• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN AKIBATNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN AKIBATNYA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN AKIBATNYA (Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar)

NASKAH PUBLIKASI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh:

NOVITA KUSUMANINGRUM C. 100.110.079

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015

(2)
(3)

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN AKIBATNYA (Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur

di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar)

NOVITA KUSUMANINGRUM C. 100.110.079

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015

ABSTRACT

This research aims to (1) determine the cause of underage marriage did divorce within the territory of Religious Courts of Surakarta and Religious Courts of Karanganyar (2) Finding a legal breakthrough in efforts to cope with underage marriage that resulted in divorce within the territory of Religious Courts of Surakarta and Religious Courts of Karanganyar. The research used a descriptive by using an empirical approach. The data obtained through research on Religious Courts of Surakarta and Religious Courts of Karanganyar. Data were collected through the study of documents and interviews. Technical analysis of the data of this research is the analysis of qualitative data using interactive methods.

Keywords: underage marriage, divorce

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui penyebab perkawinan di bawah umur melakukan perceraian dalam wilayah Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar (2) Menemukan terobosan hukum dalam upaya menanggulangi perkawinan di bawah umur yang berakibat perceraian dalam wilayah Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar. Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan empiris. Data yang diperoleh melalui penelitian pada Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar. Metode pengumpulan data melalui studi dokumen dan wawancara. Teknis analisis data penelitian ini adalah analisis data kualitatif dengan menggunakan metode interaktif.

(4)

PENDAHULUAN

Berdasarkan hukum perkawinan dicantumkan bahwa usia minimal yang diperkenankan menikah adalah laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang belum atau tidak memenuhi persyaratan umur yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan. Pernikahan di bawah umur juga disebut Dispensasi Nikah, yaitu pernikahan yang terjadi pada pasangan atau salah satu calon yang ingin menikah pada usia di bawah standar batas usia nikah yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum perkawinan.1

Kasus pernikahan di bawah umur, telah terjadi di wilayah Kota Surakarta dan Karanganyar. Berdasarkan data awal, perkawinan di bawah umur yang tercatat dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Laweyan Kotamadya Surakarta dari bulan Januari hingga Agustus 2014 sebanyak dua orang mempelai laki-laki dan 49 orang mempelai perempuan. Artinya, pernikahan di bawah umur di masyarakat masih saja terjadi. Kejadian ini terjadi, bukan karena pemerintah kurang aktif dalam mensosialisasikan peraturan perundang-undangan, dan juga bukan karena masyarakat tidak paham atas peraturan perundangan-undangan tersebut. Sosialisasi ketentuan perkawinan telah berulangkali disampaikan oleh pemerintah dalam hal ini KUA melalui kegiatan perkawinan itu sendiri, diantaranya dicantumkan dalam buku nikah maupun acara tausiah dalam upacara pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa, ketika peraturan jelas-jelas menentukan

1 Nurmilah Sari, 2011, Skripsi Hukum, “Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi Kasus di

Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010)”, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

(5)

pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan harus memenuhi umur yang telah ditentukan, namun kenyataanya tidak berjalan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terjadinya perkawinan di bawah umur pada akhirnya membawa akibat dari perkawinan itu sendiri, baik akibat baik maupun akibat buruk. Akibat baiknya adalah terbinanya rumah tangga sebagaimana tujuan perkawinan, sedangkan akibat buruknya adalah terjadinya perceraian. Hal ini disebabkan, perceraian terjadi karena ada perkawinan. Perkawinan di bawah umur, melibatkan pasangan mempelai yang secara fisik maupun psikologis belum siap. 2

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.3 Banyak sekali alasan atau kendala yang menyebabkan terjadinya perceraian antara suami dan istri di dalam rumah tangga. Alasan perceraian tersebut antara lain disebabkan karena perselingkuhan, pengaruh keluarga, tidak menarik lagi, kesibukan, keturunan, poligami, pernikahan dini, perbedaan keyakinan, penghasilan, dan pendidikan.4

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah pertama, apakah perkawinan di bawah umur menyebabkan pasangan suami istri melakukan perceraian, kedua, bagaimanakah terobosan hukum dalam upaya menanggulangi perkawinan di bawah umur yang berakibat perceraian?

