• Tidak ada hasil yang ditemukan

VARIASI LONGITUDINAL KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER (LONGITUDINAL VARIATION OF IONOSPHERIC SCINTILLATION OCCURRENCE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VARIASI LONGITUDINAL KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER (LONGITUDINAL VARIATION OF IONOSPHERIC SCINTILLATION OCCURRENCE)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

57

VARIASI LONGITUDINAL KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER

(LONGITUDINAL VARIATION OF IONOSPHERIC SCINTILLATION

OCCURRENCE)

Sri Ekawati Pusat Sains Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jln. DR. Djundjunan 133 Bandung 40173

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Ionospheric scintillation, which occurred after sunset, could cause satellite signal degradation. Ionosphere over vast Indonesian territory need to be known its perturbations. This research aimed to analyze longitudinal occurrence of ionospheric scintillation from three GPS receiver over Indonesian territory on April 10, 2013. Data was obtained from the GPS receiver at the Kototabang (-0.20⁰S; 100.32⁰E), Pontianak (-0.03⁰S; 109.33⁰E) and Manado station (1.48⁰N; 124.85⁰E) on April 10, 2013. This paper presents the preliminary result of ionospheric scintillation variation longitudinally over Indonesia. The results showed that the strong scintillation (S4 > 0.5) first detected in Manado station, one hour later detected in Pontianak and 30 minute later detected in Kototabang in duration of approximately 1.5 – 3 hours. The strong scintillation occurred at 20:00 to 21:00 local time. The most intense of ionospheric scintillation was around at 100⁰ E geographic longitude in duration up to 4 hours.

Keywords: Ionosphere, Scintillation, GPS, Plasma bubble

ABSTRAK

Sintilasi ionosfer, yang muncul setelah matahari terbenam, dapat menyebabkan degradasi sinyal satelit. Ionosfer di atas wilayah Indonesia yang luas perlu diketahui gangguannya. Penelitian ini bertujuan menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer secara longitudinal dari tiga GPS receiver di atas wilayah Indonesia pada 10 April 2013. Data yang digunakan untuk keperluan analisis diperoleh dari penerima GPS di stasiun Kototabang (0,20⁰LS;100,32⁰BT), Pontianak (0,03⁰LS;109,33⁰BT) dan Manado (1,48⁰LU; 124,85⁰BT). Makalah ini merupakan hasil awal variasi sintilasi ionosfer secara longitudinal di atas Indonesia. Analisis terhadap hasil olah data menunjukkan kemunculan sintilasi kuat (S4 > 0,5) terlebih dahulu terdeteksi di stasiun Manado, satu jam kemudian di Pontianak dan 30 menit kemudian di Kototabang dengan durasi kurang lebih 1,5 – 3 jam. Puncak sintilasi kuat masing-masing stasiun terjadi pada pukul 20:00 – 21:00 waktu setempat. Intensitas sintilasi ionosfer sangat besar pada bujur geografis sekitar 100⁰ BT dengan durasi sintilasi mencapai 4 jam.

Kata Kunci: Ionosfer, Sintilasi, GPS, Plasma bubble

1 PENDAHULUAN

Ionosfer di atas wilayah Indonesia secara longitudinal memiliki cakupan daerah yang luas yaitu dari 95⁰ BT hingga 141⁰ BT dan memiliki jarak busur sebesar 46⁰ (sekitar 5106 kilometer) sehingga terdapat perbedaan waktu selama 184 menit antara bagian paling timur dengan bagian paling barat. Adapun identifikasi masalah pada makalah ini adalah bagaimana mekanisme

kemunculan sintilasi ionosfer dari tiga alat penerima GPS yang berbeda posisi secara longitudinal, bagaimana pergerakan kemunculan gangguan plasma ionosfer secara longitudinal terhadap waktu dan berdasarkan posisi longitudinal, dimana-kah posisi kemunculan sintilasi yang paling intensif.

