• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu, terbukti dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu, terbukti dari"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu, terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Sari, 2006).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa hampir separuh orang Indonesia mengonsumsi obat tradisional terutama jamu untuk pencegahan dan penyembuhan. Sebanyak 49,53 % penduduk Indonesia berusia 45 tahun ke atas mengonsumsi jamu. Sekitar 5 % penduduk mengonsumsi jamu tiap hari, sementara sisanya mengonsumsi jamu sesekali.

Menurut Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, jumlah pengobat tradisional di Indonesia yang tercatat cukup banyak, yaitu 280.000 pengobat tradisional dan 30 keahlian/spesialisasi. Sedang dari di 30 ribu jenis tanaman yang ada di Indonesia 950 jenis diantaranya memiliki fungsi penyembuhan yang sudah selayaknya bisa dikembangkan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Disamping itu, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2001, 57,7% penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri, 31,7% menggunakan obat tradisional, dan 9,8 memilih cara pengobatan tradisional. Sedangkan pada tahun

(2)

2

2004 penduduk Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri meningkat menjadi 72,44 % dimana 32,87 % menggunakan obat tradisional (Idward, 2012).

Salah satu tanaman yang sering digunakan dalam pengobatan tradisional adalah tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.). Daun kumis kucing basah maupun kering bermanfaat digunakan sebagai bahan obat-obatan. Di Indonesia daun yang kering (simplisia) dipakai sebagai obat yang memperlancar pengeluaran air kemih (diuretik) sedangkan di India untuk mengobati rematik. Masyarakat menggunakan kumis kucing sebagai obat tradisional sebagai upaya penyembuhan batuk, encok, masuk angin dan sembelit. Di samping itu daun tanaman ini juga bermanfaat untuk pengobatan radang ginjal, batu ginjal (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2013).

Tingginya tingkat penggunaan tanaman kumis kucing sebagai obat tradisional mengacu pada pengembangan metode budidaya dan pengolahan pasca panen tanaman kumis kucing yang dapat memberikan hasil yang optimal, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Beberapa faktor yang terkait dengan teknik budidaya ini diantaranya adalah melakukan kombinasi baru dalam penggunaan pupuk. Aplikasi kombinasi pupuk ditujukan untuk memperoleh kesuburan tanah yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kumis kucing.

Kesuburan tanah (kandungan hara tersedia) merupakan faktor penentu terhadap produktivitas dan mutu bahan baku obat. Semua tanaman, termasuk tanaman obat, diperlukan hara yang seimbang untuk menopang pertumbuhannya secara optimal sehingga produktivitasnya tinggi. Kekurangan salah satu hara atau tidak seimbangnya kebutuhan hara dapat menyebabkan penurunan hasil dan mutu

(3)

zat berkhasiat obat, sehingga tidak jarang bahan baku tanaman obat yang sampai ke industri mutunya masih di bawah standar. Hal ini salah satunya disebabkan oleh perolehan bahan baku obat tersebut dengan cara pengumpulan bahan secara liar di semak-semak, hutan dan atau hasil budidaya yang seadanya, sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan hara yang seimbang (Rahardjo, 2003). Dalam penelitian Samanhudi et al. (2008), pemberian pupuk organik yang sesuai mempengaruhi luas daun kumis kucing. Penelitian Gunarso (1995), menyatakan bahwa pemupukan kalium (K) berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman, bobot kering tanaman (total, panen daun, daun, batang dan akar) dan luas permukaan daun. Dengan adanya optimasi pemupukan, diharapkan dapat dihasilkan tanaman kumis kucing dengan mutu yang memenuhi persyaratan yang berlaku. Sebagai keberlanjutan dari optimasi budidaya tanaman kumis kucing, diperlukan pula adanya optimasi dalam perlakuan dalam pemanenan dan pasca panen.

Di samping masalah budidaya dan pemanenan, kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi tanaman kumis kucing sebagai obat tradisional memicu pengembangan tanaman ini menjadi fitofarmaka. Untuk mencapai hal ini, perlu dikaji mengenai kejelasan dan kebenaran bahan, yang kemudian didampingi dengan metode pembuatan simplisia yang baik dan memenuhi persyaratan yang berlaku. Dalam bentuk simplisia, perlu dilakukan standarisasi untuk menjaga kualitas dan efikasi bahan obat herbal. Standarisasi diartikan sebagai nilai atau ukuran yang menyatakan reprodusibilitas mutu sehingga menghasilkan konsistensi efikasi untuk setiap produknya (Gaedcke and Steinhoff, 2003).

