• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA (Studi Perppu Tahun 2004-2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEDUDUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA (Studi Perppu Tahun 2004-2014)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

KEDUDUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANGAN

INDONESIA

(Studi Perppu Tahun 2004-2014)

Oleh MARYANTO

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui tentang Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada periode 2004-2014, di tinjau dari pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 138/PUU-VII/2009. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, yaitu meneliti berbagai peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar ketentuan hukum untuk menganalisis tentang kedudukan Perppu dalam sistem perundang-undangan Indonesia, serta penelitian yuridis yakni penelitian yang mengkaji dari Undang-undang, teori hukum dan pendapat para sarjana. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa perppu yang dikeluarkan oleh presiden pada periode 2004 hingga 2014 adalah tidak mengisi kekosongan hukum karena perppu-perppu tersebut dikeluarkan tanpa syarat kegentingan yang memaksa serta dikeluarkan dalam keadaan yang tidak membahayakan negara sesuai pasal 22 UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 138/PUU-VII/2009. upaya untuk penanggulangan ketidaksesuaian dalam mengeluarkan perppu adalah terletak pada presiden yakni dengan lebih cermat dalam mengamati suatu keadaan genting dan darurat, serta DPR dalam mengesahkan perppu harus mempertimbangkan pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK nomor 138/PUU-VII/2009, sehinggan perppu yang dikeluarkan benar-benar dapat mengakomodir kebutuhan mendesak dalam keadaan genting dan memaksa.

(2)

KEDUDUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANGAN

INDONESIA

(Studi Perppu Periode 2004-2014)

Oleh MARYANTO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(3)
(4)
(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di desa Sidorejo Kecamatan Bangunrejo Lampung Tengah pada tanggal 13 Maret 1993 anak ke tiga dari tiga bersaudara oleh pasangan Bapak Regu (Alm) dengan ibu Misiyem orang tua yang sangat penulis sayangi.

Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 03 Sidorejo, Kec. Bangunrejo, Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 02 Kairejo, Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2008. Sekolah Menengah Kejuruan Islam Adiluwih, Pringsewu diselesaikan pada tahun 2011.

(6)

PERSEMBAHAN

Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati kupersembahkan skripsiku ini kepada:

Ayahanda Regu (Alm),

Terimakasih atas segala kasih sayang, pengorbanan, dan wejangan semasa kecil, serta terimakasih telah memberikanku ibu

yang teramat sangat hebat.

Ibunda Misiyem,

Terimakasih untuk segala pengorbanan, waktu, kasih sayang yang tiada henti, serta motivasi dan doa-doamu, Panjang Umur ya bu,

saksikan aku sukses.

Kepada kakak-kakak tercintaku Siti Aminah & Ismail

Yang selalu memberikan dukungan moriil & materiil serta motivasi yang tiada henti-hentinya.

Kepada keponakan-keponakan tersayangku, Akmal Maulana Mubarrack & Muhammad Ridwan Ismail, jangan lupa; Pinter,

Sukses, dan berbhakti kepada orang tua Kelak.

Almamater tercinta Universitas Lampung

Tempatku menimba ilmu dan mendapatkan pengalaman berharga yang menjadi sebagian jejak langkahku menuju

(7)

MOTO

“Sesungguhnya Jihad yang Paling Besar adalah

Mengungkapkan Kalimat Kebenaran di Hadapan

Sultan Yang Dzalim.

(8)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, Tuhan semesta alam yang maha kuasa atas bumi, langit dan seluruh isinya, serta hakim yang maha adil di yaumil akhir kelak. Sebab, hanya dengan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia (Studi Perppu Tahun 2004-2014), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(9)

3. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H. selaku Pembimbing I dan sekaligus Pembimbing Akademik (PA) atas kesabaran dan kesediaan untuk meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, motivasi, nasihat dalam mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Ibu Martha Riananda, S.H.,M.H selaku Pembimbing II atas kesabarannya yang luar biasa dan bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, motivasi, nasihat dalam mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

5. Bapak Ahmad Saleh, S.H.,M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

6. Bapak Muhtadi, S.H.,M.H. yang telah membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Seluruh Dosen Bagian Hukum tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi.

8. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi.

(10)

keberhasilanku, yang tidak pernah lelah mendukung, berharap dan menunggu saat-saat indah ini. Terimakasih atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagiaan. Love u much much much mom & dad.

10.Kakak-kakaku Siti Aminah dan Ismail, terima kasih untuk motivasi, dan semangatnya.

11.Ponakanku tercinta Akmal maulana Mubarack dan Muhammad Ridwan ismail, Semoga menjadi anak yang berbhakti kepada orang tua.

12.Sahabat-sahabatku tersayang, kholifatul muhtadin, ageng widodo, jarwanto djanoko, Nurkholis, endang, untuk kebersamaan, bantuan, canda tawa dan semangatnya, semasa SMP. Terimakasih untuk persahabatan selama ini, semoga persahabatan kita untuk selamanya dan semoga kita semua sukses. 13.Orang-orang terbaik yang ada di hidupku Ridho Aulia Husein, Nurkholis,

Annisa dian P.H. Hindiana sava husada, Rae Anggrainy, Nur Handayani, Ayu Permata Sari, Annisa Dian P.H, Marullfa , Rohani, agung kurniawan, Fima Agatha, tri fajar nugroho, herra destriana, ratna eka sari, rantika W, ririn Regiliap. Semoga kita bisa tetap saling membantu dan menyemangati satu sama lain. Semoga kita semua sukses.

14.Teman-teman seperjuangan HIMA HTN, aminah camila, david, daniel, ferry, elsha vencha, sabrina, zein, virgi, utia, james, deka, husein, dewi, indra, anas, dll, love you so much, kalian orang terhebat, sukses untuk kita semua.

(11)

disebutkan satu persatu terima kasih untuk kebersamaan, pengalaman serta ilmu yang berharga. Semoga kita semua sukses.

