• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Hukum Waris Bali Abad ke-9-11 M. Berdasarkan Data Prasasti Bali Kuno

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penerapan Hukum Waris Bali Abad ke-9-11 M. Berdasarkan Data Prasasti Bali Kuno"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Penerapan Hukum Waris Bali Abad ke-9-11 M

Berdasarkan Data Prasasti Bali Kuno

Pipit Meilinda, Andriyati Rahayu

1. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 2. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Email: pipitmeilinda@gmail.com, kalyana81@yahoo.com

Abstrak

Penelitian mengenai prasasti-prasasti Bali mencantumkan berbagai keterangan yang berkaitan dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Penelitian ini membahas bagaimana penerapan hukum waris yang dicantumkan dalam kitab hukum seperti Manawadharmasastra dalam prasasti berbahasa Bali kuno serta relevansinya dengan keadaan Bali dewasa ini. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pihak laki-laki mendapat bagian yang lebih besar dari pihak perempuan dan disebutkan dengan konsep junjungan pikulan. Berdasarkan penelitian juga diketahui bahwa peraturan mengenai pembagian warisan dalam prasasti lebih bersifat praktis karena berkaitan dengan kehidupan sehari masyarakat, sementara peraturan yang dicantumkan dalam Manawadharmasastra adalah lebih konseptual. Raja memiliki andil yang besar dalam mengatur ketentuan yang tidak dicantumkan dalam kitab hukum dan memiliki kepentingan ekonomis dan sosial dalam alokasi harta rakyatnya. Dari hasil penelitian juga ditemukan peraturan-peraturan tambahan mengenai pewarisan yang tidak ditemukan dalam kitab hukum yang masih dilaksanakan hingga sekarang di Bali, terutama berkaitan dengan harta orang yang tidak lagi memiliki keturunan. Segala hal yang dilakukan dalam hal pengurusan kematian dan harta almarhum pada dasarnya adalah salah satu cara melaksanakan

dharmma.

Kata kunci:

Prasasti, Bali kuno, Warisan, Manawadharmasastra.

Implementation of the Inheritance Law in Bali IX-XI: According to the Old-Balinese Inscriptions

Abstract

Old-Bali inscriptions mention many information related to the social and cultural life of people. This study discusses how the application of the law of inheritance is mentioned in Old-Balinese Inscriptions, the book of the law Manawadharmasastra, and its relevance in Bali nowadays. According to the research revealed that the men gets a larger share than the women and mentioned in the concept of “junjungan pikulan”. Based on the study also note

(2)

that the rules regarding inheritance in the inscription is more practical, while the rules specified in Manawadharmasastra is more conceptual. King has a significant role in regulating provisions that are not included in the Manawadharmasastra and also have an interest in the allocation of economic and social wealth of its people. From the research also found inheritance’s additional rules that are not found in Manawadharmasastra that is still held today in Bali, especially to the property that no longer have descent. The management of death and property are basically one way to implement dharmma.

Keywords:

Inscription, Old-Bali, Inheritance law, Manawadharmasastra.

PENDAHULUAN

Kelahiran dan kematian merupakan salah satu siklus hidup manusia yang paling penting. Dalam agama Hindu, kematian merupakan bentuk kelahiran kembali karena adanya konsep reinkarnasi. Kematian manusia dikatakan tidak membawa perubahan esensial dalam status, kondisi maupun sifatnya, sekaligus jasad dan jiwanya (Kusumawati dan Suastika, 1990: 44) karena kematian bukanlah akhir dari kehidupan manusia namun merupakan awal dari kehidupan baru (after life), sehingga kematian seringkali dianggap sebagai suatu inisiasi (Koentjaraningrat, 1985: 26-29; Soekatno, 1990: 64).

Salah satu data yang bisa diandalkan dalam penelusuran mengenai kematian dan pengurusan harta warisan pada masa Indonesia kuno adalah prasasti dan naskah. Berdasarkan hasil inventarisir oleh Louis Charles Damais (1990), dapat diketahui bahwa bagian yang menyebutkan mengenai pembagian warisan hanya disebutkan dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali, baik yang berbahasa Bali kuno maupun yang menggunakan bahasa Jawa kuno. Sementara itu prasasti tertua yang menyebutkan mengenai pembagian warisan adalah Prasasti Sukawana AI (804 Ś/882 M). Prasasti ini berasal dari panglapuan Singhamandhawa1 dan berbahasa serta beraksara Bali kuno. Menurut R. Goris (1954a: 53-54) masyarakat Bali kuno yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat yang hidup pada masa Bali kuno baik yang menggunakan bahasa Bali kuno maupun yang menggunakan bahasa Jawa kuno—

                                                                                                                         

1 Panglapuan berasal dari kata “lampur atau lapu” yang artinya lapor. Jadi panglapuan adalah tempat untuk

(3)

masa ketika terbitnya prasasti pertama yaitu Prasasti Sukawana AI hingga ekspedisi Majapahit ke Bali pada tahun 1265 Ś/1343 M yang meliputi 21 pergantian raja.

Prasasti-prasasti yang menyebutkan mengenai pembagian harta warisan pada umumnya menyebutkan dibagi menjadi tiga. Apabila masih ada suami/istri yang masih hidup maka dua bagian kepada laki-laki dan satu bagian kepada wanita, 4 mā untuk biaya kematiannya, dan sisanya diserahkan kepada pura atau pejabat tertentu. Sementara ini penelitian yang menyebutkan tentang pembagian harta warisan telah beberapa kali berusaha dijelaskan, di antaranya tentang hak waris wanita pada masa Bali Kuno oleh Ni Luh Ketut Puji Astiti Laksmi dan Rochtri Agung Bawono (2007) dan penjelasan mengenai pembagian waris secara singkat dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed, 1984).

Selain terdapat dalam prasasti, ketentuan mengenai hukum waris di dalam masyarakat Bali juga dapat ditemukan dalam naskah-naskah hukum. Kitab hukum yang paling terkenal digunakan adalah kitab Manawadharmmmasastra. Penggunaan naskah ini sebagai bahan perbandingan mengenai hukum waris adalah untuk mengetahui apakah penerapan hukum waris pada masa-masa awal mengikuti ketentuan yang berlaku dalam kitab hukum atau tidak. Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa di antara berbagai macam naskah hukum yang diacu oleh masyarakat Hindu di Indonesia misalnya kitab Agama, sebenarnya merupakan salinan dari kitab Kutaramanawa yang sebagian besar isinya merupakan penafsiran atas ajaran Manawadharmasastra (Gde Pudja dan Sudharta, 1976/1977: 9). Mengenai penggunaan naskah Manawadharmasastra pada masa Bali kuno bisa dilacak keterangannya pada Prasasti Serai B (1103 Ś).

