• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. REVITALISASI

Menurut Rais (2007), revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran. Dalam proses revitalisasi suatu kawasan aspek yang dicakup di antaranya adalah perbaikan di aspek fisik, ekonomi, dan sosial. Danisworo (2002) menyebutkan bahwa pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan pula potensi yang ada di lingkungan sekitar seperti sejarah, makna, serta keunikan dan citra lokasi. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Laretna (2002) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan revitalisasi diperlukan adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas. Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, Rais (2007) membagi revitalisasi menjadi beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

(2)

1. Intervensi fisik. Proses ini mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm).

2. Rehabilitasi ekonomi. Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Menurut Hall & Pfeifer (2001), perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota. Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).

3. Revitalisasi sosial/ institusional

Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik, jadi bukan sekedar membuat tempat yang indah. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/ warga (public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.

(3)

B. SUNGAI

Menurut Maryono (2005), sungai adalah wadah dan jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya sepanjang pengalirannya oleh sempadan. Suharti (2004) mendefinisikan bantaran sungai sebagai lahan pada kedua sisi di sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam. Soeryono (1979) mendefinisikan alur sempadan sungai sebagai alur pinggir kanan dan kiri sungai yang terdiri dari bantaran banjir, bantaran longsor, bantaran ekologi, serta bantaran keamanan.

Menurut Maryono (2003), sempadan sungai sering juga disebut bantaran sungai. Namun ada sedikit perbedaan, karena bantaran sungai adalah daerah pinggiran sungai yang tergenang air saat banjir (flood plain). Bantaran sungai dapat juga disebut bantaran banjir. Sedangkan sempadan sungai adalah daerah bantaran sungai ditambah lebar longsoran tebing sungai (sliding) yang mungkin terjadi, lebar bantaran ekologis dan lebar bantaran keamanan yang diperlukan, terkait dengan letak sungai (misal untuk kawasan pemukiman dan non-pemukiman).

Sempadan sungai, terutama di daerah bantaran banjir, merupakan daerah ekologi dan sekaligus hidrologis sungai yang sangat penting. Sempadan sungai tidak dapat dipisahkan dengan badan sungainya yaitu alur sungai, karena secara ekologis dan hidrologis merupakan satu kesatuan ekologi yaitu satu ekosistem sungai. Secara hidrologis sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir yang berfungsi dalam memberikan luapan banjir ke samping

(4)

kanan dan kiri sungai. Dengan demikian, kecepatan air bisa dikurangi karena energi air dapat diredam di sepanjang sungai. Selain itu erosi tebing dan erosi dasar sungai pun dapat dikurangi secara simultan. Sempadan sungai merupakan daerah tata air sungai yang memiliki mekanisme proses konservasi hidrolis sungai dan air tanah pada umumnya. Sedangkan bila dilihat secara ekologis, sempadan sungai merupakan habitat di mana komponen ekosistem sungai berkembang. Komponen vegetasi sungai secara alami akan mendapatkan hara dari sedimentasi periodis dari hulu ke tebing,yang selanjutnya komponen tersebut akan berfungsi sebagai pemasok nutrisi untuk komponen fauna sungai dan sebaliknya. Proses ini merupakan pendukung keberlangsungan ekosistem sungai yang memiliki sifat terbuka dari hulu ke hilir.

Memelihara ekosistem sempadan yang baik sudah dipastikan dapat menjaga konservasi air dan tanah di sepanjang sungai. Komponen vegetasi sungai secara hidrologis dapat berfungsi sebagai retensi alamiah sungai yang bisa menghambat laju air sungai ke hilir secara proporsional yang dengan demikian dapat mengurangi frekuensi banjir dan erosi di sepanjang sungai. Jika sistem ekologis dan hidrologis sempadan sungai ini terganggu, seperti dengan adanya bangunan rumah di atas sempadan sungai, pelurusan dan sudetan yang mengakibatkan berubahnya areal sempadan, hingga adanya penanggulan tebing sungai, maka fungsi ekologis dan hidrologis sempadan sungai yang sangat vital itu akan menjadi rusak total.

