• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Salam, Redaksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Salam, Redaksi"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pembaca yang terhormat,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat Rahmat-Nya, Jurnal Ecolab volume 8 No. 1 Tahun 2014 dapat hadir kembali dihadapan anda, dengan tema “

Haruskah Kita Tiap Detik Menghirup Polutan di Zamrud Khatulistiwa ini ?”

Pusarpedal-KLH, sebagai lembaga yang konsisten dan terus menerus melakukan pemantauan serta menyajikan data kualitas udara di seluruh Indonesia, khususnya di kawasan perkotaan, sangat prihatin karena indikasi kualitas udara di hampir semua daerah menunjukkan trend kualitas udara yang cenderung semakin menurun. Di lain pihak, respons pemangku kepentingan terutama masyarakat pada umumnya masih sangat kurang. Padahal dampak pencemaran udara bagi lingkungan alami, lingkungan buatan maupun lingkungan sosial sangat signifikan.

Atas dasar tersebut di atas, penerbitan Jurnal Ecolab pada edisi kali ini, empat dari lima tulisan mengangkat tentang masalah yang berkaitan dengan udara. Adapun judul tulisan pada edisi ini adalah sebagai berikut:

1. Penyerapan Emisi Gas Buang CO2 oleh Microalga Euglena sp, dengan Bioreaktor Kolam Kultur.

2. Pola Suhu Permukaan dan Udara Menggunakan Citra Satelit Landsat Multitemporal 3. Identifikasi Awal Polyaromatic Hydrocarbons (PAHs) di Udara Ambien Serpong – Jakarta. 4. Kajian Baku Mutu Logam Berat di Udara Ambien sebagai Bahan Masukan Lampiran PP

41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

5. Pengkajian Metode untuk Analisis Logam Berat dalam Daging Ikan Menggunakan Metoda Association of Official Analitical Chemist (AOAC) Modifikasi.

Kami mengharapkan tulisan-tulisan ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pembaca Jurnal Ecolab serta masyarakat pada umumnya akan pentingnya upaya-upaya pengendalian dampak pencemaran udara di Indonesia.

Selanjutnya, kami mengharapkan peran aktif semua pemangku kepentingan untuk turut menyumbangkan pemikiran berbentuk tulisan dari hasil penelitian dan atau kajian-kajian dalam berbagai aspek dan media lingkungan hidup untuk penerbitan Jurnal Ecolab selanjutnya. Terima Kasih.

Salam, Redaksi

(3)

Jurnal Kualitas Lingkungan Hidup Volume 8, Nomor 1, Januari 2014

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i Daftar Isi ... iii Penyerapan Emisi Gas Buang CO2 oleh Microalga Euglena sp, dengan Bioreaktor

Kolam Kultur ... 1 Titin Handayani, Adi Mulyanto dan Nida Sopiah

Pola Suhu Permukaan dan Udara Menggunakan Citra Satelit Landsat Multitemporal ... 11 Wiweka

Identifikasi Awal Polyaromatic Hydrocarbons (PAHs) di Udara Ambien

Serpong – Jakarta ... 23 Dewi Ratnaningsih, Hari W., Esrom H., dan Jetro S.

Kajian Baku Mutu Logam Berat di Udara Ambien sebagai Bahan Masukan

Lampiran PP 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara ... 32 Rita Mukhtar, Susy Lahtiani, Esrom Hamonangan, Hari Wahyudi,

Muhayatun Santoso, dan Diah Dwiana Lestiani

Pengkajian Metode untuk Analisis Logam Berat dalam Daging Ikan Menggunakan

Metoda Association of Official Analitical Chemist (AOAC) Modifikasi ... 43 Siti Masitoh, Jenia Mustika, Arum Prajanti dan Nurhasni

(4)

PENYERAPAN EMISI CO

2

OLEH MIKROALGA

Euglena sp DENGAN BIOREAKTOR KOLAM KULTUR

ABSORPOTION OF CO

2

EMISSION BY MICROALGAE

Euglena sp USING POND CULTURE BIOREACTOR

Titin Handayani, Adi Mulyanto dan Nida Sopiah1)

(Diterima tanggal 30-10-2013; Disetujui tanggal 02-01-2014)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah menerapkan teknologi penyerapan emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh industri dengan memanfaatkan mikroalga Euglena sp. yang dibudidayakan pada bioreaktor kolam kultur jenis raceway. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mitigasi efek gas rumah kaca yaitu mengurangi emisi gas CO2. Penelitian ini dilakukan di industri susu (PT Indolakto) yang berlokasi di Cicurug Sukabumi. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Kimia dan Lab Ekotoksikologi Balai Teknologi Lingkungan-BPPT. Kegiatan penelitian ini meliputi : (1) Karakterisasi Emisi Industri di Lokasi Uji Coba, (2) Pengoperasian Kolam Kultur, (3) Sampling dan Analisis Sampel. Pengkajian awal penyerapan emisi gas buang melalui pengaktifan mikroalga dengan kolam kultur volume 1000 L dari bahan stainless steel di industri PT Indolakto yang dilengkapi dengan alat penukar panas menunjukkan hasil penyerapan CO2 oleh mikroalgayang cukup menjanjikan. Sistem pengaliran gas CO2 pada sistem kolam kultur berjalan dengan baik. Hal ini terbukti dari berhasilnya gas buang dari boiler untuk didinginkan dari suhu sekitar 200 oC menjadi suhu dibawah ambien. Kecuali suhu, gelembung gas yang masuk ke dalam media pada

kolam sudah cukup kecil (fine), sehingga kontak antara gas dengan media menjadi baik. Efisiensi penyerapan CO2 oleh Euglena sp. dapat mencapai 98,87% dengan pemberian CO2 rata-rata sebesar 167,26 gram/hari

Kata Kunci: Kolam kultur raceway, induatri susu, emisi CO2, mikroalga, Euglena sp.