16.Keluarga besar HMI Komisariat Hukum Unila, Yuk Ita, Kanda Yoni, Kanda Ike, Kanda Angga, Kanda Abdi, Kanda Kamil, Kanda Galuh, Kanda Suntan, Kanda Toni, Kanda Andri, Kanda Agus, Kanda Arif, Kanda Azam, Kanda Insan, Yunda Inggit, Ridho, Mamat, Beni, Imam, Kahfi, Fery, Fajar, Shandy, Emil, Sarah, Eka, Rekas, Ririn, Rantika, Abung,Prabu, silvi, ratna, jupi, kodri, panca, serta dinda-kanda yang tidak dapat disebutkan satu persatu, kalian keluarga yang luar biasa, terima kasih untuk kebersamaan, pengalaman serta ilmu yang berharga yang tidak saya temukan dalam perkuliahan dan hanya saya temukan di HMI Komisariat Hukum Unila.

17.Teman-teman KKN di Desa Goras jay; ka rizki , dhani, made, kok Kevin, mb Kristi, mb aini, malani, ka lidiya, nissa. Terima kasih untuk kebersamaannya selama 40 hari, semoga kita semua sukses.

18.Keluarga Besar MAHKAMAH, Yang tidak bisa di sebutkan satu-persatu penulis sangat bangga menjadi bagian dari kalian.

19.Kawan Kawan Seantero Wisma Shizuka, mb desi ibu kost paling baik, bang warji, Putra, Manda, Widi, Maryani, irpan, dll yang tak bisa disebutkaan semoga kita semua sukses.

(12)

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, 17 November 2015 Penulis,

(13)

i

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ………..… 1

1.1. Latar Belakang ………..……… 1

1.2. Rumusan Masalah………..……… 8

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

1.3.1. Tujuan Penelitian………….………..….. 8

1.3.2. Kegunaan Penelitian……….………. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA.……….………. 9

2.1. Konstitusi ………..……….……. 9

2.1.1. Istilah Konstitusi……… 9

2.1.2. Beberapa pengertian Konstitusi………..…………... 13

2.2. Perubahan Hierarki Tata Urutan Perundang-Undangan…...… 20

2.2.1. ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/196 ...………. 20

2.2.2. ketetapan MPR No III/MPR/2000 …..……….. 20

2.2.3. Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 Pembentukan PeraturanPerundang-Undang ...………... 21

2.2.4. Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan….………... 23

2.3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)…... 25

2.3.1. Perppu Dan Kedudukanya ………..……… 27

3.2.3. Syarat-syarat dikeluarkanya Perppu………. 29

III. METODE PENELITIAN… ……….... 32

3.1. Jenis dan Tipe Penelitian……….………. 32

3.2 Metode Pendekatan ………….……… 32

3.3. Data dan Sumber Data………..……….. 33

3.4. Metode Pengumpulan Data……….. 34

3.5. Metode Pengolahan Data…….……….… 34

(14)

ii

IV. PEMBAHASAN………. 36

4.1. Perppu Pada Periode 2004-2014 ……….. 36 4.2. Perppu Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Penangguhan Mulai

Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial………...……... 38 4.3. Perppu Nomor 2 tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan

Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi

Sumatera Utara……… 41

4.4. Perppu Nomor 3 tahun 2005 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah………. 45 4.5. Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003……...…. 47 4.6 Peppu Nomor 2 Tahun 2006 Penangguhan Pelaksanaan Tugas

dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 71 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan…….……….… 50 4.7. Peppu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan

Bebas Menjadi Undang-Undang……...……… 52 4.8. Perppu No. 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan

Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan

Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi

Sumatera Utara……… 55

4.9. Perppu No. 3 Tahun 2007 Perubahan Atas

Undang Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Perubahan Berlakunya Undang Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang

Ketenagakerjaan……… 57 4.10. Perppu Nomor 1 Tahun 2008 Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

(15)

iii

4.11. Perppu Nomor 2 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia………...…… 61

4.12. Perppu Nomor 3 Tahun 2008 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan….. 63

4.13. Perppu Nomor 4 Tahun 2008 Jaring Pengaman Sistem Keuangan… ……….. 64

4.14. Perppu Nomor 5 Tahun 2008 Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan………. 66

4.15. Perppu Nomor 1 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah…….……… 68

4.16. Perppu Nomor 2 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji… 69 4.17. Perppu Nomor 3 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian……….. 72

4.18. Perppu Nomor 4 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi………..………... 74

4.19. Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi... 77

4.20. Perppu No. 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati Dan walikota...………. 84

V. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 90

5.1. Kesimpulan ……….……… 90

5.2. saran ………..……….…. 91

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm).1 Norma hukum memainkan peran dalam hubungan kehidupan bernegara maupun bermasyarakat seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan UUD 1945 menjadi dasar hukum tertulis untuk mengatur segala aspek kehidupan bernegara yang lebih lanjut diatur dalam peraturan perundang-undangan lain yang berada di bawah UUD 1945, artinya setiap peraturan perundang-undangan lain yang berada di bawah UUD 1945 harus berdasar dan bersumber pada UUD 1945 baik dalam aspek prosedur maupun dalam aspek muatannya, dan tidak dapat bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

1

Hans Kelsen dalam Maria Farida, Ilmu perundang-undangan : jenis, fungsi, dan materi muatan,

(17)

2 Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dilihat dari sisi materi muatannya, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (Regelling) secara umum dan abstrak, tidak konkrit dan individual seperti keputusan penetapan.

Undang-undang yang selanjutnya disebut UU adalah produk yang dikeluarkan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR yang mana undang-undang tersebut memiliki kekuatan yang mengikat sejak disahkan oleh DPR. Sementara itu di dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2011 pasal 3 disebutkan “Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan” namun demikian ada peraturan yang sama dengan undang-undang, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang selanjutnya diebut dengan UU yang mana kedudukannya berada di bawah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disebut Tap MPR.2

Kedudukan undang-undang dan peraturan dibawahnya haruslah tunduk pada konstitusi dasar Negara Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan kedudukan Perppu adalah sama dengan undang-undang. Perppu mempunyai hierarki setingkat dengan Undang-Undang

2

(18)

3 Akan tetapi Perppu ini terkadang dikatakan tidak sama dengan undang-undang karena belum disetujui oleh DPR.3

Undang-undang selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui secara bersama oleh DPR dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa.4

Undang-undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Undang-undang dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah Undang-undang. Perppu ini memiliki jangka waktu yang terbatas atau sementara sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang, dan apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR akan dicabut. Karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama dengan Undang-undang sehingga fungsi maupun materi muatan Perppu adalah sama dengan fungsi maupun materi muatan

3

Maria Farida Indrati Soeprapto.. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta:kanisius:1998) hlm.96

4

(19)

4 undang.5 Jadi, saat suatu Perppu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan Undang-undang, saat itulah Perppu dipandang memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan Undang-undang. Hal ini disebabkan karena Perppu tersebut telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang sama meski Perppu belum disetujui oleh DPR.