(5)

C. KEPARIWISATAAN

Pendit (2003) mendeskripsikan pariwisata sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Kepariwisataan menurut UU No.24/1979 dalam Marpaung (2002) diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelengaraan wisata, yaitu keseluruhan kegiatan dunia usaha dan masyarakat yang ditujukan untuk menata kebutuhan perjalanan dan persinggahan wisatawan.

Kawasan Wisata menurut Pendit (2003) adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan wisata. (Nyoman S. Pendit; Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana; 2003:14). Menurut Revron O’Grandy yang dikutip dari Sastrayuda (2007), beberapa kriteria dalam pengembangan kawasan wisata adalah sebagai berikut:

1. Untuk memutuskan suatu kegiatan membangun kawasan wisata harus melalui suatu konsultasi dengan masyarakat, apa yang direncanakan pengembang harus diterima oleh mereka.

2. Tiap keuntungan yang diperoleh dari pembangunan, pengembang harus mengembalikan lagi keuntungan tersebut pada masyarakat namun bukan berupa cash money melainkan berupa bangunan yang berguna bagi masyarakat.

3. Kawasan wisata harus mengutamakan lingkungan, dan dalam pembangunannya tidak boleh meninggalkan kebudayaan setempat. Justru hal tersebut harus dijadikan brand image atau kesan untuk

(6)

menarik para wisatawan. Dan dengan pembangunan kawasan wisata tersebut jangan sampai masyarakat setempat merasa tersisihkan.

D. KAWASAN KOTA TEPI AIR (WATERFRONT CITY)

1. Pengertian Waterfront City

Carr (1992) mendefinisikan waterfront area atau kawasan tepi air sebagai area yang di batasi oleh air dari komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan ruang publik dan nilai alami (Carr, 1992). Sedangkan Wrenn (1983) dalam Priatmodjo (1993) mendefinisikan waterfront development sebagai interface between land and water, yang mengartikan bahwa kata interface disini

mengandung pengertian adanya kegiatan aktif yang memanfaatkan pertemuan antara daratan dan perairan.

Adanya kegiatan inilah yang membedakannya dengan kawasan lain yang tidak dapat disebut sebagai waterfront development, meski memiliki unsur air apabila unsur airnya dibiarkan pasif. Dengan demikian pengertian waterfront development dapat dirumuskan sebagai pengolahan kawasan tepian air yaitu

kawasan pertemuan antara daratan dan perairan dengan memberikan muatan kegiatan aktif pada pertemuan tersebut. Perairan yang dimaksud bisa berupa unsur air alami (laut, sungai, kanal, danau) atau unsur air buatan (kolam, danau buatan). Sedangkan muatan kegiatan bisa berupa aktivitas perairan seperti berperahu (dayung atau layar) atau aktivitas lain yang memanfaatkan

(7)

pemandangan sekitar daerah perairan melalui penyediaan fasilitas promenade dan esplanade.

Waterfront memiliki bermacam-macam potensi untuk membantu

perkembangan ekonomi, sebagai public enjoyment, dan identitas kota. Fungsi dari waterfront selalu berkaitan dengan karakteristik dan kebutuhan sebuah kota, tetapi mereka memiliki rentetan perkembangan yang sama. Pada awal perkembangan kota, waterfront memiliki fungsi basis untuk perdagangan, perkapalan/transportasi, pemancingan, dan pertahanan. Rekreasi sering dianggap sebagai kebutuhan tambahan dan seringkali waterfront dianggap dengan sendirinya akan menyediakan ruang terbuka dan rekreasi yang cukup untuk penduduk kota.

Waterfront merupakan sebuah aset yang di miliki oleh suatu kota yang

dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan berbagai tujuan seperti diungkapkan oleh The Urban Land Institute yang dikutip dari Masrul (2008) sebagai berikut.