Penggunaan data pendukung ini dilakukan karena tidak semua prasasti menyebutkan dasar hukum dari suatu kitab yang diacu ke dalam peraturan yang tertulis dalam prasasti. Kitab

Manawadharmasastra juga masih digunakan hingga sekarang di Bali. Penelitian ini

dilakukan untuk melihat penerapan hukum waris pada prasasti apabila dibandingkan dengan sumber tertulis lain, seperti naskah yang juga menyebutkan mengenai pembagian warisan. Apakah peraturan yang diterapkan terdapat kesamaan atau tidak? Lalu apabila tidak sesuai maka mengapa hal tersebut bisa terjadi. Kemudian bagaimana relevansinya dengan perkembangan hukum waris di Bali dewasa ini? Pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut

(4)

berusaha dijawab melalui penelitian ini. Meskipun penelitian ini dilakukan dengan berbagai keterbatasan data yang ada, diharapkan pertanyaan-pertanyaan tersebut tersebut bisa dijawab dengan maksimal dan memberikan gambaran mengenai hukum waris yang diterapkan pada masa Bali kuno berdasarkan data prasasti dan melengkapi keterangan mengenai sejarah Bali kuno abad ke-9-11 M.

METODE PENELITIAN

Sebagai salah satu data arkeologi, prasasti tidak hanya menggunakan tahapan-tahapan penelitian arkeologi dalam penelitiannya, namun sebagai salah satu sumber tertulis prasasti juga harus diperlakukan sebagai data sejarah. Tahapan penelitian ini akan dilakukan dengan tahap pengumpulan data, pengolahan data, dan penjelasan data.

Dalam tahap pengumpulan data dilakukan dengan menginventarisir kembali prasasti yang berasal dari masa panglapuan Singhamandhawa hingga Udayanawarmmadewa yang menyebutkan mengenai pembagian warisan, mengumpulkan alih aksara, alih bahasa, dan pembahasan mengenai prasasti yang menyebutkan tentang pembagian warisan. Pembacaan ulang tidak dilakukan karena keterbatasan waktu dan biaya penelitian. Meskipun Bali cukup banyak memiliki prasasti, namun penelitian terhadap prasasti-prasasti Bali Kuno masih sedikit. Hal ini disebabkan karena prasasti merupakan benda yang sangat sakral dan dikeramatkan di Bali Sebagai data pendukung dan pembanding digunakan naskah

Manawadharmasastra. Alih aksara dan alih bahasa yang digunakan adalah yang telah

diterbitkan oleh Gde Pudja dan Sudharta (1976/1977) diterbitkan dalam Bahasa Inggris oleh G. Buhler (1886).

Data primer dalam penelitian ini adalah prasasti-prasasti masa berbahasa Bali kuno yang menyebutkan tentang pembagian warisan. Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Bukit Cintamani/Sukawana AI (804 Ś/882 M), Prasasti Banua Bharu IA/Bebetin A1 (818 Ś/896 M), Prasasti Trunyan AI (813 Ś/891 M), Prasasti Bangli Pura Kehen A, Prasasti Air Tabar A/Gobleg Pura Desa A (836 Ś/914 M), Prasasti Sandungan/Srokodan (837 Ś/915 M), Prasasti Julah IA/Sembiran AI (844 Ś/922 M), Prasasti Parcanigayan/Dausa Pura Bukit Indrakila AI (857 Ś/ 935 M), Prasasti Serai AI (888 Ś/966 M), Prasasti Serai AII (915 Ś/993 M), Prasasti

(5)

Bwahan A (916 Ś/ 994 M), dan Prasasti Batur Pura Abang A (933 Ś/1011 M). Seluruh prasasti yang disebutkan tersebut telah dialih-aksarakan oleh Goris (1954a) sehingga penelitian yang dilakukan menggunakan hasil alih aksara yang telah dilakukan oleh Goris. Sementara Prasasti Bwahan A telah dialih-aksarakan kembali oleh Putu Budiastra (1978).

Kemudian pada tahap pengolahan data dilakukan pemilahan dan alih bahasa pada alih aksara yang belum menyertakan alih bahasa. Setelah itu, dilakukan klasifikasi pada seluruh data yang telah dikumpulkan. Hasil klasifikasi menunjukkan pola-pola tentang pengelolaan harta warisan. Pengolahan data juga dilakukan pada alih bahasa dan alih aksara

Manawadharmasastra. Penjelasan yang menyebutkan tentang pembagian warisan dipilah dan

dibandingkan dengan hasil pengolahan data pada data prasasti.

Pada tahap penjelasan data akan dilakukan interpretasi untuk menarik beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Persamaan dan perbedaan pada pengolahan data prasasti dicari alasan dan penyebabnya secara intertekstual dan dihubungkan dengan hukum waris adat Bali dewasa ini. Pada bagian penutup akan diberikan simpulan atas hasil penelitian.

PEMBAHASAN

Unsur-unsur dari pewarisan di antaranya adalah harta, pewaris, dan penerima warisan (ahli waris). Harta kekayaan manusia apabila sang empunya sudah meninggal dunia maka akan diwariskan kepada generasi berikutnya dan disebut sebagai harta warisan. Harta yang diwariskan dalam hal ini adalah harta setelah dikurangi pungutan-pungutan atau biaya untuk kepentiangan almarhum. Salah satu kepentingan tersebut adalah adanya kewajiban--yang mungkin berupa hutang kepada orang lain maupun beban yang yang dibebankan kepada almarhum yang belum dibayar ketika masih hidup. Kewajiban yang harus dibayar oleh pewaris ketika hidup di antaranya adalah:

(6)

1. Temuan

Tmwan atau tmuan adalah salah satu jenis persembahan (Granoka, dkk, 1985:48). Kata ini

merujuk kepada salah satu jenis pajak yang harus dibayarkan, umumnya diberikan kepada pejabat atau tempat ibadah (Zoetmulder, 2006: 1238). Kata ini sering ditemukan pada prasasti yang berkaitan dengan jenis persembahan yang diserahkan pada tempat ibadah tertentu seperti

