• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lingkungan

Kondisi lingkungan menggambarkan keadaan suatu tempat yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik di antaranya adalah flora dan fauna, sedangkan komponen abiotik seperti air, cahaya matahari, oksigen, dan mineral alam. Kondisi lingkungan perairan ini akan berdampak pada kelimpahan dan distribusi sumberdaya ikan di dalamnya terutama ikan. Hal ini terkait dengan prasyarat hidup, daya adaptasi, dan daya toleransi terhadap tekanan lingkungan yang berbeda-beda tiap jenisnya.

4.1.1 Parameter fisika air

Parameter fisika yang ddiamati pada penelitian ini adalah suhu, kecerahan, dan warna. Suhu merupakan faktor fisika yang paling berpengaruh pada fisiologis ikan, sedangkan kecerahan dan warna tidak berpengaruh secara langsung.

Suhu

Suhu perairan pada saat pengamatan berkisar antara 27,5-27,8 0C di Situ Leutik dan 27,1-28,3 0C di Situ Perikanan pada bulan November-Desember 2010 dan 23,1-28,3 0C di Situ Leutik dan 27,0-28,8 0C di Situ Perikanan pada bulan Maret-April 2011. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian pada tahun 1992 yang menyebutkan bahwa suhu perairan Situ Leutik berkisar antara 27,0-31,0 0C (Sulistiono et al. 1992). Kisaran suhu di atas merupakan kisaran suhu yang masih dapat ditolerir oleh sebagian besar ikan. Hal ini sesuai dengan Effendi (2003) bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah sekitar 25-30 0C. Lebih lanjut, kisaran suhu di perairan Situ IPB ini masih sesuai dengan PPRI No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air kelas III (Lampiran 3).

Perubahan suhu yang terjadi selama penelitian tidak berlangsung secara seketika. Apabila hal itu terjadi, maka akan berdampak pada fisiologis ikan yang menyebabkan stress bahkan kematian. Dalam ilmu fisiologis diketahui bahwa perubahan suhu perairan sebesar 10 0C dapat meningkatkan proses metabolisme ikan sebesar dua kali lipat (Huet 1971 in Buchar 1998).

(2)

Kecerahan

Nilai kecerahan di tiap stasiun berbeda-beda. Stasiun 3 dengan kecerahan tertinggi, yaitu 150 cm (100%) dan stasiun 4 dengan kecerahan terendah, yaitu 120 cm pada bulan November-Desember 2010, sedangkan stasiun 1 memiliki kecerahan tertinggi, yaitu 145 cm dan stasiun 5 memiliki kecerahan terendah, yaitu 65 cm pada bulan Maret-April 2011. Rata-rata nilai kecerahan Situ Leutik lebih besar dibanding Situ Perikanan, yaitu 140,00 cm di Situ Leutik dan 133,33 cm di Situ Perikanan pada bulan November-Desember 2010 dan 137,50 cm di Situ Leutik dan 93,33 cm di Situ Perikanan pada bulan Maret-April 2011. Nilai kecerahan perairan pada musim basah lebih tinggi dibandingkan pada musim kering. Hal ini dapat terjadi karena intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi pada musim kering menyebabkan proses pertumbuhan mikrofita dapat berjalan maksimum dan proses penggelontoran air pun tinggi. Tercatat pada tahun 1990 pernah terjadi hujan lebat yang mengakibatkan perairan situ menjadi jernih (Sulistiono et al. 1992).

Persentase kecerahan Situ Perikanan dapat mencapai 100%, yaitu pada Stasiun 3 (dekat dam), sedangkan Situ Leutik dengan kedalaman perairan yang cukup dalam tidak mungkin memiliki kecerahan mencapai 100%. Situ Perikanan dengan kedalaman perairan yang lebih rendah memungkinkan untuk mudah terjadi pengadukan masa air pada dasar perairan. Pada saat masa air bergerak dari dasar perairan ke wilayah yang lebih tinggi, masa air ini membawa padatan tersuspensi. Dengan demikian, kecerahan Situ Perikanan menjadi lebih rendah dibanding Situ Leutik. Kecerahan paling rendah terjadi saat penyusutan volume air yang drastis di Situ Perikanan, yaitu dapat mencapai 0% di Situ Perikanan.

Warna

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tahun sebelumnya menyatakan bahwa warna perairan Situ Leutik yaitu hijau (Sulistiono et al. 1992). Begitupun dengan hasil pengamatan terakhir di Situ Leutik, yaitu hijau bening. Namun, warna perairan Situ Perikanan dapat berubah-ubah, yaitu hijau bening pada saat volume air situ melimpah dan hijau keruh/hijau kecoklatan saat volume air situ menyusut. Penyusutan volume air di Situ Perikanan menyebabkan kedalaman air situ berkurang, sehingga meningkatkan peluang terjadinya

(3)

pengadukan masa air pada dasar perairan. Dasar situ yang berstruktur lempung liat berpasir ini pun memungkinkan terjadinya pengadukan masa air (Budiarto 2010).

Warna perairan yang hijau ini menandakan banyaknya bahan organik yang terkandung di perairan Situ IPB. Hal ini sesuai menurut Effendi (2003) yang mengatakan bahwa warna perairan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu keberadaan bahan organik, bahan anorganik, plankton, humus, dan ion-ion logam seperti besi dan mangan serta bahan-bahan lain yang dapat menimbulkan warna pada perairan.

4.1.2 Parameter kimia air

Parameter kimia yang diamati pada penelitian ini adalah pH, oksigen terlarut, alkalinitas, dan kesadahan. Keempat parameter tersebut menjadi prasyarat hidup sumberdaya ikan karena berpengaruh pada fisiologis ikan.

pH

Dari hasil pengamatan didapatkan informasi nilai pH, yaitu berkisar 5,61-5,86 di Situ Leutik dan 5,63-5,88 di Situ Perikanan pada bulan November-Desember 2010 dan 6,34-7,29 di Situ Leutik dan 6,44-7,21 di Situ Perikanan pada bulan Maret-April 2011. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan data penelitian sebelumnya di Situ Leutik, yaitu 5,50-6,50 (Sulistiono et al. 1992). Dari data di atas terlihat bahwa perairan Situ IPB kurang mendukung bagi keberlangsungan sumberdaya ikan di dalamnya. Pescod (1973) in Wibowo (2007) mengatakan bahwa pH ideal bagi perikanan yaitu antara 6,50-8,50. Kemudian berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001, nilai pH ini pun kurang sesuai dengan baku mutu air pada kriteria III, yaitu 6-9.