Kewenangan presiden dalam mengeluarkan Perppu bukanlah merupakan kewenangan tanpa batas yang dimiliki oleh presiden, “Keberanian” Presiden Pada

tahun 2004 hingga 2014 dalam mengeluarkan Perppu tidak lepas dari perdebatan tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa”

yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan khusus. Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945diatur dalam pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif, dalam hukum tata negara tidak tertulis dikenal dengan doktrin noodstaatsrecht.

5

(20)

5 Menurut Harun Al Rasyid, dalam noodstaatsrecht, Undang-Undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar Undang-Undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum.6

Sementara itu, Perppu merupakan produk hukum yang sah sesuai ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Secara formal, Perppu adalah peraturan pemerintah, bukan Undang-undang. Tetapi secara substansial, meteri Perppu sama dengan materi muatan Undang-Undang (Pasal 9 UU No. 10 Tahun 2004). Terhadap Perppu, DPR dapat melakukan legislative review untuk menyetujui Perppu sebagai undang-undang atau tidak.

Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan:

1. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;

2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;

3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan syarat mutlak bagi

presiden untuk menggunakan haknya. Secara a contrario presiden tidak dapat menggunakan haknya selama tidak ada hal ikhwal kegentingan memaksa.

6

(21)

6 Dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.7

Perppu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan (i) mendesak

dari segi substansi, dan (ii) genting dari segi waktunya. Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu. Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk).8

Muatan dan cakupan Perppu sendiri, sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perppu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa

7

Indrianto Seno Adji , Teroris e, Perppu No. Tahu Dala Perspektif Huku Pida a

Dalam Terorisme; Tragedi Umat Manusia, Jakarta: O.C Kaligis & Associates, 2001, Hlm. 17

8

(22)

7 presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam mengeluarkan Perppu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan.9

Perppu pada periode 2004 hingga 2014 ini menunjukan inkonsistensi Presiden, Sebab sebenarnya, Presiden telah menyatakan persetujuannya terhadap beberapa undang-undang Nomor, baik secara materiil maupun formil, dan motif penerbitan Perppu tersebut tidak selaras dengan kehendak konstitusi. Sebab, penerbitan Perppu oleh Presiden pada saat itu lebih didasari pada penafsiran subjektifitas Presiden.

Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. dalam putusan tersebut diatur bahwa Perppu hanya diperlukan apabila terdapat keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) atau undang-undang yang ada dianggap tidak memadai, serta untuk mewujudkan kepastian hukum.

Berdasarkan uraian di atas, maka Munculah masalah hukum terhadap kedudukan Perppu (Perppu) yang dikeluarkan oleh presiden Pada Periode 2004 hingga 2014, apakah dasar pertimbangan presiden dalam mengeluarkan Perppu, serta bagaimanakah seharusnya Presiden menetapkan suatu kegentingan, mengingat telah disahkanya Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia pada periode tersebut.

9Ibid…

(23)

8 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

Bagaimanakah Kedudukan Perppu pada Periode Tahun 2004 Hingga Tahun 2014 Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia?

1.3. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Setelah melihat permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian dalam skripsi ini antara lain adalah: untuk mengetahui kedudukan Perppu dalam sistem perundang-undangan Indonesia.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: 1. Kegunaan teoritis karya tulis ini dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk

mengembangkan wawasan terutama Hukum dan Politik, terkait Kedudukan perppu di indonesia.

2. Kegunaan praktis penelitian ini berguna untuk;

a. Bahan informasi bagi masyarakat, akademi, dan kalangan birokrasi pemerintahan yang bergerak di bidang Hukum dan politik.

b. Menambah referensi bahan bacaan dan sebagai sumber data yang melakukan penelitian berhubungan dengan Hukum dan politik dalam menganalisis perppu yang dikeluarkan oleh presiden.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konstitusi

2.1.1. Istilah Konstitusi

Istilah konstitusi berawal dari kata kerja constitute yang berarti membentuk. yang dibentuk itu adalah suatu negara. Oleh karena itu, konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara. Sehubungan dengan istilah konstitusi ini para sarjana dan ilmuwan hukum tata negara terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapata konstitusi sama dengan undang-undang dasar dan ada pula yang yang berpendapat konstitusi tidak sama dengan undang-undang dasar, untuk lebih jelasnya pendapat perhatikan di bawah ini:10

A. Kelompok pertama yang memepersamakan konstitusi dengan undang-undang dasar, di antaranya:11

1. G.J.Wolhaff, berpendapat bahwa kebanyakan Negara-negara modern berdasarkan atas suatu UUD (konstitusi).

2. Sri soemantri, penulis menggunakan istilah konstitusi sama dengan undang-undang dasar (grondwet).

3. J. C. T. Simorangkir Mengangap konstitusi sama dengan UUD.

(25)

10 B. Kelompok kedua yang membedakan konstitusi dengan undang-undang dasar. di antaranya

1. Van Apeldorn berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari konstitusi, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun tidk tertulis.

2. M. Solly Lubis melukiskan pembagian konstitusi dalam suatu skema, sebagai berikut :

Konstitusi tertulis (UUD)

Konstitusi

Konstitusi tidak tertulis (Konvensi)

3. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa setiap peraturan hukum karena pentingnya harus ditulis dan konstitusi yang tertulis itu adalah UUD. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983 : 66).

