Peningkatan Laju Pertumbuhan Tunas Tanaman Gadung
(Dioscorea hispida) secara In Vitro
Widiati H. Adil, Yati Supriati, Ika Roostika, dan Hadiatmi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor
ABSTRACT. The Shoot Growth Rate Increase of Bitter Yam (Dios-corea hispida) in In Vitro Culture. Asiatic bitter yam is one of Dioscoreaceae family, which is generally still uncultivated in the forest area, and only small amount of it is being cultivated for food. D. hispida meat has toxic material which can be used for natural pesticide. This toxic is from alkoloid classification name dioscorine. In vitro collection of Asiatic bitter yam should be considered as one alternative for the assurance of continuous availability for research and other purposes as needed. Trials were conducted in the Tissue Culture Laboratory of RIFCB, Bogor. Treatments were 1) WPM and Anderson media, and 2) Combination of several BA and Thidiazuron consentrations, which accordingly were 0-2.0 mg/l and 0.1-0.5 mg/l with GA3 10 mg/l. The result showed that Bogor and Kuningan accessions provide better responses to both WPM and Anderson media. WPM with GA3 10mg/l enriched with BA 1.5 mg/l + thidiazuron 0.1 mg/l provide the highest shoot number and height for Bogor accession. Meanwhile, WPM with GA3 10 mg/l for Kuningan accession, provide the highest shoot number and height came from the media enriched with BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0.1 mg/l. On the other hand, Anderson media with GA3 10 mg/l enriched with BA 2 mg/l + thidiazuron 0.1 mg/l provide Bogor accession the highest shoot number and height. Accordingly, Anderson with GA3 10 mg/l enriched with BA 0,5 + thidiazuron 0.1 mg/l provide Kuningan accession the highest shoot number. The visual observation showed that the greener the growth of planlet was the more growth was gained. Both WPM and Anderson media can be used for this yam multiplication with a good rate of growth.
Key word: Dioscorea hispida, in vitro culture, propagation.
ABSTRAK. Gadung salah satu jenis tanaman dari suku
Dioscorea-ceae yang pada umumnya tumbuh liar di hutan, dan hanya sebagian kecil yang dibudidayakan untuk diambil umbinya sebagai bahan pangan. Umbinya mengandung racun berupa alkoloida dioscorine yang dapat digunakan sebagai bahan pestisida alami. Sampai saat ini upaya pemanfaatan potensi gadung belum ditangani secara baik. Banyak aksesi tanaman gadung yang hilang karena penebangan hutan. Untuk menyelamatkan aksesi yang ada maka perlu dilakukan konservasi, salah satunya melalui kultur in vitro. Koleksi tanaman gadung dalam kultur in vitro merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menjamin ketersediaan bahan tanaman agar mudah digunakan untuk penelitian maupun perbanyakan. Sebelum dikoleksi maka metode regenerasi perlu dikuasai terlebih dahulu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor pada tahun 1999/2000. Perlakuan terdiri dari 1) media dasar (WPM dan Anderson), 2) zat pengatur tumbuh BA (0-2,0 mg/l), thidiazuron (0,1-0,5 mg/l) dengan kombinasi GA3 10 mg/l. Aksesi dari Bogor dan Kuningan lebih responsif terhadap media pertunasan, baik Anderson maupun WPM. Pada media WPM yang mengandung GA3 10 mg/l, aksesi Bogor yang memiliki jumlah tunas paling banyak dan paling tinggi berasal dari media BA 1,5 mg/l+ thidiazuron 0,1 mg/l, sedangkan untuk aksesi Kuningan berasal dari BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l. Pada media Anderson yang mengandung GA3 10mg/l untuk aksesi Bogor jumlah tunas yang paling banyak dan tunasnya paling tinggi berasal dari BA 2 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l. Untuk aksesi Kuningan tunas paling banyak berasal dari BA 1,0 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l dan paling tinggi dari
BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l. Penampakan biakan umumnya berkaitan dengan pertumbuhan. Untuk yang berwarna hijau per-tumbuhannya lebih baik dibanding biakan yang daunnya kecoklatan. Kata kunci: Dioscorea hispida, kultur in vitro, perbanyakan.
