• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

M1O-06

HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN

KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI

KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL,

PROVINSI DIY

Muhamad Rizki Asy’ari1*, Sarju Winardi1

1Jurusan Teknik Geologi FT-UGM, Yogyakarta, Indonesia, *Email: asyari.rizki@gmail.com

Diterima 20 Oktober 2014

Abstrak

Proses diagenesis merupakan proses yang umum terjadi pada batuan, salah satunya pada batuan karbonat. Proses ini akan menyebabkan perubahan pada batuan mulai dari komposisi material penyusun, geometri semen, hingga porositas batuan. Batuan dapat mengalami peningkatan dan penurunan nilai porositas, tergantung pada proses diagenesis yang bekerja. Proses diagenesis akan bervariasi sesuai dengan faktor pengontrolnya terutama adalah lingkungan. Proses yang bervariasi tersebut nantinya akan menghasilkan produk diagenesa yang bervariasi pula, sehingga pada proses diagenesis tertentu akan menghasilkan tipe pori dan karakteristik diagensis tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh model tipe diagenesis dan evolusi porositas secara vertikal pada batuan karbonat dengan studi kasus pada Formasi Wonosari yang mewakili bagian bawah Formasi berdasarkan hasil identifikasi produk diagenesis dan tipe pori batuan karbonat dalam satu jalur pengamatan di sekitar Kecamatan Ponjong. Metode yang digunakan antra lain berupa pengukuran statigrafi di lapangan untuk mengetahui litologi penyusun, produk diagenesis dan tipe pori megaskopis, analisa petrografi untuk mengidentifikasi produk diagenesis secara mikroskopis (tipe semen, morfologi semen, dan mineralogi) serta tipe pori (primer dan sekunder) dan uji porositas untuk mengetahui nilai porositas secara kuantitatif dari sampel batuan karbonat. Secara umum Formasi Wonosari bagian bawah umumnya sudah mengalami proses diagenesis yang cukup intensif. Dijumpai produk-produk diagenesis berupa kars dan caliche. Tipe pori yang umum dijumpai berupa tipe pori vug dan tipe pori interpartikel. Pori vug yang intensif banyak dijumpai pada batuan yang mengalami proses karstifikasi. Pori interpartikel yang baik dijumpai pada batuan karbonat ubahan, yaitu chalky limestone.

Kata Kunci: Diagenesis, Evolusi porositas, Formasi Wonosari

Pendahuluan

Dalam eksplorasi minyak dan gas bumi konvensional, batuan karbonat kerap menjadi target reservoar disamping batuan sedimen silisiklastik. Besarnya cadangan yang tersimpan dalam reservoar batuan karbonat ditentukan oleh kemampuan batuan reservoar tersebut untuk menampung cadangan minyak dan gas. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah nilai porositas batuan. Secara umum, semakin tinggi nilai porositasnya, jumlah hidrokarbon yang dapat disimpan dalam reservoar akan cenderung semakin besar. Besar atau kecilnya nilai porositas tersebut ditentukan oleh evolusi porositas batuan setelah mengalami proses deposisi. Dengan mengetahui sejarah evolusi porositas pada batuan, maka dapat diprediksi besarnya porositas yang dapat dihasilkan.

(2)

Evolusi porositas pada batuan karbonat dikontrol oleh proses diagenesisnya. Diagenesis merupakan segala perubahan fisika atau kimia yang terjadi pada sedimen atau batuan sedimen yang terjadi setelah deposisi hingga sebelum mengalami metamorfisme (Scholle dan Ummer-Scholle, 2003). Batuan karbonat memiliki komposisi penyusun yang umumnya relatif tidak stabil, sehingga mudah untuk mengalami diagenesis.Proses diagenesis yang terjadi akan bervariasi sesuai dengan faktor pengontrolnya, terutama lingkungan. Produk diagenesis yang dihasilkan pun akan bervariasi. Dengan melalui identifikasi karakteristik dari produk-produk diagenesis inilah proses diagenesis tersebut dapat diketahui.