Ionosfer merupakan lapisan plasma yang melingkupi bumi berisi elektron, ion, dan partikel bermuatan yang berada

(2)

Gambar 1-1: Profil densitas elektron (Ne) ionosfer terhadap ketinggian pada siang dan malam hari (Kelley,1989)

(3)

59 Gambar 1-2: Ilustrasi lapisan Ionosfer pada siang dan malam

Sintilasi ionosfer merupakan salah satu fenomena di lapisan ionosfer berupa turbulensi di ionosfer (Chaterjee dan Chakraborty, 2013). Fenomena sintilasi ionosfer di atas Indonesia, yang berada di daerah lintang rendah geomagnet, terjadi beberapa saat setelah transisi siang ke malam (Carrano et al., 2012; Abadi et al., 2014). Definisi sintilasi ionosfer secara umum adalah gangguan sinyal satelit saat melalui medium plasma ionosfer yang terganggu sehingga mengakibatkan fluktuasi amplitudo dan fase yang sangat cepat (Jacowski et al., 2012).

Kemunculan sintilasi ionosfer terjadi akibat ketidakstabilan di ionosfer dan munculnya plasma bubble pada saat transisi siang ke malam yang dikenal dengan Reiyleigh-Taylor Instability

(Ossakow, 1981; Mendillo dan Baumgardner, 1982; Ogawa et al., 2005).

Plasma bubble merupakan gelembung

plasma dengan konsentrasi plasma yang lebih rendah dibandingkan dengan sekitarnya. Plasma bubble tersebut tumbuh, berkembang dan bergerak ke arah atas kemudian bergerak ke arah lintang rendah geomagnet (Abdu et al., 1983).

Pada penelitian sebelumnya (Ekawati et al., 2014) telah diperoleh kemunculan gangguan sintilasi tertinggi, selama periode Maret – Mei 2013, terjadi

pada 10 April 2013 yang diperoleh dari dua stasiun pengamatan (Pontianak dan Manado). Pada makalah tersebut juga tercatat bahwa aktivitas sintilasi ionosfer kuat di atas Manado terjadi satu jam lebih dahulu dibanding Pontianak. Namun, pada kejadian tersebut mekanismenya belum bisa dijelaskan secara mendalam. Pada makalah ini dianalisis data indeks S4 pada 10 April 2013 dan menambahkan data dari satu stasiun pengamatan lagi yakni stasiun Kototabang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui variasi longitudinal kemunculan sintilasi ionosfer di atas wilayah Indonesia dari tiga stasiun GPS receiver yang berbeda posisi secara longitudinal.

2 DATA DAN METODE

Data yang digunakan pada makalah ini adalah data indeks S4 yang diperoleh dari tiga stasiun yaitu Kototabang, Pontianak, dan Manado. Indeks S4 merupakan indeks amplitudo sintilasi ionosfer yang dapat menunjukkan aktivitas gangguan ketidakstabilan serta turbulensi di ionosfer. Aktivitas sintilasi menurut Butcher (2005) mempunyai kategori lemah (0 < S4 ≤ 0,25), sedang (0,25 < S4 ≤ 0,5) dan kuat (0,5 < S4 ≤ 1). Secara posisi, ketiga GPS receiver yang digunakan berbeda posisi secara longitudinal dengan koodirnat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2-1.

(4)

kapan terjadi indeks yang lebih besar dari 0,5. Indeks S4 yang lebih besar dari 0,5 mengindikasikan sintilasi kuat yang berpotensi mengganggu sinyal satelit (Banerjee et al., 1992). Hasil identifikasi (penandaan) waktu terjadinya sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) di atas Manado, Pontianak dan Kototabang kemudian dianalisis. Perhitungan waktu sintilasi kuat, selain waktu onset-nya juga durasinya.

Untuk melihat pergerakan atau variasi longitudinal sintilasi ionosfer maka di-plot longitude terhadap waktu yang diperoleh dengan menghitung posisi Ionospheric Pierce Point (IPP) yang diperoleh dari nilai sudut elevasi dan azimut posisi satelit serta nilai ketinggian h ionosfer pada 350 kilometer di atas permukaan bumi (Husin A,. et. al., 2015). Setiap kotak pada plot longitude terhadap waktu dibuat dengan resolusi adalah 1,5 derajat setiap 30 menit.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3-1 menunjukkan plot indeks S4 terhadap waktu yang menunjukkan aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado (panel atas), Pontianak (panel tengah) dan Kototabang (panel bawah). Sumbu-x menunjukkan waktu selama 24 jam dan sumbu-y menunjukkan indeks S4 dari 0 – 1. GPS receiver mencatat indeks S4 ionosfer di atas Manado mulai meningkat lebih dari 0,5 pada pukul 11:19 UT (19:19 WITA), di atas Pontianak mulai meningkat pada

kemudian terdeteksi di stasiun Kototabang.