Nilai pH di Situ IPB memang kurang mendukung bagi kehidupan ikan, namun beberapa jenis ikan masih dapat mentolerir kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan syarat hidupnya. Hal ini seperti yang dikatakan Royce (1972), yaitu bahwa tiap spesies mempunyai batas kondisi ideal tertentu hingga pertumbuhannya mencapai optimal dan dapat beradaptasi terhadap sedikit perubahan dari kondisi ideal tersebut. Terbukti dengan 9 jenis ikan yang teramati selama penelitian.

(4)

Oksigen terlarut

Konsentrasi oksigen atau Dissolve Oxygen (DO) terlarut menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut di air dalam satuan mg/L. Dari hasil pengamatan didapatkan informasi bahwa konsentrasi oksigen terlarut berkisar 6,88-8,10 mg/L di Situ Leutik dan 4,86-8,50 di Situ Perikanan pada bulan November-Desember 2010 dan 6,40-8,00 mg/L di Situ Leutik berkisar dan 4,05-8,91 mg/L di Situ Perikanan pada bulan Maret-April 2011. Nilai ini lebih baik dibanding hasil pengamatan pada penelitian tahun 1992 di Situ Leutik yaitu berkisar 0,64-9,02 mg/L. Konsentrasi DO ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Putri (2010) di perairan Situ Gede, yaitu 4,02-7,23 mg/L.

Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa perairan Situ IPB sesuai dengan baku mutu air berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 pada kriteria kelas III yaitu ≥ 3 mg/L. Nilai DO di ataas pun bervariasi pada tiap pengamatan. Hal tersebut dapat terjadi karena DO mengalami fluktuasi harian dan musiman, sesuai dengan Effendi (2003) yang mengatakan bahwa konsentrasi DO berfluktuasai secara harian dan musiman tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air.

Alkalinitas

Selama pengamatan didapatkan nilai alkalinitas antara 59,40-91,08 mg/L di Situ Leutik dan 55,44-87,12 mg/L di Situ Perikanan pada bulan November-Desember 2010 dan 59,40-87,12 mg/L di Situ Leutik dan 55,44-87,12 mg/L di Situ Perikanan pada bulan Maret-April 2011. Nilai tersebut menunjukkan bahwa rata-rata alkalinitas Situ Leutik lebih tinggi daripada Situ Perikanan yang berarti kestabilan pH perairan Situ Leutik lebih baik daripada Situ Perikanan. Meskipun demikian, secara umum menunjukkan bahwa perairan Situ IPB relatif stabil terhadap perubahan asam/basa. Sesuai Effendi (2003), bahwa perairan dengan alkalinitas di atas 20 mg/L memiliki kestabilan terhadap perubahan pH sehingga kapasitas buffer lebih stabil.

Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi. Nilai alkalinitas alami tidak lebih besar dari

(5)

500 mg/L. Lebih lanjut, nilai alkalinitas suatu perairan dipengaruhi oleh pH, komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion (Effendi 2003).

Kesadahan

Dari hasil pengamatan didapat hasil nilai kesadahaan Situ IPB yaitu berkisar antara 49,55-89,19 mg/L di Situ Leutik dan 49,55-71,35 di Situ Perikanan pada bulan November-Desember 2010 dan 39,64-81,28 mg/L di Situ Leutik dan 35,74-97,12 mg/L di Situ Perikanan pada bulan Maret-April 2011. Nilai ini tergolong kesadahan yang rendah menurut Sawyer dan McCarty (1967) in Boyd (1979) in Hariyadi et al. (1992). Nilai kesadahan yang rendah ini menunjukkan bahwa kemampuan air untuk membentuk busa tinggi. Pada umumnya, hampir semua ikan mampu beradaptasi pada kondisi kesadahan ini. Namun, sulit bagi ikan untuk dapat memijah pada kondisi perairan dengan kesadahan yang tidak sesuai prasyarat mereka. Nilai parameter fisika-kimia Situ IPB selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3 di bawah ini dan data lebih rinci dicantumkan pada Lampiran 4.

Tabel 2. Hasil pengamatan parameter fisika-kimia pada bulan November-Desember 2010

Parameter Situ Leutik Situ Perikanan

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Fisika

Suhu (0C) 27,5-27,8 27,5-27,8 27,1-28,0 27,4-28,3 27,4-28,0 Kedalaman (cm) ≤ 250 ≤ 350 ≤ 150 ≤ 247 ≤ 150

Kecerahan (cm) 145 135 150 120 130

Warna (-)

hijau bening hijau bening hijau bening- hijau bening- hijau bening- hijau keruh hijau keruh hijau keruh Kimia

pH (-) 5,72-5,86 5,61-5,65 5,64-5,88 5,64-5,74 5,63-5,67 DO (mg/L) 6,88-8,10 7,29-7,69 4,86-6,48 7,69-8,10 8,10-8,50 Alkalinitas (mg/L) 83,16-91,08 59,40-75,24 59,40-63,36 55,44-63,36 71,28-87,12 Kesadahan (mg/L) 51,53-89,19 49,55-65,41 49,55-67,39 53,51-63,42 49,55-71,35

(6)

Tabel 3. Hasil pengamatan parameter fisika-kimia pada bulan April-Maret 2011

Parameter Situ Leutik Situ Perikanan

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Fisika

Suhu (0C) 23,1-27,9 22,2-28,3 27,4-28,2 27,1-28,8 27,0-28,5 Kedalaman (cm) ≤ 250 ≤ 350 ≤ 150 ≤ 247 ≤ 150

Kecerahan (cm) 145 130 135 80 65

Warna (-) hijau bening hijau bening hijau bening- hijau bening- hijau bening- hijau keruh hijau keruh hijau keruh Kimia

pH (-) 6,34-7,24 6,43-7,29 6,44-7,07 6,48-7,07 6,61-7,21 DO (mg/L) 6,48-8,00 6,40-7,29 4,05-5,60 6,40-8,91 8,00-8,10 Alkalinitas (mg/L) 83,16-87,12 59,40-71,28 59,4-63,36 55,44-59,40 75,24-87,12 Kesadahan (mg/L) 51,53-81,28 39,64-64,41 39,64-97,12 35,74-53,09 46,97-75,56

Dari kedua tabel hasil pengamatan tersebut dapat kita lihat perbedaan nilai parameter kualitas air pada bulan November-Desember 2010 dan April-Maret 2011. Namun, perbedaan nilai parameter ini bukan merupakan perbedaan yang signifikan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan musim tidak memiliki pengaruh nyata pada perubahan nilai parameter kualitas air di Situ IPB.