Tujuan penelitian ini adalah untuk pertama, Mengetahui penyebab perkawinan di bawah umur melakukan perceraian dalam wilayah Pengadilan

2 Moh Mukson, 2013, “Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang

(Sebuah Refeksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan”, Jurnal Bimas Islam, Vol.6. No.1 (2013), hal. 4.

3 Wahjadi Darmabrata & Adhi Wibowo Nurhidayat, 2003, Psikiatri Forensik. Jakarta: EGC, hal.

98.

4

(6)

Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar; kedua, Menemukan terobosan hukum dalam upaya menanggulangi perkawinan di bawah umur yang berakibat perceraian dalam wilayah Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar.

Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan empiris. Data yang diperoleh melalui penelitian pada Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar. Metode pengumpulan data melalui studi dokumen dan wawancara. Teknis analisis data penelitian ini adalah analisis data kualitatif dengan menggunakan metode interaktif5.

Validitas atau keabsahan data dalam penelitian ini diperiksa dengan metode triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk kepentingan pengecekan data atau sebagai pembanding terhadap data itu. 6 Variasi teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi model sumber. Hal ini dilakukan karena pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara, dokumentasi dan observasi.

HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN

Perkawinan di Bawah Umur Menyebabkan Pasangan Suami Istri Melakukan Perceraian

Kasus-kasus perkawinan anak di bawah umur dapat dijadikan sebagai contoh terbukanya peluang penyalahgunaan hukum. Realita tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa keberadaan payung hukum tersebut, baik

5 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

(UI-Press), hal. 10.

6 Lexy Y. Moleong, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi)., Bandung: PT.

(7)

disadari atau tidak, telah disalahgunakan menjadi penguat faktor-faktor internal perkawinan anak di bawah umur. Dalam persidangan dispensasi perkawinan alasan-alasan dengan dalih faktor internal, terutama faktor pergaulan, menjadi alasan yang banyak menjadikan legalitas dispensasi perkawinan di bawah umur. Berdasarkan penetapan-penetapan dispensasi perkawinan yang diketahui, keseluruhannya mendapatkan legalitas yang disebabkan adanya kekhawatiran terhadap pergaulan bebas yang terjadi antar kedua calon mempelai7.

Majelis Hakim yang menyidangkan permohonan dispensasi perkawinan tidak dapat disalahkan seluruhnya. Mereka hanya abdi hukum yang tunduk terhadap hukum yang berlaku. Alasan yang diajukan oleh masyarakat yang mengajukan permohonan dispensasi perkawinan juga menjadi pertimbangan tersendiri oleh Majelis Hakim.

Fenomena pergaulan bebas calon pengantin (remaja) adalah keadaan yang dapat menuju pada terciptanya perbuatan zina. Oleh sebab itulah Majelis Hakim tidak dapat dipersalahkan secara sepenuhnya. Terlebih lagi Majelis Hakim telah berusaha maksimal dengan melakukan pemeriksaan secara terpisah. Namun upaya tersebut pun telah diketahui oleh masyarakat sehingga masyarakat kemudian melakukan rekayasa sebelum adanya pemeriksaan sehingga dalam pemeriksaan tersebut seakan-akan memang benar-benar terjadi pergaulan bebas yang disebabkan oleh perbuatan anak (calon pengantin). Padahal pada beberapa kasus pergaulan bebas tidak disebabkan oleh keinginan anak melainkan karena keinginan orang tua. Maksudnya, terjadinya perkawinan dibawah umur, bukan

7

(8)

semata-mata keinginan anak melainkan ada motivasi lain dari orang tua, yaitu menghindarkan anak dari perbuatan zina akibat pergaulan bebas.

Hukum perundang-undangan idealnya harus mampu menjadi alat untuk menegakkan keadilan, menciptakan kenyamanan dan mampu mendukung terciptanya kesejahteraan hidup masyarakat. Namun jika melihat realita yang terjadi di masyarakat, adanya legalitas perkawinan di bawah umur telah memberikan dampak yang kurang bagus dalam kehidupan masyarakatnya.

Pada saat melakukan pengumpulan data, penulis juga menemukan beberapa pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur melakukan perceraian padahal usia perkawinan masih singkat.