Secara terperinci waktu dan durasi kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) pada 10 April 2013 dapat dilihat pada Tabel 3-1. Kolom 2 adalah nama stasiun, kolom 3 adalah waktu matahari terbenam, kolom 4 adalah waktu dimulainya sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1), kolom 5 adalah waktu berakhirnya sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1), kolom 6 adalah durasinya. Di Manado, Matahari terbenam pada sekitar pukul 09:50 UT. GPS receiver di Manado mencatat ada dua kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) yang dimulai pada pukul 11:19 UT dengan durasi 1 jam 16 menit dan pada pukul 13:15 UT dengan durasi 29 menit. Di Pontianak, Matahari terbenam pada sekitar pukul 10:57 UT. GPS receiver di Pontianak mencatat ada dua kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) yang dimulai pada pukul 12:46 UT dengan durasi 1 jam 3 menit dan pada pukul 14:19 UT dengan durasi 26 menit. Di Kototabang, Matahari terbenam sekitar pukul 11:32 UT. GPS receiver di Kototabang mencatat ada dua kemunculan sintilasi pada pukul 13:09 UT dengan durasi 2 jam 43 menit dan pada pukul 16:07 UT dengan durasi 21 menit. Durasi total kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) yang paling lama terjadi di stasiun Kototabang. Dengan kata lain, gangguan turbulensi ionosfer atau sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) terjadi lebih intensif di atas daerah kototabang.

(5)

61 Gambar 3-1: Aktivitas sintilasi ionosfer pada 10 April 2013 di atas Manado (panel atas), di atas

Pontianak (panel tengah) dan di atas Kototabang (panel bawah)

Tabel 3-1: WAKTU DAN DURASI KEMUNCULAN SINTILASI KUAT (0,5 < S4 ≤ 1) 10 APRIL 2013

No. Stasiun Matahari

terbenam Mulai (UT) dalam desimal Akhir (UT) dalam desimal Durasi

Jam menit Total

1 Manado 17:50 WITA 09:50 UT 11:19 12:36 1 jam 16 menit 1 jam 45 menit 13:15 13:43 29 menit 2 Pontianak 17:57 WIB 10:57 UT 12:46 13:49 1 jam 3 menit 1 jam 29 menit 14:19 14:45 26 menit 3 Kototabang 18:32 WIB 11:32 UT 13:09 15:52 2 jam 43 menit 2 jam 54 menit 16:07 16:28 21 menit

Gambar 3-2 menunjukkan ilustrasi mekanisme terjadinya ketidakstabilan plasma ionosfer di atas wilayah Manado, Pontianak kemudian di Kototabang. Manado adalah wilayah Indonesia bagian tengah yang lebih dahulu mengalami pergantian siang ke malam dan terjadi ketidakstabilan plasma. Di stasiun Manado lebih dahulu terjadi pergantian siang ke malam. Pontianak dan Kototabang masih di belahan bumi siang, sehingga densitas plasma ionosfer

masih terbentuk di lapisan D, E, F1 dan F2 karena proses ionisasi. Sementara itu, ionosfer di atas Manado sudah mulai terjadi proses rekombinasi. Laju rekombinasi lapisan D dan E lebih cepat dibandingkan dengan lapisan di atasnya yakni lapisan F. Pergerakan plasma dari lapisan D ke F dipengaruhi oleh gravitasi dengan kekuatan = gXB. Kekuatan tersebut menyebabkan ion-ion bergerak spiral ke arah timur dengan kecepatan vE. Elektron-elektron yang massanya

(6)

Gambar 3-2: Ilustrasi aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado, Pontianak, dan Kototabang yang