Formasi Wonosari yang berada di Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Pulau Jawa merupakan salah satu contoh batuan karbonat yang masih mengalami diagenesis hingga saat ini. Formasi ini memiliki variasi diagenesis yang cukup menarik untuk dipelajari. Pengkajian tentang proses diagenesis yang terjadi pada Formasi Wonosari melalui produk-produk diagenesa yang dihasilkan beserta evolusi porositasnyadilakukan untuk mengetahui tipe diagenesis dan evolusi tipe pori seperti apa yang dapat menghasilkan porositas yang baik, terutama berkaitan dengan studi reservoar batuan karbonat.

Tinjauan Geologi Regional

Secara fisiografis, daerah penelitian masuk ke dalam wilayah perbukitan kars atau lebih dikenal dengan istilah Pegunungan Seribu, yang terletak di selatan Cekungan Wonosari dan berbatasan dengan perairan Samudera Hindia. Formasi yang berkembang berupa Formasi Wonosari yang tersusun oleh batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Dijumpai sisipan napal dan tuf secara setempat. Formasi ini membentuk bentang alam kars dari Pegunungan Seribu yang berupa perbukitan kerucut (conical hills). Umur dari formasi ini adalah Miosen tengah hingga Pliosen Awal. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah laut dangkal. Formasi ini menjemari dengan Formasi Oyo di bagian bawah dan menjemari dengan Formasi Kepek di bagian atas (Surono,1992). Ketebalan formasi ini sekitar 300 - 800 meter (Gambar 1).

Dalam kurva muka air laut regional (regional eustacy) yang diusung oleh Haq, (1987), periode pembentukan Formasi Wonosari yang berumur Miosen Tengah hingga Miosen Atas, terjadi lima kali penurunan muka air laut (sea level drop) sebanyak lima kali (Gambar 2). Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jauhari (2004) di daerah Ponjong, batuan karbonat penyusun Formasi Wonosari dapat dibagi ke dalam tujuh sikuen yang dibatasi oleh batas sekuen berupa bidang ketidakselarasan yang terbentuk karena adanya proses tereksposnya batuan ke permukaan (Gambar 3). Hal tersebut diinterpretasikan karena kurva

regional eustacy Haq ditujukan untuk daerah passive margin, dimana tektonik tidak begitu

berperan. Namun pada periode ini, Formasi Wonosari terbentuk pada zona active margin, sehingga dimungkinkan proses penurunan muka air laut secara lokal dapat terjadi akibat adanya pengaruh tektonik lokal.

Metode dan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berupa data lapangan dan data hasil analisis laboratorium. Data lapangan berupa data stratigrafi terukur batuan penyusun Formasi Wonosari bagian atas di Kecamatan Ponjong, dengan skala 1:100 yang diukur dari titik 0465604, 9112868 hingga 0465991, 9114532 zona UTM 49S. Pada saat pengukuran stratigrafi dilakukan identifikasi kehadiran bidang ketidakselarasan yang menurut Jauhari, (2004), bisa

(3)

dicirikan oleh batas tegas tidak teratur, kars, caliche, serta kehadiran lapisan tanah (soil). Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap batuan yang berada di bawah bidang ketidakselarasan tersebut meliputi produk diagenesis dan tipe pori yang tampak secara visual. Kemudian dilakukan pengambilan sampel batuan pada zona-zona yang mewakili untuk analisis laboratorium.

Analisis laboratorium meliputi analisa petrografi dan uji porositas. Analisa petografi digunakan untuk mengidentifikasi mineralogi, tipe semen, serta tipe mikropori yang terbentuk pada zona-zona diagenesis. Selain itu, analisa ini dilakukan untuk mengetahui komposisi penyusun batuan secara umum sehingga dapat membantu penamaan fasies batuan. Uji nilai porositas batuan dilakukan untuk mengetahui nilai porositas secara kuantitatif dari sampel batuan karbonat Formasi Wonosari.