Pendapat kedua kelompok tersebut tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena kelompok pertama mempersamakan istilah konstitusi dengan undang-undang dasar, sedangkan kelompok kedua meninjau dari segi materi yang ada dalam konstitusi atau undang-undang dasar. Kelompok pertama yang mempersamakan undang-undang dasar dengan konstitusi mungkin disebabkan oleh konstitusi tersebut dalam kamus hukum di Indonesia diterjemahkan dengan undang-undang dasar, sebagaimana yang terlihat dalam kamus karangan J. C. T. Simorangkir, dkk. “Konstitusi” = Undang-Undang Dasar.

Sedangkan penganut paham modern yang mempersamakan konstitusi dengan undang-undang Dasar adalah Lasalle dalam karanganya “Uber

varfassungswesen”. Ia mengemukakan bahwa konstitusi sesungguhnya

(26)

11 kepala negara, angakatan perang, partai-partai politik, pressure group, buruh, tani, pegawai dan sebagainya. Dari pendapat tersebut kemudian Lasalle menghendaki agar seluruh hal penting itu tertulis dalam konstitusi.12

Kelompok kedua yang membedakan konstitusi dengan undang-undang dasar, mengingat tidak semua hal penting harus dimuat dalam konstitusi , melainkan hal yang bersifat pokok saja. Perlu diketahui juga bahwa pengertian penting dan Pokok tidaklah sama. Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim bahwa isinya merupakan peraturan yang bersifat fundamental, artinya tidak semua hal penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal yang bersifat pokok, dasar, dan asas-asas. Dengan kata lain dapat kita artikan bahwa semua aturan tersebut itu penting untuk di muat dalam konstitusi, tidak semua hal penting itu merupakan hal yang pokok atau hal yang mendasar. Oleh karena itu, pengertian pokok dapat dikatakan hal terpenting dari yang penting. Tidak dimuatnya semua hal-hal penting tersebut ke dalam undang-undang dasar disebabkan adanya perkembangan atau perubahan dalam poitik hukum dan masyarakat. Apabila masyarakat berubah dengan sendirinya maka undang-undang dasar harus pula menyesuaikan diri dengan masyarakatnya. Untuk menghindarkan seringnya perubahan suatu undang-undang dasar, maka hal-hal yang penting tidak semuanya dimuat dalam undang-undang dasar, tetapi cukup hal-hal yang mendasar (aturan dasar) yang pokok dan lebih penting saja. Alasanya adalah untuk menjaga wibawa undang-undang dasar karena bila perubahan suatu undang-undang dasar terlalu sering, akan mengaikbatkan hilangnya wibawa dari undang-undang dasar tersebut.

12

(27)

12 Melihat pernyataan di atas, untuk menentukan mana yang penting dan mana yang pokok, antara negara yang satu dengan negara yang lain terdapat perbedaan, Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu motif lahirnya konstitusi atau undang-undang dasar, bentuk negara, sistem pemerintahan, dan lain-lain. Ada yang memuat aturan dasar itu sedetail mungin karena dianggap penting dan harus dimuat dalam konstitusinya, yang mengakibatkan jumlah pasal-pasal menjadi lebih banyak, sebagai contoh India terdiri dari 394 pasal, Uruguy 332 pasal, Belanda 210 pasal, Ethiopia 55 pasal. Sebaliknya, ada pula yang dianggap penting tetapi tidak pokok sehingga konstitusinya hanya terdiri dari beberapa pasal saja seperti Laos 44 pasal, Spanyol 36 pasal, Dan Republik Indonesia 37 Pasal.13

Dilihat dari alasan (motif) timbulnya konstitusi atau undang-undang dasar menurut Lord Bryce ada empat motif timbulnya konstitusi atau undang-undang dasar sebagai berikut:14

1) Adanya keinginan para anggota warga negara untuk menjamin hak-hak mereka sendiri pada waktu hak-hak itu terancam dan selanjutnya membatasi tidakan-tindakan penguasa di kemudian hari.

2) Adanya keinginan entah dari pihak yang diperintah atau pihak yang memerintah atau pihak penguasa sendiri, dengan harapan untuk menjamin rakyatnya melalui jalan menentukan bentuk-bentuk suatu sistem ketatanegaraan tertentu yang semula tidak jelas dalam suatu bentuk tertentu menurut aturan-aturan positif, maksudnya agar dikemudian hari tidak dimungkinkan adanya tindakan –tindakan yang sewenang-wenang dari penguasa.

3) Adanya keinginan dari pembentuk negara baru untuk menjamin adanya cara penyelenggaraan ketatanegaraan yang pasti dan dapat membahayakan kepada rakyatnya.

4) Adanya keinginan untuk menjamin kerja sama yang efektif dari beberapa negara yang pada mulanya berdiri sendiri (nantinya menjadi negara bagian dari negara federal yang merupakan bentuk kerjasamanya).

13Ibid, hlm 47 14

(28)

13 2.1.2. Beberapa Pengertian Konstitusi

UUD 1945 merupakan suatu bentuk konstruksi dasar pembentukan segala bentuk peraturan di Negara Republik Indonesia yang artinya UUD 1945 adalah bentuk konstitusi dari Negara Indonesia, setiap negara pada dasarnya memiliki sebuah konstitusi atau undang-undang dalam bentuk tertulis, namun demikian ada beberapa negara yang sampai saat ini dikenal tidak memiliki undang-undang dasar tidak tertulis yaitu Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. undang-undang dasar diketiga negara ini tidak pernah di buat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari aturan dan pengalaman praktik ketatanegaraan. Negara pertama yang menyusun konstitusinya dalam satu naskah undang-undang adalah Amerika Serikat (United States Of America) pada tahun 1787.15

Menurut Hermann Heller, undang-undang dasar yang tertulis dalam satu naskah yang bersifat politis, sosiologis dan bahkan yuridis hanyalah merupakan salah satu bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas yaitu konstitusi yang hidup ditengah-tengah masyarakat, artinya disamping konstitusi yang tertulis, segala bentuk nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh karena itu dalam bukunya “Verfassungslehre”, Herman Heller membagi

konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:16

1. Konstitusi dalam pengertian social politik

Dalam pengertian ini konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial politik. Ide-ide konstitusional dikembangkan karena memang mencermikan keadaan sosial politik

15

Bagir manan, 1995. Pertumbuhan dan perkembangan Konstitusi suatu Negara. CV. Mandar maju, Bandung, hlm 2

16 Jimly Asshidiqie, 2006, pengantar Hukum Tata Negara jilid I. Sekretariat Jenderal dan

(29)

14 dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu, konstitusi dalam tahap ini dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam bentuk tertentu, melainkan tercermin dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga masyarakat;

2. Konstitusi dalam pengertian hukum.

Dalam pengertian ini konstitusi sudah diberi hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan . Konstitusi dalam social politik yang dilihat sebagai kenyataan tersebut diatas dianggap harus berklaku dalam kenyataan . Oleh karena itu setiap, setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai sanksi yang pasti;

3. Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis.

