diperkirakan merupakan sisa-sisa bukti bermukimnya manusia prasejarah. Temuan sejenis juga didapatkan di beberapa rock shelter di wilayah Kecamatan Amfuang Selatan, Kabupaten Kupang (Sukandarrumidi dan Suprijo, 2008: 2 – 9).

Hubungan antara Indonesia dan Asia Tenggara

Pada paragraf sebelumnya telah disinggung bahwa sebaran salah satu alat batu jenis kapak perimbas yang berasal dari budaya pleistosen akhir-awal holosen mencapai hampir seluruh kawasan Indonesia, bahkan secara universal alat batu tersebut ditemukan pula di kawasan Asia Tenggara lainnya. Di Vietnam misalnya, kapak perimbas atau chopper banyak ditemukan di gua Lang Trang I – IV, dan Tam Hang cave, lebih lanjut dijelaskan bahwa di gua-gua tersebut juga ditemukan fosil hominid yang dapat disejajarkan dengan

Homo erectus modjokertensis dari Jawa (Ciochon and Olsen, 1990: 59 – 73). Selain di

Bac Son dan Hoa Binh, kapak batu serupa juga ditemukan di situs Da But yang terletak di Kabupaten Vinh Loc, Propinsi Thanh Hoa, Vietnam. Berbeda dengan budaya Bac Son – Hoa Binh, alat batu Da But ditemukan bersama-sama dengan perkakas tembikar serta berasosiasi dengan kubur berposisi jongkok atau terlipat yang diidentifi kasi dari manusia berciri Melanesid (Bui Vinh, 1991: 127 – 131).

Di Thailand alat batu sejenis Hoabinhian ditemukan di lapisan pleistosen atas dan berkorelasi dengan fosil sisa-sisa tulang-belulang binatang dan pecahan tembikar. Penelitian yang dilakukan di Lembah Khwae Noi yang meliputi 9 (sembilan) situs gua dan 4 (empat) lokasi situs terbuka (open air sites). Hasil ekskavasi salah satu situs Gua Lang Kamnan antara lain: Pada lapisan pertama dan kedua ditemukan pecahan tembikar, tulang binatang, fl akes, kerang, dan tungku perapian. Lapisan ke tiga dan ke empat ditemukan konsentrasi (asemblage) fl akes dan batu inti, serta tulang dan kerang yang terbakar. Pertanggalan situs Gua Lang Kamnan berdasarkan salah satu sampel C-14 dating diketahui berumur 7540±180 BP (Shoocongdej, 1991: 143 – 149).

Di Filipina, penemuan fosil manusia purba dan perkakas hidupnya antara lain di Gua Tabon. Oleh para peneliti, Manusia Tabon diyakini sebagai Homo sapiens tertua di Filipina. Gua Tabon yang terletak di Lipuun Point, Quezon, Palawan, pernah diteliti oleh Robert B. Fox antara tahun 1960 – 1967. Berdasarkan pertanggalan Carbon 14 fosil

(7)

Manusia Tabon diketahui berumur antara 22.000 – 24.000 tahun yang lalu. Fosil Manusia Tabon berkorelasi dengan alat-alat batu dari budaya paleolitik awal. Dari hasil analisis pertanggalan terakhir dari sisa-sisa arang yang ditemukan dalam penelitian di Gua Tabon, diketahui adanya umur 30.000 tahun yang lalu. Hal ini memberikan informasi pula bahwa di Filipina manusia Tabon telah mengenal api kira-kira 30.000 tahun yang lalu (www. ncca.gov.ph/about-culture-and-arts/articles).

Budaya pendahulu hoabinhian di Asia Tenggara adalah artefak atau alat batu kerakal dengan serpihan lebih sederhana. Alat ini disebut pula dengan istilah sonviian dan dijelaskan oleh Bellwood (2000) antara lain ditemukan di Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Di wilayah-wilayah tersebut antara alat-alat sonviian dan hoabinhian diketahui adanya perbedaan yang jelas baik dari tinjauan teknologi maupun waktu atau pertanggalannya. Pertanggalan artefak sonviian di berdasarkan analisis carbon-14 ditarikhkan antara 23.000 dan 11.000 tahun, sedangkan peralatan hoabinhian di Vietnam bertarikh kira-kira 18.000 tahun (Bellwood, 2000: 238 – 239). Perbedaan waktu antara sonviian dan hoabinhian yang relatif tumpang-tindih, maka keberadaan artefak baik sonviian maupun hoabinhian dapat disejajarkan dengan keberadaan manusia homo sapiens pendukungnya.