G
adung (dioscorea hispida) merupakan salah satu jenis tanaman dari suku Dioscoreaceae yang pada umumnya tumbuh liar di hutan, dan hanya se-bagian kecil yang dibudidayakan untuk diambil umbinya sebagai bahan pangan (Lingga 1989). Gadung sudah biasa dikonsumsi oleh sebagian masyarakat untuk me-menuhi kebutuhan pangan, terutama pada masa-masa sulit (Republika 1998).Selain berpotensi sebagai pangan alternatif, gadung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pestisida bo-tani (Bartolini et al. 1994, Ho et al. 1994). Bahkan me-nurut Sastrapradja et al. (1980), D. hispida mengandung diosgenin (0,53-0,98%) yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat steroid.
Tanaman gadung belum dibudidayakan secara sungguh-sungguh. Kalau tidak dikelola dengan baik, tanaman ini dikhawatirkan akan langka. Oleh karena itu perlu upaya pengkoleksian gadung secara in vitro selain in situ di lapang. Koleksi in vitro berguna untuk penyimpanan dalam jangka menengah maupun jangka panjang dan penyediaan bibit secara cepat. Dalam kaitan itu perlu diketahui sistem pertunasan gadung.
Perbanyakan secara konvensional umumnya di-lakukan dengan cara memotong umbi yang mem-punyai mata tunas. Pertumbuhan tunas akan terjadi setelah umbi mengalami masa dormansi 2-3 bulan setelah panen. Dengan demikian perbanyakan sangat lambat dibandingkan umbi-umbian dari kelompok lain. Dengan metode in vitro, masalah laju pertumbuhan yang lambat dapat diatasi antara lain dengan peng-gunaan formulasi media tertentu yang mengandung garam-garam mineral dan komponen organik.
Media dasar WPM dan Anderson sering digunakan pada kelompok spesies tanaman tertentu yang umum-nya mempuumum-nyai laju pertumbuhan yang lambat (Tricoli et al. 1985; Anderson 1975). Untuk lebih meningkatkan laju pertumbuhan tunas dapat dilakukan dengan cara memasukkan BA dan thiadiazuron ke dalam media dasar (Lu 1993). Kedua zat pengatur tumbuh tersebut
dilaporkan dapat menginduksi pembentukan tunas adventif dan proliferasi tunas aksiler.
Pada kegiatan awal penelitian dilakukan koleksi tanaman gadung di rumah kaca. Tanaman tersebut berasal dari: 1) Bogor (Bojonggede, Tajur, dan Kemang), 2) Sukabumi (Bantar Gadung), dan 3) Kuningan (Cigadung). Beberapa nomor dari koleksi tanaman ter-sebut telah berhasil dikulturkan secara in vitro. Hasil sementara menunjukkan bahwa media dasar yang ter-baik untuk induksi tunas adalah WPM atau Anderson dengan penambahan BA 1 mg/l dan IAA 0,1 mg/l atau thidiazuron 0,1 mg/l. Selain itu telah diketahui pula beberapa nomor yang mempunyai respons yang tinggi, yaitu PJKB, KGK, BGB, GCgK, DCgk, dan BG. Namun, pertumbuhan tunas sangat lambat dan adanya browning yang menghambat regenerasi biakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari media yang optimal yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan tunas tanaman gadung.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di laboratorium Kultur Ja-ringan Balai Penelitian Bioteknologi, Bogor pada tahun 1999/2000. Bahan tanaman yang diteliti diambil dari berbagai lokasi yaitu Bogor, Kuningan, Sumedang, Rembang, dan Subang yang telah dikulturkan secara in vitro namun laju pertumbuhannya sangat lambat.
Eksplan yang digunakan berupa batang dengan nodus tunggal dari biakan hasil perbanyakan pada tahun sebelumnya, terutama dari nomor-nomor yang memberikan respons yang relatif baik pada kultur in vitro. Eksplan kemudian di subkulturkan pada media dasar WPM atau Anderson yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh. Perlakuan yang diuji adalah dua ma-cam media dasar yaitu WPM dan Anderson (Tabel 1), dan kombinasi antara BA (0-2,0 mg/l) dan thidiazuron (0,1-0,5 mg/l). Ke dalam semua perlakuan diberikan pula GA3 10 mg/l dan PVP 500 mg/l. Media dibuat padat dengan penambahan agar swallow 7,5 g/l dan pH media diatur pada angka 5,7 dengan KOH atau NaCl.