Dalam tingkatan ke tiga ini merupakan tahapan yang terahir dan merupakan tingkatan yang paling tinggi dalam perkembangan pengertian rechtsvervassung yang muncul sebagai pengaruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar berbagai norma hukum dapat dituliskan dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuanya adalah untuk mencapai kesatuan hukum atau unifkasi hukum (rechtseneheid), kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudinging), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).

Menurut Herman Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit maknanya hanya sebagai undang undang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis sebagaimana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran kodifikasi. Di samping undang-undang dasar yang tertulis ada pula konstitusi yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Disamping itu undang-undang dasar yang tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.

K. C. Whare “Modern Constitution” mengklaisifikasikan konstitusi sebagai berikut:17

1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (Written Constitution And Unwritten Constitution);

2. Konstitusi Flexible Dan Konstitusi Rigid (Flexible & Rigid Constitution); Konstitusi flexiblelitas merupakan konstitusi yang memiliki cirri-ciri pokok:

17

(30)

15 a. Sifat elastis , artinya dapat disesuaikan dengan mudah;

b. Dinyatakan dan di lakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang.

3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak tinggi (Supreme And Not Supreme Constitution);

Konstitusi derajat tinggi mempunyai arti kedudukan tertinggi dalam negara ( tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak berderajat tinggi adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama; 4. Konstitusi negara serikat dan negara kesatuan (Federal And Unitary

Constitution.

Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi Negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan. Karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di pemerintah pusat;

5. Konstitusi pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer (President Executive and Parliamentary Executive constitution);

Dalam system pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain: a. Presiden memiliki kekusaan nominal sebagi kepala negara, tetapi juga

memiliki kedudukan sebagai kepala pemerintahan;

b. Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih;

c. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum.

Carl Schmitt, membagi konstitusi dalam 4 (empat) pengertian sebagai berikut:18

1. Konstitusi dalam arti absolute (Absoluter Verfassungs Begriff), yang di perinci menjadi empat bagian sebagai berikut:

a. Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata, mencakup semua bangunan hukum dari semua organisasi yang ada dalam negara.

b. Konstitsi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan bentuk negara adalah negara dalam arti keseluruhanya (Ganzh Heit). Bentuk negara itu busa demokrasi atau monarki (sebenarnya yang dimaksud adalah bentuk/system pemerintahan). Sendi demokrasi adalah identitas, sedangkan sendi monarki adalah representasi. Demokrasi baik langsung maupun memerintah dirinya sendiri dengan sendirinya sehingga antara yang memerintah dan yang diperintah identik dengan rakyat. Sedangkan representasi karena baik raja maupun kepala negara dalam negara yang demokratis merupakan wakil atau mandataris dari rakyat dan pada dasarnya kekuasaan itu ada pada rakyat;

c. Konstitusi sebagai faktor integrasi. faktor ini bisa abstrak dan fungsional. Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan negara dengan lagu

18

(31)

16 kebangsaanya, bahasa persatuanya, bendera sebagai lambang persatuanya, dan lain-lain. Dikatakan fungsional karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilu, referendum, pembentukan kabinet, suatu diskusi atau debat dalam politik pada negar-negar liberal, mosi yang diajukan oleh dewan perwakilan rakyat baik yang sifatnya menuduh atau tidak percaya, dan sebagainya;

d. Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi di dalam negara, jadi konstitusi itu merupakan norma dasar sebagai sumber bagi norma-norma lain yang berlaku di dalam negara.

2. Konstitusi dalam arti Relative (Relative Vervassungs Begriff)

Konstitusi dalam arti relative dimaksudkan sebagai konstitusi yang di hubungkan denagn kepentingan suatu golongan tertentu di dalam masyarakat. Golongan utama adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki adanya jaminan dari pengusa agar hak-haknya tidak dilanggar. Jaminan di letakan dalam UUD yang tertulis sehingga tidak mudah dilupakan. Jadi dalam hal ini konstitusi dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu:

a. Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hak-haknya di jamin tidak dilanggar oleh penguasa;

b. Konstitusi sebagi konstitusi dalam arti formal atau dalam arti tertulis. 3. Konstitusi dalam arti positif (der positive vervassungs begriff).

Pengertian konstitusi dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, sebagai contoh yaitu ajaran tentang keputusan. Konstitusi dalam arti positif itu mengandung pengertian sebagai keputusan politik yang tertinggi berhubungan dengan pembuatan Undang-Undang Dasar Weimar Tahun 1919 yang menentukan nasib seluruh jerman. Karena undang-undang dasar itu telah merubah struktur pemerintah yang lama dari system monarki, dimana kekuasaan raja masih kuat menjadi suatu pemerintah dengan system parlementer.

(32)

17 UUD 1945 disahkan setelah proklamasi kemerdekaan merupakan tindak lanjut dari proklamasi kemerdekaan.

4. Konstitusi dalam arti Ideal (Ideal Vervassungs Begriff)

Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari kaum borjuis sebagai jaminan agar hak-hak asasinya dilindungi.

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai “Constituent power” yang merupakan kewenangan yang berada di

luar dan sakaligus diatas sistem yang di aturnya. Oleh karena itulah di negara demokrasi rakyat yang dianggapmenentukan berlakunya suatu konstitusi.19

Konstitusi Negara Indonesia dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti undang-undang yang menjadi dasar semua undang dan peraturan lain di suatu negara yang mengatur, bentuk, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan pemerintahan.20 Dalam bahasa Belanda istilah perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan berasal dari istilah “Wetteijke Regels” atau “Wettelijke Regeling”. Istilah Wet (Undang-undang) dalam literatur hukum Belanda (di ambil dari pendapat Buys) mempunyai dua macam

19 Jimly Asshidiqie, Pengantar ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Op. Cit. hlm.117 20

(33)

18 pengertian yaitu keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang yang di dasarkan kepada bentuk dan cara terbentuknya dan Wet In Materiele Zin (undang-undang dalam arti materiil), yaitu keputusan pemerintah/penguasa yang dilihat berdasarkan kepada isi atau substansinya mengikat langsung terus penduduk atau suatu daerah tertentu.21 Dalam ilmu hukum terdapat istilah undang-undang dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materiil. Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan presiden.22 Undang-undang dalam arti formil adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden) dan legislative (DPR) yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum. Sedangkan yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku dan mengikat sesara umum .

Indonesia adalah negara hukum23 yang mana segala sesuatunya adalah berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan. Negara hukum merupakan esensi yang menitik beratkan pada tunduknya pemegang kekuasaan negara pada aturan hukum.24 Hal ini berarti alat-alat negara mempergunakan kekuasaannya hanya sejauh berdasarkan hukum yang berlaku dan dengan cara yang ditentukan dalam hukum itu. Melihat kembali pada sejarah, gagasan negara hukum ini berawal di Negara Inggris dan merupakan latar

21

Armen Yasir, hukum perundang-undangan, (Bandar Lmpung: Justice Publisher,2014) hlm. 33

22

Rumusan pasal 1 ayat (3) UU no 10 tahun 2004.

23

Pasal 1 ayat 3 undang-undang dasar 1945

24 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, ( Bandung: Mandar Maju,

(34)

19 belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill Of Right 1689, hal ini menunjukan kemenangan parlemen atas raja, serta rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights.25

Konsep negara hukum ini merupakan perlawanan terhadap pemerintah negara yang melakukan penindasan terhadap rakyat karena tidak ada batasan bagi diktator untuk melakukan kekuasaan.

Konsep ini sejalan dengan pengertian negara hukum menurut Bothling adalah26 :

de staat, waarin de wilsvriheid van gezagsdragers is beperket door grezen

van recht.” (negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasan

dibatasi oleh ketentuan hukum).

Pembatasan kekuasaan sebagaimana konsep negara hukum juga ada pada UUD 1945 sebelum amandemen yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar

Sehingga segala produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah harus berdasar dan bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945.

25

Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 87

26 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika,

(35)

20 2.2. Perubahan Hierarki Tata Urutan Perundang-Undangan.

2.2.1. Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966

Peraturan peraturan perundang-undangan dimulai dan dilatar belakangi oleh ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Idonesia, sebagai berikut :27

1. Undang-Undang Dasar 1945;

Ketetapan MPRS ini merupakan hasil dari pada sidang MPR tahun 1973 dan MPR tahun 1978 dengan ketetapan MPR No V/MPR/1973 dan ketetapan MPR No IX/MPR/1978 akan disempurnakan, namun sampai runtuhnya pemerintahan orde baru ketetapan MPR tersebut tidak mengalami perubuhan.28

2.2.2. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000

Pasca reformasi, hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dirubah melalui ketetapan MPR No III/MPR/2000, dalam peraturan ini terdapat pergeseran kedudukan yakni kedudukan undang-undang adalah lebih tinggi

27

Ketetapan mprs no XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai tertib hukum republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan republik idonesia jo ketetapan MPR nomor V/MPR/1973 tentang peninjauan produk-produk yang berupa ketetapan majelis.

(36)

21 daripada Perppu (Perppu), dan terjadi perubahan yakni di hapusnya “Peraturan Pelaksana lainya” di gantikan dengan Peraturan Daerah (Perda).

Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan jenis peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No III/2000 adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang dasar 1945; 2. Ketetapan MPR;

3. Undang-Undang; 4. Perppu (Perppu); 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah.

Selain tata urutan peraturan perundang-undangan di atas, masih terdapat peraturan perundangan lain sebagimana ditentukan pasal 4 ayat (2) Tap MPR No. III/MPR/2000, yaitu peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan Lembaga, Atau komisi yang setingkat yang di bentuk oleh pemerintah.

2.2.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

(37)

22 MPR sementara dan ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, dalam pasal 4 ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa ketetapan MPR No III/MPR/2000 masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Ketentuan pasal ini disesuaikan dengan ketentuan pasal 22A UUD 1945 yang mengamanatkan tentang tata cara pemebentukan undang-undang diatur dengan undang-undang-undang-undang.29 Selanjutnya pembentukan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia diperbarui lagi dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang- Perundang-Undangan.30 dalam undang-undang tersebut memuat tiga bagian besar yaitu tata urutan perundang-undangan dan materi muatan perundangan, pembentukan peraturan perundang-undangan dan teknis perundang-undangn. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan dalam pasal 7, sebagai berikut:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; 2. Undang-undang/ Perppu;

3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah.

Peraturan daerah termaksud dalam poin 5 diperjelas dalam ayat 2 :

1. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur

2. Peraturan derah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama dengan Bupati/Walikota.

3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainya bersama dengan kepala desa atau nama lainya.

29I id Ar e yasir …hl .

30 Lembaran Negara republik Indonesia (LNRI) tahun 2004 No 53, Tambahan Lembaran negara

(38)

23 2.2.4. Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

Pembaruan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia terjadi lagi pada 12 Agustus 2011 lahirlah undang-undang baru yang menggantikan undang Nomor 10 Tahun 2004 yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang- Perundang-Undangan.31

Dalam hierarki ini kedudukan Perppu dikembalikan lagi seperti yang tercantum dalam Tap MPR No XX/MPR/1966 yakni sederajat dengan Undang-Undang, serta sedikit perubahan yakni adanya pemisahan Peraturan Daerah (Perda) menjadi Perturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten.