Keberadaan undang-undang yang memperbolehkan perkawinan anak di bawah umur telah menjadi alasan bagi masyarakat untuk menentang anjuran yang diberikan oleh Kepala Desa terkait rencana perkawinan anak mereka yang masih di bawah umur. Hal ini sangat wajar karena kedudukan Kepala Desa maupun PPN dalam perihal perkawinan masih kalah dengan legalitas yang diperoleh dari perundang-undangan yang berlaku.

Masyarakat yang berkeinginan untuk mendapatkan dispensasi perkawinan anak di bawah umur telah berani menyalahgunakan keberadaan peraturan perundang-undangan demi memuluskan keinginan mereka. Hal ini mengindikasikan perlu adanya perbaikan pada upaya pemahaman kepada masyarakat tentang keberadaan dan fungsi hukum dalam kehidupan.

Faktor terpenting kedua adalah faktor pergaulan bebas remaja. Faktor ini merupakan faktor pendukung dari perundang-undangan yang berlaku. Maksudnya, keberadaan fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja menjadi

(9)

satu-satunya alasan yang dapat menjadi legalitas terjadinya perkawinan anak di bawah umur. Sedangkan faktor-faktor yang lainnya tidak dapat diajukan sebagai syarat kebolehan suatu perkawinan.

Faktor pergaulan bebas dapat dijadikan alasan karena secara tidak langsung dapat mengarah pada terjadinya kawin hamil. Secara hukum, kawin hamil memang dapat diselenggarakan secara legal formal berdasarkan ketentuan dalam Pasal 53 KHI yang menyebutkan

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya; (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya; dan (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Namun hal ini tidak lantas menjadi sebab tidak diperbolehkannya kekhawatiran pergaulan bebas menjadi syarat dibolehkannya perkawinan anak di bawah umur. Islam sangat tidak menganjurkan adanya kemadlaratan sebagaimana dalam pergaulan bebas terkandung aspek-aspek kemadlaratan timbulnya perzinaan di kalangan remaja.

Kekhawatiran yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas bukan isapan jempol semata. Salah satunya adalah kasus yang menimpa MAWAR. Realita-realita tersebut semakin menguatkan kekhawatiran terjadinya perzinaan yang berakibat kehamilan di luar nikah pada anak-anak dan remaja. Selain dampak tersebut, kehormatan keluarga juga menjadi aspek yang tidak kalah pentingnya dalam mengupayakan perkawinan anak di bawah umur daripada terjadi kawin hamil yang menimpa anak-anak mereka.

(10)

Keadaan tersebut memang dapat menjadi sebuah alasan yang tidak dapat ditolak. Namun di sisi lain, kekhawatiran itu juga akan menjadi peluang semakin maraknya perkawinan anak di bawah umur, meskipun calon mempelai tidak terlibat dalam pergaulan bebas. Maksudnya, dengan adanya kebolehan karena kepentingan menghindari madlarat, alasan pergaulan bebas dapat dijadikan alat rekayasa untuk melangsungkan perkawinan anak di bawah umur yang sebenarnya dilaksanakan atas dasar penyebab selain pergaulan bebas seperti faktor ekonomi maupun faktor orang tua. Jika sudah demikian, akan sulit dibedakan lagi perkawinan anak di bawah umur yang disebabkan adanya kekhawatiran pergaulan bebas dengan sebab material maupun paksaan orang tua.

Sebagaimana dikemukakan oleh KUA Laweyan Surakarta, mempelai pengantin yang masih di bawah umur rentan terhadap perceraian. Masalah psikologis berupa kesehatan mental pelaku yang sekaligus cenderung sebagai korban berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka, yang diamanatkan UU Perkawinan. Yaitu menciptakan sebuah keluarga bahagia dan kekal disertai kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.

Usia remaja merupakan usia kelabilan pada emosinya yang terkadang berakibat kepada keputusan untuk menikah dengan tergesa-gesa tanpa melalui pcrtimbangan yang matang. Remaja, selalu berkhayal tentang scsuatu yang enak-cnak dan menyenangkan serta terkadang tidak realistis. Bayangan tersebut biasanya berkaitan dengan kebutuhan seksual.