ABSTRACT

The purpose of this study is to assess technology to capture carbon dioxide (CO2) emissions generated by industry by utilizing of microalgae Euglena sp. The microalgae were cultivated in a bioreactor culture pond raceway type. The result is expected to be useful in mitigating the effects of greenhouse gases in reducing the CO2 emissions. This research was conducted at milk industry (PT Indolakto), a dairy factory located in Cicurug, Sukabumi . Ana-lyzes were conducted at the Laboratory of Chemistry and Ecotoxicology, Institute for Environmental Technology (BTL) – Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT). The research activities include: (1) Characterization of boiler flue gas, (2) Operation of culture pond, (3) Sampling and sample analysis. The results of this study shpwed that, the initial assessment absorption of the flue gas by microalgae using 1000 L raceway pond completed by heat exchanger were quite promising. The transfer of CO2 into the pond culture system was run well. This identified from the success of cooling the boiler flue gas from the temperature of about 200 °C to below ambient temperature. Except for the temperature, the gas bubbles into the culture media were quite fine. Therefore, the contact between the gas and the media was well performed. Efficiency of CO2 absorption by Euglena sp reached 98.87 % with average CO2 loading of 167.26 grams/day.

Keywords: Raceway pond, milk industry, CO2 emission, heat exchange, microalgae, Euglena sp.

PENDAHULUAN

Global Warming merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca yang

disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC, sehingga energi

1 Balai Teknologi Lingkungan - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gedung 820, GEOSTEK Kawasan Puspiptek Serpong ,

(5)

matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer disebabkan oleh kegiatan manusia di berbagai sektor, antara lain energi. Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam dalam berbagai kegiatan, misalnya pada pembangkitan listrik, transportasi dan industri, akan memicu bertambahnya jumlah emisi GRK di atmosfer. Walaupun sama-sama menghasilkan emisi GRK, namun emisi yang dihasilkan dari penggunaan ketiga jenis bahan bakar fosil tersebut berbeda-beda. Untuk menghasilkan energi sebesar 1 kWh, pembangkit listrik yang menggunakan batubara mengemisikan sekitar 940 gram CO2. Sementara pembangkit listrik yang menggunakan minyak bumi dan gas alam, menghasilkan emisi sekitar 798 dan 581 gram CO2 .[1]

Seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi CO2 antropogenik di atmosfer, berbagai upaya rekayasa telah dilakukan untuk menangkap dan memendam CO2 atmosferik tersebut melalui teknologi carbon capture and storage (CCS) dari sumber emisi. Salah satu teknologi CCS yang memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia adalah biosequestration, yaitu menangkap dan menyimpan CO2 atmosferik dengan meningkatkan volume dan kualitas fotosintesis melalui bioreaktor mikroalga. Saat ini, percobaan mengenai kemampuan mikroalga dalam menyerap CO2 telah dilakukan untuk skala laboratorium di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan membangun fotobioreaktor dan kolam kultur mikroalga. Hasilnya menunjukkan bahwa penyerapan CO2 oleh mikroalga Chlorella sp. dapat mencapai lebih dari 70%, Hasil tersebut

cukup menjanjikan untuk penerapan dalam rangka mengurangi emisi CO2 dari industri. Untuk itu, perlu dilakukan rekayasa lanjutan yang memperhitungkan berbagai aspek penting yang ada di industri agar teknologi biosequestration ini laik diterapkan dalam kurun waktu 1 hingga 2 tahun mendatang dalam rangka mendukung rencana aksi pemerintah menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020.

Biorektor berbentuk kolam jenis raceway yaitu kolam yang diberi perlengkapan pedal/baling-baling untuk proses pengadukan, penggerak elektromotor, pipa pemasukan gas CO2 dan pipa pemasukan air tawar dan nutrien.

Kolam terbuat dari bahan stainless steel memungkinkan mikroalga menyerap cahaya dan CO2 pada permukaan hingga kedalaman pada batas tertentu.[2] Kultur yang berada pada bagian dalam reaktor dan tidak mendapatkan cahaya dapat ditingkatkan produktifitasnya melalui pengadukan.[3] Agar keseluruhan sel mikroalga dalam kultur kolam dapat merata mendapatkan cahaya dan menyerap CO2, sehingga meningkatkan produktivitasnya, maka dilengkapi dengan sistem pengadukan. Dalam penelitian ini digunakan sistem pengadukan dengan pedal dan pompa sirkulasi. Suhu emisi karbon berasal dari industri diatas 100oC, untuk itu dibutuhkan alat untuk

mengubah suhu menjadi suhu ambient untuk pertumbuhan mikroalga. