• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : Dinar Ria Anantasari V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : Dinar Ria Anantasari V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Persepsi petani terhadap jenis pekerjaan yang akan dipilih, pasca alih fungsi lahan (kasus di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar)

Oleh : Dinar Ria Anantasari

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Partisipan

Hakekat sensoris stimulus, latar belakang, pengalaman sensori terdahulu yang berhubungan dan perasaan-perasaan pribadi, sikap, dorongan dan tujuan yang mempengaruhi persepsi seseorang, secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan karakteristik partisipan yang meliputi : umur partisipan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, luas kepemilikan lahan dan jenis keterampilan serta riwayat kerja. Akan tetapi karena penelitian ini bersifat kualitatif dan tidak bertujuan untuk mencari hubungan antara karakteristik partisipan dengan persepsinya terhadap jenis pekerjaan yang akan dipilih pasca alih fungsi lahan, maka dalam penelitian ini, identitas atau karakteristik partisipan diperhatikan sebagai acuan atau sumber atas keberagaman persepsi terhadap pilihan pekerjaan pasca alih fungsi lahan.

1. Distribusi partisipan menurut umur

Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno (1999) dikatakan bahwa semakin tua usia petani maka semakin rendah keinginan petani untuk bekerja diluar sektor pertanian. Berikut distribusi partisipan menurut umurnya :

Menurut tingkatan usia, usia partisipan yang termuda yaitu 32 tahun hingga partisipan tertua 72 tahun. Dari tingkat umur tersebut dapat diperkirakan lamanya

(2)

pengalaman berusaha tani, yang rata-rata dimulai pada usia 10-15 tahun. Kelompok pertama yaitu partisipan dengan tingkat usia 32-45 tahun, dikatakan muda karena pengalaman berusaha tani antara 15-30 tahun, sedang kelompok kedua yaitu partisipan berusia 46-59 tahun kategori sedang, dengan pengalaman usaha tani 30-45 tahun, kelompok yang terakhir yaitu partisipan berusia lebih dari 60 tahun, dengan pengalaman usaha tani lebih dari 45 tahun dengan kategori tua.

Dari pengalaman berusahatani yang dimiliki oleh partisipan yang berusia lebih dari 60 tahun, partisipan a menyatakan :

“Ada perumahan yang memerlukan banyak lampu penerangan mengundang hama

serangga yang akhirnya akan merusak atau memakan tanaman padi disepanjan wilayah yang ada penerangan lampu tersebut”

Partisipan a tersebut juga menyatakan bahwa :

“Limbah dari perumahan yang berupa air sabun sisa pencucian baju atau alat makan,

yang dibuang ke saluran air juga menimbulkan tanaman padi yang tersendam air tersebut menjadi tidak subur lagi, bulirnya lebih kecil dari tanaman padi yang airnya masih bersih.”

Dari pengalaman dan pengamatan partisipan b menyebutkan :

“Banyak penghuni perumahan yang membuang sampah di saluran irigasi yang akhirnya

menyumbat dan mengganggu kelancaran air, terlebih lagi ada yang membuang pecahan kaca yang pernah melukai seorang petani yang sedang membersihkan saluran irigasi tersebut.”

Partisipan yang berusia lebih dari 60 tahun ada 14 orang (46,6 %) dari keseluruhan partisipan. Pada usia tersebut secara umum produktifitas seseorang sudah mulai menurun karena faktor kesehatan maupun menurunnya fungsi fisik yang lainnya. Sedangkan untuk usia produktif yaitu usia 32-59 tahun pada umumnya produktifitas seseorang akan terus meningkat hingga mencapai puncaknya atau

(3)

stagnan pada usia antara 46-59 tahun. Jumlah partisipan pada kedua tingkat usia ini

sama yaitu masing-masing 8 (delapan) orang atau 26,7 persen. Sehingga jumlah keseluruhan partisipan yang berusia produktif ada 53,4 %. Dari jumlah ini dapat diketahui bahwa dunia pertanian dengan berbagai penialaian masih tetap bisa eksis.

Mayoritas partisipan yang berusia lebih dari 60 tahun memiliki pengalaman usaha tani yang cukup lama. Banyaknya partisipan yang usianya tua (diatas 60 tahun) ini juga menunjukan bahwa pertanian sudah kurang dilirik atau diminati sebagai suatu usaha yang bisa menghasilkan pendapatan atau keuntungan yang diharapkan, meskipun mereka sudah cukup berpengalaman. Anggapan atau persepsi bahwa dunia pertanian penuh dengan resiko, karena sifatnya yang sangat tergantung pada alam menyebabkan generasi muda (anak-anak partisipan), khususnya pada tingakatan usia produktif enggan terjun ke pertanian. Mereka lebih memilih bekerja di pabrik atau di tempat lain yang menjanjikan upah atau pendapatan yang pasti dan dapat diperoleh secara rutin tiap bulan, atau tiap minggu.

Partisipan c menyatakan, :”Dari ke-tiga anak saya, dua orang lulusan ATW

(Akademi Teknik Warga) dan sudah bekerja di kota (Tangerang dan Jakarta), saya berharap kehidupan mereka bisa lebih baik daripada bapak dan ibunya, sedang yang satu masih menyelesaikan kuliahnya dibidang Teknik.”

Adanya proyek pengembangan perumahan yang menggunakan lahan sawah makin mendesak eksistensi sawah (dunia pertanian), sehingga semakin kurang diminati. Umur merupakan salah satu pertimbangan yang perlu diperhatikan dari partisipan karena semakin muda usia partisipan (pengalaman berusaha tani lebih sedikit) maka pandangannya terhadap jenis pekerjaan yang akan dipilih jika lahan sawah yang dimilikinya diperuntukkan perumahan, akan lebih luas dan beragam jika

(4)

dibandingkan dengan partisipan yang berusia tua yang menganggap pertanian sudah menjadi kehidupan mereka.

2. Distribusi partisipan menurut tingkat pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang kemampuannya dalam mengapresiasikan maupun mempersepsikan sesuatu juga akan lebih luas dan terarah. Pendidikan, dalam hal ini pendidikan formal, mempunyai andil yang cukup besar dalam memberikan pengetahuan dasar dalam berpikir pada diri seseorang, meskipun pengembangannya berbeda-beda pada tiap individu. Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang dalam menilai atau mengungkapkan pendapatnya mengenai sesuatu hal. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka cara berpikirnya akan lebih kompleks dan lebih didasarkan pada logika bukan hanya perasaan atau intuisi, meskipun hal ini juga penting. Tingkat pendidikan yang rendah menghambat seseorang dalam menerima atau mengadopsi teknologi atau penemuan baru.

Menurut tingkat pendidikan formal yang ditempuh, partisipan dikelompokan dalam 5 (lima) kelompok yaitu tidak bersekolah, SD, SLTP, SLTA, dan melanjutkan ke akademi atau sekolah tinggi setelah SLTA

Mayoritas partisipan sudah mengenyam pendidikan hingga SLTP (atau Sekolah Teknik) atau sudah melanjutkan sekolah setelah SD ada 11 orang (36,7 %) dari seluruh partisipan Hal ini menunjukkan bahwa partisipan telah mempunyai kemampuan berpikir yang cukup untuk menerima suatu inovasi baik dalam bidang pertanian maupun di luar pertanian. Partisipan sudah menganggap bahwa pedidikan itu penting. Hal ini terlihat dari jumlah partisipan yang melanjutkan pedidikan hingga sekolah menengah dan akademi maupun tingkat strata (13,3 %). Demikian pula yang

(5)

diungkapkan salah satu partisipan yang tinggal di Baturan, yang menyekolahkan ketiga anaknya hingga tingkat diploma maupun strata, tetapi ironisnya tidak satupun dari ketiga anaknya yang terjun ke pertanian. Diketahui bahwa petani (partisipan) lebih mengarahkan anaknya untuk tidak terjun ke pertanian, meskipun selama ini kebutuhan hidup mereka dicukupi dari hasil pertanian.

Seperti yang diungkapkan oleh partisipan c : “Anak saya ke-tiganya saya

sekolahkan sampai lulus STM dan SMA, kemudian saya sekolahkan lagi sampai lulus D3 teknik dan yang satu masih kuliah, supaya mereka bisa lebih pintar dan bisa jadi orang yang lebih dihormati.” Partisipan c sudah menganggap bahwa pendidikan merupakan modal

yang penting untuk memperolah kehidupan yang lebih baik, partisipan c merasa bahwa dengan menempuh pendidikan yang tinggi seseorang akan lebih dihargai di masyarakat.

Dilihat dari cita-cita dan harapan para petani partisipan terhadap anak-anak mereka, sudah terjadi disposisi pandangan (persepsi) mengenai pertanian atau bekerja sebagai petani. Petani partisipan tetap melakukan usaha taninya, dan tetap mengandalkan pertanian untuk menopang kehidupan mereka, tetapi mereka juga memberikan kebebasan kepada anak-anak mereka untuk tidak terjun ke pertanian, dengan harapan agar anak-anak mereka bisa menjadi orang yang lebih berhasil daripada orang tuanya.

Berbeda halnya dengan partisipan d yang merupakan lulusan Sarjana Pertanian, meskipun kehidupan partisipan d ini sudah cukup baik karena juga membuka usaha persewaan alat-alat resepsi dan mengerjakan beberapa pathok sawah lain dengan menyewa, partisipan ini menyatakan : “sekalipun saya ini lulusan sarjana tapi

(6)

saat ini saya memang mengerjakan sawah warisan orang tua tetapi saya ingin memperbesar usaha persewaan alat-alat resepsi saya kalau ada modal dan juga membuka toko kecil.” Pendidikan

tinggi tidak membuat partisipan d ini meninggalkan pertanian karena modal lain yaitu uang masih kurang.

Pendidikan non formal, seperti pelatihan-pelatihan maupun penyuluhan pertanian sudah jarang diadakan di Kecamatan Colomadu, karena berdasarkan Perda No 2 Tahun 1999, daerah tersebut tidak lagi diarahkan untuk pertanian melainkan untuk perdagangan dan permukiman. Jenis pelatihan yang pernah diikuti oleh partisipan yaitu penanaman sejalur dan pengendalian hama. Pertemuan yang masih rutin dilakukan yaitu pertemuan P3A untuk pengaturan irigasi, dan pemeliharaan saluran. Secara fisik, fasilitas pengairan di Kecamatan Colomadu memang sangat menunjang pertanian di daerah tersebut.

3. Distribusi partisipan menurut luas pemilikan lahan sawah

Sayogyo (1978) menyatakan klasifikasi petani berdasarkan luas lahan garapan dibagi menjadi 3 kelas atau kelompok, yaitu :

a. Petani kecil adalah petani yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 ha ; b. Petani sedang adalah petani memiliki lahan garapan dengan luas antara 0,5-1 ha ; c. Petani besar adalah petani dengan lahan garapan yang luasnya lebih dari 1 ha ;

Sutrisno (1999) menyatakan bahwa makin sempit penguasaan lahan maka makin besar kecenderungan untuk bekerja diluar pertanian. Berikut distribusi partisipan menurut luas lahan yang dimiliki di daerah penelitian :16 orang atau 53,3 persen partisipan merupakan petani kecil dengan luas lahan kurang dari 0,5 ha. Petani sedang dengan luas lahan 0,5-1 ha, 14 orang partisipan (43,4 %) dan petani besar dengan luas lahan lebih dari 1 ha hanya 1 (satu) orang atau 3,3 persen partisipan.

(7)

Luas pemilikan lahan yang sempit (kurang dari 0,5 ha) di daerah yang banyak pembangunan perumahan menyebabkan menurunnya semangat petani untuk mempertahankan lahan mereka. Menurut partisipan, apabila lahan mereka dibeli untuk dibangun perumahan, mereka akan membeli lahan dilokasi lain dan dapat memperoleh lahan yang lebih luas dari semula, meskipun lokasinya lebih jauh dari tempat tinggal mereka. Dari hasil wawancara diketahui 29 partisipan menyatakan akan membeli lahan sawah dan tetap bertani, jika lahan yang dimiliki sekarang dibeli oleh pengembang, sedangkan seorang partisipan yang sudah berusia lanjut, menyatakan akan pensiun sebagai petani jika lokasi lahan yang baru terlalu jauh dari tempat tinggalnya dan akan menyerahkan pengolahannya kepada orang lain atau dibagikan kepada anaknya.

Luas kepemilikan lahan tidak mempengaruhi keputusan untuk menjual lahan karena tata guna lahan di daerah Colomadu memang diarahkan pada pembangunan permukiman maupun sentra perdagangan, tetapi luas pemilikan lahan mempengaruhi persepsi atau pandangan yang mendasari keputusan menjual lahan tersebut. Partisipan dengan luas kepemilikan lahan yang sempit cenderung menganggap bahwa mereka harus menjual lahan yang mereka miliki karena tekanan moril dari lingkungan yang sudah semakin heterogen dan mulai meninggalkan pertanian. Mereka merasa keuntungan yang mereka peroleh dari lahan yang sempit tidak maksimal lagi, karena pengaruh lingkungan (penerangan yang mengundang hama/serangga, limbah rumah tangga dan lain-lain). Partisipan menjual lahan dengan berbagai pertimbangan karena lahan itu merupakan satu-satunya sumber penghasilan mereka, maka mereka menjual lahan dengan harapan dapat mengembangkan luasnya di daerah lain dan dapat memaksimalkan hasilnya.

(8)

Sedangkan petani dengan luasan lahan yang besar lebih cepat mengambil keputusan dalam menjual lahannya karena secara ekonomi mereka lebih matang dan lebih berani mengambil resiko untuk secepatnya menjual lahannya dan secepatnya pula membeli lahan baru yang lebih luas dilokasi lain, hal ini dikarenakan mereka merasa mempunyai jaminan dan rasa aman karena masih memiliki lahan yang lain. 4. Distribusi partisipan menurut tingkat pendapatan dari usaha tani

Menurut hasil penelitian Sutrisno (1999), dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan petani maka semakin besar keinginan untuk bekerja di luar pertanian, dengan harapan untuk semakin meningkatkan atau mengembangkan usahanya.

Tingkat pendapatan yang tidak seimbang antara penerimaan dan pengeluaran, yang dirasakan oleh partisipan dianggap sebagai suatu ketidak- adilan dalam hal pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Seperti diungkapkan oleh salah seorang partisipan yang menyatakan : “Kalau bukan dari usaha tani ya mau dapat darimana uang

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, meski kalau dihitung-hitung sebenarnya hasil dari usaha tani ini sangat mepet dan bahkan sering kurang, sehingga untuk kebutuhan yang ;ainnya harus pinjam sana-sini, tetapi Alhamdullilah selama ini usaha tani saya masih tetap berjalan, dan kebutuhan saya juga tetap terpenuhi. Namanya rejeki, sudah ada yang mengatur, jadi saya tidak khawatir.” Partisipan ini mengakui bahwa kebutuhan hidupnya memang hanya

ditopang dari usaha tani saja, tanpa bekerja di luar usaha tani.

Rata-rata pendapatan partisipan dari pendapatan terendah Rp 800.000,00 hingga pendapatan tertinggi Rp 5.250.000,00, dikelompokkan menjadi 3 kategori pendapatan : rendah, sedang dan tinggi. Dari tabel 5.4. diketahui sebanyak 16 orang partisipan (53,3 %) mempunyai rata-rata pendapatan rendah yaitu kurang dari Rp

(9)

2.300.000,00. Pendapatan sedang sebanyak 11 orang partisipan (36,7 %) dan pendapatan tinggi yaitu diatas Rp 3.800.000,00 sebanyak 3 orang partisipan (10 %).

Mayoritas partisipan adalah petani yang berpendapatan rendah yaitu kurang dari Rp 2.300.000,00 untuk setiap masa tanam. Tingkat pendapatan yang rendah ini merupakan imbangan dari sempitnya luas lahan yang dimiliki oleh partisipan, yaitu antara setengah pathok yang luasnya 1.300 m2

hingga yang memiliki lahan yang luasnya 4.100 m2.

5. Distribusi partisipan menurut pengalaman berkerja di luar pertanian a. Distribusi partisipan menurut pengalaman bekerja diluar pertanian

Pengalaman yang diperoleh partisipan dengan bekerja di bidang lain di luar pertanian menimbulkan persepsi yang berbeda dari partisipan yang sama sekali belum pernah mencoba pekerjaan lain di luar bidang pertanian. Seorang partisipan yang pernah bekerja sebagai ABK (Anak Buah Kapal) menyatakan :

“Saya pernah mencoba pekerjaan alin, menjadi ABK selama 4 tahun, tapi hanya sebagai pengalaman saja. Setelah kembali ke darat, saya tetap kembali mengerjakan sawah tinggalan orang tua, dan juga sawah bengkok. Menurut saya bertani itu lebih tenang, atasan kita ya langsung Yang Maha Kuasa, meski kalau diukur dari sudut ekonominya tidak menghasilkan keuntungan seperti kalau bekerja di Swasta atau perusahaan, karena hasil yang diperoleh nantinya juga tetap di tanam lagi.” Partisipan ini menyatakan bahwa

pengalaman bekerja di Kapal membuatnya menyadari bahwa bertani merupakan pekerjaan yang tenang dan lebih mendekatkan partisipan pada Sang Pencipta. Sehingga pengalaman yang dimilikinya semakin menguatkan dan memantapkannya dalam bertani. Selain bertani, partisipan juga membuka pelayanan pengobatan tradisional, bukan untuk bisnis melainkan hanya untuk

(10)

menyalurkan kelebihan yang dimilikinya untuk sesama, pembayaran dari jasa pengobatan ini tidak ada patokan khusus, tetapi disesuaikan dengan kemampuan pasien.

Jumlah partisipan yang pernah mempunyai pekerjaan selain bertani adalah delapan (8) orang atau 26,6 persen; sedangkan partisipan yang belum atau tidak pernah melakukan pekerjaan di luar pertanian lebih banyak yaitu 22 orang (73,4 %). Menurut sejarah kerja yang dimiliki, berarti sebelum terjun atau bekerja sebagai petani, mayoritas partisipan belum pernah melakukan pekerjaan lain di luar pertanian sebagai pengalaman sebelum bertani. Jenis pekerjaan yang pernah dilakukan oleh 8 (delapan) orang partisipan (26,6%), yaitu bekerja sebagai tukang batu ataupun laden tukang, tukang kayu, ABK (anak buah kapal), pegawai negeri (sekarang sudah pensiun), dan guru. Sampai saat dilakukan penelitian sebagian dari partisipan tersebut masih tetap melakukan pekerjaan di luar pertanian. b. Distribusi partisipan menurut pekerjaan di luar pertanian (sampingan) yang

masih dikerjakan

Pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh partisipan selain pekerjaan tani, menunjukkan bahwa mereka mempunyai persepsi yang lebih luas mengenai pekerjaan. Pekerjaan sampingan bagi sebagian partisipan bahkan sudah dijadikan sumber pendapatan pokok bagi partisipan. Berbeda halnya dengan petani yang hanya bertani saja, mereka hanya mengandalkan usaha taninya sebagai penopang hidup.

Jumlah partisipan yang mempunyai pekerjaan sampingan yaitu 14 orang (46,7 %) sedangkan partisipan yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan berjumlah 16 orang (53,3 %). Dari angka–angka tersebut menunjukan ada 6 (enam) orang partisipan yang semula hanya bekerja sebagai petani, seiring

(11)

berjalannya waktu mereka melakukan pekerjaan diluar pertanian (lihat pada tabel 5.5. semula 22 orang partisipan bekerja sebagai petani murni, pada tabel 5.6. jumlah petani murni tinggal 16 orang partisipan). Hal tersebut menunjukan bahwa persepsi partisipan terhadap pekerjaan semakin beragam, terlihat pada peningkatan jumlah partisipan yang mempunyai pekerjaan sampingan.

Keputusan partisipan untuk melakukan pekerjaan sampingan selain bertani pada umumnya dipicu oleh meningkatnya biaya pemenuhan kebutuhan hidup, dan penghasilan dari bertani saja tidak dapat diandalkan untuk mencukupi biaya hidup mereka. Selain itu desakan dan perkembangan jaman serta kemajuan teknologi informasi maupun transportasi menyebabkan partisipan lebih mudah terhubung dengan kehidupan perkotaan, yang memang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Pengaruh kehidupan kota terhadap cara pandang atau persepsi partisipan terutama yang berusia kurang dari 60 tahun sangat nyata, dimana pada usia tersebut tingkat mobilitas mereka tinggi, dan kebutuhan hidup mereka juga tinggi (biaya sekolah anak dan kebutuhan sehari-hari) sehingga mereka lebih giat dalam upaya meningkatkan penghasilannya.

c. Distribusi partisipan menurut keterampilan yang dimiliki di luar pertanian

Keterampilan merupakan suatu bakat yang dimiliki oleh seseorang baik secara genetis atau keturunan maupun terampil yang diperoleh melalui latihan yang dilakukan dengan tekun. Keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sehingga dapat mendatangkan hasil dan keuntungan, demikian pula halnya dengan partisipan. Sebagian dari partisipan yang mempunyai keterampilan dan mampu memanfaatkannya dapat mengembangkan keterampilan tersebut sebagai salah satu usaha sampingannya,

(12)

seperti halnya salah satu partisipan yang mempunyai keterampilan menabuh gamelan, yang juga mempunyai pekerjaan sambilan mengajar gamelan dan karawitan.

Berikut distribusi partisipan menurut keterampilan yang dimiliki diluar pertanian :

Tabel 5.1. Distribusi partisipan menurut keterampilan yang dimiliki di luar pertanian di Kecamatan Colomadu tahun 2003

No Keterangan Jumlah partisipan

(orang)

Prosentase (%) 1 Mempunyai keterampilan

lain di luar pertanian 5 16,6

2 Tidak punya 25 83,4

Jumlah 30 100

Sumber : Analisis data primer

Pada tabel 5.1. diketahui bahwa jumlah partisipan yang mempunyai keterampilan hanya 5 (lima) orang atau 16,6 persen, dan partisipan yang merasa tidak memiliki keterampilan apa-apa sebanyak 25 partisipan (83,4 %). Pada tabel sebelumnya (tabel 5.6.) dinyatakan bahwa jumlah partisipan yang mempunyai pekerjaan sampingan berjumlah 14 partisipan (46,7 %), hal ini menunjukan bahwa ada 9 (sembilan) partisipan yang tidak mempunyai keterampilan khusus namun tetap dapat melakukan pekerjaan sampingan, karena pekerjaan tersebut tidak membutuhkan keterampilan tertentu (misalnya : persewaan alat resepsi, membuka toko/warung, usaha jual-beli kayu).

B. Persepsi Terhadap Alih Fungsi Lahan

Alih fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan Colomadu memang tidak terjadi secara serentak dan langsung, sehingga dampak dari alih fungsi lahan khususnya dari

(13)

lahan sawah menjadi permukiman, kurang begitu diperhatikan. Hal inilah yang justru patut menjadi keprihatinan, dimana suatu permasalahan yang dirasa kecil akan menimbulkan dampak yang besar jika tidak segera ditangani. Salah satu dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan sawah menjadi non sawah yang terjadi dalam skala kecil dapat mengurangi produksi pangan tingkat nasional, karena terjadi secara terus-menerus dan jika jumlahnya disatukan ternyata cukup besar. Seperti halnya di Kecamatan Colomadu dimana pada satu desa hanya terjadi alih fungsi lahan pada 2-5 pathok sawah, tetapi total alih fungsi lahan yang terjadi dalam satu semester bisa mencapai 18,3 Ha. Jika alih fungsi lahan terus berkelanjutan maka dalam waktu kurang dari 20 tahun di Kecamatan Colomadu sudah tidak terdapat lahan sawah.

Masalah alih fungsi lahan memang tidak dapat dihindarkan mengingat kebutuhan akan permukiman yang juga terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Mengenai alih fungsi lahan ini perlu diketahui bagaimana pandangan petani yang masih mengusahakan lahan sawahnya di Kecamatan Colomadu, dimana suatu saat lahan mereka juga akan dialih-fungsikan. Berikut pandangan partisipan mengenai alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan :

Ada 5 orang (16,6%) partisipan tidak keberatan dengan adanya alih fungsi lahan yang terjadi di daerah mereka, sedangkan mayoritas partisipan yaitu 25 orang partisipan (83,4%) pada dasarnya tidak setuju dan keberatan dengan adanya alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan maupun bangunan lainnya.

Partisipan yang menyatakan setuju, berpandangan positif terhadap alih fungsi lahan sawah menjadi permukiman, adalah partisipan dengan pendidikan yang cukup tinggi (sarjana/sarjana muda) atau paling tindak lulus SLTA, serta berusia kurang dari 60 tahun. Alasan yang dikemukakan oleh partisipan yang setuju pada umumnya merupakan

(14)

alasan ekonomi, dimana dengan menjual lahan untuk pembangunan atau proyek perumahan, maka mereka bisa mengembangkan atau memperluas lahan sawahnya dengan jalan membeli lahan sawah di luar daerah tersebut yang harganya cenderung lebih murah. Partisipan yang keberatan dan tidak setuju dengan alih fungsi lahan, secara umum mereka menyatakan bahwa kondisi tanah dan pengairan di daerah tersebut cukup baik dan lancar, selain itu berdasarkan pengalaman mereka keberadaan permukiman di areal persawahan cukup mengganggu. Salah satu contohnya adalah lampu penerangan yang dapat mengundang datangnya hama, yang akhirnya dapat menyerang atau merusak tanaman padi, seperti yang dialami oleh beberapa partisipan yang sawahnya berdekatan dengan permukiman.

Persepsi negatif terhadap pembangunan perumahan yang ditunjukan oleh 83,4 persen partisipan yang menyatakan tidak setuju terhadap hal tersebut, bukan berarti mereka menghalangi atau berupaya menghambat proyek pembangunan yang berlangsung di sekitar mereka. Partisipan yang tidak setuju terhadap alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan tetap akan menjual lahannya jika suatu saat memang harus dialih-fungsikan. Alasan yang mereka kemukakan pada umumnya sama dengan partisipan yang setuju terhadap pembangunan perumahan yang memanfaatkan lahan sawah, yaitu keuntungan secara ekonomi yang bisa mereka dapatkan dari hasil penjualan lahan sawah mereka. Alasan lain yang mereka ungkapkan yaitu mereka merasa sebagai bagian dari masyarakat, sehingga mereka harus menaati peraturan serta ketentuan yang sudah dibuat oleh pemerintah daerahnya. Salah satunya yaitu jika di daerah mereka memang diarahkan untuk pembangunan permukiman, maka mereka juga harus merelakan lahan sawahnya untuk dialih-fungsikan.

(15)

Keputusan petani untuk menyerahkan lahannya untuk dibangun permukiman atau perumahan ini, lebih nampak sebagai suatu kepasrahan (dari pada suatu kesadaran), karena mereka merasa sebagai rakyat kecil yang harus menaati semua ketentuan dari pemerintah, baik itu sesuai dengan keinginan mereka atau malah merugikan kepentingan mereka. Salah satu respoden menyatakan demikian :

“Namanya juga orang kecil, mau tidak mau ya harus mengikuti aturan dari yang di atas (pejabat/pemerintah), kalau melawan juga tidak ada gunanya, Wong hidupnya sudah sulit nanti ndak malah tambah masalah. Jadi ya, manut saja.”