Dari parameter fisika-kimia di atas tidak didapatkan satu parameter pun yang bernilai ekstrim. Hanya parameter pH yang tidak sesuai dengan baku mutu perairan untuk perikanan berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001. Dengan demikian perairan Situ IPB masih dapat difungsikan sebagai habitat bagi ikan-ikan lokal, walaupun ikan mengalami tekanan lingkungan. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Suriyani (2010) yang mengatakan bahwa perairan Situ IPB sudah dalam kondisi tercemar berat dengan kadar amonia, deterjen, dan minyak dan lemak yang terkandung di perairan Situ IPB sudah melewati baku mutu berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001 (Lampiran 5). Kualitas perairan yang buruk tersebut disebabkan oleh hasil pembuangan limbah dari sekitar perairan situ seperti kantin, percetakan, dan gedung perkantoran.

Dengan kondisi lingkungan perairan seperti di atas, maka akan terjadi proses seleksi alam. Ikan dengan syarat hidup yang sesuai dengan kondisi fisika, kimia, dan biologi Situ IPBlah yang dapat hidup di perairan ini. Meskipun demikian, ikan yang memiliki daya toleransi tinggi pada tekanan lingkungan perairan dapat hidup di sini. Ikan-ikan dalam kelompok Anabantoidei seperti

(7)

Sepat, Gabus, dan Lele termasuk ikan yang memiliki daya toleransi tinggi. Mereka memiliki alat pernafasan tambahan pada insangnya. Ikan Mujair pun dapat hidup bertahan hidup karena memiliki kemampuan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan bahkan dikenal sebagai ikan kosmopolit.

4.1.3 Biota akuatik

Biota akuatik yang diamati pada penelitian ini yaitu plankton dan tumbuhan air. Keberadaan kedua biota tersebut berpengaruh pada kebiasaan makan ikan yang kemudian akan berdampak pada distrisbusi dan kelimpahan ikan.

Plankton

Plankton adalah organisme yang melayang bebas di perairan, atau organisme motil baik tumbuhan (fitoplankton) maupun hewan (zooplankton), yang pergerakannya dipengaruhi oleh aliran air (Kendeigh 1961). Peranan plankton di perairan situ adalah sebagai primary producer (fitoplankton), primary

consumer (zooplankton), dan sebagai dasar terbentuknya rantai makanan di suatu

perairan (Simcic 2005). Beberapa jenis ikan di Situ IPB, seperti Mujair, Tawes, Nilem, Sepat, dan Wader memanfaatkan plankton sebagai sumber makanannya, baik makanan utama maupun makanan tambahan.

Fitoplankton

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa total taksa di perairan Situ IPB sejumlah 16 individu yang menyebar secara acak di tiap stasiun. Stasiun 5 dengan jumlah taksa tertinggi yaitu 10 dan stasiun 2 dan 4 dengan jumlah taksa terendah yaitu 8 taksa. Namun, kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 158.349 ind/L dan terendah pada stasiun 4 yaitu 3.555 ind/L. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu 1,6393 dan terendah pada stasiun 2 yaitu 0,1050. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu 0,7883 dan terendah pada stasiun 2 yaitu 0,0505. Indeks dominansi tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 0,9703 dan terendah pada stasiun 4 yaitu 0,2895. Hasil perhitungan kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi fitoplankton dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

(8)

Tabel 4. Indeks kelimpahan (ind/L), keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) fitoplankton

Fitoplankton Situ Leutik Situ Perikanan

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Jumlah taksa (genus) 9 8 9 8 10

Kelimpahan (ind/L) 88.150 158.349 61.135 3.555 49.894 Keanekaragaman (H’) 0,2108 0,1050 0,3284 1,6393 0,5362 Keseragaman(E) 0,0959 0,0505 0,1495 0,7883 0,2329 Dominansi (C) 0,9341 0,9703 0,8877 0,2895 0,8001

Sumber : diolah dari Maria (2010)

Indeks keanekaragaman dan keseragaman berbanding lurus, sedangkan dominansi berbanding terbalik. Stasiun 2 memiliki kelimpahan fitoplankton tertinggi (158.349 ind/L) dengan nilai keanekaragaman dan keseragaman yang rendah (0,1050 dan 0,0505) dan dominansi yang tinggi (0,9703). Pada stasiun 4, kelimpahan fitoplankton yang rendah (3.555 ind/L) dengan nilai keanekaragaman dan keseragaman yang tinggi (1,6393 dan 0,7883) dan dominansi yang rendah (0,2895). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa hanya stasiun 4 yang memiliki keanekaragaman cukup baik dan keseragaman baik, sedangkan stasiun lainnya tergolong rendah. Diketahui pula bahwa hampir semua stasiun (selain stasiun 4) memiliki tingkat dominansi yang tinggi. Secara umum, perairan Situ IPB didominansi oleh Protoccoccus sp. dari kelas Cyanophyceae.

Pada perairan Situ IPB dijumpai empat kelas fitoplankton yaitu Bacillariophyceae (6 genus), Chlorophyceae (7 genus), Cyanophyceae (1 genus), dan Chrysophyceae (2 genus). Secara umum, kelimpahan fitoplankton berkisar antara 3.555-158.349 ind/L. Situ IPB termasuk perairan yang eutrofik sesuai pernyataan Wetzel (1975), bahwa danau eutrofik memiliki struktur komunitas fitoplankton didominasi oleh kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, dan Bacillariophyceae. Sedangkan pada danau oligotrofik memiliki struktur komunitas fitoplankton yang didominasi oleh kelas Cyrisophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan Bacillariophyceae.

Zooplankton

Jumlah kelas dan genus zooplankton yang dijumpai di Situ IPB relatif sedikit, yaitu terdiri dari dua kelas dan 6 genus dengan kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 2.370 ind/L. Kelimpahan zooplankton pada stasiun 1

(9)

sampai stasiun 5 di perairan Situ IPB berturut-turut 1.777 ind/L, 2.370 ind/L, 594 ind/L, 396 ind/L, dan 594 ind/L. Kelimpahan zooplankton secara umum berkisar antara 396-2.370 ind/L dan didominasi oleh genus Cypridopsis (kelas Crustacea). Stasiun 2 dengan jumlah taksa tertinggi yaitu 5 genus dan stasiun 4 dengan jumlah taksa terendah yaitu 2 genus. Begitupun dengan kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 2.370 ind/L dan terendah pada stasiun 4 yaitu 396 ind/L. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 1,1004 dan terendah pada stasiun 1 yaitu 0,6850. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 dan 5 yaitu 1,0000 dan terendah pada stasiun 1 yaitu 0,6235. Indeks dominansi tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 0,6288 dan terendah pada stasiun 3 dan 5 yaitu 0,3333. Hasil perhitungan kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi zooplankton dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Indeks kelimpahan (ind/L), keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) zooplankton

Zooplankton Situ Leutik Situ Perikanan

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Jumlah taksa (genus) 3 5 3 2 3

Kelimpahan (ind/L) 1.777 2.370 594 396 594

Keanekaragaman (H’) 0,6850 1,1004 1,0986 0,6931 1,0986 Keseragaman(E) 0,6235 0,6837 1,0000 0,9999 1,0000 Dominansi (C) 0,6288 0,4712 0,3333 0,5000 0,3333

Sumber: diolah dari Maria (2010)

Secara umum, dapat dikatakan kondisi perairan Situ IPB adalah eutrofik/subur. Hal ini terbukti dari kelimpahan dan struktur komunitas plankton yang terdapat di perairaan situ. Dengan demikian, dapat dijadikan acuan untuk dilakukan penebaran kembali/restocking ikan-ikan yang mampu memanfaatkan ketersediaan plankton sebagai makanannya (plankton feeder). Uraian lebih rinci mengenai komposisi fitoplankton dan zooplankton yang teramati dicantumkan pada Lampiran 6 dan contoh perhitungan pada Lampiran 7.

Tumbuhan Air

Keberadaan tumbuhan air pada suatu perairan dapat meningkatkan nilai estetika kawasan tersebut. Namun pada beberapa kasus justru menjadi gulma. Hal

(10)

tersebut dikarenakan pertumbuhan populasi tumbuhan air yang tidak terkontrol. Kasus demikian pun pernah terjadi pada Situ IPB yaitu pada sekitar tahun 1988 (Sulistiono et al. 1992).

Berdasarkan hasil pengamatan terakhir terlihat bahwa telah terjadi pendangkalan situ, yaitu pada Situ Perikanan. Pada situ ini terdapat semacam pulau terapung berbentuk rawa yang ditumbuhi rumput liar dan tumbuhan air. Pulau terapung tersebut menutupi sekitar ±30% luas permukaan perairan Situ Perikanan. Berbeda dengan Situ Perikanan, di Situ Leutik hanya ditemukan tumbuhan air sebanyak ±5% dari luas permukaan perairan situ. Terdapat tiga jenis tumbuhan air yang teramati selama penelitian, yaitu Salvinia molesta, Hydrilla

verticillata, Ceratophyllum sp. 4.2 Sumberdaya Ikan

Ikan merupakan hewan bertulangbelakang yang sebagian besar hidupnya berada di dalam air dan bernafas menggunakan insang. Ikan dapat ditemukan pada sebagian besar perairan di bumi pada kondisi yang masih alami (tidak mengalami pencemaran).

4.2.1 Jenis ikan

Pengamatan atau penelitian terhadap jenis-jenis ikan yang terdapat di Situ IPB sudah pernah dilakukan pada tahun 1987, 1988, dan 1992. Pada pengamatan tahun 1987 telah teramati 6 jenis ikan, yaitu Ikan Lele (Clarias batrachus), Ikan Cupang (Beta splendens), Ikan Gabus (Opiocephalus striatus), Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus), Ikan Nila (Oreochromis niloticus), dan Ikan Tawes (Puntius javanicus). Wijaya (1991) in Sulistiono et al. (1992) mengatakan bahwa tiga jenis ikan pertama yang disebut di atas merupakan ikan asli, sedangkan ikan lainnya merupakan ikan introduksi. Pada kisaran tahun 1986-1988 telah dilakukan introduksi ikan yaitu Ikan Mas (Cyprinus carpio) (Sulistiono et al. 1992). Pada tahun 1988 juga telah dilakukan percobaan menggunakan grass carp di Situ Leutik sebagai upaya penanganan gulma Hydrilla verticulata. Dari percobaan ini kemudian dilakukan introduksi Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella) sebanyak 500 ekor (Widjaya et al. 1990). Pada penelitian tahun 1992 teramati 6 jenis ikan, yaitu Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus), Ikan Cupang (Beta splendens),

(11)

Ikan Wader (Puntius binotatus), Ikan Tambakan (Helostoma temminckii), Ikan Gabus (Opiocephalus striatus), dan Belut (Monopterus albus). Dengan demikian, terdapat 11 jenis ikan yang tercatat pada kisaran tahun 1987-1992.

Berdasarkan jenis ikan terlihat ada perbedaan jenis-jenis ikan yang teramati pada tahun 1987 dan 1992. Kondisi ini dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu adanya hubungan prey-predator dalam situ, perubahan kondisi lingkungan perairan situ, kegiatan pemancingan, dan introduksi ikan. Kegiatan introduksi ikan diduga merupakan faktor utama penyebab kondisi tersebut. Alasan ini didasarkan pada informasi yang dihimpun penulis bahwa hingga saat ini tercatat telah dilakukan beberapa kali kegiatan introduksi ikan di Situ Leutik. Pada kurun waktu tahun 1985 hingga 1989 telah dilakukan introduksi 5 jenis ikan, yaitu Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) pada tahun 1985; Ikan Mas (Cyprinus

carpio), Ikan Tawes (Puntius javanicus), dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

pada kisaran tahun 1986-1988; Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella) pada tahun 1989. Kemudian pada penelitian 2010-2011 terdapat ikan jenis baru yang teramati, yaitu Nilem (Osteochillus hasselti), Betutu (Oxyeleotris marmorata), Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis), dan Sepat (Trichogaster trichopterus). Ikan Sepat yang tertangkap diduga merupakan hasil introduksi yang dilakukan terkait saran penelitian dari Sulistiono et al. (1992). Tabel 6 di bawah ini memuat data introduksi ikan dan hasil penelitian sejak 1987- 2011.