(4)

B. Rumusan Masalah

1. Apakah simplisia daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) yang dihasilkan dari tiga tanaman kumis kucing yang masing-masing diberi pemupukan yang berbeda memiliki kualitas yang memenuhi persyaratan yang berlaku?

2. Apakah penggunaan kombinasi pupuk yang berbeda pada tanaman kumis kucing berpengaruh terhadap hasil penetapan parameter nonspesifik simplisia daun kumis kucing yang dihasilkan?

3. Apakah penggunaan kombinasi pupuk yang berbeda pada tanaman kumis kucing berpengaruh terhadap hasil penetapan parameter spesifik simplisia daun kumis kucing yang dihasilkan?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kualitas simplisia daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) yang dihasilkan dari tiga tanaman kumis kucing yang masing-masing diberi pemupukan yang berbeda.

2. Mengetahui adanya perbedaan hasil penetapan parameter non spesifik, meliputi susut pengeringan, kadar air, kadar abu, kadar abu larut asam, cemaran logam berat timbal (Pb), cemaran residu pestisida organoklorin, cemaran mikroba Angka Lempeng Total (ALT) dan Angka Kapang Khamir (AKK) simplisia daun kumis kucing dengan perlakuan pemupukan yang berbeda.

3. Mengetahui adanya perbedaan hasil penetapan parameter spesifik, meliputi senyawa terlarut dalam air, senyawa terlarut dalam etanol pada simplisia daun

(5)

kumis kucing, pola kromatogram, penetapan kadar flavonoid total dan penetapan kadar fenolik total simplisia daun kumis kucing dengan perlakuan pemupukan yang berbeda.

D. Tinjauan Pustaka 1. Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

Gambar 1. Tumbuhan kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

Klasifikasi tanaman kumis kucing adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Tubiflorae Suku : Labiatae

(6)

Sinonim : Orthosiphon spicatus B.B.S.; O. grandiflorus Bold (Hutapea, 2000); O. aristatus (Bl.) Miq.

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1980).

a. Morfologi

Kumis kucing merupakan tumbuhan semak tahunan yang dapat tumbuh mencapai 50-150 cm. Kumis kucing memiliki batang berkayu yang berbentuk segi empat, beruas-ruas, serta bercabang dengan warna coklat kehijauan. Daun kumis kucing merupakan daun tunggal yang berbentuk bulat telur, dengan ukuran panjang 7-10 cm dan lebar 8-50 cm. Pada bagian tepi daun bergerigi dengan ujung dan panjang runcing. Daun tipis dan berwarna hijau. Bunga kumis kucing berupa bunga majemuk berbentuk malai yang terletak di ujung ranting dan cabang dengan mahkota bunga berbentuk bibir dan berwarna putih. Pada bunga terdapat kelopak yang berlekatan dengan ujung terbagi empat dan berwarna hijau. Benang sari pada bunga berjumlah empat dengan kepala sari berwarna ungu. Sedangkan putik pada bunga berjumlah satu dan berwarna putih. Kumis kucing memiliki buah berbentuk kotak dan bulat telur, yang berwarna hijau ketika masih muda dan berubah warna menjadi hitam setelah tua. Biji kumis kucing berukuran kecil dan berwarna hijau ketika masih muda yang menghitam setelah tua. Perakaran kumis kucing merupakan akar tunggang berwarna putih kotor (Hutapea, 2000).