Hyang Api (prasasti Sukawana AI). Dalam prasasti Sandungan disebutkan kata ini ketika

membicarakan perihal warisan bahwa apabila ada penduduk yang meninggal hanya tinggal janda atau dudanya saja maka sebagian hartanya diserahkan kepada raja setelah diambil oleh

dinganga2. Dinganga yang membawa harta tersebut kepada raja mendapatkan tĕmuan sebesar 4 piling atau sekitar 0,000603 kg emas dan penduduk desa mendapatkan temuan 2 piling atau sekitar 0,0003015 kg emas, jika ada keluarga yang tidak memiliki keturunan tinggal janda atau dudanya saja ( Goris, 1954a: 63). Hal yang sama juga berlaku pada keluarga yang telah putus keturunan sama sekali. Sementara itu pada Prasasti Sembiran AI disebutkan bahwa jika ada keluarga yang meninggal dunia maka temuan hulu sambah3 1 mā, caksu4 juga mendapat

tmuan sebesar 4 pi, dan tmuan desa 4 pi. Dari keterangan ini dapat diketahui bahwa temuan

tidak hanya diserahkan kepada tempat ibadah namun juga kepada pihak lain seperti pejabat atau penduduk desa. Tmuan yang diserahkan kepada desa ini kemungkinan digunakan untuk kas desa.

2. Pabliyan darah

Pada Prasasti Sembiran AI penduduk yang cacat apabila meninggal dunia maka tidak dikenai

pabliyan darahnya. Kata pabliyan darah berasal dari kata bli yang artinya beli dan darah

yang artinya sama dengan pengertian darah dewasa ini (Granoka, dkk, 1985: 28). Penjelasan mengenai pungutan ini sulit untuk dirumuskan, karena sekarang pungutan semacam ini juga tidak dikenal.

                                                                                                                         

2 Salah satu kelompok senapati pada masa Bali Kuno. Senapati adalah orang-orang yang berkuasa dalam hal

kehakiman dan merangkap sebagai hulubalang serta memiliki panglapuan sendiri (Goris, 1948: 13). Pada sekitar abad ke-9-10 M terdapat tiga senapati, yaitu senapati sarbwa, senapati dinganga, dan senapati danda.

Diperkirakan yang menjabat sebagai senapati dinganga masa itu adalah Prajuna, hal ini dikarenakan pada tahun 804 Ś yang menjadi senapati dinganga adalah Prajuna dan Prasasti Srokodan/Sandungan terbit pada tahun 805 Ś.

3 Hulu sambah ini mungkin ketua kegiatan ibadah. 4 Mata-mata; pengawas.

(7)

3. Karangyan

Pada Prasasti Sembiran AI orang cacat yang meninggal dunia juga dibebaskan dari pungutan

karangyan. Karangyan berasal dari kata karang yang artinya wilayah atau daerah (Granoka,

dkk, 1985: 54). Dewasa ini rumah di Bali masih disebut sebagai pakarangan. Kemungkinan pungutan ini berkaitan dengan besarnya wilayah tanah yang dimilikinya, jadi semacam pajak bumi dan bangunan. Tidak ditemukan keterangan mengenai besarnya pungutan ini.

Sementara itu terdapat kewajiban-kewajiban yang menjadi beban almarhum ketika sudah meninggal dunia. Kewajiban tersebut di antaranya:

 

1. Marhantu

Kata marhantu berasal dari kata hantu yang dalam bahasa Sansekerta artinya “mati”. Kata

marhantu/marhantuang ini menurut Ginarsa (1957: 19) disamakan dengan upacara pitr yajña.

Upacara pitr yajña sekarang di Bali adalah upacara penghormatan terhadap arwah leluhur melalui tingkatan penguburan-dibakar (di-aben) (sawa prateka). Ada kemungkinan kata

marhantu ini sama dengan upacara pembakaran mayat yang dilanjutkan dengan upacara

penyucian roh atau arwah. Penggunaan kata marhantu ini hanya ditemukan sampai masa pemerintahan Anak Wungsu (Ekawana, 1990: 184). Pungutan ini ditemukan pada seluruh prasasti yang menjadi data. Jumlah marhantu yang dipungut dari data prasasti adalah sejumlah 4 masaka atau sekitar 0,013648 kg emas.

Istilah marhantu ini mengalami perubahan kata selama perkembangannya. Pada masa Anak Wungsu disebut sebagai marhantuhantu dan pada masa pemerintahan Marakatapangkaja menjadi manghantuhantu. Kemudian pada tahun 933 Ś (1011 M) pada Prasasti Abang Pura Batur A (sakaraning ma 4 mapakna pangambaligya rikanganak thani…) ditemukan kata

pangambaligya yang menurut Ginarsa (1957: 19-20) adalah bahasa lain dari marhantu.

Apabila dibandingkan dengan Prasasti Pandak Bandung, memang terdapat kesamaan pola kalimat yang merujuk ke kesamaan antara marhantu dan pangambaligya meskipun berbeda dalam hal bahasa.

Pada masa-masa selanjutnya muncul kata atiwatiwa pada masa pemerintahan Ragajaya. Kata ini diperkirakan juga memiliki makna yang sama dengan kata marhantu. Menurut Warna, dkk

(8)

(1978: 591) kata atiwatiwa memiliki arti upacara pembakaran jenazah. Apabila dikaitkan dengan marhantu dan pangambaligya maka kemungkinan besar sama mengingat tingkatan besaran biayanya juga sama, yaitu 4 māsaka. Prasasti terakhir yang menyebutkan kata

atiwatiwa adalah Prasasti Selumbung (1250 Ś/1328 M) (Ekawana, 1990: 189).

2. Buruk tanah

Buruk tanah berasal dari kata buruk yang artinya “rusak, “cemar” dan tanah. Secara harafiah buruk tanah artinya adalah “tanah yang tercemar” (leteh). Karena buruk tanah dihubungkan

dengan kematian maka buruktanah diduga penguburan mayat yang menyebabkan tanah menjadi tercemar (leteh). Jadi maburuktanahen merupakan sejenis biaya untuk penguburan mayat. Dari data prasasti kata marburuktanah ini hanya ditemukan sampai tahun 888 Ś (966 M) (Ekawana, 1990: 183). Jumlah pungutan ini yang dibebankan kepada rakyat pada Prasasti Bebetin AI, Angsari AI, Srokodan AI, dan Sembiran AI sebesar 4 masaka 0,013648 kg emas. Sementara pada Prasasti Bangli Pura Kehen A jumlah pungutannya adalah 4 masaka 2

kupang atau sekitar 0,014851 kg emas. Perbedaan jumlah pungutan ini tidak dijelaskan lebih

lanjut sehingga tidak jelas apa penyebabnya. Mungkin ada kaitan dengan kondisi ekonomi desa yang bersangkutan. Sementara itu untuk agamawan yang telah menikah pungutannya 4

masaka berdasarkan Prasasti Sukawana AI, sedangkan yang belum menikah biayanya 2 kupang atau sekitar 0,001203 kg emas.