Parameter yang diamati adalah penampakan biak-an secara visual, jumlah tunas, jumlah daun dbiak-an tinggi tunas. Botol yang berisi biakan disimpan selama 16 jam dalam sehari dalam ruang kultur dengan temperatur 24-27oC dan intensitas cahaya ± 800 lux.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa biakan yang berasal dari Bogor dapat tumbuh pada semua perlakuan formulasi media. Aksesi dari Bogor dan
Kuningan merupakan kelompok yang lebih responsif dibandingkan dengan aksesi lainnya dengan tinggi dan jumlah tunas yang lebih banyak. Keadaan ini me-nunjukkan bahwa formula media pada kultur jaringan dapat bersifat spesifik bahkan sampai tingkat varietas. Jumlah tunas paling banyak terdapat pada aksesi asal Bogor dengan media BA 1,0 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l. Untuk semua aksesi yang diuji, jumlah tunas paling banyak terdapat pada biakan asal Kuningan de-ngan media BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l. Pada perlakuan dan aksesi yang sama, tunas biakan paling tinggi yaitu 1,65 cm, diikuti oleh biakan asal Bogor dengan media BA 1,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l. Biakan dari aksesi asal Rembang mempunyai respons paling rendah, yang ditandai oleh tidak tumbuhnya tunas pada empat perlakuan formulasi media.
Pada semua aksesi yang diuji, jumlah tunas ber-kisar antara 1-4 dengan tinggi tunas 0,1-1,65 cm. Laju pertumbuhan tunas yang sangat lambat terutama ter-jadi pada biakan asal Rembang, walaupun ke dalam media telah diberikan BA dan thidiazuron yang umum-nya dapat memacu pertunasan tanaman yang mem-punyai daur hidup panjang. Kemungkinan, BA dengan daya aktivitas yang kuat tidak baik bagi biakan asal Rembang.
Tabel 1. Formulasi media dasar Anderson(!980) dan WPM (Lyod &
Mc.Cown).
Garam-garam mineral WPM Anderson
mg/l NH4NO3 400 400 CaCl2.2H2O 96 440 MgSO4.7H2O 370 370 KH2PO4 170 _ Ca(NO3).4H2O 556 _ K2SO4 990 _ KNO3 _ 480 NaH2 PO4.H2O _ 380 H3BO3 6.2 6.2 ZnSO4.7H2O 8.6 8.6 Na2MoO4.2H2O 0,25 0,25 CUSO4.5H2O 0,25 0,25 MnSO4.4H2O 22.3 22.3 Na2EDTA.2H2O 37.3 74.5 FeSO4.7H2O 27.8 55.7 CoCl2.6H2O _ 0,025 KI _ 0,3 Inositol 100 100 Nicotinic Acid 0,5 _ Pyridoxine.HCl 0,5 _ Thiamine. HCl 1 0,4 Glycine 2 _
Penggunaan media dasar Anderson tidak memberi-kan hasil yang lebih baik dibandingmemberi-kan media WPM (Tabel 2 dan 3). Pada semua aksesi yang dikulturkan, jumlah tunas berkisar antara 1-4 dengan tinggi tunas 0,1-2,0 cm. Jumlah tunas paling banyak berasal dari aksesi Bogor yang dikulturkan pada media BA 2,0 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l. Pada perlakuan media dan aksesi yang sama tunas biakan paling tinggi yaitu 2 cm. Aksesi asal Sumedang dan Rembang tetap mem-punyai daya regenerasi yang lambat, baik pada media WPM maupun Anderson. Pada media WPM, jumlah daun paling banyak terdapat pada biakan asal Bogor dengan perlakuan media BA 1,0 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l serta pada aksesi asal Sumedang dengan media BA 2,0 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l (Tabel 4).
Pada media Anderson, jumlah daun paling banyak berasal dari perlakuan media BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l (Tabel 5). Secara visual terlihat bahwa biakan yang berwarna hijau lebih tegar dan tetap dapat tum-buh, berbeda dengan yang berwarna kecoklatan yang
perkembangannya sangat lambat, bahkan menunjuk-kan gejala kematian.
Perbanyakan Dioscorea dengan spesies yang ber-beda telah banyak dilakukan, antara lain pada D. composita. Formulasi media yang terbaik untuk per-banyakan adalah media MS yang diberi adenin sulfat 1,5 mg/l dan NAA 0,1 mg/l (Datta et al. 1981), untuk D. bulbifera adalah media MS yang ditambah IAA (5-10 mg/l) dan kinetin (0,05-0,5 mg/l), sedangkan untuk D. floribunda juga media MS yang diperkaya dengan kinetin 2 mg/l (Sita et al. 1976). Hasil penelitian Mantell (1976) pada D. alata dan D. rotundata menunjukkan bahwa dengan media MSO tanpa zat pengatur tumbuh dapat dihasilkan planlet.