Jimly Asyidiqie Berdasarkan teori tentang norma sumber legitimasi, yaitu apa bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau yang memberikan kewenanangan kepada sumber atau pemberi kewenanangan terhadap lembaga negara yang bersangkutan, mengkalisfikanya lembaga ditingkat dalam empat tingkatan, yaitu:32

1. Lembaga negara tingkat konstitusional misalnya presiden, wakil presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga ini kewenanganya diatur dalam UUD dan diatur lebih rinci dalam Undang-undang.

2. Lembaga tingkat ke dua adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang berarti sumber kewenangannya bersumber dari

31 LNRI tahun 2001 nomor 82, TNLRI nomor 5234 32I id Ar e Yasir … hl

(39)

24 pembentuk undang-undang, lembaga tingkat ini misalkan: Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Komisi Pemelihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dll.

3. Lembaga tingkat ketiga adalah lembaga yang sumber kewenanganya bersumber dari presiden sebagai kepala pemerintahan, sedangkan yang lebih rendah adalah tingkatan lembaga yang di bentuk berdasarkan peraturan menteri, atas inisiatif menteri sebagai pejabat public berdasarkan kebutuhan yang berkaitan dengan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan di bidang tanggung jawabnya dapat saja dibetuk badan, dewan lembaga atau panitia yang sifatnya tidak permanen dan bersifat spesifik.

4. Tingkat daerah, lembaga-lembaga semacam ini tidak disebut lembaga negara. Lembaga ini disebut sebagai lembaga daerah.

Adapun susunan peraturan perundang-undangan berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah:

1. Udang-undang dasar Negara repubik Indonesia tahun 1945; 2. Ketetapan majelis permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-undang/Perppu; 4. Peraturan Daerah; 5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provisi Dan; 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(40)

25 bawah Undang-Undang Dasar 1945. Maksud dari penempatan Tap MPR ini adalah untuk mengakomodir Tap MPR yang masih berlaku.

Penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa ketetapan MPR adalah ketetapan MPRS dan ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (2) dan pasal (4) ketetapan MPR No 1/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPR dan Ketetapan MPRS tahu 1960 sampai dengan 2002.

Prinsip yang dianut oleh Undang-undang No 12 Tahun 2011 adalah hierarki, yaitu penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2.3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

Dalam pasal 22 ayat satu (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa :

“Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu.”

Ketentuan pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dalam penjelasan pasal tersebut dirumuskan sebagai berikut:33

“Pasal ini mengenai “Noodverordeningsrecht” presiden. Aturan sebagai ini memang perlu di adakan agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, Perppu harus disahkan pula oleh DPR”.

33 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan jenis, fungsi dan materi muatan.

(41)

26 Penjelasan Pasal 22 UUD 1945tersebut jelaslah bahwa Perppu adalah suatu peraturan yang mempunyai kedudukan setingkat dengan Undang-undang tetapi di bentuk oleh presiden tanpa persetujuan DPR, disebabkan terjadinya “hal Ihwal kegentingan yang memaksa”.

Permasalahan tentang penempatan Perppu di bawah undang-undang adalah sebagai berikut:

a. Penempatan Perppu (Perppu) di bawah Undang-undang adalah tidak tepat, bahkan tidak sesuai dengan pasal 5 ayat (2) UUD 1945, serta pasal 3 ayat (5) ketetapan MPR No III/MPR/2000 tersebut. Apabila dilihat dari tata susunan (hierarki) peraturan perundang-undangan, hal ini akan mempunyai suatu konsekuensi, karena peraturan yang berada dibawah harus bersumber dan berdasar pada peraturanyang lebih tinggi atau dengan kata lain. Peraturan yang lebih rendah merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi.

(42)

27 c. Suatu Perppu mempunyai kedudukan yang setingkat dengan undang-undang walaupun peraturan tersebut tidak mendapatkan persetujuan DPR. Didalam kenyataan ada dasarnya, suatu Perppu dapat berisi ketentuan-ketentuan yang menunda, mengubah, bahkan mengesampingkan suatu undang-undang. Kita dapat mengingat adanya Perppu No 1 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, Perpu No 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan, atau Perpu No 2 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Penempatan Perppu di bawah undang-undang mempunyai akibat yang sangat besar, oleh karena dengan demikian pembentukan Perppu harus sesuai dengan undang-undang, suatu perpu harus bersumber dan berdasar pada undang-undang, atau dengan kata lain perppu merupakan peraturan pelaksana bagi undang-undang.34

d. Oleh karena pada saat ditetapkanya ketetapan MPR No III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan (bahkan sampai perubahan keempat UUD 1945) ketentuan dalam pasal 22 UUD 1945 tersebut tidak pernah dirubah, maka menetapkan hierarki Perppu (Perppu) di bawah undang-undang adalah bertentangan dengan UUD 1945.

2.3.1. Perppu Dan Kedudukannya

Perppu mempunyai hierarki setingkat dengan undang-undang, akan tetapi, menurut Maria Faridha, Perppu ini dikatakan tidak sama dengan

34

(43)

28 undang karena belum disetujui oleh DPR.35 Namun selama ini undang-undang selalu dibentuk oleh presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh DPR dan presiden, serta disahkan oleh presiden, sedangkan perppu dibentuk oleh presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa.”36

Undang-undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Undang-undang dibentuk oleh presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR, sedangkan perppu dibentuk oleh presiden dalam keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat kedudukan perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah undang-undang. Maria juga menjelaskan bahwa perppu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan undang-undang. Sedangkan, Apabila perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut, oleh karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama dengan undang-undang sehingga fungsi maupun materi muatan perppu adalah sama dengan fungsi maupun materi muatan undang-undang,37 sehingga saat suatu perppu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan undang-undang, saat itulah Perppu dipandang

35

Maria Farida Indrati Soeprapto.. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan

Pembentukannya(Yogyakarta:kanisius:1998) hlm.96

36

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik

Pembentukannya. (Yogyakarta:Kanisius,2007) hlm 80.

37

(44)

29 memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan undang-undang. Hal ini disebabkan karena perppu itu telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang sama meskipun perppu belum disetujui oleh DPR.