Khayalan yang berlebihan akan menjadikan mereka tidak berfikir panjang bahwa kenyataannya pernikahan bukanlah sekedar pelampiasan dan pemenuhan kebutuhan seksual. Tetapi lebih dari itu persoalan yang dihadapi begitu kompleks

(11)

menyangkut persoalan internal dan eksternal keluarga, sehingga pernikahan membutuhkan persiapan fisik dan mental seseorang.

Psikologi memandang bahwa pernikahan dini tidaklah sekedar batasan usia pada manusia. Karena pernikahan awal tersebut lebih tepat dikatakan sebagai pernikahan belia. Alasan ini lebih mengkaitkan pada persoalan sisi perkembangan non-fisik, baik perkembangan biologis maupun perkembangan psikologi (emosi, kognisi dan sosial). Oleh karena itu akan dilakukan analisis terhadap pemikahan dini dengan melihat sisi perkembangan biologis dan psikologis khususnya pada aspek perkembangan emosi remaja.

Meskipun batas umur minimal telah ditentukan, namun Undang-Undang Perkawinan memberi kelonggaran untuk menyimpang dari aturan syarat umur tersebut. Melalui UU No 1 Tahun 1974, Pasal 7 ayat (2), yang berbunyi “Dalam

hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita”.

Keleluasaan pemberiaan dispensasi di atas dalam perkawinan di bawah umur bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dinamakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dari pengertian anak tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun seharusnya memperoleh haknya yaitu berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Salah satu hak yang terpenting adalah hak untuk mendapatkan

(12)

pendidikan yang layak. Sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam

rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.

Selain itu juga ditekankan lagi pada Pasal 49 Undang-Undang Perlindungan Anak, bahwa negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Pada putusan perkara Nomor:0921/Pdt.G/2013/PA.Kra, hakim memutuskan kepada pemohon untuk memberikan nafkah kepada anak sebesar Rp. 200.000,-. Hal ini merupakan bentuk pelaksanaan Pasal 49 Undang-Undang Perlindungan Anak, agar dapat digunakan sebagai jaminan bagi anak untuk memperoleh pendidikan.

Terobosan Hukum dalam Upaya Menanggulangi Perkawinan di Bawah Umur yang Berakibat Perceraian

Pernikahan di bawah umur berdasarkan hasil penelitian International

Centre for Missing & Exploited Children (ICMEC) (2013), dipengaruhi oleh

tingginya tingkat kemiskinan, ketidakstabilan sosial dan politik, dan pengaruh fundamentalisme praktik keagamaan secara luas. Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan di atas, perkawinan pada usia dibawah umur dapat menyebabkan perceraian. Hal ini memperkuat penelitian yang pernah dilakukan oleh Sarkar yang menyebutkan bahwa pernikahan dini (perkawinan di bawah umur) memiliki dampak yang signifikan terhadap perceraian dan pernikahan kembali. Sarkar juga menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur juga memiliki dampak terhadap rendahnya tingkat pendidikan bagi perempuan yang menikah dini.

(13)

Perkawinan merupakan ritual keagaamaan yang bertujuan membentuk keluarga yang sakinah dan bukan untuk menimbulkan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, sehingga berakhir pada perceraian. Perkawinan di bawah umur memiliki dampak lain yang lebih luas, seperti meningkatnya angka kematian ibu saat hamil atau melahirkan lantaran masih berusia belia. Oleh karena itu, untuk mencegah semakin maraknya perkawinan di bawah umur, pemerintah harus mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat pedesaan bahwa perkawinan di bawah umur hanya akan merugikan anak-anak. Bahwa resiko yang terjadi karena perkawinan di bawah umur akan berdampak besar kepada anak-anak terutama perempuan

Berdasarkan paparan Surat Putusan Pengadilan Agama, Nomor 0135/ Pdt.G/ 2014/PA.Ska dan Nomor:0921/ Pdt.G/ 2013/ PA.Kra, diketahui pasangan yang bercerai merupakan pasangan yang menikah dengan menggunakan dispensasi nikah. Akibat yang terjadi dalam surat putusan tersebut, jelas yaitu perceraian. Alasan yang muncul adalah adanya ketidakstabilan sikap baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang perkawinan di bawah umur menyebabkan pasangan suami istri melakukan perceraian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, Perkawinan di bawah umur menyebabkan pasangan suami istri

melakukan perceraian. Kasus perceraian di bawah umur secara yuridis sebenarnya tidak diperbolehkan, sebagaimana tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

(14)

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam proses pemeriksaan calon mempelai yang belum memenuhi syarat usia. Proses pernikahan pasangan dibawah umur, tidak akan diterima oleh KUA, sehingga kedua pasangan harus melengkapi syaratnya dengan surat dispensasi. Pasangan menikah dibawah umur secara psikologis belum memiliki kesiapan untuk membangun keluarga dengan baik. Dalam sebuah keluarga ada banyak tantangan yang harus dihadapi baik dari sisi ekonomi, psikologi maupun sosial.