3. Angśa/parangśan

Kata parangśan berasal dari kata angśa yang artinya keturunan; bagian harta, bidang tanah; sementara kata parangśan diartikan sebagai pungutan yang berkaitan dengan urusan warisan (Granoka, dkk, 1985: 7). Penjelasan mengenai kata ini karena kata ini berhubungan dengan keturunan dan bidang tanah, maka ada kemungkinan bahwa pungutan ini berkaitan dengan pembagian warisan kepada keturunan almarhum. Mungkin berkaitan dengan biaya yang dipungut ketika membagi tanah apabila proses pewarisan dilakukan. Pungutan ini dapat ditemukan pada prasasti Dalam beberapa prasasti pungutan ini terkadang ditulis dengan kata

parangśayan. Pungutan ini dapat ditemukan pada Prasasti Gobleg Pura Desa I dengan jumlah

pungutan sebesar 2 masaka atau sekitar 0,004824 kg emas. Pada Prasasti Sembiran AI janda atau duda yang mendapat bagian dari harta warisan tidak dikenakan parangśan begitu pula dengan orang cacat yang meninggal.

(9)

4. Patarubyan

Pada Prasasti Sembiran AI terdapat keterangan bahwa apabila ada orang cacat yang meninggal dunia maka tidak dikenai patarubyan. Kata patarubyan berasal dari kata tarub yang artinya balai terbuka (Granoka, dkk, 1985: 108). Kemungkinan besar kata ini merujuk kepada pungutan yang dikenakan ketika membangun tarub ketika ada seseorang yang meninggal dunia. Jadi, kata ini semacam pungutan yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan ketika upacara kematian. Hal ini dikarenakan untuk melaksanakan upcara kematian diperlukan pekerja-pekerja dan sesajian. Kemungkinan tarub yang dibangun memiliki hubungan dengan kegiatan persiapan upacara kematian. Sayangnya, tidak ditemukan keterangan mengenai besarnya pungutan sehingga tidak bisa direkonstruksi berapa besarnya

tarub yang digunakan. Mungkin saja besarnya tarub disesuaikan dengan jumlah penduduk

sehingga besarnya pungutan ini berbeda-beda di tiap desa.

Jadi berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui harta yang diwariskan sebenarnya tidak lah utuh meskipun pada beberapa golongan sama sekali, seperti orang cacat dan agamawan ditiadakan untuk beberapa pungutan. Pungutan marhantu merupakan pungutan yang selalu ada sebelum harta dibagikan, setelah itu kemudian ada pungutan paburuk tanah. Melihat fungsi keduanya yang diperkirakan berhubungan dengan upacara kematian almarhum, maka penjelasannya adalah seluruh harta pewaris akan digunakan terlebih dahulu untuk kepentingan penguburan (marburuktanah) dan pembakaran (marhantu) almarhum sebelum kemudian dibagikan. Hal ini kemungkinan dikarenakan proses penguburan-pembakaran adalah hal yang penting bagi almarhum untuk melepaskan arwahnya dari badan kasarnya.

Sementara itu pada Prasasti Sembiran AI dapat ditemukan pungutan yang dibebaskan bagi seseorang yang dianggap cacat. Pungutan yang ditiadakan bagi penyandang cacat di antaranya seperti pungutan pembuatan tarub, pabliyan darahnya, dan pungutan semacam pajak bumi dan bangunan. Meskipun tidak disebutkan besaran pungutan, namun tidak dipungutnya pungutan ini kemungkinan untuk meringankan besarnya pungutan yang dibebankan kepada orang tersebut sehingga harta yang ditinggalkan tidak berkurang secara signifikan. Tidak disebutkannya pungutan pembuatan tarub, pabliyan darahnya, dan pungutan semacam pajak bumi dan bangunan tersebut pada orang yang tidak mengalami cacat tidak berarti pungutan tersebut tidak dibebankan, hanya saja data yang sedikit berbicara mengenai hal itu.

(10)

Setelah harta dipotong untuk kewajiban-kewajiban yang harus ditanggung almarhum, didapat harta bersih yang siap untuk diwariskan. Berdasarkan data prasasti disebutkan beberapa benda yang merupakan harta almarhum yang diwariskan, yaitu yang sifatnya bergerak dan tidak bergerak.

Benda bergerak yang disebutkan pada semua prasasti yang menjadi data adalah alat-alat dapurnya, emas, perak, bejana perunggu, bejana tembaga, budak, kerbau, dan sapi (“…padangayañña yawaña marumaḥ ditu mās pirak kangśabhajaṇa tāmbrabhajaṇa hulun

ṛbwang karambo sampi…”), hanya saja dalam Prasasti Parcanigayan/Dausa Pura Bukit

Indrakila AI tidak disebutkan bejana tembaga dalam penyebutan benda warisan bergeraknya.

Pada dasarnya benda bergerak merupakan harta yang pasti diwariskan kepada penerima warisan. Penyebutan harta bergerak merata ada di semua prasasti dan berkelanjutan hingga masa pemeritahan Gunapriya dan Udayana Warmmadewa. Apabila diperhatikan lebih lanjut maka benda-benda tersebut tersebut pada dasarnya adalah benda ekonomis yang dapat dibagi, namun penyebutan benda bergerak ini tampaknya tidak berlanjut pada prasasti berbahasa Jawa kuno.

Sementara itu, benda tidak bergerak merupakan benda yang secara fisik karena beberapa hal melekat pada tanah seperti karena alam, karena tindakan manusia, dan karena peruntukkan atau tujuannya (Muljadi dan Widjaja, 2003:59). Benda tidak bergerak yang tampak disebutkan dalam prasasti adalah “…huma parlak padang ngmal…” (Sukawana AI; Bangli Pura Kehen AI; Sembiran AI; Dausa Pura Bukit Indrakila, dan Serai AII), sementara itu di Prasasti Serai AI hanya tertulis “…huma parlak padang…” Prasasti yang lainnya tidak mencantumkan keterangan mengenai benda yang tidak bergerak.

Apabila diperhatikan benda-benda yang diwariskan oleh pewaris berdasarkan data prasasti, dapat dilihat bahwa benda yang diwariskan adalah benda yang bersifat ekonomis dan bisa dibagi, tidak ada benda yang bersifat magis-religius yang diwariskan.