Data-data yang diperoleh tersebut kemudian diintegrasikan untuk mendapatkan model diagenesis pada Formasi Wonosari bagian atas serta hubungannya terhadap evolusi porositas batuan.

Hasil dan Diskusi

Karakteristik Diagenesis

Karakteristik diagenesis batuan karbonat Formasi Wonosari pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua model. Pembagian ini didasarkan pada kehadiran bidang ketidakselarasan yang menerus dan dicirikan oleh kehadiran paleosoil. Kehadiran paleosoil ini menjadi penanda adanya jeda pengendapan antara batuan yang lebih tua dengan material sedimen yang lebih muda. Identifikasi produk diagenesis dilakukan pada zona dibawah bidang ketidakselarasan tersebut. Model diagenesis yang pertama didasarkan pada pengukuran stratigrafi yang dilakukan pada lokasi 1.1 hingga 1.3, sedangkan model diagenesis yang kedua didasarkan pada pengukuran stratigrafi yang dilakukan pada lokasi 3.1 hingga 5.1 (Gambar 5).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jauhari (2004) di daerah Ponjong dan sekitarnya, batuan karbonat daerah penelitian merupakan produk dari patch reef complex yang tumbuh pada suatu tinggian (Gambar 4). Kompleks tersebut dapat tersusun dari beberapa

reef/mound yang berbeda. Jika tidak hati-hati, dapat terjadi kekeliruan dalam menentukan

urutan stratigrafi jika mendasarkan pada data konsep stratigrafi umum. Pengukuran data jurus dan kemiringan disekitar daerah penelitian menunjukkan orientasi yang cukup acak dan dip yang relatif landai, bahkan dijumpai lapisan yang tidak memiliki kemiringan (dip = 0). Sehingga data jurus dan kemiringan tidak dapat dijadikan acuan utama dalam penyusunan urutan stratigrafi vertikal batuan. Hal ini sangat berpengaruh pada saat menentukan hubungan bidang ketidakselarasan yang dijumpai di daerah penelitian. Sehinggga penentuan hubungan bidang ketidakselarasan tersebut didasarkan pada elevasi atau ketinggian daerah penelitian. Jika mengacu pada kontur ketinggian di peta, elevasi lokasi dijumpainya bidang ketidakselarasan tersebut (1.3 dan 5.1) memiliki ketinggian yang relatif sama sehingga diinterpretasikan bidang ketidakselarasan pada kedua model tersebut terbentuk pada satu waktu yang sama.

Pada model diagenesis yang pertama, litologi penyusun di bawah bidang ketidakselarasan yaitu wackestone dengan fragmen yang dijumpai berupa fosil alga, foraminifera, dan di bagian bawah dijumpai fosi brachiopoda (Gambar 6) dengan ketebalan singkapan sekitar 12,7 meter. Karakteristik diagenesis secara vertikal dibawah bidang ketidakselarasan dicirikan oleh sementasi yang tinggi pada batuan, sehingga batuan menjadi lebih masif dan pejal. Pada sayatan tipis (Gambar 7) dijumpai micritic envelope yang berkembang pada organisme

(4)

penyusun batuan karbonat sehingga morfologi asalnya dapat terawetkan dan membentuk pori

moldic yang menjadi penciri diagenesis di zona meteoric vadose (james dan Choquette, dalam

Scholle, James, dan Read, 2013). Rongga mengalami pelarutan dan terjadi presipitasi pada sebagian rongga semen blocky calcite. Pada singkapan, dijumpai adanya pori vug yang terbentuk dan semakin ke atas pori tersebut hilang dan batuan mengalami fragmentasi diantara tanah. Selanjutnya di bagian paling atas dijumpai lapisan tanah (soil) dengan ketebalan sekitar 15 cm (Gambar 8).