Tanaman Dioscorea telah lama menarik perhatian para peneliti untuk menghasilkan tanaman yang akan digunakan untuk produksi diosgenin maupun untuk tujuan lainnya. Formulasi media yang terdiri dari kom-binasi MS dengan adenin sulfat atau kinetin dapat memberikan hasil yang baik. Penelitian pendahuluan menggunakan media MS yang diberi BA dan eksplan
Tabel 2. Jumlah dan tinggi tunas tanaman gadung pada beberapa perlakuan BA dan thidiazuron dalam media WPM yang mengandung GA3
10 mg/l (umur 2 bulan).
Bogor Kuningan Sumedang Rembang Perlakuan
Jumlah Tinggi tanaman Jumlah Tinggi tanaman Jumlah Tinggi tanaman Jumlah Tinggi tanaman
tunas (cm) tunas (cm) tunas (cm) tunas (cm)
BA 0,0 + th 0,1 2 0,40 2 0,80 1 0,20 1 0 BA 0,5 + th 0,1 2 0,75 4 1,65 1 0,65 - -BA 1,0 + th 0,1 2 1,00 3 0,60 1 0,10 1 0,10 BA 2,0 + th 0,1 1 0,10 3 1,00 3 1,20 1 0,70 BA 1,5 + th 0,0 1 0,60 3 1,15 - - 2 1.,0 BA 1,5 + th 0,1 2,5 1,25 2 1,25 1 0,20 - -BA 1,5 + th 0,3 1 1,00 - - 1 0,15 - -BA 1,5 + th 0,5 2,3 1,02 - - 1 0,10 0,2 -BA = Benzil adenin, th = thidiazuron - = tidak tumbuh
Tabel 3. Jumlah dan tinggi tunas tanaman gadung pada beberapa perlakuan BA dan thidiazuron dalam media Anderson yang mengandung
GA3 10 mg/l (umur 2 bulan).
Bogor Kuningan Sumedang Rembang Perlakuan
Jumlah Tinggi tanaman Jumlah Tinggi tanaman Jumlah Tinggi tanaman Jumlah Tinggi tanaman
tunas (cm) tunas (cm) tunas (cm) tunas (cm)
BA 0,0 + th 0,1 2 0,30 2 1.30 1 2.50 1 0,10 BA 0,5 + th 0,1 1 1.20 2 1.45 1.5 0,65 - -BA 1,0 + th 0,1 1 0,20 4 0,50 1 0,20 4 1.50 BA 2,0 + th 0,1 3 2.00 3 0,60 1 0,35 1 0,20 BA 1,5 + th 0,0 - - 1 0,50 1 0,20 1 0,10 BA 1,5 + th 0,1 2 0,92 1 0,10 - - - -BA 1,5 + th 0,3 1.5 1.1 - - - -BA 1,5 + th 0,5 1.2 0,35 - - - -BA = Benzil adenin th = thidiazuron - = tidak tumbuh
yang berasal dari pertanaman rumah kaca menunjuk-kan tunas memiliki pertumbuhan yang sangat lambat dan cepat membentuk kalus pada pangkalnya. Per-tumbuhan kaluspun sangat cepat sehingga meng-hambat pertumbuhan biakan. Untuk mengatasi ma-salah tersebut dicoba media lainnya yaitu Anderson dan WPM. Kedua media dasar tersebut umumnya di-gunakan untuk tanaman tahunan berkayu atau tanam-an ytanam-ang regenerasinya stanam-angat lambat (Yapabtanam-andara 1990).
BA dan thidiazuron merupakan zat pengatur tum-buh yang mempunyai daya aktivitas kuat (Lu 1993). Namun penambahan kedua zat pengatur tumbuh ter-sebut ke dalam media Anderson maupun WPM belum dapat memacu regenerasi eksplan batang dengan nodus tunggal untuk berploriferasi pada tingkat yang tinggi (Tabel 2 dan 3). Tunas yang terbentuk apabila dikulturkan kembali pada media baru (formulasi dapat berbeda maupun sama) diharapkan meningkat laju
pertumbuhannya. Banyak hasil penelitian yang me-laporkan bahwa subkultur berulang dapat meningkat-kan kemampuan regenerasi jaringan (Pierik 1987, Litz and Conover 1978).