(11)

Berdasarkan data prasasti juga diketahui bahwa ada dua desa yang tidak mencantumkan benda bergerak dan tidak bergerak dalam peraturan pembagian warisan dalam prasasti. Kedua prasasti yang mencantumkan desa tersebut menggunakan bahasa Jawa kuno sebagai bahasa prasasti. Alasan mengenai hal ini memang tidak dijelaskan, namun penjelasan bisa dilihat dari sisi yang lain. Dalam prasasti berbahasa Bali kuno umumnya prasasti lengkap berjumlah 2-5 lempeng, sementara prasasti yang berbahasa Jawa kuno ditulis dalam media logam rata-rata 7-10 lempeng. Penjelasan yang dijelaskan dalam prasasti Jawa kuno lebih komplek dalam penyebutan perpajakkan, sedangkan penjelasan mengenai pembagian warisan hanya disebut pembagiannya saja tanpa menyebutkan lagi mengenai harta apa saja yang diwariskan. Kemungkinan hal ini dikarenakan--apabila dibandingkan dengan prasasti Jawa yang tidak mengenal penyebutan tentang pembagian warisan dalam prasastinya-- penyebutan secara panjang lebar sudah tidak perlu dilakukan lagi karena masyarakat pasti telah memahaminya secara turun temurun. Terdapat rentang waktu dua abad dari prasasti pertama yang menyebutkan mengenai pembagian warisan dengan prasasti berbahasa Jawa kuno pertama yang menyebutkan tentang pembagian warisan, yaitu Prasasti Bwahan A. Jadi meskipun ada pengaruh Jawa dalam kebudayaan khususnya bahasa di Bali pada sekitar abad ke-12 dalam prasasti, formula mengenai penyebutan harta warisan tidak dihapuskan dan mengikuti pola prasasti Jawa, namun hanya dikurangi hal-hal detail yang diperkirakan telah diketahui oleh masyarakat.

Unsur kedua dalam proses pewarisan adalah pewaris. Pewaris adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan orang yang meninggalkan harta warisan (Hadikusuma, 1980: 13). Sekarang ini di Bali pembagian harta warisan dilakukan ketika seluruh proses pelepasan arwah almarhum yang meninggal hingga proses aben. Dalam prasasti dapat ditemukan pola pewaris yang dikelompokkan ke dalam golongan-golongan tertentu. Golongan-golongan tersebut di antaranya adalah golongan agamawan, kalangan umum, dan saudagar. Pada kalangan agamawan diketahui bahwa pada dasarnya harta bendanya setelah dipotong untuk kewajiban dan beban almarhum digunakan untuk membeli alat-alat pesanggrahan seperti tikar dan bejana untuk memasak beras (“…panĕkĕn ditu di satra pyuṇyanangku kajadyan pamli

pulu tiker pangjakanyan…” (Goris, 1954a: 54).

Prasasti yang menyebutkan tentang pembagian harta warisan yang ditinggal oleh pewaris adalah seluruh prasasti yang menjadi data. Meskipun tidak bisa diketahui kalangan umum yang dimaksud ini yang termasuk golongan apa, namun secara umum pembagian warisan

(12)

yang ditinggalkan oleh pewaris adalah harta tersebut digunakan terlebih dahulu untuk biaya upacara kematian (marhantu) sebesar 4 masaka, setelah itu apabila yang meninggal suaminya maka istrinya mendapat satu bagian harta suami, sedangkan apabila istrinya yang meninggal maka dua bagian diserahkan kepada suaminya Penjelasan tentang pembagian warisan lebih lanjut juga dijelaskan; apabila suami dan istri sudah meninggal dunia dan tidak meninggalkan pewaris maka harta warisan akan jatuh ke pihak non keluarga. Pihak non keluarga yang disebutkan pada prasasti adalah tempat ibadah, raja, dan pejabat pemerintahan. Jadi pembagian warisan yang berlaku di rakyat tidak mengenal pewarisan kepada dadia (sakulya) atau ke muridnya (sagotra) seperti yang dijelaskan dalam Manawadharmasastra. Meskipun demikian dalam hukum adat pembagian harta pada sakulya masih dikenal apabila sebuah keluarga mengangkat anak dari dadia-nya (klen) apabila putus keturunan dan tidak menginginkan hartanya manjing.

Kalangan umum adalah kalangan yang paling banyak ditemukan peraturan mengenai pembagian warisannya dalam prasasti. Hal ini mungkin dikarenakan bahwa kalangan ini adalah kalangan yang paling banyak jumlahnya pada masa Bali kuno. Seperti yang tampak dewasa ini di Bali, kelompok triwangsa (Brahmana, Ksatria, dan Waisya) berjumlah lebih kecil dari kelompok jaba. Kemungkinan hal yang sama pada masa Bali kuno juga bisa dianalogikan dengan keadaan Bali sekarang ini bahwa jumlah penduduk yang termasuk ke dalam tiga warnna tersebut lebih sedikit dibanding golongan selain ketiga warnna tersebut. Kemungkinan yang dimaksud dengan golongan umum yang disebutkan dalam penelitian ini pada masa Bali kuno merupakan golongan di luar triwangsa.

Pembagian warisan dari golongan saudagar juga disebutkan dalam prasasti. Disebutkan bahwa saudagar (banyaga) khususnya yang melakukan perdagangan lintas laut apabila meninggal dunia maka harta benda yang dibawanya diserahkan kepada Hyang Api sedangkan kapalnya apabila rusak maka digunakan sebagai benteng kota di Desa Bharu. Jadi berdasarkan keterangan tersebut apabila seorang saudagar terdampar di suatu pantai di Bali, apabila saudagar tersebut meninggal maka harta yang dibawanya diserahkan kepada Hyang Api, sementara kapalnya yang rusak bisa digunakan untuk kepentingan desa, misalnya sebagai pagar benteng.

(13)

Adanya peraturan bagi kelompok banyaga dalam prasasti, kemungkinan dikarenakan

banyaga kemungkinan merupakan bukan penduduk Bali yang melakukan perdagangan di Bali

harta benda yang ditinggalkannya apabila meninggal di Bali perlu diurus karena keluarganya tidak bisa mengurusnya.

Unsur pewarisan yang lain adalah penerima warisan. Keluarga merupakan penerima warisan yang paling banyak disebut dan pihak yang paling umum menerima warisan berdasarkan data prasasti. Dalam prasasti disebutkan beberapa pihak yang menerima warisan di antaranya adalah janda dan duda. Tidak disebutkannya anak sebagai penerima warisan dalam prasasti Bali bukan berarti menunjukkan bahwa anak tidak mendapatkan hak atas harta warisan, namun mungkin dikarenakan aturan yang diterapkan di masyarakat sudah umum diketahui dan tidak perlu dituliskan kembali dalam prasasti.