Pada model diagenesis yang kedua, litologi penyusun di bawah bidang ketidakselarasan lebih bervariasi, yaitu rudstone, grainstone, packstone, dan chalky limestone, dengan kandungan fosil yang umum dijumpai berupa foraminifera dan alga (Gambar 9). Karakteristik diagenesis dibawah bidang ketidakselarasan pada model ini dicirikan oleh kehadiran chalky

limestone yang bersifat keprus atau mudah rapuh karena sementasi yang lemah. Material ini

tersusun oleh mikrosparit hasil neomorfisme mikrit oleh proses diagenesis meteorik. Di bawah

chalky limestone, produk diagenesis yang dijumpai antara lain pori vug dan fracture akibat

proses pelarutan. Semakin ke bawah, intensitas pori vug semakin berkurang dan pori fracture tidak dijumpai. Pada sayatan tipis, semen kalsit dijumpai mengisi pori moldic dengan geometri yang blocky (Gambar 10). lapisan tanah (soil) pada bidang ketidakselarasan memiliki ketebalan sekitar 15 cm (Gambar 11).

Evolusi Porositas

Dua model diagenesis yang dijumpai pada daerah penelitian memiliki karakteristik diagenesis yang berbeda, terutama pada zona tepat di bagian bawah Formasi Wonosari. Karakteristik diagenesis yang berbeda ini akan memiliki pengaruh yang berbeda pula terhadap nilai porositas. Karakteristik diagenesis pada model pertama berupa wackestone yang tersementasi kuat sedangkan pada model kedua berupa chalky limetone.

Pada model pertama, terjadi proses sementasi matriks dan menutup pori primer interpartikel yang terbentuk pada saat batuan terlitifikasi. Terjadi pembentukan pori sekunder berupa moldic (Gambar ) akibat pelarutan Mg-kalsit pada cangkang organisme, namun telah sebagian tertutup oleh blocky calcite akibat proses presipitasi. Proses diagenesis yang terjadi pada model ini menyebabkan reduksi porositas yang cukup dominan. Berdasarkan hasil uji porositas yang dilakukan di laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil FT-UGM, nilai porositas batuan pada zona ini yaitu 3,77% (Gambar 6). Model diagenesis yang kedua memiliki tingkat sementasi yang rendah sehingga batuan bersifat mudah hancur.

Pada chalky limestone terjadi proses neomorfisme mikrit menjadi kristal-kristal mikrosparit.Pembentukan mikrosparit ini juga menghasilkan rongga-rongga yang terbentuk dari hasil kontak antara kristal-kristal kalsit mikro yang umumnya disebut sebagai pori interkristalin. Selain pori interkristalin, batuan karbonat penyusun model kedua ini menghasilkan pembentukan pori sekunder, yaitu megavug, mikrovug, moldic, serta fracture. Pori vug merupakan tipe pori yang paling umum dijumpai. Hasil uji nilai porositas pada

chalky limestone di bawah bidang ketidakselarasan menunjukkan nilai yang cukup besar, yaitu

32,5%, sedangkan pada grainstone bernilai 29,5%, dan pada rudstone bernilai 10,2% (Gambar 9). Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai porositas semakin meningkat secara vertikal keatas.

(5)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan, antara lain:

 Bidang ketidakselarasan yang menerus pada batuan karbonat Formasi Wonosari di daerah penelitian dicirikan oleh kehadiran paleosoil.

 Terdapat dua model diagenesis yang berbeda di daerah penelitian. Model diagenesis pertama dicirikan oleh kehadiran batugamping yang tersementasi kuat dan model diagenesis yang kedua dicirikan oleh kehadiran chalky limestone.

 Produk diagenesis dan tipe pori yang dihasilkan merupakan hasil diagenesis pada lingkungan meteorik.

 Terjadi evolusi porositas akibat pembentukan tipe pori sekunder berupa vug, moldic, interkristalin, dan fracture, namun terjadi proses sementasi yang juga menyebabkan pori primer dan sekunder tereduksi.

 Nilai porositas yang dihasilkan pada diagenesis model kedua (chalky limestone) jauh lebih baik jika dibandingkan dengan nilai porositas model pertama.

 Sementasi yang intensif menyebabkan reduksi porositas yang besar, seperti yang ditunjukkan oleh model pertama, sedangkan proses neomorfisme mikrit menjadi mikrosparit dapat menyebabkan peningkatan porositas yang sangat signifikan.