Hubungan antara Indonesia dan Pasifi k

Homo “wajakensis” sapiens mulai menyebar atau bermigrasi masuk ke Australia kira-kira 30.000 tahun yang lalu, demikian mereka masuk ke Amerika Utara diperkirakan pada waktu yang hampir bersamaan (Poirier, 1981: 350-351). Di Australia dibuktikan dengan temuan sisa tulang-belulang manusia di situs Kow Swamp, Victoria Utara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1967 diketahui bahwa ada 40 (empat puluh) lebih rangka manusia baik laki-laki maupun perempuan, dewasa dan anak. Pada umumnya rangka-rangka manusia tersebut dapat disejajarkan dengan manusia Aborigin yang datang ke Australia pada masa lalu, akan tetapi dari wajah, dahi, dan gigi-geliginya tidak mirip dengan Aborigin modern. Mereka memiliki ciri yang arkaik dan secara osteologis termasuk primitif seperti hominid pleistosen tengah yang ditemukan di Jawa. Adapun pertanggalan yang diperoleh dari analisis radiometrik, secara variatif berkisar antara 15.000 – 9.000 tahun yang lalu (Thorne, 1980: 96 – 100).

Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa yang dimaksud wilayah Pasifi k dalam artikel ini adalah Kepulauan Melanesia, dengan pertimbangan bahwa

(8)

sebagian besar dari Kepulauan tersebut dahulu secara geologis pernah menyatu dengan benua Australia (periksa peta). Beberapa situs prasejarah di Melanesia antara lain ditemukan di Irian Jaya (Papua) yang ada di bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Papua New Guinea di sebelah Timur. Tentang prasejarah di Papua, R. P. Soejono (1963) telah menulis sebuah buku berjudul “Prehistori Irian Barat” yang menyebutkan bahwa tinggalan prasejarah di Papua terdiri dari:

1. Artefak Mesolitik seperti misalnya fl akes, scrapper, mata tombak, dan mata panah yang terbuat dari batu yang ditemukan di Gua Dudumunir, Pulau Arguni. Selain perkakas Mesolitik di gua tersebut ditemukan lukisan dinding gua.

2. Artefak Neolitik antara lain kapak persegi, kapak lonjong, pecahan tembikar baik polos maupun berhias ditemukan di Ayambori, Kotabaru dan di sekitar Danau Sentani.

3. Artefak Megalitik seperti patung nenek moyang, tembok perbentengan, altar batu, dan lesung batu ditemukan di Pulau Adi, Namatate, Patipi, Fu-um, Ora, Batanta, Sorong, Numfor, dan Danau Sentani.

4. Artefak Perunggu misalnya kapak corong, sisa-sisa nekara, dan mata tombak ditemukan di sekitar Danau Sentani dan Danau Aimaru.

Di Papua New Guinea (PNG), tinggalan artefak prasejarah terdapat baik di kawasan dataran tinggi (high land) maupun di dataran rendah (lowland). Situs – situs di wilayah dataran tinggi antara lain:

1. Situs Kosipe, merupakan situs terbuka (open site) terletak kira – kira 135 Km disebelah Utara Port Moresby ibukota PNG suatu wilayah yang terletak ± 2000 meter diatas permukaan air laut. Beberapa artefak prasejarah yang ditemukan di situs ini yaitu waisted axe dan axe-adze. Selain itu ditemukan pula sisa-sisa domestikasi tanaman seperti taro, yam, dan breadfruit yang dikonsumsi manusia prasejarah waktu itu. Berdasarkan pertanggalan carbon-14 diketahui situs Kosipe berumur 26.000 tahun BP (Irwin, 1980: 324 – 325).

2. Situs Kafi avana, merupakan situs gua payung (rock shelter) dengan pertanggalan c-14 diketahui bahwa situs ini umurnya 11.000 tahun BP. Artefak penting yang ditemukan di Situs Kafi avana antara lain, serpih dengan retus, axe-adze, pebble, dan tulang babi (Irwin, 1980: 324 – 325).

(9)

3. Situs Kiowa, situs ini berupa rock shelter yang pernah diteliti oleh Susan Bulmer, informasi dari hasil penelitian tersebut antara lain, situs Kiowa kira-kira berumur 10.000 tahun BP. Adapun beberapa artefak yang ditemukan dalam penelitian tersebut antara lain, waisted axe, axe-adze, pebble, dan tembikar polos (Bulmer, 1964; Bulmer, 1976).

4. Pada penelitian situs – situs sejenis (rock shelter) seperti Yuku, Niobe, dan Batari ditemukan pula artefak seperti axe-adze, waisted axe, serpih, dan tulang babi, anjing dan sejenis ayam. Adapun pertanggalan situs-situs di atas diketahui berumur 10.000 tahun BP (Irwin, 1980: 324 – 325).

Situs-situs di wilayah dataran rendah (low land) PNG ditemukan di kawasan pantai seperti daerah Nibera, Wanigela, dan di pulau Tami. Berdasarkan analisis pertanggalan C-14, diketahui bahwa situs-situs di kawasan low land berumur 3000 tahun BP, umur yang jauh lebih muda dibandingkan dengan bukti-bukti kehidupan di kawasan highland. Temuan artefak di situs-situs dataran rendah ini antara lain axe-adze yang sudah diasah, tembikar berhias yang bercirikan Lapita. Temuan artefak seperti ini banyak ditemukan di New Brittain, Bismarck, New Hibride, dan Fiji (Irwin, 1992: 21 – 23).

(10)

Penutup

Dalam artikel ini terminologi Prasejarah Indonesia diawali dari kehidupan Manusia Wadjak kira-kira 40.000 tahun yang lalu seperti yang diperkirakan oleh GHR von Koenigswald, berdasarkan lapisan geologis yang dapat dijadikan pertanggalan secara relatif. Oleh karena manusia Wajak ini besar kemungkinan hasil dari evolusi Homo erectus dan Homo soloensis, maka dapat disimpulkan sementara bahwa manusia modern tertua Indonesia ini memang “lahir” di Jawa. Salah satu cara untuk mengetahui budaya manusia prasejarah adalah dengan mengetahui jenis peralatan hidup mereka, yang pada umumnya terbuat dari bahan yang cukup kuat seperti misalnya bahan batuan yang ditemukan dilingkungan tempat tinggalnya. Peralatan jaman batu tersebut biasanya ditinggal atau disimpan dimana mereka bermukim antara lain di gua – gua ataupun rock shelter yang merupakan lokasi paling cocok pada waktu itu bagi manusia prasejarah.

Artefak hoabinhian yang menjadi salah satu ciri peralatan manusia prasejarah memiliki persebaran yang sangat luas, yaitu dari Barat-Laut di wilayah Asia Tenggara Daratan (bahkan China Selatan) hingga wilayah Tenggara di Pasifi k. Bagaimana peran Indonesia (Jawa) yang terletak diantara kedua wilayah di atas? Inilah permasalahan penting terkait dengan migrasi manusia prasejarah pada masa akhir pleistosen dan awal

Kondisi geografi s daratan Asia Tenggara – Indonesia dan Kepulauan Pasifi k kala plestosen akhir

(11)

holosen. Berdasarkan data pertanggalan situs homo sapiens dan artefak hoabinhian baik yang ditemukan di wilayah Asia tenggara, Jawa, maupun di Pasifi k, dapat ditarik benang merah bahwa usia tertua ditemukan di situs Wajak kira-kira 40.000 tahun. Situs – situs di Asia Tenggara memiliki umur antara 26.000 dan 10.000 tahun seperti yang ditemukan di Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Phillippines. Sedangkan di Pasifi k pertanggalan situs-situs prasejarah yang terkait dengan sebaran homo sapiens antara 30.000 dan 10.000 bahkan ada yang 5.000 tahun yang lalu.