(7)

63 Ketidakstabilan akan semakin

tumbuh dan berkembang serta menjalar dari ekuator ke lintang rendah geomagnet mengikuti medan magnet B sebagai

guiding center. Ketidakstabilan plasma

yang menyebabkan sintilasi ionosfer tersebut akhirnya terdeteksi oleh stasiun Manado. Selain itu, pertumbuhan

Rayleigh-Taylor Instability di ionosfer

semakin lama semakin berkembang dan bergerak ke arah atas membentuk seperti gelembung dengan konsentrasi plasma yang lebih rendah dibanding sekitarnya. Gambar 3-3 menunjukkan variasi atau dinamika longitudinal kemunculan sintilasi ionosfer pada 10 April 2013. Sumbu-x adalah longitude (bujur) dan sumbu-y adalah waktu. Warna menunjuk-kan indeks S4 dari 0 sampai dengan 1. Cakupan pengamatan dari tiga GPS

receiver adalah dari sekitar 85⁰ – 115⁰ BT.

Sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) mulai muncul

di longitude paling timur yaitu di sekitar

longitude 115⁰ BT sekitar pukul 11:30

UT. Seiring dengan berjalannya waktu sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) bergerak, bergeser dan semakin kuat ke arah barat. Bila dilihat dari intensitas indeks S4-nya, periode waktu gangguan sintilasi yang mencapai nilai sekitar 0,9 terjadi pada pukul 20:00 – 21:00 waktu setempat. Dilihat dari durasinya, longitude yang paling intensif mengalami sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) adalah di daerah sekitar

longitude 100⁰ BT yang mencapai empat jam yakni pukul 13:00 – 17:00 UT. Pada pukul 15:30 UT di longitude 113⁰-115⁰ BT,

gangguan turbulensi ionosfer (sintilasi kuat) sudah kembali tenang atau normal. Sedangkan di daerah longitude 95⁰ –

103⁰ BT pada waktu yang bersamaan

justru gangguannya sedang sangat intensif.

(8)

jam. Setelah itu, kondisi kembali tenang atau normal. Intensitas turbulensi ionosfer atau sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) lebih intensif di daerah yang lebih barat. Posisi geografis yang terintensif terjadi pada daerah sekitar 100⁰ BT dengan durasi sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) mencapai empat jam.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua tim bank data (tim scalling) bidang ionosfer dan telekomunikasi, staff balai pengamatan Pontianak dan Manado yang telah membantu menyedia-kan data GISTM. Penulis juga mengucap-kan terima kasih kepada P. Abadi dan Dr. Y. Otsuka, Nagoya University, Jepang yang telah menyediakan data Kototabang.

DAFTAR RUJUKAN

Abadi, P., Saito, S., dan Srigutomo,W., 2014. Low-latitude Scintillation Occurrences Around the Equatorial Anomaly Crest Over Indonesia, Ann. Geophys, 32, 7– 17, doi:10.5194/angeo-32-7-2014. Abdu, M. A., de Medeiros, R. T., Sobral, J. H. A.,

dan Bittencourt, J. A., 1983. Spread F Plasma Bubble Vertical Rise Velocities Determined from Spaced Ionosonde Observations, J. Geophys. Res., 88, 9197–9204, doi:10.1029/JA088iA11 p09197, 1983.

Husin A., Abadi,P. , Ekawati, S. , dan Marlia, D., 2015. Analisis Spasial Kemunculan Sintilasi Ionosfer Kuat Bulan Ekuinoks Periode 2013 di Indonesia, Jurnal Sains Dirgantara Vol.12 No.2 Juni 2015:77-86.

Banerjee, P. K., Dabas, R. S., dan Reddy, B. M. C., 1992. C and L Band Transionospheric

Variability of Ionospheric Scintillation Near the Equatorial Anomaly Crest of the Indian Zone, Ann. Geophys., 31, 697–711.

Ekawati, S., Srigutomo W. dan Jiyo, 2014. Analisis Kemunculan Sintilasi Ionosfer di atas Pontianak dan Manado, Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2013, ISBN: 978-979-1458-78-8.