3.2.3. Syarat-Syarat Dikeluarkannya Perppu

Presiden di dalam proses pengusulan perpu tidak halnya sesuai kehendaknya, namun harus sesuai dengan prosedur yang sesuai dengan undang-undang, karena perppu pada hakikatnya hanya dibentuk oleh DPR yang seyogyanya memperhatikan prasyarat yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perppu yang dikeluarkan ini nantinya akan sah secara konstistusional. Perppu (Perppu) disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945):

“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu.”

Penetapan perppu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi:38

“Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”

Presiden dalam mengeluarkan perppu harus dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa adalah berdasarkan penilaian subjektifitas presiden. Yang artinya subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya perppu, akan dinilai DPR apakah kegentingan

38

(45)

30 yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak).

Kedudukan perppu sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie:39

“Pasal 22 memberikan kewenangan kepada presiden untuk secara subjektif

menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk menetapkan Perppu.

Rumuskan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang tentang subjektifitas presiden dalam mengeluarkan perppu tertuang dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu:

a. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;

b. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat

undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

39 Ibnu Sina C, Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga

(46)
(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Tipe Penelitian

Analisa penelitian ini, penulis memilih jenis penelitian normatif,39 yaitu meneliti berbagai peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar ketentuan hukum untuk menganalisis tentang kedudukan Perppu dalam sistem perundang-undangan Indonesia, serta penelitian yuridis yakni penelitian yang mengkaji dari undang-undang, teori hukum dan pendapat para sarjana.

Tipe penelitian yang dipakai adalah tipe penelitian preskriptif analisis, yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.40

3.2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan historis (historical

approach).

1) Pendekatan undang-undang (statute approach)41

39

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 43.

40

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 22.

41

(48)

33 Dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan perppu serta Kedudukannya.

2) Pendekatan kasus (case approach)42

Dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang terjadi akibat diterapkannya suatu perppu dan kedudukanya.

3) Pendekatan historis (historical approach)43

Dilakukan dengan menelaah latar belakang adanya pengaturan terkait kedudukan perppu dalam sistem perundang-undangan Indonesia.

3.3. Data Dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber yang telah ada atau data normatif,44 yang terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena dibuat dan diumumkan secara resmi oleh pembentuk hukum negara,45 yang berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan-bahan yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.46 Berupa pandangan para ahli (pakar), akademisi, ataupun para praktisi melalui penelusuran dokumen-dokumen, buku-buku,

(49)

34 jurnal hukum, suntingan dalam internet, dan literatur lainnya yang relevan berkaitan dengan permasalahan, juga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

3) Bahan hukum tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain Kamus Hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.47

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip, mencatat, dan memahami berbagai literatur yang terkait dengan objek penelitian baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan dengan permasalahan. Studi pustaka ini dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi pustaka sumber data, identifikasi bahan hukum yang diperlukan , dan inventarisasi bahan hukum (data) yang diperlukan

3.5. Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara:

1. Identifikasi, identifikasi data yaitu mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan Kedudukan Undang-unang dan Perppu.

2. Pemeriksaan data (editing), yaitu data yang diperoleh, diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan

47

(50)

35 kesalahan serta apakah data tersebut telah sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

3. Seleksi data, yaitu memeriksa secara keseluruhan data untuk menghindari kekurangan dan kesalahan data yang berhubungan dengan permasalahan 4. Klarifikasi data, pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut

bahasannya masing-masing dan telah dianalisis agar sesuai dengan permasalahannya.

5. Penyusunan data, yaitu menyusun data yang telah diperiksa secara sistematis sesuai dengan urutannya sehingga pembahasan lebih mudah dipahami

3.6. Analisis Data

(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

(52)

91 keadan yang di nilai genting, sehingga dapat disimpulkan bahwa perppu yang dikeluarkan pada tahun 2004-2014 adalah tidak mengisi kekosongan hukum.

5.2. Saran

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie Jimly, 2006, pengantar Hukum Tata Negara jilid I. Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI. Jakarta.

Asshidiqie Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi. Jakarta. Farida Indrati Suprapto, Maria, 2007, Ilmu perundang-undangan : jenis, fungsi,

dan materi muatan, Kanisius, Yogyakarta.

Farida Indrati Suprapto, Maria, 2007, Ilmu Perundang-Undangan Proses, dan teknik Pembentukanya. Kanisius, Yogyakarta.

Farida Indrati Suprapto, Maria, 1998, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, kanisius , Yogyakarta.

Handoyo ,B. Hestu Cipto, 2009, Hukum Tata Negar Indonesia, Universitas Atma jaya, Yogyakarta

Hardani Muhammad, 2003, Konstitusi-Konstitusi modern. Pustaka Eureka. Surabaya.

Johan Nasution, Bahder, 2013, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung.

Manan Bagir, 1995. Pertumbuhan dan perkembangan Konstitusi suatu Negara. CV. Mandar maju, Bandung.

Qamar Nurul, 2013, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta.

Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

dari perilaku etis staff, peneliti uraikan dalam tesis ini. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang. membutuhkannya. Saran dan masukan dari pembaca

d- 2ukum komunikasi e)ekti) yan& keempat* adalah Clarity Selain (ah7a pesan harus dapat dimen&erti den&an (aik* maka hukum keempat yan& terkait

Poedjosoedarmo (dalam Suwito, 1996:28) menyatakan variasi bahasa sebagai bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing- masing memiliki pola-pola yang

Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa dalam pengelolaan konservasi lahan di Hulu DAS Citarum, perhatian utama harus diarahkan pada aspek ekonomi dengan atribut

Dalam uapaya meningkatkan kualitas, aktifitas dan peran serta organisasi Pemuda Panca Marga (PPM) Tasikmalaya terhadap pembangunan Bangsa dan Negara disegala bidang

Lokasi penelitian di lakukan di wilayah hukum Sektor Kecamatan Panca Lautang di bawah Polres Sidrap dengan menggunakan pendekatan Sosiologis Hukum. Penelitian

Oleh karena itu penulis akan membantu membuat sebuah “Aplikasi Pengolahan Data Pemesanan, Persediaan dan Pembayaran Keripik Menggunakan PHP ( PHP Hypertext

Pengiriman merupakan sebuah proses bisnis yang melibatkan pergerakan fisik dari produk sayuran dataran tinggi yang berada dalam satu jalar rantai pasok. Manajemen pengiriman