Pembagian harta yang dilakukan dibagi berdasarkan analogi junjungan (suhunan) untuk pihak pria dan pikulan (tanggungan) untuk pihak wanita. Pihak pria mendapatkan bagian yang lebih banyak dari pihak wanita dalam hal pembagian warisan dengan perbandingan 2:1 dengan pihak wanita. Aturan ini tidak dikenal dalam Manawadharmasastra dan kemungkinan adalah peraturan lokal (hukum adat) yang berlaku saat itu di Bali.

Pihak janda dalam prasasti mendapatkan satu bagian dari harta suaminya. Jumlah yang diterima oleh pihak wanita ini lebih sedikit dari pihak laki-laki dan dianalogikan dengan kata

tanggungan yang berarti “pikulan” karena jumlahnya lebih sedikit dari yang diterima oleh

pihak laki-laki. Penyebutan tentang satu bagian warisan yang jatuh kepada janda pada prasasti ini menarik. Hal ini dikarenakan posisi janda pada masyarakat Bali dewasa ini bukan merupakan ahli waris. Meskipun demikian, janda diperbolehkan menikmati kekayaan yang ditinggalkan oleh suaminya asalkan tidak memiliki hubungan dengan pria lain dan menikah lagi (Soekanto, 1983: 265). Apabila dibandingkan dengan Manawadharmasastra, keterangan yang didapat juga relatif sama. Kemudian apabila dibandingkan dengan Kautilya Arthasastra maka keterangan yang didapat juga sama bahwa seorang janda bisa menggunakan harta untuk membesarkan anak dan dirinya sendiri (Shamasastry, 1956: 219).

Duda dalam hal ini lelaki yang ditinggal mati oleh pasangannya juga disebutkan menerima bagian warisan dalam prasasti. Dalam prasasti-prasasti tersebut disebutkan bahwa duda mendapatkan dua bagian dari harta yang ditinggalkan istrinya apabila meninggal dunia. Pada

(14)

prasasti Serai AI dan Serai AII disebutkan apabila ada penduduk desa yang meninggal tanpa keturunan maka sisa harta setelah dipungut untuk kepentingan kematiannya diserahkan kepada lakinya (suaminya) (Goris, 1954a: 70-71; 82). Pembagian yang lebih besar diterima oleh lelaki dari perempuan dan dianalogikan dengan kata “pikulan” (suhunan) dalam hal warisan ini mungkin berkaitan dengan sistem kekerabatan yang dianut, dalam hal ini adalah patrilineal atau sistem kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan pihak laki-laki.

Selain perorangan, tempat ibadah juga mendapat porsi dalam pembagian warisan. Hyang Api merupakan salah satu tempat ibadah yang cukup banyak disebut dalam prasasti. Dalam prasasti yang menyebutkan Hyang Api disebutkan apabila sebuah keluarga sudah tidak memiliki keturunan maka harta benda seperti emas, perak, bejana tembaga, bejana perunggu, budak, kerbau dan sapi diserahkan ke Hyang Api sebagai athithi5 (Prasasti Sukawana AI dan Dausa Pura Bukit Indrakila AI) sementara itu di Prasasti Bebetin AI dan Prasasti Bangli Pura Kehen benda-benda tersebut disebut sebagai ḅrddhi. Keterangan mengapa benda-benda tersebut diserahkan kepada Hyang Api tidak dijelaskan. Selain benda-benda tersebut tersebut, disebutkan juga dalam Prasasti Bebetin apabila seorang saudagar (banyaga) mendarat dan meninggal dunia di Desa Bharu (banua Bharu) maka diserahkan kepada Hyang Api dan harta bendanya dibagi dua lalu apabila kapalnya rusak maka dijadikan pagar benteng.

Tempat suci lain yang mendapatkan bagian dari harta warisan rakyat yang sudah tidak memiliki keturunan adalah Hyang Tanda. Penyebutan Hyang Tanda umumnya selalu bersama-sama dengan Hyang Api. Apabila Hyang Api menerima bagian harta berupa benda bergerak, maka Hyang Tanda mendapatkan bagian harta berupa benda tidak bergerak. Prasasti yang menyebutkan Hyang Tanda sebagai salah satu pihak yang mendapat bagain warisan adalah Prasasti Sukawana AI, Bebetin AI, Bangli Pura Kehen AI, dan Dausa Pura Bukit Indrakila AI. Benda-benda yang diserahkan ke Hyang Tanda sebagai persembahan adalah huma, ladang, padang, dan kebun. Kemungkinan lahan pertanian yang diserahkan ini kemudian digunakan sebagai laba pura tempat ibadah Hyang Tanda6. Keterangan mengenai penyebab Hyang Tanda Harta benda penduduk Desa Trunyan yang meninggal dunia tanpa memiliki pewaris dipersembahkan kepada Sanghyang di Turuñan setelah dipotong untuk                                                                                                                          

5 Athithi: persembahan (Granoka, dkk, 1985: 9); tamu (Zoetmulder, 2006: 79). Mungkin berkaitan dengan

persembahan yang diberikan oleh tamu (umat yang bukan pengurus Hyang Api (?)).

6 Kata tanda menurut Zoetmulder (2006: 1199) berarti pejabat tinggi; orang dengan kedudukan tinggi, sementara

menurut I Wayan Granoka, dkk (1985: 105) tanda adalah tempat suci. Ada kemungkinan bahwa Hyang Tanda adalah tempat ibadah untuk pejabat berkedudukan tinggi atau semacam “tempat ibadah pusat kerajaan” atau bisa saja Hyang Tanda adalah nama dewa yang dipuja di tempat ibadah tersebut.

(15)

biaya upacara kematiannya. Benda-benda tersebut adalah alat-alat dapur, emas, perak, bejana perunggu, bejana tembaga, budak, kerbau, sapi. Mengenai letak Sanghyang di Turuñan kemungkinan masih berada di wilayah Desa Trunyan. Sekarang ini di Desa Trunyan terdapat pura yang didalamnya terdapat arca megalitik yang disebut oleh penduduk sebagai Bhatara

Gde Pancering Jagat. Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa raja menerima alat-alat

dapur, emas, perak, bejana perunggu, bejana tembaga, budak, kerbau, dan sapi dari penduduk Sandungan yang tidak lagi memiliki ahli waris. Pengertian raja yang dimaksud dalam penelitian ini kemungkinan adalah kas kerajaan. Jadi apabila ada penduduk desa yang meninggal tidak memiliki keturunan maka hartanya bisa masuk ke kas kerajaan.