Daftar Pustaka

P.A. Scholle, N.P. James, J.F. Read, 2013, Carbonate Sedimentology and Petrology, American Geophysical Union, Washington DC.

Surono, 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta dan Giritontro skala 1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

U. Jauhari, 2004, Perkembangan Fasies Batuan Karbonat Formasi Wonosari dan Aplikasinya

dalam penentuan Arah Penambangan Chalky limestone: Studi Kasus di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Thesis (M.T), Jurusan

Teknik Geologi FT-UGM, Yogyakarta. .

(6)

Gambar 1. Kolom stratigrafi regional daerah Gunung Kidul mulai dari yang tertua hingga yang termuda (Surono, dkk., 1992)

Gambar 2. Penurunan muka air laut yang terjadi selama periode pembentukan Formasi Wonosari yang ditunjukkan pada kotak merah (Fall 1 - Fall 5) berdasarkan kurva regional

(7)

Gambar 3. Stratigrafi sikuen batuan karbonat Formasi Wonosari yang dibagi menjadi tujuh sikuen dengan Sequence Boundary (SB) sebagai batas antar sikuen (Jauhari, 2004)

.

Gambar 4. Batugamping Formasi Wonosari yang merupakan patch reef complex menurut Jauhari (2004).

(8)

728 Gambar 5. Lokasi penelitian dan jalur pengukuran stratigrafi

(9)

729 Gambar 6. Hasil pengukuran stratigrafi dan model diagenesis pertama

(10)

730 Gambar 7. Kenampakan sayatan tipis foraminiferal algal-wackestone

Gambar 8. Bidang ketidakselarasan pada model diagenesis pertama Micrite Envelope

Mouldic

(11)

731 Gambar 9. Hasil pengukuran stratigrafi dan model diagenesis kedua

(12)

732 Gambar 10. Kenampakan sayatan tipis foraminiferal-rudstone.

Gambar 11. Bidang ketidakselarasan pada model diagenesis pertama Mouldic pore filled with

Gambar

Gambar 1. Kolom stratigrafi regional daerah Gunung Kidul mulai dari yang tertua hingga yang termuda (Surono, dkk., 1992)
Gambar 3. Stratigrafi sikuen batuan karbonat Formasi Wonosari yang dibagi menjadi tujuh sikuen dengan Sequence Boundary (SB) sebagai batas antar sikuen (Jauhari, 2004)
Gambar 8. Bidang ketidakselarasan pada model diagenesis pertamaMicrite Envelope
Gambar 11. Bidang ketidakselarasan pada model diagenesis pertamaMouldic pore filled with

Referensi

Dokumen terkait

The event model allows you to react to the user – do something customized when they click on the map, add points to the map from an HTML form, etc.. The map object is just one of

Dimungkinkan bertambahnya penerimaan pajak penghasilan OP karena banyaknya wajib pajak baru yang membayar pajaknya, atau bisa karena wajib pajak badan maupun jumlah

Menurut al-Turmizi bahwa hadis bukan hanya yang disandarkan kepada Nabi (marfu’), melainkan bisa juga yang disandarkan kepada para sahabat (mauquf) dan yang

Lobi pada setiap hotel adalah tempat pertama yang akan dikunjungi oleh para pengunjung, karena lobi merupakan tempat pertama yang disinggahi pengunjung untuk melakukan

Penelitian ini berlandaskan p pada permasalahan yang ada di sekolah o dasar, siswa masih kurang dalam pembelajaran permainan rounders. Berdasarkan h hasil penelitian

-Kegiatan patroli terpadu hari ini adalah Anjangsana, dan Penyadartahuan masyarakat tentang larangan membuka lahan dengan cara membakar, dan menemukan lahan yang berpotensi

The concept of prevention is best defined in the context of levels, traditionally called primary, secondary and tertiary prevention.. A fourth level, called primordial prevention,

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat sebagian besar dipenuhi melalui kebudayaan yang bersumber