Tabel 6. Alur introduksi sumberdaya ikan dan data tangkapan pada penelitian sejak tahun 1985-2011

1985 1986 1987 1988 1989 1992 2010-2011

(penelitian) (penelitian) (penelitian) Mujair* Nila* Lele Nila* Koan* Cupang Lele

Tawes* Cupang Tawes* (500 ekor) Gabus Gabus

Gabus Mas* Mujair Mujair

Mujair Tambakan Tawes

Nila* Wader Wader

Tawes* Belut Nilem

Betutu Sapu-sapu Sepat

keterangan: * = introduksi

(12)

Adapun pada penelitian ini di Situ Leutik, ada 6 jenis ikan yang teramati yaitu Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus), Ikan Tawes (Puntius javanicus), Ikan Gabus (Channa striata), Ikan Nilem (Osteochillus hasselti), Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata), dan Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis). Tiga jenis ikan pertama merupakan ikan-ikan yang juga ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, sedangkan tiga jenis ikan terakhir baru sekarang teramati di Situ Leutik. Kehadiran Ikan Nilem, Betutu, dan Sapu-sapu diduga berasal dari hasil hanyutan dari lokasi lain atau penebaran oleh orang tanpa sepengetahuan pihak PPLH. Ikan-ikan ini bisa dijadikan indikator biologi adanya perubahan kondisi lingkungan perairan, misalnya Ikan Sapu-sapu.

Dari hasil penelitian di Situ Perikanan didapatkan data 8 jenis ikan yang teramati, yaitu Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus), Ikan Tawes (Puntius

javanicus), Ikan Nilem (Osteochillus hasselti), Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata), Ikan Lele (Clarias batrachus), Ikan Sepat (Trichogaster trichopterus), Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis), dan Ikan Wader (Puntius binotatus). Jumlah jenis ikan Situ Perikanan hanya berbeda sedikit dengan Situ

Leutik, yaitu dengan keberadaan Ikan Lele (Clarias batrachus), Ikan Sepat (Trichogaster trichopterus), dan Ikan Gabus (Channa striata). Ikan Gabus tidak tertangkap oleh jaring, namun sempat teramati secara visual, yaitu induk gabus yang sedang mengasuh anak-anaknya yang berukuran sekitar ± 1 cm. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dapat dilihat pada Tabel 7 berikut dan Lampiran 8.

Tabel 7. Jenis-jenis ikan yang tertangkap di Situ IPB

No. Ordo/Famili Genus Spesies Nama Indonesia

1. Percomorphi

- Cichlidae Oreochromis O. mossambicus Mujair - Osphronemidae Trichogaster T. trichopterus Sepat 2. Labyrinthici

- Channidae Channa C. striata Gabus 3. Ostariophisi

- Cyprinidae Puntius P. binotatus Wader

Puntius P. javanicus Tawes

Osteochillus O. hasselti Nilem

4. Siluriformes

- Clariidae Clarias C. batrachus Lele - Loricariidae Hyposarcus H. pardalis Sapu-sapu 5. Gobioida

(13)

Pada penelitian ini tidak ditemukan Ikan Cupang yang merupakan ikan asli Situ IPB. Hal ini mungkin disebabkan oleh alat tangkap yang digunakan saat pengambilan data lapang tidak sesuai untuk ikan-ikan dengan ukuran yang kecil. Jadi, tidak dapat disimpulkan bahwa Ikan Cupang sudah tidak ada di Situ IPB lagi.

Ikan Cupang merupakan ikan yang tergolong dalam kelompok anabantoidae, yaitu ikan-ikan yang memiliki alat pernafasan tambahan. Dengan demikian, ikan ini lebih mampu beradaptasi pada lingkungan yang miskin oksigen dibanding ikan yang tidak memiliki alat pernafasan tambahan. Berdasarkan hal tersebut, dirasa janggal bahwa Ikan Cupang sudah tidak ditemukan lagi pada penelitian kali ini. Meskipun demikian, penulis tidak mendapatkan data terkait keberadaan ikan ini, baik dari pemancing maupun secara visual selama pengamatan. Untuk memastikan keberadaan Ikan Cupang ini perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut menggunakan alat tangkap dengan mesh size yang lebih kecil.

4.2.2 Distribusi ikan

Distribusi sumberdaya ikan di Situ IPB tidak merata pada seluruh lokasi pengambilan sampel. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa jenis ikan yang tertangkap pada kelima stasiun bervariasi antara 4-5 jenis ikan yang berbeda. Namun terdapat pula ikan yang tertangkap pada semua stasiun, yaitu mujair dan tawes. Ikan Mujair adalah ikan yang paling banyak tertangkap di Situ IPB. Ikan ini paling banyak tertangkap pada stasiun 2 dan stasiun 1, yaitu 177 dan 104 ekor. Hal ini didukung oleh kondisi kualitas perairan pada stasiun 2 yang memiliki kandungan DO 6,40-7,29 mg/L; pH 6,43-7,29; alkalinitas 59,40-71,28 mg/L; kesadahan 39,64-64,4 mg/L. Selain itu, kelimpahan plankton pada stasiun ini juga menjadi faktor penarik bagi ikan mujair yang umumnya pemakan plankton. Diketahui bahwa kelimpahan plankton terbesar berada pada stasiun 2, yaitu fitoplankton sebesar 15.8349 ind/L dan zooplankton sebesar 2.370 ind/L. Ikan Tawes lebih banyak tertangkap di Situ Perikanan dibandingkan Situ Leutik. Namun jika dilihat biomassanya, Ikan Tawes di Situ Leutik berukuran lebih besar dibandingkan di Situ Perikanan. Ikan ini tergolong herbivora dan karena persaingan makanan ini, ikan-ikan di Situ Perikanan berukuran lebih kecil

(14)

dibanding di Situ Leutik. Tawes merupakan ikan yang paling banyak tertangkap paling banyak setelah Mujair dan ikan ini pun merupakan kompetitor dari Mujair. Tabel 8 dan 9 berikut ini memuat distribusi ikan pada bulan basah dan kering.