Dengan demikian besar kemungkinan persebaran atau migrasi manusia prasejarah seperti Homo wadjakensis diawali dari Jawa kemudian menyebar ke arah Barat-Laut hingga Asia Tenggara Daratan dan adapula yang ke Timur hingga sampai ke Australia melalui Melanesia (periksa peta berikut). Pertanggalan C14 Homo erectus tertua di Sangiran diketahui 1,9 juta tahun yang lalu (Widianto dan Simanjuntak, 2009) memperjelas bahwa munculnya manusia purba sejak kala plestosen awal dan manusia prasejarah pada masa plestosen akhir-awal holosen di Indonesia, mereka bukanlah berasal dari Afrika. Fosil – fosil seperti Meganthropus paleojavanicus, Homo erectus, dan Homo wadjakensis adalah bukti bahwa manusia purba dan manusia prasejarah Indonesia berevolusi di Jawa.

Hipotesis yang menyatakan bahwa manusia Wajak memiliki kemiripan dengan manusia suku Aborigin yang sekarang menempati wilayah Benua Australia bagian Utara, menjelaskan pula bahwa mereka bermigrasi ke Timur atau ke arah Pasifi k. Manusia Wajak yang dapat disebut sebagai manusia prasejarah tertua di Indonesia, apakah mereka hanya menyebar ke arah Pasifi k (Timur) atau juga ke arah yang lain? Temuan artefak ataupun sisa-sisa fosil manusia prasejarah seperti yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara (Thailand, Philippine, dan Malaysia) serta wilayah lain bagian Barat Indonesia yang memiliki pertanggalan jauh lebih muda daripada umur manusia Wajak, dapatkah dijadikan bukti bahwa manusia Wajak juga bermigrasi ke wilayah – wilayah tersebut? Beberapa pertanyaan penelitian di atas hanyalah sebagian kecil dari permasalahan kehidupan manusia prasejarah di Indonesia yang menuntut dilakukannya penelitian arkeologis yang komprehensif diantara berbagai disiplin ilmu, serta penelitian yang integratif baik diantara Balai – Balai Arkeologi di Indonesia maupun antara Balai Arkeologi dengan peneliti arkeologi dari negara yang berbatasan dengan wilayah kerja Balai Arkeologi tersebut.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bui Vinh, 1991. “The Da But Culture in The Stone Age of Vietnam”, dalam Bellwood:

Bulletin of the Indo-Pacifi c Prehistory Association, No. 10, Volume I.

Bulmer, Susan, 1964. “Prehistoric Stone Implements From The New Guinea Highlands”, dalam: Oceania, Vol. 34, No. 4 (Jun. 1964), pp. 246 – 268.

Bulmer, Susan, 1976. The prehistory of the New Guinea Highlands, published by University of Auckland, Thesis (M.A.) 1966.

Ciochon, R. L. And Olsen, J. W. 1991. “Palaeoanthropological And Archaeological Discoveries From Lang Trang Caves: A New Middle Pleistocene Hominid Site From Northern Vietnam”, dalam Bellwood: Bulletin of the Indo-Pacifi c

Prehistory Association, No. 10, Volume I.

Darwin, Charles, 1998. The Origin of Species, introduction by Jeff Wallace, Wordsworth Classics of World Literature, Wordsworth Editions Limited.

Haji Taha, Adi. 1989. “Archaeological, Prehistoric, Protohistoric and Historic Study of The Tembeling Valley, Pahang West Malaysia”, Jurnal Arkeologi Malaysia, Bilangan 2 – 1989, PP 46/9/88, ISSN 0128-0732.

Irwin, G.J. 1980. “The prehistory of Oceania: colonization and cultural change”, dalam: Andrew Sherratt, The Cambridge Encyclopedia of Archaeology, Cambridge University Press.

Irwin, Geoffrey. 1992. The Prehistoric Exploration and Colonisation of the Pacifi c, Cambridge university Press.

Jacob, Teuku, 1977. “Evolution of Man in Southeast Asia”, Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. IX, No. 4. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada. McKinnon, E. Edward. 1991.”The Hoabinhian in The Wampu/Lau Biang Valley of

Northeastern Sumatra: An Update”, dalam Bellwood: Bulletin of the

Indo-Pacifi c Prehistory Association, No. 10, Volume I.

Poirier, Frank E. 1981. Fossil Evidence, The human evolutionary journey, The C.V. Mosby Company, Third Edition.