Pernyataan seperti tersebut di atas memang tidak hanya diungkapkan oleh satu atau dua partisipan, tetapi hampir semua partisipan khususnya yang berusia diatas 60 tahun menyatakan kepasrahannya, jika memang alih fungsi lahan yang dilakukan tersebut untuk kepentingan bersama.

C. Persepsi terhadap jenis pekerjaan yang akan dipilih

Bekerja merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia, khususnya mereka yang sudah mempunyai tanggungan atau mereka yang sudah berkeluarga. Bekerja merupakan salah satu sisi kehidupan yang memegang peran cukup penting dalam kelangsungan sebuah rumah tangga. Dilihat dari sisi kependudukan, jika seorang kepala keluarga tidak mempunyai pekerjaan berarti ia menganggur dan lebih sering berada di rumah. Dari sisi sosial, seseorang yang tidak bekerja, tidak berpenghasilan akan berkurang rasa percaya diri dalam bersosialisasi dengan masyarakat sekitar karena kurang mendapat prestise (kurang dihargai). Hal ini dapat menimbulkan tekanan baik bagi yang bersangkutan maupun keluarganya. Akibat lebih jauh lagi jika tekanan ini terus berlangsung, maka dapat berakibat kurang harmonisnya kehidupan rumah tangga dan bahkan dapat

(16)

menyebabkan terjadinya tindakan kriminalitas, seperti mencuri, merampok dan lain sebagainya yang pada umumnya dilakukan karena tekanan ekonomi.

Dari uraian singkat di atas dapat diketahui, bekerja bukan suatu hal yang terpenting dalam kehidupan, namun menjadi sangat penting jika pekerjaan tersebut hilang. Bagi sebagian besar orang pekerjaan yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun, terkadang menimbulkan kesan jenuh atau bosan, tetapi saat kehilangan pekerjaan tersebut maka akan menyebabkan hilangnya pegangan atau pijakan hidup, apalagi jika pekerjaan itu adalah satu-satunya tumpuan hidup. Demikian pula halnya yang akan dihadapi para petani di daerah yang lahan sawahnya memang diarahkan untuk pembangunan perumahan.

Di Kecamatan Colomadu, yang menurut Perda No 2 Tahun 1999 diperuntukan untuk sentra perdagangan dan permukiman, sehingga petani akan terancam kehilangan pekerjaan taninya. Untuk itu perlu diketahui jenis pekerjaan yang akan mereka pilih pada saat lahan sawahnya akan dialih-fungsikan menjadi perumahan, berdasarkan persepsi mereka terhadap pekerjaan yang akan mereka pilih tersebut. Dari para partisipan diketahui bahwa hampir seluruh partisipan tetap akan bertani, dan sebagian juga memilih untuk mencoba pekerjaan lain selain bertani.

Seluruh partisipan menyatakan akan menggunakan hasil penjualan lahan sawahnya untuk membeli lahan sawah yang baru. 1 (satu) partisipan yang memutuskan akan berhenti bertani, sedang sisanya mememutuskan untuk bertani ataupun juga mengusahakan pekerjaan lain, maka distribusi partisipan menurut jumlah pekerjaan yang akan dilakukan pasca alih fungsi lahan adalah sebagai berikut :

Tabel 5.2. Distribusi partisipan menurut jumlah pekerjaan yang akan dipilih pasca alih fungsi lahan di Kecamatan Colomadu tahun 2003

(17)

No Pilihan pekerjaan Jumlah partisipan (orang)

Prosentase (%)

1 Tidak bekerja 1 3,3

2 Hanya bertani saja 18 60

11 36,7 2 6,6 3 9,9 2 6,6 1 3,3 1 3,3 1 3,3

3 Bertani dan melakukan usaha lainnya diluar bertani, dengan perincian: a. PNS

b. Swasta c. Toko

d. Toko dan persewaan alat-alat resepsi

e. PNS dan pengobatan f. PNS dan usaha jual

beli kayu

g. PNS, beternak (puyuh dan lele)dan mengajar

karawitan 1 3,3

Jumlah 30 100

Sumber : Analisis data primer

Pada tabel 5.2. di atas nampak bahwa satu (1) orang partisipan (3,3 %) memutuskan untuk berhenti bertani, 18 orang partisipan (60%) menyatakan akan tetap bertani meskipun lokasi sawahnya berpindah lokasi, sedang 11 orang partisipan (36,7%) menyatakan akan tetap bertani dan juga meneruskan usaha yang telah dilakukan, atau membuka usaha baru dengan menggunakan sebagian hasil penjualan sawahnya.

Satu partisipan yang menyatakan akan berhenti bertani, dengan alasan jarak lahan dengan tempat tinggal menjadi lebih jauh karena berada di luar daerahnya dan faktor usia yang sudah tua (usia partisipan diatas 70 tahun). Oleh karena itu, apabila harus menjual lahan sawah yang sekarang, hasil penjualannya tetap akan dibelikan sawah dilokasi yang lain (di luar daerah) tetapi tidak lagi dikerjakan sendiri, melainkan diserahkan kepada penyewa (maro/sewa pertancep) ataupun diserahkan kepada ahli waris (anaknya) untuk dikerjakan.