(7)

b. Nama lain

Kumis kucing memiliki beberapa nama daerah diantaranya adalah Kumis ucing (Sunda), Remujung (Jawa tengah) (Hutapea, 2000), Se-salaseyan, Soengot koceng (Madura) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1980), Kutun, Mamam, Bunga laba-laba (Jawa) (Yuniarti, 2008).

c. Kandungan kimia

Pada umumnya, kumis kucing memiliki kandungan kimia berupa alkaloid, saponin, flavonoid dan polifenol (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1987), zat samak, orthosiphon glikosida, minyak lemak, sapofonin, garam kalium (0,6-3,5%) dan myoinositol (Hariana, 2005), serta minyak atsiri sebanyak 0,02-0,06 % yang terdiri dari 6 macam sesquiterpenes dan senyawa fenolik, glikosida flavonol, turunan asam kaffeat. Hasil ekstraksi daun dan bunga Orthosiphon stamineus Benth. Ditemukan methylripariochromene A atau 6-(7, 8-dimethoxyethanone). Juga ditemukan 9 macam golongan senyawa flavon dalam bentuk aglikon, 2 macam glikosida flavonol, 1 macam senyawa coumarin, scutellarein, 6-hydroxyluteolin, sinensetin (Yulaikhah, 2009).

d. Efek farmakologi

Secara empiris daun kumis kucing telah digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional, antara lain sebagai peluruh air seni, mengobati batu ginjal, mengobati kencing manis, penurun tekanan darah tinggi serta mengobati encok (Hutapea, 2000). Pada prinsipnya kumis kucing digunakan

(8)

sebagai diuretik, ekstrak alkohol-air dari kumis kucing memicu urinasi dan sekresi ion Na+ pada tikus (Wiart, 2006).

2. Pemupukan

Pemupukan adalah cara-cara atau metode pemberian pupuk atau bahan-bahan lain seperti bahan-bahan kapur, bahan-bahan organik, pasir ataupun tanah liat ke dalam tanah. Sedangkan pupuk adalah suatu bahan yang bersifat organik ataupun anorganik, bila ditambahkan ke dalam tanah ataupun tanaman dapat menambah unsur hara serta dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, atau kesuburan tanah (Hasibuan, 2006).

Berdasarkan asalnya, pupuk dibedakan menjadi pupuk alam dan pupuk buatan. Pupuk alam dibuat dengan bahan alam tanpa proses yang berarti. Pupuk buatan dibuat oleh pabrik. Pupuk ini dibuat oleh pabrik dengan mengubah sumber daya alam melalui proses fisika ataupun kimia. Sedangkan berdasarkan senyawanya, pupuk dibedakan menjadi pupuk organik dan anorganik. Kebanyakan pupuk alam tergolong pupuk organik. Contohnya pupuk kandang. Hampir semua pupuk buatan tergolong pupuk anorganik. Contohnya NPK (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

a. Pupuk kandang

Pupuk kandang yang berasal dari usaha pertanian antara lain kotoran ayam, sapi, kerbau dan kambing. Komposisi hara pada masing-masing hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya. Secara umum,

(9)

kandungan hara dalam kotoran hewan lebih rendah dari pupuk kimia. Contohnya pada pupuk kandang sapi, memiliki kadar karbon yang tinggi, yang menekan pertumbuhan tanaman sehingga perlu pengolahan sebelum diaplikasikan. Oleh karena itu, dalam aplikasinya pupuk kandang cenderung diberikan dalam jumlah yang lebih banyak daripada pupuk kimia. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan hara dalam pupuk kandang yang dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi/mineralisasi bahan-bahan tersebut. Hara seperti nitrogen, fosfor dan unsur lainnya terdapat dalam kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit terdekomposisi (Hartatik dan Widowati, 2005).

Untuk meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, perlu perlakuan pengomposan untuk pupuk kandang. Pengomposan diartikan sebagai proses dekomposisi secara biologi untuk mencapai bahan organik yang stabil. Proses pengomposan menghasilkan panas. Dengan dihasilkannya panas maka akan dihasilkan produk kompos akhir yang stabil, bebas dari patogen dan biji-biji gulma, berkurangnya bau, dan lebih mudah diaplikasikan ke lapangan. Selain itu perlakuan pengomposan dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman karena perubahan bentuk dari tidak tersedia menjadi mudah tersedia. Sebelum dilakukan pengomposan, pupuk kandang sapi memilliki kandungan unsur hara karbon 63,44 %, nitrogen 1,53 %, fosfor 0,67 % dan kalium 0,70 %. Setelah dilakukan pengomposan, pupuk kandang sapi memiliki kandungan unsur hara nitrogen 2,34 %, fosfor 1,8 % dan kalium 0,96 % (Hartatik dan Widowati, 2005).

(10)

b. Pupuk NPK (Nitrogen, Phospor, Kalium)

Pupuk NPK adalah pupuk yang berisi kombinasi unsur hara berupa (N) nitrogen, (P) fosfor dan (K) kalium. Nitrogen dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk, meliputi protein (bahan organik), senyawa-senyawa amino, amonium (NH4+), dan nitrat, sedangkan nitrogen yang diambil tanaman dalam

bentuk NH4+ dan NO3-. Fosfor diserap tanaman terutama sebagai anion fosfat

valensi satu (H2PO4-) dan diserap lebih lambat dalam bentuk anion bervalensi

dua (HPO42-) (Engelstad, 1997). Kalium diserap tanaman dalam bentuk K+,

terutama pada tanaman muda (Silahooy, 2008). Pemberian pupuk NPK mempengaruhi ketersediaan NO3- dalam tanah, sedangkan ketersediaan kalium

dan fosfor dalam tanah tidak terpengaruh secara signifikan (Afrianti, 2011). Pada dasarnya, unsur hara yang paling mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah unsur hara makro. Beberapa unsur hara makro diantaranya nitrogen, fosfor dan kalium. Nitrogen merupakan salah satu unsur hara utama yang berperan sebagai penyusun bahan dasar protein sehingga sintesis protein ikut meningkat, selain itu unsur ini juga berperan dalam pembentukan klorofil serta pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman, seperti daun, batang, dan akar. Pemberian nitrogen secara optimal diketahui dapat mempercepat laju pertumbuhan tanaman yaitu menambah tinggi tanaman, jumlah daun, dan diameter batang (Hardjowigeno, 1992; Siregar dan Utami, 2002). Unsur hara fosfor (P) merupakan unsur penyusun jaringan tanaman, seperti asam nukleat, fosfolipida, dan fitin. Fosfor dibutuhkan tanaman pada awal pertumbuhan tanaman terutama di bagian

(11)

tunas-tunas muda (pembelahan sel), khususnya di ujung-ujung akar (Hardjowigeno, 1992). Kalium peranan utamanya adalah aktifator enzim yang penting untuk fotosintesis dan respirasi, serta aktifator enzim dalam pembetukan pati dan protein (Salisbury dan Ross, 1995).

3. Simplisia

Simplisia merupakan bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan atau mineral. Sedangkan yang dimaksud dengan simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman.

Pada dasarnya pembuatan simplisia dilakukan melalui tahapan yang meliputi pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan dan pemeriksaan mutu. Pemeriksaan mutu dilakukan dengan cara organoleptik, makroskopik, mikroskopik dan atau cara kimia. Beberapa jenis simplisia tertentu ada yang perlu diperiksa dengan uji mutu secara biologi. Simplisia dinyatakan bermutu apabila simplisia yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam buku-buku seperti Farmakope Indonesia, Farmakope Herbal Indonesia, atau Materia Medika (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

(12)

4. Ekstraksi

Ekstraksi adalah metode pemisahan dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen-komponen yang tidak larut dengan pelarut yang sesuai (Leniger dan Beverloo, 1975). Metode paling sederhana untuk mengekstraksi padatan adalah dengan mencampur seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut.

a. Cairan penyari

Pelarut etanol sering digunakan karena memiliki polaritas lebih tinggi daripada air suling sehingga akan lebih banyak melarutkan komponen polar. Etanol mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, dan senyawa organik lainnya, serta merupakan pelarut yang aman dalam arti tidak toksik (Somaatmaja, 1981). Di samping itu untuk mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui kandungan kimianya secara jelas diharuskan menggunakan pelarut etanol atau air untuk alasan keamanan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Sedangkan ekstrak dengan pelarut air suling digunakan sebagai pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi tanaman tersebut sehari-hari secara umum.

b. Metode penyarian

Metode penyarian dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah yang akan diekstraksi dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna

(13)

atau mendekati sempurna (Ansel, 1989). Terdapat beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam pembuatan ekstrak, diantaranya adalah perkolasi dan maserasi.

Perkolasi secara umum dapat dinyatakan sebagai proses dimana simplisia yang sudah halus diekstraksi dengan cara melewatkan pelarut yang sesuai, yang dapat melarutkan kandungan zat kimia dalam simplisia, pada simplisia dalam suatu kolom. Simplisia dimampatkan dalam alat ekstraksi khusus bernama perkolator. Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan metode ini (Ansel,1989).

Maserasi dilakukan dengan merendam simplisia yang sudah dihaluskan dalam pelarut yang sesuai, sampai pelarut meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang terlarut dalam pelarut akan mudah larut dan tersari dalam pelarut. Biasanya simplisia ditempatkan dalam wadah atau bejana bermulut lebar bersama dengan pelarut yang telah ditetapkan, lalu bejana ditutup rapat dan isinya dikocok atau diaduk berulang-ulang dengan jangka waktu berkisar antara 2-14 hari (Ansel, 1989).

Metode maserasi dipilih karena cara pengerjaannya dan peralatan yang digunakan lebih sederhana dibandingkan perkolasi. Namun demikian, metode maserasi juga memiliki kerugian, yaitu cara pengerjaannya yang lama dan penyariannya kurang sempurna. Dalam proses maserasi, cairan penyari akan menembus dinding sel bahan dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Apabila digunakan penyari yang sesuai, zat aktif akan larut dalam cairan penyari dan menciptakan larutan zat aktif di dalam sel yang

(14)

memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada cairan penyari di luar sel. Adanya gradien konsentrasi ini menyebabkan terjadinya pendesakan larutan yang terpekat ke luar sel. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sampai diperoleh kesetimbangan konsentrasi di dalam dan di luar sel. Penggojogan ataupun pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga derajat perbedaan konsentrasi dijaga tetap kecil antara larutan di dalam sel dan di luar sel (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

c. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan menekstraksi bahan baku dengan secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan cara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan utama obat sesedikit mungkin terkena panas (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

5. Kromatografi a. Tinjauan umum

Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan zat berkhasiat dan zat lain yang ada dalam sediaan, dengan jalan penyarian berfraksi, atau

(15)

penyerapan, atau penukaran ion pada zat padat yang berpori, menggunakan cairan, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Zat yang diperoleh dapat digunakan untuk percobaan identifikasi atau penetapan kadar. Kromatografi yang sering digunakan adalah kromtografi kolom, kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis dan kromatografi gas. Sebagai bahan penyerap selain kertas digunakan juga zat penyerap berpori misalnya aluminoksida yang diaktifkan, asam silikat atau silika gel, kiselgur dan harsa sintetik. Bahan tersebut dapat digunakan sebagai penyerap tunggal atau campurannya atau sebagai penyangga bahan lain. Kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis umumnya lebih berguna untuk percobaan identifikasi karena cara ini khas dan mudah dilakukan untuk zat dengan jumlah sedikit. Kromatografi gas memerlukan alat yang lebih rumit, tetapi cara tersebut sangat berguna untuk percobaan identifikasi dan penetapan kadar (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1980).

b. Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis digunakan pada pemisahan zat secara cepat, dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis dapat dianggap sebagai “kolom kromatografi terbuka” dan pemisahannya didasarkan pada penyerapan, pembagian atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut.

(16)

Harga Rf yang diperoleh pada kromatografi lapis tipis tidak tetap jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi kertas. Karena itu pada lempeng yang sama, disamping kromatogram dari zat yang diperiksa, perlu dibuat kromatogram dari zat pembanding kimia, lebih baik dengan kadar yang berbeda-beda. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran yang lebih kurang sama. Ukuran dan intensitas bercak dapat digunakan untuk memperkirakan kadar. Penetapan kadar lebih teliti dapat dilakukan dengan cara densitometri atau dengan mengambil bercak dengan hati-hati dari lempeng, kemudian disari dengan pelarut yang cocok dan ditetapkan dengan cara spektrofotometri (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1980).