Peningkatan konsentrasi BA nampaknya tidak se-jalan dengan peningkatan jumlah tunas. Bahkan pada aksesi Kuningan, peningkatan konsentrtasi dari 0,5 mg menjadi 1,5 mg/l menurunkan jumlah tunas sampai setengahnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa zat pe-ngatur tumbuh akan efektif bila digunakan pada kon-sentrasi yang relatif rendah, bergantung antara lain pada kondisi fisiologis dan sifat genotipe induk serta jenis eksplan yang digunakan.
Kemampuan biakan menghasilkan tunas yang ba-nyak tidak selalu menunjukkan kemampuan yang sama untuk pertumbuhan ke arah pemanjangan. Keadaan tersebut terutama dijumpai pada aksesi Kuningan, pada media Anderson dengan jumlah tunas empat dengan tinggi tunas hanya 0,5 cm, lebih pendek
dari-Tabel 4. Jumlah daun dan penampakan visual tanaman gadung pada beberapa perlakuan BA dan thidiazuron dalam media WPM yang
mengandung GA3 10 mg/l (umur 2 bulan) .
Bogor Kuningan Sumedang Rembang Perlakuan
Jumlah Visual Jumlah Visual Jumlah Visual Jumlah Visual
daun daun daun daun
BA 0,0 + th 0,1 0 hijau kecoklatan 0 hijau 0 hijau 0 coklat muda
BA 0,5 + th 0,1 0 hijau muda 2 hijau 2 hijau & coklat - -
BA 1,0 + th 0,1 4 hijau 0 hijau 0 coklat muda 0 coklat muda
BA 2,0 + th 0,1 0 coklat hijau 0 hijau 2,5 hijau & coklat 0 hijau muda
BA 1,5 + th 0,0 0 hijau 1,5 hijau & coklat - - 2 hijau tua
BA 1,5 + th 0,1 1,5 hijau 2,5 hijau 1 coklat -
-BA 1,5 + th 0,3 1,7 hijau - - 0 hijau & coklat -
-BA 1,5 + th 0,5 0,7 berkalus - - 0 coklat ter- -
-kontaminasi
BA = Benzil adenin th = thidiazuron - = tidak tumbuh
Tabel 5. Jumlah daun dan penampakan visual tanaman gadung pada beberapa perlakuan BA dan thidiazuron dalam media Anderson yang
mengandung GA3 10 mg/l (umur 2 bulan).
Bogor Kuningan Sumedang Rembang Perlakuan
Jumlah Visual Jumlah Visual Jumlah Visual Jumlah Visual
daun daun daun daun
BA 0,0 + th 0,1 0 hijau 1 hijau 0 hijau 0 coklat muda
BA 0,5 + th 0,1 3 hijau muda 0 hijau 0,5 hijau -
-BA 1,0 + th 0,1 0 hijau 0 hijau 0 coklat muda 2 hijau
BA 2,0 + th 0,1 3 hijau muda 0 hijau 2 hijau 0 coklat muda
BA 1,5 + th 0,0 0 coklat kontam - - 0 coklat 0 coklat muda
BA 1,5 + th 0,1 0,7 hijau & coklat 0 hijau coklat - - -
-BA 1,5 + th 0,3 1.3 hijau muda - - - - -
-BA 1,5 + th 0,5 0,3 hijau coklat - - - - -
-BA = Benzil adenin th = thidiazuron - = tidak tumbuh
pada biakan yang jumlah tunasnya hanya dua tetapi tingginya mencapai 1,45 cm. Penambahan GA3 nam-paknya tidak dapat memperpanjang ruas tanaman. Walaupun tunas yang terbentuk pada beberapa perlakuan hanya satu, ukuran tunas tetap pendek, bahkan hanya 0,1 cm pada aksesi Rembang dengan formulasi media Anderson + BA 1,0 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l + GA3 10 mg/l + PVP 500 mg/l.
Walaupun sudah dikulturkan selama 2 bulan pada berbagai perlakuan, sebagian biakan belum mampu membentuk daun atau masih dalam bentuk mata tunas yang belum berkembang sebagai daun. Sangat lambatnya pertumbuhan biakan kemungkinan karena faktor genetik, formulasi media yang belum tepat, kondisi fisiologis biakan yang belum tanggap terhadap perlakuan media (pengaruh dormansi pohon induk yang kuat) atau dapat pula karena aosidasi fenol yang intensitasnya sangat kuat walaupun ke dalam media telah diberikan Polivinil Piroliden. Komponen organik tersebut dapat mengatasi masalah pencoklatan (ka-rena oksidasi fenol) antara lain pada tanaman cengkeh (Yapabandara 1990) dan abaka. Berbeda dengan tanaman D. bulbifera, oksidasi fenol tidak merupakan masalah yang harus ditangani secara khusus (Prasetyo 1988). Untuk mengatasi masalah pencoklatan karena oksidasi fenol yang terus muncul selama biakan di-kulturkan maka perlu dicoba anti oksidan lain seperti arang aktif. Senyawa tersebut selain menyerap fenol juga dapat menyerap senyawa toksik lainnya yang di-keluarkan jaringan selama pertumbuhannya (Yapa-bandara 1990).