(18)

Selain seorang partisipan yang menyatakan akan pensiun atau berhenti bertani, 29 partisipan (96,7%) menyatakan akan tetap berusaha tani, dengan alasan yang hampir sama yaitu karena pertanian adalah penopang hidup mereka dan sumber pendapatan mereka selama ini. Alasan lain yang mendasar yaitu karena partisipan telah melakukan usaha tani sejak kecil, dari usia 10 sampai 14 tahun. Karena sudah memulai usaha tani atau setidak-tidaknya sudah ikut membantu orang tua mengerjakan sawah, partisipan merasa bahwa pertanian sudah menjadi bagian hidup mereka, sehingga mereka akan tetap menjadi petani dan meneruskan usaha yang diturunkan oleh orang tua. Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa bagaimanapun kalau hidup dari pertanian, dengan ‘nyanding pangan itu rasanya lebih aman dari pada bekerja lain-lain yang hasilnya bukan pangan tetapi uang.

Mayoritas partisipan (60%) menyatakan hanya akan bertani, karena merasa tidak mempunyai keterampilan lain yang bisa menghasilkan uang. Dari 18 orang partisipan yang hanya akan bertani saja pasca alih fungsi lahan, diketahui ada tiga (3) orang partisipan yang semula mempunyai pekerjaan sampingan atau mempunyai pekerjaan lain selain bertani, akan melepaskan pekerjaannya dan kemudian hanya melakukan satu pekerjaan saja yaitu bertani. Alasan yang mereka kemukan yaitu karena lokasi lahan yang mungkin dibeli ada di luar daerah sehingga jarak tempuhnya lebih jauh, oleh karena itu mereka memutuskan untuk melepaskan pekerjaan lainnya agar bisa mengerjakan lahannya, ataupun juga karena faktor usia yang sudah mulai tua, serta ingin ketenangan dengan bekerja di sawah.

Pekerjaan di luar pertanian (selain mengerjakan sawah) yang telah dipikirkan oleh partisipan dan akan dilakukan oleh 11 orang partisipan atau 36,7 persen lainnya merupakan pekerjaan sampingan yang sudah dilakukan selama ini. Pekerjaan tersebut

(19)

meliputi : usaha toko kelontong, jual beli kayu, persewaan alat-alat resepsi, perikanan (lele), peternakan (puyuh) dan mengajar karawitan. Pada umumnya para partisipan yang sudah mempunyai pekerjaan sampingan ini menyatakan akan menggunakan sebagian uang hasil penjualan lahan sawahnya untuk pengembangan usaha, dan ada juga yang mencoba membuka usaha baru yaitu membuka toko kelontong. Mereka tetap melakukan pekerjaan lain diluar petanian atau berupaya membuka usaha lain, dengan tujuan meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dari tabel 5.3. diketahui bahwa seluruh partisipan tidak akan melepaskan pekerjaan taninya, sekalipun lahannya harus dipindahkan ke luar daerah, kecuali satu partisipan yang memang usianya sudah cukup tua (diatas 70 tahun) yang memutuskan akan berhenti atau pensiun sesudah bertani. Dari pernyataan yang mereka ungkapkan mengenai pekerjaan yang akan mereka pilih pasca alih fungsi lahan, secara umum mereka mempersepsikan pertanian atau bertani sebagai bagian dari kehidupan mereka. Partisipan juga menyadari bahwa hasil yang mereka peroleh dari usaha taninya sering tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka, akan tetapi mereka tetap akan bertani karena mereka juga menganggap bahwa bertani adalah suatu pekerjaan yang mulia, karena meyediakan sumber pangan bagi manusa.

Nilai sebuah pekerjaan bagi partisipan, bukan hanya sekedar sebagai penopang ekonomi belaka, tetapi juga mengandung unsur moral dan kesadaran bahwa segala sesuatunya sudah ada yang mengatur termasuk dalam hal bekerja. Bagi partisipan bertani adalah kehidupan mereka, jadi meskipun sebagian partisipan mempunyai pekerjaan sampingan, mereka akan tetap mempertahankan pekerjaan taninya. Berikut persepsi atau pandangan partisipan terhadap jenis pekerjaan yang akan dipilih pasca alih fungsi lahan,

(20)

yaitu bertani (pekerjaan yang akan tetap dilakukan oleh 29 partisipan) setelah lahan sawahnya diperuntukkan permukiman di Kecamatan Colomadu :

1. Pertanian merupakan pekerjaan dan warisan orang tua, sehingga sudah dilakukan oleh partisipan sejak kecil dan keterampilan bercocok tanam serta pengalaman yang dimiliki tidak cukup menunjang untuk membuka usaha lain selain bertani ;

2. Pertanian merupakan pekerjaan yang menopang kehidupan mereka selama ini. Semenjak kecil kebutuhan hidup partisipan dipenuhi dari usaha tani yang dikelola oleh orang tuanya, meskipun ada beberapa partisipan yang melakukan pekerjaan lainnya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya menilai secara ekonomi, hasil dari usaha tani mereka kurang memenuhi kebutuhan hidup ;

3. Bertani adalah pekerjaan yang mulia, karena menghasilkan bahan pangan baik bagi keluarga partisipan maupun bagi masyarakat umum ;

4. Secara religius dan spiritual, bertani dan semua kegiatan yang dilakukan dalam mengelola usaha tani, mendekatkan partisipan kepada Sang Pencipta, karena keberhasilan usaha tani sangat bergantung pada alam (Sang Pencipta) ;

5. Bertani merupakan pekerjaan yang sarat dengan resiko, ditambah lagi banyaknya kebijakan pemerintah yang sering merugikan petani, yang menyebabkan kesejahteraan petani stagnan atau bahkan semakin menurun. Namun sampai saat ini mereka tetap konsisten pada dunia pertanian yang sudah mereka tekuni sejak kecil dan bertani telah menjadi bagian hidup mereka (dengan berbagai persepsi yang telah disebutkan di atas) ;