“ Cities seek a waterfront that is a place of public enjoyment. They want a waterfront where there is ample visual and physical public access – all day, all year - to both the water and the land. Cities also want a waterfront that serves more than one purpose: they want it to be a place to work and to live, as well as a place to play. In other words, they want a place that contributes to the quality of life in all of its aspects - economic, social, and cultural”

Secara garis besar, teori ini menunjukkan bahwa kawasan tepi air dapat dijadikan sebagai tempat dimana masyarakat bisa melakukan aktivitas untuk bekerja dan hidup, dan juga sebagai tempat bermain dan berekreasi untuk mendapatkan kenyamanan. Dengan kata lain, tempat seperti ini dibutuhkan

(8)

masyarakat sebagai media kontribusi untuk menciptakan kualitas hidup yang baik dalam segala aspek, baik ekonomi, sosial, dan budaya. Wren (1983) dan Toree (1989) dikutip dari Priatmojo (2009), menyebutkan bahwa dalam perancangan kawasan tepian air, terdapat dua aspek penting yang mendasari keputusan-keputusan serta solusi rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut adalah faktor geografis serta konteks perkotaan.

a. Faktor Geografis

Merupakan hal-hal yang menyangkut geografis kawasan dan akan menentukan jenis serta pola penggunaannya. Ada pun yang termasuk di dalam aspek ini adalah:

1) Kondisi perairan; yaitu jenis, dimensi dan konfigurasi, pasang-surut, serta kualitas airnya. Faktor potensi penting yang diperhatikan adalah dimensi dan bentuk dari badan perairan tersebut, dinamika kegiatan, dan kualitas air. Dalam anggapan umum, semakin besar dimensi perairan, maka semakin banyak potensi yang dapat dikembangkan. Kualitas air di perairan pun menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi karakter waterfront. Misalnya, keasinan perairan akan mempengaruhi desain ketahanan waterfront terhadap sifat korosif garam. Hal lain yang harus diperhatikan adalah tingkat polusi, oksigen, dan kecepatan arus atau ombak.

2) Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta kepemilikannya.

(9)

3) Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.

b. Konteks perkotaan (Urban Context)

Merupakan faktor-faktor yang akan memberikan identitas bagi kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait.

Termasuk dalam aspek ini adalah:

1) Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan waterfront, atau sekedar merasa memiliki kawasan tersebut sebagai sarana publik. Pada umumnya, ada dua grup pemakai, yaitu grup pertama yang terdiri dari orang-orang yang tinggal di sekitar, sebagai tempat bekerja, atau sebagai tempat rekreasi, dan grup kedua terdiri dari orang-orang yang terkadang mengunjungi waterfront tersebut tetapi tidak memiliki ikatan terhadap tempat tersebut, sehingga waterfront berfungsi sebagai tempat rekreasi murni bagi mereka.

2) Khazanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan.

3) Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi didalamnya.

(10)

4) Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya. Ciri ini dapat berupa bentuk, material, vegetasi, vocal point, atau kegiatan yang khas.

2. Fenomena Waterfront

Masrul (2008) menyebutkan bahwa pada proses pengembangan kawasan tepi air pada dasarnya merupakan permasalahan yang sangat kompleks di suatu kawasan perkotaan yaitu adanya perbedaan pengembangan antara kepentingan publik dan kepentingan swasta dari orientasi pengembangan fungsi ruang publik menjadi fungsi properti. Pengembangan ruang publik merupakan pengembangan yang di orientasikan kepada kesejahteraan masyarakat luas sedangkan pengembangan fungsi properti berorientasi kepada keuntungan sebagian pihak. Oleh sebab itu usaha untuk melindungi kawasan tepi air sebagai ruang publik yang terbebas dalam proses konstruksi diperlukan adanya kerjasama dan kesatuan visi dari berbagai pihak yaitu masyarakat, pemerintah dan swasta untuk mewujudkan karakter kawasan tepi air sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh beberapa stakeholder yang ada. Dalam proses pengembangan suatu kawasan waterfront pada dasarnya dapat di bagi atas tiga jenis pengelompokan yaitu:

a. Konservasi, merupakan pengembangan yang bertujuan untuk memanfaatkan kawasan tua yang berada di tepi air dimana pada

(11)

kondisi sekarang masih terdapat potensi yang dapat di kembangkan secara maksimal.

b. Pengembangan kembali (redevelopment). Pengembangan jenis ini merupakan suatu usaha untuk menghidupkan atau membangkitkan kembali kawasan pelabuhan dengan tujuan yang berbeda sebagai suatu kawasan penting bagi kehidupan masyarakat kota dengan mengubah fasilitas yang ada pada kawasan yang di gunakan oleh kapasitas yang berbeda pula. Penambahan fungsi taman di manfaatkan untuk dapat menampung kegiatan dengan skala yang lebih besar. Proses redevelopment ini terhubung antara pusat kota dan taman.

c. Development. Jenis ini merupakan contoh perencanaan yang sengaja

dibentuk dengan menciptakan sebuah kawasan tepi air dengan melihat kebutuhan masyarakat terhadap ruang di kota dengan cara penataan kawasan tepi air.