Tabel 8. Distribusi sumberdaya ikan pada bulan November-Desember 2010

Jenis ikan Situ Leutik Situ Perikanan ∑

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Mujair 167 71 23 69 35 365 Tawes 11 5 26 24 53 119 Nilem 3 - 5 - 2 10 Betutu 1 - 1 1 14 17 Lele - - 3 1 - 4 Sepat - - 4 - 1 5 Sapu-sapu - 1 1 3 1 6 Gabus 1 - - - - 1 Wader - - - - ∑ 183 77 63 98 106 527

Tabel 9. Distribusi sumberdaya ikan pada bulan Maret-April 2011

Jenis ikan Situ Leutik Situ Perikanan ∑

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Mujair 104 177 5 42 25 350 Tawes 2 12 27 - 8 49 Nilem - - 9 - - 9 Betutu 2 - - 5 12 19 Lele - - - 4 1 5 Sepat - - 25 - - 25 Sapu-sapu 2 1 - 8 1 12 Gabus 1 1 - - - 2 Wader - - 2 - - 2 ∑ 111 191 68 59 47 476

Ikan Betutu dan Sapu-sapu tertangkap pada kedua perairan (Situ Leutik dan Situ Perikanan). Ikan Betutu tidak tertangkap pada stasiun 2 dan 3, sedangkan Ikan Sapu-sapu tidak tertangkap hanya pada stasiun 3. Ikan Betutu teramati lebih banyak di Situ Perikanan yaitu sebanyak 16 dan 17 ekor dan paling banyak ditemukan di stasiun 5. Ikan ini merupakan ikan dasar dan menyukai substrat berlumpur. Hal inilah yang menyebabkan ikan ini lebih banyak ditemukan di bagian hilir Situ Perikanan. Ikan ini lebih banyak teramati pada penangkapan di malam hari, sehingga dapat dikatakan bahwa ikan ini bersifat nokturnal. Kottelat

(15)

et al. (1993) in Sutanti (2005) mengatakan bahwa Betutu dapat tumbuh optimal

pada wilayah perairan tropis dengan kisaran pH 6,5-7,5 dan kisaran suhu antara 22-28 0C. Meskipun begitu, Ikan Betutu juga dapat hidup pada perairan dengan kondisi perairan yang buruk.

Ikan Sapu-sapu tertangkap lebih banyak di Situ Perikanan dan paling banyak tertangkap pada stasiun 4, yaitu 3 dan 8 ekor. Ikan ini lebih banyak tertangkap di stasiun 4 karena daerah ini berbentuk cekungan dan paling dalam di antara stasiun 3 dan 5, sehingga terdapat banyak detritus yang terkumpul di cekungan ini yang menjadi makanan Ikan Sapu-sapu. Sedangkan di Situ Leutik hanya ditemukan sedikit Ikan Sapu-sapu. Hal ini mungkin disebabkan karena keterbatasan jangkauan jaring insang yang hanya mencapai kedalaman 1,5 meter, sedangkan kedalaman situ yang dapat mencapai 3,5 meter. Ikan Sapu-sapu biasa menempel pada bebatuan, tumbuhan air, ataupun di dasar perairan. Ikan ini dapat hidup pada berbagai macam perairan bahkan pada perairan yang paling buruk sekalipun, sehingga dapat menjadi indikator lingkungan perairan. Page et al. (1995) in Sutanti (2005) mengatakan bahwa Ikan Sapu-sapu hidup optimal pada pH 7-7,5 dan kisaran suhu antara 23-28 0C.

Ikan Gabus hanya tertangkap di Situ Leutik, yaitu sebanyak 2 ekor; walaupun sebenarnya ikan ini juga terlihat secara visual di Situ Perikanan. Jumlah Ikan Gabus yang tertangkap tidak sebanyak ikan lain, hal ini wajar karena ikan ini termasuk salah satu top predator pada struktur komunitas ikan. Sama halnya dengan Betutu, ikan ini tergolong karnivora. Bentuk tubuhnya pun mirip, hanya saja Gabus lebih aktif bergerak. Ikan Gabus dikenal memiliki ketahanan hidup yang tinggi dan dapat hidup pada berbagai kondisi perairan (kosmopolit). Ikan ini bahkan dapat hidup hanya dengan membenamkan diri di lumpur basah pada musim kering dan hidup pada kondisi perairan yang asam antara 4-6 (Syarief 2005 in Rahardiani 2007).

Ikan Nilem, Sepat, Lele, dan Wader hanya tertangkap di Situ Perikanan. Ikan Nilem tertangkap pada stasiun 3, yaitu sebanyak 9 dan 5 ekor dan pada stasiun 5, yaitu sebanyak 2 ekor. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan pada daerah tersebut, yaitu terdapat rawa-rawa yang menjadi daerah paling cocok bagi Nilem. Hal ini sesuai dengan Huet (1970) in Wicaksono

(16)

(2005) bahwa Nilem adalah ikan pemakan perifiton, plankton, dan tumbuhan air. Ikan ini tertangkap dengan ukuran rata-rata panjang tubuh 9,43 cm dan rata-rata bobot tubuh 11,22 gram.

Ikan Sepat hanya tertangkap pada stasiun 3, yaitu sebanyak 25 ekor. Walaupun stasiun ini memiliki kondisi perairan yang buruk, yaitu kandungan amonia sudah melampaui baku mutu perairan (Lampiran 5), namun lingkungan fisik perairannya cocok untuk Ikan Sepat. Di daerah ini terdapat rawa-rawa sebagai tempat tinggal bagi ikan sepat. Ikan Nilem dan Sepat juga merupakan ikan kompetitor dari Mujair.

Ikan Lele tertangkap pada stasiun 3, 4, dan 5 yaitu sebanyak 3, 4, dan 1 ekor. Ikan ini tidak ditemukan pada Situ Leutik karena termasuk ikan demeral, sedangkan jaring yang digunakan tidak mencapai dasar perairan. Ikan ini biasa hidup pada dasar perairan dan lebih menyukai air yang keruh/kegelapan. Dari hasil pengamatan, Ikan Lele tertangkap pada penebaran jaring malam hari, jadi ikan ini hanya aktif pada malam hari. Hal ini sesuai dengan Sudarto (2004) bahwa Lele adalah ikan nokturnal.

Ikan Wader hanya tertangkap pada stasiun 3, yaitu sebanyak 2 ekor. Ikan Wader biasa hidup di perairan yang jernih pada perairan danau, sungai, maupun parit. Ikan Wader berukuran tubuh kecil seperti ikan-ikan lainnya yang teramati pada stasiun 3. Stasiun 3 merupakan tempat yang cocok untuk ikan-ikan kecil karena kedalaman perairan yang dangkal sehingga sedikit ditemukan ikan predator di stasiun ini. Ikan ini hidup optimal pada perairan dengan pH 6,0-6,5 dan kisaran suhu antara 24-26 0C (www.fishbase.org).

4.2.3 Struktur komunitas

Komposisi sumberdaya ikan pada suatu perairan dapat dilihat dari kelimpahan relatifnya. Kelimpahan ikan sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya fekunditas, ruang gerak, kompetisi, predasi, penyakit, dan lama hidup (Rounsefell & Everhart 1962). Lebih lanjut Bhukaswan (1980) menyatakan bahwa distribusi sumberdaya ikan di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kompetisi, kebiasaan makan, ketersediaan makanan, faktor fisika-kimia perairan, dan musim. Tabel 10 dan 11 berikut ini menunjukkan komposisi dan presentasi ikan yang tertangkap pada bulan basah dan kering.

(17)

Tabel 10. Komposisi dan presentasi ikan pada bulan November-Desember 2010

Jenis ikan Situ Leutik Situ Perikanan

Kelimpahan (ekor) % Kelimpahan (ekor) %

Mujair 238 91,54 127 47,57 Tawes 16 6,15 103 38,58 Nilem 3 1,15 7 2,62 Betutu 1 0,38 16 5,99 Lele - - 4 1,50 Sepat - - 5 1,87 Sapu-sapu 1 0,38 5 1,87 Gabus 1 0,38 - - Wader - - - - Total 260 100 267 100

Tabel 11. Komposisi dan presentasi ikan pada bulan Maret-April 2011

Jenis ikan Situ Leutik Situ Perikanan

Kelimpahan (ekor) % Kelimpahan (ekor) %

Mujair 281 93,05 72 41,38 Tawes 14 4,64 35 20,11 Nilem - - 9 5,17 Betutu 2 0,66 17 9,77 Lele - - 5 2,87 Sepat - - 25 14,37 Sapu-sapu 3 0,99 9 5,17 Gabus 2 0,66 - - Wader - - 2 1,15 Total 302 100 174 100

Dua tabel tersebut dapat kita lihat bahwa kelimpahan sumberdaya ikan di Situ Leutik lebih kecil daripada Situ Perikanan, yaitu 260 dan 267 ekor pada bulan November-Desember 2010. Namun pada bulan Maret-April 2011 kelimpahan sumberdaya ikan Situ Leutik lebih besar daripada Situ Perikanan, yaitu 302 dan 174 ekor. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi fisika-kimia perairan, kegiatan pemancingan, restocking, dan musim. Rincian lebih lengkap mengenai komposisi dan presentasi ikan yang tertangkap di Situ IPB dicantumkan pada Lampiran 9 dan 10.

Kondisi ekosistem alami suatu perairan biasa digambarkan dengan ekosistem yang memiliki indeks keanekaragaman jenis yang tinggi dan tidak

(18)

terjadi dominansi salah satu atau beberapa jenis yang ada. Tabel 12 dan 13 di bawah ini memuat nilai indeks keanekaragaman ikan di Situ IPB.

Tabel 12. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) ikan pada bulan November-Desember 2010

Parameter Situ Leutik Situ Perikanan

Kelimpahan Biomasa Kelimpahan Biomasa Keanekaragaman (H’) 0,3948 0,9920 1,1762 1,3847

Keseragaman (E) 0,2203 0,5536 0,6044 0,7116

Dominansi (C) 0,8243 0,4897 0,3922 0,2928

Tabel 13. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) ikan pada bulan Maret-April 2011

Parameter Situ Leutik Situ Perikanan

Kelimpahan Biomasa Kelimpahan Biomasa Keanekaragaman (H’) 0,3217 0,6699 1,6273 1,6075

Keseragaman (E) 0,1999 0,4162 0,7951 0,7730

Dominansi (C) 0,8681 0,6711 0,2554 0,2369

Data hasil pengamatan di atas memberi kita gambaran bahwa tingkat keragaman sumberdaya ikan di Situ IPB rendah. Indeks keanekaragaman di Situ Leutik termasuk rendah (H’ ≤ 1), sedangkan di Situ Perikanan termasuk sedang (1 ≤ H’ < 3). Indeks keseragaman di Situ Leutik termasuk rendah (E ≤ 0,33), sedangkan di Situ perikanan termasuk tinggi (E ≥ 0,66). Indeks dominansi di Situ Leutik termasuk tinggi (C ≥ 0,75), sedangkan di Situ Perikanan termasuk rendah (C ≤ 0,50). Secara umum, keanekaragaman di Situ IPB termasuk rendah dan berdasarkan indeks dominansi yang tinggi menandakan ketidakseimbangan ekologi. Dapat disimpulkan pula bahwa sumberdaya ikan di sana dalam kondisi tertekan, maka dari itu perlu dilakukan pengelolaan terkait sumberdaya ikan di Situ IPB.

Data pada dua tabel di atas diambil pada musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dari data yang didapat, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara musim hujan dan musim kemarau. Hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh musim pada struktur komunitas sumberdaya ikan di Situ IPB. Contoh perhitungan indeks keanekaragaman,

(19)

keseragaman, dan dominansi ikan berdasarkan kelimpahan dan biomasa dicantumkan pada Lampiran 11.

4.2.4 Laju pertumbuhan ikan dominan

Ditemukannya dominansi salah satu jenis ikan di Situ IPB menunjukkan bahwa perairan ini sudah mengalami tekanan ekologi. Hal ini dibuktikan dengan komposisi jumlah Ikan Mujair yang teramati selama penelitian. Persentase kehadiran ikan ini mencapai 53,27 % di Situ Perikanan dan bahkan 93,05 % di Situ Leutik.

Ikan Mujair telah dikenal hampir di seluruh dunia karena kemampuannya untuk beradaptasi pada hampir semua kondisi perairan. Oleh karena itu, ikan ini disebut ikan kosmopolit. Mujair tercatat telah menginvasi banyak perairan tawar di berbagai negara. Di Amerika penelitian mengenai Ikan Mujair telah dilakukan Fuselier (2001), yaitu melihat dampak Oreochromis mossambicus pada pemisahan habitat kawanan ikan di Laguna Chichancanab, Meksiko. Penulis pun merasa perlu untuk mengkaji aspek pertumbuhan ikan dominan di Situ IPB ini.

Model matematik bagi pertumbuhan individu telah dikembangkan oleh Von Bertalanffy. Panjang dan berat merupakan komponen dasar dalam spesies ikan dan merupakan parameter utama mengukur pertumbuhan dan stok ikan (Spare and Venema 1999). Dari pengamatan terbaru didapatkan data panjang total (TL) ikan dominan di perairan Situ IPB yaitu Ikan Mujair. Gambar 15 dan 16 berikut ini merupakan grafik sebaran kelas panjang ikan mujair yang tertangkap.

Gambar 6. Grafik sebaran kelas panjang Ikan Mujair (Oreochromis

mossambicus) pada bulan November-Desember 2010

1 2 2

(20)

Gambar 7. Grafik sebaran kelas panjang Ikan Mujair (Oreochromis

mossambicus) pada bulan Maret-April 2011

Dua grafik di atas memberi gambaran bahwa distribusi kelas panjang Ikan Mujair berbentuk kurva normal. Ikan paling banyak tertangkap yaitu pada selang kelas antara 9,65-10,95 cm pada bulan November-Desember 2010 dan 10,95-12,25 cm pada bulan Maret-April 2011. Terdapat tiga kelompok ukuran panjang ikan dikarenakan pada penelitian ini menggunakan tiga ukuran mata jaring yang berbeda. Terlihat pula dari grafik pergeseran kurva ke arah kanan yang menunjukkan fenomena pertumbuhan pada Ikan Mujair.

Ikan Mujair yang tertangkap di Situ Leutik dan Situ Perikanan memiliki panjang tubuh masing-masing mencapai 19,5 dan 16,2 cm. Secara umum, ukuran ikan yang tertangkap di Situ Leutik lebih besar daripada ikan di Situ Perikanan. Hal ini dimungkinkan jika dilihat dari tingkat dominansi Ikan Mujair yang tinggi di Situ Leutik. Ikan ini menguasai perairan, sehingga hubungan kompetisi makanan tidak lagi menjadi faktor pembatas pertumbuhan bagi Mujair. Begitupun jumlah ikan yang tertangkap lebih banyak. Kondisi hidrologi volume air Situ Leutik yang stagnan dibandingkan dengan Situ Perikanan yang fluktuatif menjadi salah satu faktor pendukung juga. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Situ Leutik lebih menunjang sebagai habitat bagi Ikan Mujair daripada Situ Perikanan. Gambar 17berikut ini merupakan grafik pertumbuhan Ikan Mujair di Situ IPB.

(21)

Gambar 8. Grafik pertumbuhan Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)

Grafik tersebut menggambarkan pola hubungan antara panjang dengan berat ikan. Parameter ini dapat pula digunakan untuk menduga kemontokan ikan. Dari persamaan hubungan panjang berat tersebut dapat disederhanakan menjadi persamaan linear: y = 2,7793x - 1,5329 (r = 0,9666). Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa nilai b ≠ 3, yaitu pertumbuhan ikan bersifat allometrik. Persamaan logaritmik ini juga menggambarkan bahwa laju pertumbuhan ikan mujair bersifat allometrik negatif (b < 3), yaitu pertumbuhan panjang lebih dominan daripada pertumbuhan berat tubuh ikan. Hal ini memperlihatkan bahwa Ikan Mujair memiliki bentuk tubuh yang pipih.

4.3 Implikasi bagi Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya ikan di Situ IPB, maka diperlukan pengelolaan sumberdaya ikan berbasis ekologis. Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan secara keseluruhan terdapat beberapa implikasi pengelolaan yang diajukan, yaitu 1.) keberadaan 9 jenis ikan dirasa sudah cukup banyak dan telah mewakili tiap trofik levelnya, sehingga tidak diperbolehkan mengintroduksi jenis ikan baru, 2.) melihat indeks dominansi yang tinggi, maka diperlukan upaya untuk membentuk keseimbangan ekologis di Situ IPB. Upaya tersebut yaitu dengan melakukan restocking beberapa jenis ikan. Ikan Mujair yang mendominasi perairan dapat ditekan pertumbuhan

y = 0,0293 x 2,7993 R2 = 0,9344

(22)

populasinya dengan memperbanyak jumlah kompetitornya, yaitu Tawes, Nilem, Sepat, dan Wader, 3.) dilarang menangkap ikan menggunakan alat tangkap selain pancing, di antaranya seperti jala tebar dan jaring insang. Kedua alat tangkap ini dapat menjaring lebih banyak ikan dibanding alat tangkap pancing, sehingga dapat mengurangi kelimpahan ikan dengan cepat. Hal ini pun tidak sesuai dengan peruntukan Situ IPB sebagai kawasan wisata, bukan kawasan komersil (dalam hal ini terkait sumberdaya ikannya), 4.) membatasi jumlah pemancing yang dapat beraktivitas di Situ IPB, yaitu maksimal 9 orang/hari di Situ Leutik dan 5 orang/hari di Situ Perikanan, 5.) aktivitas pemancingan hanya dapat dilakukan pada area pemancingan, yaitu B1 dan B2 (Lampiran 12), dan 6.) melepas induk ikan apabila tertangkap oleh pemancing.

Gambar

Tabel 2.  Hasil  pengamatan  parameter  fisika-kimia  pada  bulan  November- November-Desember 2010
Tabel 3. Hasil pengamatan parameter fisika-kimia pada bulan April-Maret 2011
Tabel 5. Indeks kelimpahan (ind/L), keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan  dominansi (C) zooplankton
Tabel 6. Alur  introduksi  sumberdaya  ikan  dan  data  tangkapan  pada  penelitian  sejak tahun 1985-2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

keluarga dimana pemenuhan kesehatan meliputi empat aspek yaitu: (1) Pemeliharaan kesehatan berdasarkan persentase indikator yang ada secara keseluruhan maka pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kebisingan di Jalan Raya Ciomas serta menentukan jenis pagar vegetasi dan dinding tembok yang paling efektif sebagai

Wilayah Kota Tarakan merupakan salah satu dari 3 (tiga) Cekungan Tersier utama yang terdapat di bagian timur continental margin Kalimantan (dari utara ke selatan : Cekungan

(2012), analisis keperluan adalah proses sistematik untuk dijadikan panduan dalam membuat keputusan seterusnya memberikan justifikasi untuk keputusan tersebut. Oleh itu,

Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai penyarian sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.. Proses ini terdiri dari

Secara umum media cair adalah media berbentuk cair yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti pembiakan mikroba dalam jumlah besar, pengamatan fermentasi, dan berbagai

Di dalam lingkungan masyarakat, anak akan memperoleh pengalaman tentang berbagai hal, antara lain berkenaan dengan lingkungan alamnya, seperti flora