Jacowski, Norbert, Yannick Béniguel, Giorgiana De Franceschi, Manuel Hernandez Pajares, Knut Stanley Jacobsen, Iwona Stanislawska, Lukasz Tomasik, René Wamant, dan Giller Wautelet, 2012. Monitoring, Tracking and Forecasting Ionospheic Pertubations using GNSS Techniques, Journal of Space Weather Space Clim. 2 (2012) A22,DOI:10. 1051/swsc/2012022.

Kelley, M.C., 1989.“The Earth’s Ionosfer: Plasma Physics and Electrodynamics, Acadeic Press, USA.

Mendillo, M. dan Baumgardner, J., 1982. Airglow Characteristics of Equatorial Plasma Depletions, J. Geophys. Res., 87, 7641–7652, 1982.

Ogawa, T., Sagawa, E., Otsuka, Y., Shiokawa, K., Immel, T. I., Mende, S. B., dan Wilkinson, P., 2005. Simultaneous Ground-and Satellite-based Airglow Observations of Geomagnetic Conjugate Plasma Bubbles in the Equatorial Anomaly, Earth Planet Space, 57, 385– 392, 2005.

Ossakow, S. L., 1981. Spread-F theories: A Review, J. Atmos. Terr. Phys.,43, 437–452, doi:10.1016/0021-9169(81)90107-0, 1981.

Otsuka, Y., Ogawa, T., dan Effendy, 2009.VHF Radar Observations of Nighttime F-Region Field- Aligned Irregularities over Kototabang, Indonesia, Earth Planet Space, 61, 431–437.

(9)

Gambar

Gambar 1-1: Profil  densitas  elektron  (Ne)  ionosfer  terhadap  ketinggian  pada  siang  dan  malam  hari  (Kelley,1989)
Gambar  3-1  menunjukkan  plot  indeks  S4  terhadap  waktu  yang  menunjukkan  aktivitas  sintilasi  ionosfer  di  atas  Manado  (panel  atas),  Pontianak  (panel  tengah)  dan  Kototabang  (panel  bawah)
Tabel 3-1: WAKTU DAN DURASI KEMUNCULAN SINTILASI KUAT (0,5 &lt; S4 ≤ 1) 10 APRIL 2013  No
Gambar 3-2: Ilustrasi  aktivitas  sintilasi  ionosfer  di  atas  Manado,  Pontianak,  dan  Kototabang    yang     berbeda posisi secara longitudinal
+2

Referensi

Dokumen terkait

System rangka kaku murni tidaklah praktis untuk bangunan yang lebih tinggi dari 30 lantai, untuk itu telah diterapkan berbagai system yang menggunakan dinding geser di dalam struktur

penciptaan karyanya, bahasa visual, narasi dan pembangunan karakternya. Salah satunya adalah pemilihan gaya visual yang diadaptasi dari seni kaligrafi Jepang, dalam

Kelahiran disebabkan oleh keinginan (trsna) untuk menikmati objek-objek duniawi. Tetapi keinginan- keinginan pada akhirnya dapat dilacak ke kebodohan kita. Jika kita memiliki

Portal Sipil, Junus Bothmir dan Rizky Tri Jayanti, (hal. 40-53) 42 Drainase secara umum merupakan prasarana yang berfungsi untuk mengendalikan limpasan air hujan

variabel independen Lingkungan Kerja (X1) dan Motivasi Kerja (X2) yang dilakukan dalam penelitian ini mampu mempengaruhi terhadap variabel dependen yaitu Semangat

menghentikan pengobatan medis terhadap pasien yang kondisinya sudah dianggap dokter untuk tidak dapat disembuhkan. Hadis tersebut juga memrintahkan untuk tetap melakukan

Sehingga dalam penelitian ini peneliti ingin menganalisis masalah bagaimana efektivitas rebusan lidah buaya (aloe vera) dan rebusan labu siam terhadap perubahan

Kepada sahabat-sahabat seperjuangan saya: kawan-kawan kelas D khususnya teman-teman(JANGKAR) I Made Yoga Susila, Ananta Wijaya, Gung Gus, Agus Hendra(Tole), Agus Indro,