6. Standarisasi

a. Good Agricultural and Collection Practices (GACP)

GACP merupakan panduan teknis yang berkaitan dengan kontrol kualitas dalam produksi obat herbal, yang dikembangkan oleh WHO (World Health Organization). Dalam GACP dideskripsikan secara detail mengenai teknik serta batasan ataupun ukuran tertentu faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk melaksanakan proses budidaya dan pemanenan secara baik dan benar. Sehingga dapat dikatakan bahwa GACP merupakan langkah awal dalam menentukan jaminan kualitas (quality assurance), yang secara langsung akan berpengaruh terhadap keamanan dan efikasi produk obat herbal, serta berperan penting dalam menjaga kelestarian sumber daya alam berupa tanaman

(17)

obat untuk pemanfaatan yang berkelanjutan (World Health Organization, 2003).

Menurut WHO Guidelines on Good Agricultural and Collection Practices (GACP) for Medicinal Plants (2003), GACP dijabarkan dalam faktor-faktor yang meliputi identifikasi/autentifikasi tanaman obat hasil budidaya, bibit dan material pembudidayaan, proses pembudidayaan, pemanenan, kriteria pekerja yang terlibat, ijin pemanenan, koleksi data proses penanaman secara teknis, pemilihan tanaman yang akan dipanen, proses pemanenan dan kriteria pekerja yang terlibat dalam pemanenan. Sedangkan proses pasca panen meliputi inspeksi dan sortasi, proses utama (standarisasi yang disesuaikan dengan standar nasional ataupun regulasi yang berlaku), pengeringan, proses spesifik, fasilitas yang dilakukan dalam melakukan seluruh proses, pengemasan dan pelabelan, serta penyimpanan dan proses distribusi (transportasi) (World Health Organization, 2003).

b. Standarisasi simplisia

Standarisasi dalam ilmu kefarmasian merupakan serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian. Mutu yang dimaksudkan adalah memenuhi syarat-syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian pada umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Pemerintah melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan serta

(18)

melindungi konsumen dengan menjamin mutu, keamanan dan manfaat produk. Pengertian standarisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir, baik dalam bentuk obat, ekstrak, maupun produk ekstrak, mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih dahulu (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Parameter standar umum (nonspesifik) meliputi parameter susut pengeringan, kadar air, kadar abu, sisa pelarut, residu pestisida, cemaran logam berat dan cemaran mikroba. Sedangkan parameter standar spesifik meliputi parameter identitas, organoleptik, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, uji kandungan kimia ekstrak, kadar total golongan kandungan kimia dan kadar kandungan kimia tertentu (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

E. Hipotesis

Simplisia daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) yang dihasilkan dari tiga tanaman kumis kucing yang masing-masing diberi pemupukan yang berbeda memiliki kualitas yang memenuhi persyaratan yang berlaku.

Simplisia daun kumis kucing yang diperoleh dari tanaman kumis kucing dengan perlakuan pemupukan yang berbeda, yaitu 3N1P1, 3N1P2 serta 3N1P3 memiliki nilai penetapan parameter nonspesifik dan spesifik yang berbeda satu sama lain.

Gambar

Gambar 1. Tumbuhan kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Return On Investment, Arus Kas Investasi, dan Debt to Equity Ratio terhadap Harga Saham pada

ANALISIS PENGARUH PESAN IKLAN TELEVISI TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMBELIAN PADA SABUN DETERJEN RINSO (Studi Pada Masyarakat Kelurahan Merjosari RW 12

[r]

Setelah mengamati video contoh animsai siswa dapat menjelaskan cara kerja teknik animasi Setelah mengamati video contoh animsai siswa dapat menjelaskan cara kerja teknik

Kemandirian seorang mahasiswa sangat diperlukan dalam kerangka menghadapi era persaingan yang demikian ketat dalam mendapatkan lapangan pekerjaan. Salah satu upaya

(1) Barang siapa melakukan budidaya tanaman tembakau tidak menerapkan standard teknologi yang ramah lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), yang mengakibatkan

Dengan tersedianya alat kerja, bimbingan, dan ilmu otomotif yang dibutuhkan siswa; (2) Adanya pengaruh perbedaan layanan pada masing-masing industri ditinjau dari

Tujuan : Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengaplikasikan senam nifas terhadap penurunan tinggi fundus uteri (TFU) pada ibu post partum spontan.. Metode : Penelitian ini