Pope, Geoffrey. 1984. Antropologi Biologi, khusus untuk konsumsi mahasiswa Indonesia dalam bahasa Inggris, dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Parwati Kramadibrata, hak terjemahan dan hak penerbitan pada CV. Radjawali, Jakarta.

(13)

Shoocongdej, Raasmi. 1991. “Recent Research On The Post-Pleistocene In The Lower Khwae Noi Basin, Kanchanaburi, Western Thailand”, dalam Bellwood:

Bulletin of the Indo-Pacifi c Prehistory Association, No. 10, Volume I.

Soejono, R. P. 1963. ”Prehistori Irian Barat”, dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar: Penduduk Irian Barat, Projek Penelitian Universitas Indonesia, PT. Penerbitan Universitas.

Soejono, R. P. dan Leirissa, R. Z. 2008. “Jaman Prasejarah Di Indonesia”, dalam: Sejarah

Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Shutler (et al). 1994. “Wadjak AMS bone apatite C – 14 dates”, The 15th Indo Pacifi c

Prehistory Association Congress, Chiangmai, Thailand.

Sukandarrumidi dan Suprijo, Agus. 2008. “Geologi dan Manusia Prasejarah, Suatu Pendekatan Menemukan Hunian Manusia Nomad”, dalam Gunadi dan Sumijati: Prasejarah Indonesia dalam Lintasan Asia Tenggara dan Pasifi k, diterbitkan oleh Asosiasi Prehistorisi Indonesia (API), ISBN 978-979-17897-0-7.

Thorne, Alan. 1980. “The arrival of man in Australia”, dalam Andrew Sherratt: The

Cambridge Encyclopedia of Archaeology, Cambridge University Press.

Widianto, Harry. Tanpa Tahun. “Kehidupan Manusia Purba di Indonesia”, dalam: Sejarah Nasional Indonesia, diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (inpress).

Widianto, Harry dan Simanjuntak, Truman 2009. Sangiran Menjawab Dunia, diterbitkan oleh: Balai Pelestarian Situs Manusua Purba Sangiran, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Wiradnyana, Ketut. 2008. “Model Pemukiman dan Penggunaan Kerang Masa Mesolitik di Situs Bukit Kerang Sukajadi Kab. Langkat, Sumatera Utara (Satu Studi Awal)”, dalam Gunadi dan Sumijati (editor): Prasejarah Indonesia dalam

lintasan Asia Tenggara – Pasifi k, diterbitkan oleh Asosiasi Prehistorisi

Indonesia, ISBN 978-979-17897-0-7.

www.ncca.gov.ph/about-culture-and-arts/articles, Situs web The National Commission

for Culture and the Arts, Republic of Philippines, downloading 10 Desember

Referensi

Dokumen terkait

Selain pelatihan untuk mempersiapkan sum- ber daya manusia yang ada, pemetaan yang di- lakukan juga dapat digunakan sebagai sarana sosialisasi sistem informasi yang

Maka rumusan masalah peneliti adalah “Hubungan Persepsi, Dukungan Media, Perilaku Teman Sebaya dan Peran Keluarga dengan Praktik Safety Riding Kendaraan Roda Dua Pada

 Peserta didik berfikir bersama, tiap peserta didik dalam kelompok membagi tugas, menjelaskan kepada teman kelompoknya yang belum memahami materi, menyatukan pendapat

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan serta efektifitas media video tutorial yang dikembangkan dalam mata pelajaran Pemrograman Dasar

Adapun Al-Farisi (2011: 141) memberikan contoh ungkapan penyesalan dalam kebiasaan masyarakat Arab, yaitu “ هيفكٍ بلقي ” yuqallibu kaffaihi yang bermakna

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan “anggapan penyebab kecelakaan karena lingkungan kerja yang tidak aman” ... Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan “anggapan penyebab

Dalam penelitian Eizenberg (2010), tentang Implementation of Evidence-Based Nursing Practice didapatkan hubungan yang signi ikan antara pendidikan dengan praktik

Katalis berfungsi untuk memepercepat reaksi dan menurunkan energi aktiviasi sehingga reaksi dapat berlangsung pada suhu kamar sedangkan tanpa katalis reaksi dapat berlangsung