Selain masuk ke kas kerajaan, terdapat kasus khusus yang tercantum dalam prasasti mengenai pejabat pemerintah yang mendapat bagian atas harta warisan, yaaitu nayaka. Nayaka secara bahasa berarti kepala atau pemimpin. Nayaka disebut dalam prasasti Sembiran AI merupakan kepala yang mengurusi desa Julah. Harta yang diserahkan penduduk desa Julah yang tidak memiliki keturunan kepada nayaka adalah emas, perak, bejana perunggu, bejana tembaga, budak, kebau, sapi, huma, ladang, padang, dan kebun. Nayaka desa Julah sebagaimana yang disebutkan dalam Prasasti Sembiran AI diduga mendapatkan hak istimewa untuk menjadi penerima warisan penduduk yang puntung karena jasanya dalam memimpin desa Julah ketika diserbu oleh perampok.

SIMPULAN

Keluarga merupakan penerima warisan yang paling utama yang sering disebutkan dalam prasasti. Meskipun golongan keluarga yang disebutkan tidak menyebutkan anak sebagai penerima warisan, namun bukan berarti bahwa anak tidak memiliki hak atas harta orang tuanya. Kemungkinan besar tidak disebutkannya pembagian harta yang turun kepada anak dikarenakan peraturannya telah ditetapkan dalam kitab-kitab hukum. Sementara penyebutan janda atau duda dari almarhum yang mendapatkan bagian harta untuk menjamin kehidupannya setelah ditinggalkan oleh pasangannya, hal ini didasarkan pada keterangan pada hukum adat Bali yang menyebutkan janda hanya bisa menikmati namun tidak bisa menguasai harta warisan pasangannya.

Penyebutan penerima warisan yang cukup banyak kedua adalah tempat ibadah. Tempat ibadah yang disebutkan paling banyak disebutkan sebagai tempat menerima harta dari

(16)

keluarga yang punah atau puntung adalah Hyang Api dan Hyang Tanda. Kedua tempat ibadah ini umumnya disebutkan secara bersama-sama—apabila Hyang Tanda menjadi tempat untuk menyerahkan harta benda yang tidak bergerak maka Hyang Api merupakan tempat untuk menyerahkan harta benda bergerak. Mengapa klasifikasi ini dilakukan tidak dijelaskan. Hingga sekarang identifikasi mengenai letak Hyang Api dan Hyang Tanda juga belum juga mendapatkan jawaban yang memuaskan. Melihat bahwa banyak desa menyerahkan harta kepada kedua tempat ibadah itu menimbulkan dugaan bahwa tempat ibadah tersebut merupakan tempat ibadah yang utama masa itu.

Sementara itu tempat ibadah lain yang disebutkan adalah Sanghyang di Turuñan dan Ida

Hyang di Bukitunggal. Sanghyang di Turuñan yang berada di desa Trunyan dan Ida Hyang di Bukitunggal di desa Air Tabar. Mengenai Sanghyang di Turuñan --dalam Prasasti Trunyan B

disebut juga mengenai Bhatara da Tonta-- dewasa ini diperkirakan adalah kuil yang menyimpan patung megalitik yang disebut masyarakat sekitar dengan sebutan Bhatara Gde

Pancering Jagat (Danandjaja, 1980: 56-57).

Pihak non-keluarga yang juga disebutkan adalah pejabat pemerintahan, yaitu nayaka dan raja. Penyebutan nayaka sebagai penerima harta warisan penduduk desa Julah yang punah kemungkinan memiliki hubungan dengan alasan (sambhanda) prasasti tersebut diterbitkan. Disebutkan dalam Prasasti Sembiran AI bahwa desa Julah dirusak oleh musuh sehingga banyak penduduk yang ditawan (lāgi tyawan bunin) sehingga raja membebaskan penduduk desa Julah dari berbagai macam pajak. Penduduk desa juga dianugrahi hak-hak khusus seperti

tawan karang dan memperluas kuilnya hingga empat atau lima meru (“…mamatampihang punya patpat lalima sumeruna…”). Ada kemungkinan bahwa harta yang harusnya manjing

kepada raja atau tempat ibadah diserahkan kepada nayaka sebagai bentuk kompensasi. Kompensasi ini diberikan kepada nayaka yang membawahi penduduk desa Julah.

Sementara itu pengurusan atas jenazah almarhum diserahkan kepada desa dengan biayanya mengambil dari harta orang yang meninggal tersebut tanpa memedulikan besaran harta yang dimiliki almarhum.

(17)

Tempat suci lain yang disebutkan adalah Ida Hyang di Bukitunggal. Ida Hyang di

Bukitunggal7 disebutkan pada Prasasti Air Tabar/Gobleg Pura Desa I sebagai tempat ibadah yang menerima bagian harta warisan penduduk desa Air Tabar yang meninggal dunia dan tidak memiliki keturunan sebagai persembahan. Benda-benda yang dipersembahkan kepada

Ida Hyang di Bukitunggal adalah emas, perak, bejana perunggu, bejana tembaga, budak,

kerbau dan sapi sebagai sesajian untuk mengusir mahluk halus.

Berdasarkan perbandingan antara keterangan prasasti, Manawadharmasastra, dan hukum adat didapat hasil penelitian sebagai berikut:

1. Harta:

a. Terdapat kesamaan dalam penyebutan harta pada prasasti dan hukum adat, yaitu drwya. Sementara penyebutan harta pada Manawadharmasastra adalah dana. Kata dana ini juga masih dikenal dalam hukum adat untuk menyebutkan harta bawaan istri yang dibawa ke perkawinan.

b. Terdapat kesamaan jenis benda yang diwariskan, yaitu benda-benda ekonomis yang bisa dibagi.

2. Pewaris

a. Penjelasan mengenai pewaris memiliki kesamaan baik dalam prasasti,

Manawadharmasastra, dan hukum adat meskipun penjelasan dalam prasasti sangat

sedikit.

3. Penerima Warisan

a. Terdapat kesamaan pada golongan sapinda dan sakulya yang menjadi penerima warisan pada prasasti, Manawadharmasastra, dan hukum adat

b. Penjelasan mengenai kondisi manjing yang ditemukan dalam prasasti masih berlanjut hingga saat ini.