Kedua, Terobosan hukum dalam upaya menanggulangi perkawinan di

bawah umur yang berakibat perceraian. Terobosan untuk menanggulangi perkawinan di bawah umur yang berakibat perceraian adalah: (1) Memberikan nasehat pada saat mengajukan dispensasi nikah; (2) Memberikan Nasehat pada saat Pesta Perkawinan; (3) Melakukan Penyuluhan kepada pasangan baru yang akan menikah; (4) Menegakkan peraturan perundang-undangan dengan sungguh-sungguh.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, berikut beberapa saran yang dapat dikemukakan.

Pertama, Pernikahan hanya dapat dicapai bila pernikahan direncanakan

secara matang dan dilaksanakan pada tingkat kedewasaan tertentu baik bagi wanita maupun pria. Pada jiwa yang belum matang atau dewasa ditandai dengan sikap yang selalu labil, gampang merubah pendiriannya, banyak permintaannya dan mudah cemas. Sikap semacam ini banyak menuntut keinginan yang begitu banyak, tetapi belum diimbangi dengan kemampuan yang ada, baik kemampuan psikis maupun material, sehingga cepat atau lambat pasti akan menggoncangkan

(15)

kehidupan pernikahan. Hendaknya calon pasangan suami istri mempersiapkan fisik dan mental sebelum memasuki kehidupan rumah tangga agar rumah tangga sakinah yang diidam-idamkan dapat mereka wujudkan.

Kedua, Hendaknya orang tua memberikan bimbingan dan pendidikan

kepada anak mereka supaya dapat mempersiapkan diri dalam membina rumah tangga sejahtera, hidup bahagia.

Ketiga, Hendaknya Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama dapat

menjalin kerjasama dalam rangka mensosialisasikan peraturan perundang-undangan perkawinan. Hal ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan kepada masyarakat agar masyarakat belajar tertib hukum.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Darmabrata, Wahjadi & Nurhidayat, Adhi Wibowo, 2003, Psikiatri Forensik, Jakarta: EGC.

Moleong, Lexy Y, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sari, Nurmilah, 2011, Skripsi Hukum, “Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010)”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press),

Surbakti, E.B, 2008, Sudah Siapkah Menikah, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam

Moh Mukson, 2013, “Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang (Sebuah Refeksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan”, Jurnal Bimas Islam, Vol.6. No.1 (2013), hal. 4.

Referensi

Dokumen terkait

KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pola Komunikasi Orang Tua Dalam Mengasuh Anak Autis

Hasil self evaluasi pada kelompok intervensi menunjukkan bahwa pemberian logoterapi terapi pada penduduk pasca gempa dengan ansietas sedang dinilai kurang mampu meningkatkan

Program bimbingan keterampilan sendiri adalah kemampuan mengerjakan sesuatu dengan baik dan dilakukan dengan cara memanfaatkan pengalaman dan pelatihan (Depdiknas,

Tidak bervariasinya metode yang digunakan oleh guru pembimbing dalam pemberian layanan informasi akan mengakibatkan peserta didik tidak termotivasi, bahkan merasa

Menurut Sugiyono (2010:7) menjelaskan bahwa penelitian dengan pendekatan eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap

Malik Sulaiman Syah adalah raja yang adil dan disegani oleh raja-raja negeri lain. Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh seorang wazir yang sangat

Nilai tsig untuk variabel pengembangan karyawan adalah 0.242 dan lebih besar dari 0,05 (α 5%) maka kriterianya Terima Ho (tolak H1) sehingga tidak terdapat pengaruh

Salah satu usaha untuk mengobati penyakit kanker dengan menggunakan obat tradisional banyak dilakukan karena alasan biayanya yang lebih murah dan efek samping yang ditimbulkan