3. Sejarah Waterfront

Menurut Masrul (2008), perkembangan kawasan tepi air pada awalnya merupakan sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat nelayan. Hal ini berkembang melalui aktivitas yang di timbulkan sehari-hari oleh nelayan yaitu pada pagi hari nelayan melaksanakan rutinitas sebagai nelayan dan pada siang hari nelayan tetap berada di kawasan tepi air dengan aktivitas yang berbeda seperti menikmati pantai, memberikan

(12)

sewaan kapal dan berenang. Dengan adanya fenomena tersebut memicu timbulnya aktivitas perdagangan yang pada awalnya di tujukan untuk para nelayan dan hal ini berlangsung hingga malam hari. Dengan adanya kemudahan akses dan tema menarik seperti festival market places, Christmas water parade yang di kembangkan pada pembangunan

waterfront memberikan kekaguman bagi pengunjung sehingga kawasan

tepi air menjadi tempat yang unik dan diminati oleh banyak orang. Jika dilihat dari beberapa perkembangan waterfront yang ada di Eropa seperti Venice, The Ponte Vecchio, The Seine di Paris, Amsterdam dan Istanbul di Turki, dapat dilihat bahwa adanya kecendrungan pengembangan kawasan waterfront dengan mengeksploitasi potensi yang dimiliki oleh kawasan tersebut untuk menarik minat pengunjung seperti pengadaan festival market, aktivitas perdagangan (restoran, cafe, retail, hunian), area pertunjukan/ teater, parade kapal-kapal bersejarah, rekreasi, pengadaan pedestrian sepanjang kawasan tepi air untuk menikmati keindahan laut, dan lain-lain. Hal ini menarik perhatian pakar arkeologi Yugoslavia, Dubrovnik, yang memandang perkembangan waterfront sebagai sense of place yang sempurna di kawasan tepi air.

4. Prinsip Pengembangan Kawasan Tepi Air

Pengembangan kawasan tepi air merupakan suatu potensi yang sangat tinggi bagi suatu kawasan untuk mengembangkan fungsit komersial seperti restoran dan kawasan perbelanjaan. Masrul (Toree, 1989) mengemukakan bahwa terdapat empat prinsip utama dalam

(13)

pengembangan kawasan Adapun prinsip yang di kembangkan dalam pengembangan kawasan tepi air, yaitu konsep, aktivitas, tema, dan fungsi yang dikembangkan. Berikut adalah gambaran prinsip yang digunakan dalam pengembangan kawasan kota tepi air.

a. Adanya kerjasama berbagai pihak dalam pengembangan kawasan tepi air sebagai suatu daya tarik bagi pengunjung.

b. Pengembangan konsep tepi air melalui potensi yang ada pada kawasan sebagai suatu daya tarik bagi pengunjung untuk datang ke kawasan tersebut.

c. Pengembangan aktivitas di kawasan tepi air dan menikmati aktivitas di sekitar pelabuhan sebagai sebuah potensi untuk memberikan pengalaman yang berharga bagi pengunjung seperti makan malam, berbelanja dan lain-lain.

d. Pengembangan tema pada pintu masuk dari sungai, danau menjadi pengembangan aktivitas utama di kawasan tepi air.

e. Pengembangan kawasan tepi air sebagai orientasi rekreasi dapat berupa aktivitas berenang, olah raga dayung, ski air dan fasilitas pendukung lainnya seperti tempat beristirahat, taman, hunian dan perdagangan.

5. Elemen Penentu Keberhasilan Pembangunan Waterfront.

Masrul (Toree, 1989) mengemukakan bahwa untuk menentukan keberhasilan dalam pengembangan kawasan tepi air, diperlukan penonjolan karakteristik dan keunikan yang dimiliki oleh daerah yang

(14)

dikembangkan. Karakteristik ini dibagi menjadi dua, yaitu karakteristik fisik dan non-fisik. Karakteristik fisik mencakup keadaan alam dan lingkungan, citra, akses, bangunan dan penataan lansekap sedangkan karakteristik non fisik meliputi tema pengembangan, pemanfaatan air, aktivitas penduduk, keadaan sosial budaya dan ekonomi. Berikut adalah elemen penentu keberhasilan dalam pengembangan kawasan tepi air (waterfront city).

a. Tema.

Penggunaaan tema yang sesuai dalam pembangunan waterfront dapat membantu dalam proses analisis ruang , tata guna lahan, skala pembangunan dan makna pembangunan. Dalam tahap awal perancangan kawasan waterfront akan merujuk kepada tema yang di tentukan.

b. Citra

Sesuatu yang membekas dalam ingatan karena telah melihat, merasai, mendengarkan dsb Kesan pada kawasan waterfront dapat dilihat melalui penataan kawasan bangunan, bentuk bangunan dan material yang digunakan. Melalui kesan yang diwujudkan pada kawasan waterfront akan dapat membangun perubahan persepsi pengunjung sebelum dan sesudah datang di kawasan waterfront. Selain itu kesan pada kawasan waterfront juga dapat diwujudkan melalui aktivitas yang di kembangkan.

(15)

Kesuksesan dalam pembangunan waterfront di wujudkan melalui aktivitas yang unik dengan memanfaatkan potensi kawasan yang ada sehingga pengunjung memiliki pengalaman yang berbeda di kawasan tersebut misalnya kegiatan memancing, rekreasi air, menikmati potensi alam, dan lain-lain.

d. Fungsi

Dengan penataan program kegiatan (events) dan pengembangan fungsi yang beraneka ragam pada kawasan waterfront seperti aktivitas perdagangan, plaza sebagai tempat berbagai aktivitas seperti makan, minum bersantai akan membantu dalam keberhasilan suatu pembangunan kawasan waterfront.

e. Persepsi masyarakat

Persepsi masyarakat akan ditimbulkan akibat dari tingkat keberhasilan dari elemen-elemen pembangunan waterfront yang di digunakan seperti tema, kesan, keaslian suasana dan fungsi-fungsi komersial yang di kembangkan.

6. Kebijakan Yang Berkaitan Dengan Penataan Kawasan Tepi Air a. Garis Sempadan Pantai dan Sungai

Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa aturan yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengembangan kawasan tepi sungai.

(16)

Tabel 2.1 Beberapa Kebijakan Pengembangan di Sempadan Sungai

Sumber Sempadan Kriteria

1 2 3 Keputusan Presiden RI No.32/ 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Sungai di luar pemukiman 1. Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar

2. Sekurang-kurangnya 50 meter di kiri kanan anak sungai.

Sungai di kawasan permukiman

Sempadan sungai diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter.

Garis sempadan sungai tidak bertanggul

Ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomi oleh pejabat wewenang.

Ketentuan lain Garis sempadan sungai yang bertanggul dan tidak bertanggul yang berada di wilayah perkotaan sepanjang jalan ditetapkan tersendiri oleh pejabat yang berwenang.

Peraturan Daerah Kota Bandung No. 6/2002 Tentang Penyelenggaraan Pengairan di Kota Bandung Pasal 5 Garis Sempadan Sungai

1. Garis sempadan sungai bangunan dan/ atau pagar, diukur dari sisi atas tepi sungai yang tidak bertanggul atau dari kaki sebelah luar sungai bangunan sungai dengan jarak:

a. 5 M (lima meter) untuk bangunan,

b. 3 M (tiga meter) untuk pagar. 2. Di kawasan pembangunan padat, jarak yang disebutkan di atas bisa diperkecil menjadi empat meter untuk bangunan dan dua meter untuk pagar.

3. Garis sempadan sungai bangunan dan/ atau pagar, diukur dari sisi atas tepi sungai yang tidak bertanggul atau dari kaki sebelah luar sungai bangunan sungai dengan jarak:

c. 5 M (lima meter) untuk bangunan,

d. 3 M (tiga meter) untuk pagar. 4. Di kawasan pembangunan padat, jarak yang disebutkan di atas bisa diperkecil menjadi empat meter untuk bangunan dan dua meter untuk pagar.

(17)

Tabel 2.1 (Lanjutan)

1 2 3

Pasal 6 1. Garis sempadan sungai untuk bangunan diukur dari sisi atas tepi saluran yang tidak bertanggul atau dari kaki tanggul sebelah luar sungai/ saluran dengan jarak:

a. 5 m untuk saluran dengan kapasitas 4m3/detik atau lebih, b. 3 m untuk saluran dengan

kapasitas 1 sampai 4 m3/detik, c. 2 m (dua meter) untuk saluran dengan kapasitas kurang dari 1 m3/detik.

2. Garis sempadan sungai untuk pagar diukur dari sisi atas tepi saluran yang tidak bertanggul atau kaki dari tanggul sebelah luar sungai/ saluran dengan jarak:

a. 3 m untuk saluran dengan kapasitas 4 m3/detik atau lebih; b. 2 m untuk saluran dengan

kapasitas 1 sampai 4 m3/detik; c. 1 m untuk saluran dengan

kapasitas kurang dari 1m3/detik. 3. Di kawasan pembangunan padat,

jarak yang disebutkan sebelumnya bisa diperkecil menjadi empat meter dan dua meter.

Pasal 10

Pemanfaatan Daerah Sempadan

Sungai/Saluran

Pemanfaatan lahan di daerah sempadan sungai/ saluran dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut:

Pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan serta rambu-rambu pekerjaan;

Pemasangan rentang kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum;

Pemasangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum maupun kereta api;

Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosiak dan kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi sungai;

Pembangunan prasarana lalu lintas dan bangunan pengambilan dan pembuangan air.

Pasal 11 Dilarang membuang sampah, limbah padat atau cair; Mendirikan bangunan untuk hunian dan tempat usaha.

(18)

b. Akses menurut Ditjen Cipta Karya, dalam Masrul (2008)

1) Akses berupa jalur kendaraan berada di antara batas terluar dari sempadan tepi air dengan areal terbangun.

2) Jarak antara akses masuk menuju ruang publik atau tepi air dari jalan raya sekunder atau tersier minimum 300 m.

3) Jaringan jalan terbebas dari parkir kendaraan roda empat.

4) Lebar minimum jalur pejalan kaki di sepanjang tepi air adalah 3 meter.

c. Peruntukkan menurut Ditjen Cipta Karya, dalam Masrul (2008) 1) Peruntukkan bangunan diprioritaskan atas jenjang pertimbangan

penggunaan lahan yang bergantung dengan air (water-dependent uses), penggunaan lahan yang bergantung dengan adanya air (water-related uses), penggunaan lahan yang sama sekali tak berhubungan dengan air (independent and unrelated to water uses).

2) Kemiringan lahan yang dianjurkan untuk pengembangan area publik yaitu dari 0% hingga 15%. Sedangkan untuk kemiringan lahan lebih dari 15% perlu penanganan khusus.

3) Jarak antara satu areal terbangun yang dominan diperuntukan pengembangan bagi fasilitas umum dengan fasilitas umum lainnya maksimum 2 km.

d. Bangunan menurut Ditjen Cipta Karya, dalam Masrul (2008) 1) Kepadatan bangunan tepi air maksimum 25%,

(19)

2) Tinggi bangunan ditetapkan maksimum 15 meter dihitung dari permukaan tanah rata-rata pada areal terbangun.

3) Orientasi bangunan harus menghadap dengan mempertimbangkan posisi bangunan terhadap matahari dan arah tiupan angin.

4) Bangunan-bangunan yang dapat dikembangkan pada areal sepadan tepi air berupa taman atau ruang rekreasi adalah fasilitas areal bermain, tempat duduk dan atau sarana olah raga.

5) Bangunan di areal sempadan tepi air hanya berupa tempat ibadah, bangunan penjaga pantai, bangunan fasilitas umum, bangunan tanpa dinding dengan luas maksimum 50 m2/unit.

6) Tidak dilakukan pemagaran pada areal terbangun, kecuali pemagaran dengan tinggi maksimum 1 meter dan menggunakan pagar transparan.

7. Struktur Pengembangan Kawasan Kota Tepi Air

Masrul (2008) menyebutkan bahwa Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman (Departemen Pekerjaan Umum RI) telah merumuskan tujuh jenis struktur peruntukkan pengembangan kawasan kota tepi air sebagai berikut:

a. Kawasan komersial (commercial waterfront), dengan kriteria sebagai berikut:

1) Harus mampu menarik pengunjung yang akan memanfaatkan potensi kawasan sebagai tempat bekerja, belanja maupun rekreasi (wisata)

(20)

2) Kegiatan diciptakan tetap menarik dan nyaman untuk dikunjungi (dinamis)

3) Bangunan harus mencirikan keunikan budaya setempat dan merupakan sarana bersosialisasi dan berusaha (komersial)

4) Mempertahankan keberadaan golongan ekonomi lemah melalui pemberian subsidi.

5) Keindahan bentuk fisik (profil tepi air) kawasan diangkat sebagai faktor penarik bagi kegiatan ekonomi, dan sosial-budaya.

b. Kawasan Budaya, Pendidikan dan Lingkungan Hidup (cultural, education, and environmental waterfront) dengan kriteria pokok

pengembangan sebagai berikut:

1) Memanfaatkan potensi alam kawasan untuk kegiatan penelitian, budaya dan konservasi.

2) Menekankan pada kebersihan badan air dan suplai air bersih yang tidak hanya untuk kepentingan kesehatan saja tetapi juga untuk menarik investor.

3) Diarahkan untuk menyadarkan dan mendidik masyarakat tentang kekayaan alam tepi air yang perlu dilestarikan dan diteliti.

4) Keberadaan budaya masyarakat harus dilestarikan dan dipadukan dengan pengelolaan lingkungan didukung kesadaran melindungi atau mempertahankan keutuhan fisik badan air untuk dinikmati dan dijadikan sebagai wahana pendidikan.

(21)

5) Perlu ditunjang oleh program-program pemanfaatan ruang kawasan, seperti penyediaan sarana untuk upacara ritual keagaman, sarana pusat-pusat penelitian yang berhubungan dengan spesifikasi kawasan tersebut.

6) Perlu upaya pengaturan/pengendalian fungsi dan kemanfaatan air/badan air.

c. Kawasan Peninggalan Bersejarah (historical/ heritage waterfront) dengan kriteria pokok pengembangannya adalah :

1) Pelestarian peninggalan-peninggalan bersejarah (lansekap, situs, bangunan, dan sebagainya) atau merehabilitasinya untuk penggunaan berbeda ,

2) Pengendalian pengembangan baru yang kontradiktif dengan pembangunan yang sudah ada guna mempertahankan karakter (ciri) kota,

3) Program-program pemanfaatan ruang kawasan ini dapat berupa pengamanan, seperti dengan membuat pemecah gelombang untuk mencegah terjadinya abrasi di tepi pantai (melindungi bangunan bersejarah di tepi pantai), pembangunan tanggul, polder dan pompanisasi untuk menghindari terjadinya genangan pada bangunan bersejarah.

d. Kawasan Wisata/ Rekreasi (recreational waterfront) dengan kriteria pokok pengembangan kawasan sebagai berikut:

(22)

2) Pembangunan diarahkan di sepanjang badan air dengan tetap mempertahankan keberadaan ruang terbuka.

3) Perbedaan budaya dan geografi diarahkan untuk menunjang kegiatan pariwisata, terutama pariwisata perairan.

4) Kekhasan arsitektur lokal dapat dimanfaatkan secara komersial guna menarik pengunjung.

5) Pemanfaatan kondisi fisik pantai untuk kegiatan rekreasi/wisata pantai.

e. Kawasan Pemukiman (residential waterfront) dengan kriteria pokok pengembangan sebagai berikut:

1) Perlu keselarasan pembangunan untuk kepentingan pribadi dan umum.

2) Perlu memperhatikan tata air, budaya lokal serta kepentingan umum.

3) Pengembangan kawasan permukiman dapat dibedakan atas kawasan permukiman penduduk asli dan kawasan permukiman baru.

4) Pada permukiman/perumahan nelayan harus dilakukan upaya penataan dan perbaikan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan kawasan.

5) Program pemanfaatan kawasan yang dapat diterapkan untuk kawasan permukiman penduduk asli (lama) antara lain melalui revitalisasi bangunan, penyediaan utilitas, penanganan sarana air

(23)

bersih, air limbah dan persampahan, penyediaan dermaga perahu, serta pemeliharaan drainase.

6) Program pemanfaatan kawasan yang dapat diterapkan untuk kawasan permukiman baru antara lain melalui penataan bangunan dengan memberi ruang untuk public access ke badan air, pengaturan pengambilan air tanah, reklamasi, pengaturan batas sempadan dari badan air, dan program penghijauan sempadan. f. Kawasan Pelabuhan dan Transportasi (working and transportation

waterfront) dengan kriteria pokok pengembangan sebagai berikut:

1) Pemanfaatan potensi pantai untuk kegiatan transportasi, pergudangan dan industri.

2) Pengembangan kawasan diutamakan untuk menunjang program ekonomi kota dengan memanfaatkan kemudahan transportasi air dan darat.

3) Pembangunan kegiatan industri harus tetap mempertahankan kelestarian lingkungan hidup.

4) Program pemanfaatan ruang yang dapat diterapkan adalah pembangunan dermaga, sarana penunjang pelabuhan (pergudangan), pengadaan fasilitas transportasi, dan lain-lain. g. Kawasan tepi air untuk pertahanan dan keamanan (defence waterfront)

dengan kriteria pengembangan sebagai berikut:

1) Dipersiapkan khusus untuk kepentingan pertahanan dan keamanan bangsa-negara,

(24)

2) Perlu dikendalikan untuk alasan hankam dengan dasar peraturan khusus, dan Pengaturan tata guna lahan (land-use) untuk kebutuhan dan misi pertahanan dan keamanan negara.

E. ANALISIS TAPAK

Aditya (2009) mendefinisikan tapak sebagai sebidang lahan atau sepetak tanah dengan batas-batas yang jelas, berikut kondisi permukaan dan ciri-ciri istimewa yang dimiliki oleh lahan tersebut. Sebuah tapak tidak pernah tidak berdaya tetapi merupakan sekumpulan jaringan yang sangat aktif yang terus berkembang yang jalin menjalin dalam perhubungan yang rumit.

Perencanaan tapak (site planning) didefinisikan Rosmala (2008) sebagai seni menata lingkungan buatan dan lingkungan alamiah guna menunjang kegiatan manusia, yang dalam pengkajiannya terdapat dua komponen faktor yang saling berhubungan; yaitu faktor alam (natural factors), dan faktor buatan manusia (man-made and cultural factors).

Analisis tapak dalam penelitian ini meliputi beberapa aspek sebagai berikut:

1. Aspek Biofisik 2. Aksesibilitas

3. Pertimbangan Estetika dan Lingkungan 4. Potensi dan Kendala

(25)

F. KERANGKA PEMIKIRAN

Gambar

Tabel  di  bawah  ini  menunjukkan  beberapa  aturan  yang  dapat  digunakan  sebagai  pedoman  dalam  pengembangan  kawasan  tepi  sungai
Tabel 2.1 Beberapa Kebijakan Pengembangan di Sempadan Sungai
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

“Pengaruh Terapi Psikoreligius: Dzikir Dalam Mengontrol Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia Yang Muslim Di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau.”.. Ghunaim,

Mereka berkata: "Wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya. 12:12

Accounting Kasir Delivery PDI Biro Jasa Administrasi Pihak Leasing Sales Counter Pelanggan Memesan barang Menanggapi permintaan pelanggan dan meminta persyaratan Menghubungi

Untuk kasus yang bergerak dalam bidang elek- tronik, maka estimasi dilakukan dengan menggunakan Rantai Markov tersebut, yaitu dengan cara memperhitungkan semua peluang

Kajian ini dilakukan untuk memberikan informasi tingkat kerawanan gempabumi Kabupaten dan Kota Sukabumi dengan menggunakan analisis multikriteria meliputi kondisi geologi

Dari latar belakang di atas permasalahan yang dialami oleh desainer Yosafat Dwi Kurniawan adalah kurangnya publikasi yang dilakukan terhadap koleksi pakaian ready to wear pada

kedaerah yang baru. Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus. Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri non. farmakologi dan non invasive. Ajarkan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Djunaidi et al., 2018) ada 10 faktor yang membuat perusahaan mempertimbangkan untuk menerapkan GSCM antara lain;