Sementara itu perbedaan keterangan yang ditemukan selama penelitian terjadi diperkirakan terjadi karena prasasti bersifat lebih praktis karena langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sementara penjelasan dalam kitab Manawadharmasastra lebih bersifat konseptual. Hal-hal yang berbeda yang ditemukan selama penelitian ini juga                                                                                                                          

7 Ida Hyang di Bukitunggal artinya adalah dewa (Ida Hyang) yang ada/disembah di Bukitunggal. Bukitunggal

sendiri kemungkinan berada di sekitar Desa Gobleg, Buleleng karena Prasasti Gobleg Pura Desa A ditemukan di desa tersebut.

(18)

menunjukkan bahwa meskipun mengadopsi peraturan hukum yang berasal dari India, namun masyarakat Bali kuno memberikan peraturan-peraturan tambahan guna melengkapi peraturan yang telah ditetapkan oleh Manawadharmasastra dan menyesuaikan dengan alam pikiran dan budaya masyarakat Bali kuno. Sanksi atas pelanggarannya dicantumkan dalam prasasti dalam bentuk sapathā (kutukan).

Perbedaan bahasa dalam prasasti Bali terlihat memiliki pengaruh dalam menyebutkan ketentuan pembagian warisan. Aturan pembagian warisannya masih tetap sama namun yang berbeda adalah berkurangnya keterangan lain mengenai pungutan dan benda-benda yang diwariskan ke ahli waris. Berdasarkan data prasasti ditemukan keterangan bahwa pada prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno ada kecenderungan untuk tidak mencantumkan peraturan mengenai harta warisan secara terperinci. Hal ini diperkirakan karena peraturan yang ada sudah dianggap dipahami oleh masyarakat sehingga tidak perlu lagi dibicarakan secara panjang lebar dalam prasasti.

Hal-hal yang belum dapat dijelaskan dengan baik dalam penelitian ini dikarenakan adanya keterbatasan data. Meskipun demikian, penelitian ini setidaknya melengkapi gambaran tentang penerapan hukum waris pada masyarakat Bali kuno ditinjau dari segi prasasti dan naskah hukum, serta relevansinya dengan pembagian warisan di Bali dewasa ini karena pada dasarnya segala hal yang dilakukan dalam mengurus orang yang meninggal tersebut adalah salah satu cara melaksanakan dharmma.

DAFTAR PUSTAKA

Budiastra, Putu. (1978). Prasasti Bwahan, Kintamani-Bangli. Denpasar: Museum Bali.

Buhler, G. (1886). The Laws of Manu: Translated with Extracts from Seven Commentaries. Orford: The Clarendon Press.

Damais, Louis Charles. (1990). “Etudes d’Epigraphie Indonesienne IV: Discussion de la Date des Inscriptions”. Bulletin del’Ecole Français d’Extreme-Orient, XLVII, 1 hlm 7-290. Paris: EFEO.

Danandjaja, James. (1980). Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta: Pustaka Jaya. Ekawana, I Gusti Putu. (1990). “Sawa Widhana dalam Prasasti Bali” dalam Proceedings

Analisis Hasil Penelitian Arkeologi I Plawangan, 26-31 Desember 1987: Religi dalam Kaitannya dengan Kematian Jilid I. Jakarta: Depdikbud hlm 178-193.

(19)

Goris, Roelof. (1954). Prasasti Bali I: diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Budaja Fakulteit Sastra dan Filasafat Universitet Indonesia. Bandung: N. V. Masa Baru.

Granoka, I Wayan, dkk. (1985). Kamus Bali Kuno-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Hadikusuma, Hilman. (1980). Hukum Waris Adat. Jakarta: Citra Aditya Bakti. Koentjaraningrat. (1985). Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kusumawati, Ayu dan Made Suastika. (1990). “Kajian Data Tentang Kubur Hasil Ekskavasi di Bali” dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi I Plawangan, 26-31

Desember 1987: Religi dalam Kaitannya dengan Kematian. Jakarta: Pusat Penelitian

Arkeologi Nasional hlm 44-56.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. (2003). Seri Hukum Harta Kakayaan: Kebendaan

pada Umumnya. Jakarta: Kencana.

Poesponegoro Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed). (1984). Sejarah Nasional

Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

Pudja, M. A. G. dan Tjokorda Rai Sudharta. (1976/1977). Manawa Dharmaśastra (Manu

Dharmaśastra) atau Weda Smṛti: Compedium Hukum Hindu. Jakarta: C. V. Junasco.

Shamasastry, R. (1956). Kautilya’s Arthasastra. India: Mysore Printing and Publishing House.

Soekanto, Soerjono. (1983). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Soekatno, Endang Sri Hardiati. (1990). “Konsepsi tentang Hidup dan Kematian pada Masyarakat Jawa Kuno Ditinjau dari Naskah” dalam Proceedings Analisis Hasil

Penelitian Arkeologi I Plawangan, 26-31 Desember 1987: Religi dalam Kaitannya dengan Kematian. Jakarta: Depdikbud hlm 64-83.

Warna, I Wayan, dkk. (1978). Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran Provinsi Bali.

Referensi

Dokumen terkait

Tanjungpura Pontianak sebagian besar berada pada tingkat sedang (63,24%), serta terdapat hubungan yang rendah dan signifikan antara kecerdasan visual-spasial

Keterangan : X = rata-rata skor responden X = jumlah skor gabungan frekuensi jawaban dikali dengan bobot nilai untuk setiap alternatif jawaban N = jumlah responden Langkah-lngkah

Oleh karena itu perusahaan harus mampu memanfaatkan sumber daya manusianya secara optimal, dan untuk mendukung pemanfaatan tersebut sehingga memperoleh karyawan kompeten

Sementara itu Estaswara (2008) dalam bukunya Think IMC: Efektifitas Komunikasi untuk Meningkatkan Loyalitas Merek dan Laba Perusahaan, mendefinisikan komunikasi

Dapat juga untuk mensimulasikan kebocoran pada pipa yang tersambung pada jaringan (jika koefisien discharge dan eksponen pressure untuk retak kebocoran atau joint

BiNus Card tidak hanya menjadi kartu identitas mahasiswa tetapi juga dapat digunakan untuk melakukan absensi baik pada saat praktikum maupun ujian.. Dengan penggunaan smart

Prinsip yang sudah ditetapkan digunakan untuk menentukan platform yang disediakan, platform yang di sediakan terdiri dari platform untuk pengembangan aplikasi yang sudah

trafficking internal masuk dalam ruang lingkup perjanjian ini. Protokol trafficking tersebut telah ditafsirkan hanya berlaku untuk kejahatan transnasional dan dilakukan oleh