KESIMPULAN
1. Aksesi dari Bogor dan Kuningan lebih responsif terhadap media pertunasan, baik media Anderson maupun WPM.
2. Pada media WPM yang mengandung GA3 10 mg/l aksesi Bogor yang memiliki jumlah tunas paling banyak dan tunas paling tinggi berasal dari media BA 1,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l. Untuk aksesi Kuningan, jumlah tunas terbanyak dan tertinggi berasal dari media BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l.
3. Pada media Anderson yang mengandung GA3 10 mg/l, aksesi Bogor yang memiliki jumlah tunas paling banyak dan paling tinggi berasal dari media BA 2 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l. Untuk aksesi
Kuningan tunas paling banyak berasal dari media BA 1,0 mg/l + thidiazuron 0,1mg/l dan paling tinggi dari media BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,1mg/l. 4. Penampakan biakan pada umumnya berkaitan
dengan pertumbuhan. Untuk yang berwarna hijau, pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan biakan yang daunnya kecoklatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, W.C. 1975. Propagation of rhododendrous by tissue cul-ture. Part I. Development of culture medium for multiplication of shoots. proc. in. Plant Prop. Soc. 25: 129-135.
Bartolini, P.U. dan E.A. Gundaya. 1994. Pest Management. PRCRTC Annual Report. Philippine Root Crop Research and Training Center. Visayas State College of Agriculture, Baybay, Leyte, Philppine.
Datta, S.K., K. Datta, and P.C. Datta. 1981. Propagation of yam Dioscorea composita through tissue culture. In A.N. Rao (Ed.) tissue culture of economically importants plants. Costed and ANBS. Singapore. 79p.
Ho, T.V. 1994. Root and tubers crop genetic resources in Vietnam. In Root and Tuber Crops. The First Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries. Japan International Workshop on Genetic Resources.
Lingga, P. 1989. Bertanam ubi-ubian. Penebar Swadaya. Jakarta. Litz, R.E. dan R.A. Conover. 1978. In vitro propagation of papaya. Hort.
Science 13:241-242.
Lu, C.Y.1993. The use of thidiazuron in tissue culture. In Vitro Cell. Dev.Biol. 29: 92-96.
Mantell, S.H., S.Q. Haque, and A.P. Whitehall. 1978. Clonal multi-plication of Dioscorea alata L. and Dioscorea rotundata Poir. Yams by tissue culture. J.Hort.Sci. (53):95-98.
Pierik, R.L.M. 1987. In vitro culture of higher plants. Martinus Aijhoff Publisher. London. 344p.
Prasetyo, L.Y. 1988. Pengaruh beberapa zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan vegetatif Dioscorea bulbifera L. secara in vitro. Jurusan Biologi, FMIPA-IPB.
Republika. 1998. Tak Ada Beras Gadungpun Jadi. Edisi 6 September 1998. Jakarta.
Sastrapradja, S., I. Lubis dan H.A. Lubis. 1980. Kemungkinan pemanfaatan jenis-jenis Dioscorea Indonesia sebagai sumber diosgenin. Dalam N. Wulijarni, Soetjipto, dan Mien A. Rifai (Eds). Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat II. Depart. Fisiologi dan Farmakologi. FKH, IPB. Bogor.
Sita, L., R.K. Bammi, and G.S. Rondhawa. 1976. Clonal propagation of Dioscorea floribunda by tissue culture. J.Hort.Sci.(51): 551-554.
Tricoli, D.M., C.A. Maynord and A.P. Drew. 1985. Tissue culture of propagation of mature trees of Prunus serotina Ehrh. I. Establish-ment, multiplication and rooting in-vitro. Forest. Science 31: 201-208.
Yabandara, Y.M.H.B. 1990. In vitro propagation of nutmeg (M. Fragnanse) and clove (S. aromaticum) plant cewll tissue culture laboratory. Report of Miror Export Crops. Srillanka. (Final Report).