Persepsi partisipan terhadap pekerjaan pada umumnya dipengaruhi oleh pengalaman yang telah mereka peroleh dari bekerja di bidang pertanian mulai dari

(21)

membantu orang tua hingga mengerjakan sawahnya sendiri. Partisipan dalam hal ini petani, tidak memandang suatu perkerjaan dari segi ekonomi saja secara mendalam, tetapi juga memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik moral, religius maupun segi sosial, yaitu dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar. Persepsi petani terhadap pekerjaan bertani yang tetap akan mereka lakukan setelah alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan, menunjukkan tekad mereka yang kuat untuk terus bergerak dan berusaha di bidang pertanian. Sebagian partisipan yang menyatakan akan membuka usaha baru atau mengembangkan usaha yang telah dirintisnya, masih tetap bertahan sebagai petani.

Persepsi atau pandangan mereka terhadap jenis pekerjaan yang akan dipilih pasca alih fungsi lahan dapat dikategorikan dalam nilai-nilai berikut :

1. Nilai historis, karena pekerjaan yang akan mereka pilih merupakan pekerjaan yang di wariskan dari orang tua mereka.

2. Nilai sosial budaya dan moral, karena bagi mereka pekerjaan yang akan mereka pilih bukan merupakan pekerjaan yang bertentangan dengan huku maupun norma-norma sosial, dan bahkan secara moral pekerjaan yang akan mereka pilih tersebut memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi kehidupan manusian, yaitu dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan.

3. Nilai religius, karena pekerjaan yang akan dipilih oleh mayoritas partisipan yaitu bertani, merupakan pekerjaan yang sangat bergantung pada alam, resikonya cukup tinggi karena kondisi alam dapat berubah sewaktu-waktu, sehingga hal ini akan lebih mendekatkan diri partisipan kepada Sang Pecipta. 4. Nilai Ekonomis, secara ekonomi partisipan mengharapkan pekerjaan yang

(22)

pendapatan dan peningkatan kesejahteraan keluarga mereka. Nilai ekonomis ini lebih dinyatakan oleh partisipan yang juga mempunyai pekerjaan lain di luar pertanian.

Berkurang dan semakin sempitnya lahan pertanian memang akan terus berlangsung, hal ini kemungkinan besar juga menjadikan timbal balik dari semakin berkurangnya minat pemuda untuk terjun dan memanjukan dunia pertanian. Ditambah lagi dengan banyaknya kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada petani, hal ini sering mengakibatkan petani tidak mengijinkan anak-anak mereka untuk ikut bertani supaya tidak merasakan ketidak-adilan yang mereka rasakan. Sehingga sekarang sudah jarang didapati anak-anak petani yang ikut membantu orang tuanya di sawah. Hal ini yang cepat atau lambat juga menimbulkan perubahan sosial yang dipicu oleh perubahan pekerjaan.

Dari Perda No 2 tahun 1999 menyatakan Kecamatan Colomadu diperuntukkan daerah perdagangan dan permukiman, nampak bahwa pertanian bukan lagi menjadi prioritas utama daerah Colomadu. Seperti yang telah diungkapakan di atas, dimana lahan sawah di daerah Colomadu akan habis sama sekali (dengan tingkat alih fungsi lahan 18-21 ha persemester) dalam waktu kurang dari 20 tahun. Petani yang bertempat tinggal di Kecamatan Colomadu praktis mengerjakan sawahnya di luar daerah tersebut, dan jumlahnya akan terus menurun seiring dengan semakin terdesaknya pertanian ke luar daerah.

Alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal, akan tetapi perlu diperhatikan agar dampak yang kurang baik dapat ditekan seminim mungkin. Hal inilah yang nantinya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, masyarakat dan generasi muda untuk

(23)

memenuhi kebutuhan tempat tinggal tanpa mengabaikan eksistensi sawah (pertanian). Berbagai persepsi yang menjadi dasar bagi para petani untuk tetap bertani pada saat lahan sawahnya dialih-fungsikan, menunjukkan bahwa pertanian dapat terus bertahan apabila persepsi positif terhadap pekerjaan bertani terus dijaga.

(24)

Gambar

Tabel 5.1. Distribusi partisipan menurut keterampilan yang dimiliki  di luar  pertanian di Kecamatan Colomadu tahun 2003

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perencanaan dan pengendalian persediaan bahan baku benang dan mengetahui berapa jumlah bahan baku yang perlu disiapkan serta

Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi ragi dan lama fermentasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap

Peserta yang dinyatakan Lulus dalam tahap akhir seleksi Pengadaan CPNS Pemerintah Provinsi Riau Tahun 2019 adalah peserta yang memiliki peringkat terbaik sesuai formasi

Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Sanur, untuk mengetahui pengetahuan, sikap, serta perilaku pencegahan dan pengobatan IMS termasuk HIV AIDS

Pelestarian yang dilakukan langsung di alam habitat aslinya contoh:. Cagar Alam: Memiliki ciri khas tumbuhan, satwa & ekosistem

Pengujian aktivitas antijerawat dengan menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM) dari fraksi etil asetat daun teh hijau terhadap Propionibacterium acnes menggunakan

MTs Al-Washliyah Bandar Sono merupakan madrasah yang berada pada naungan kementrian agama walaupun di dalamnya menerapkan pembelajaran umum sama halnya seperti

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertama (H1) pada penelitian ini menunjukkan bahwa variabel bid-ask spread, market value, dan variance return secara simultan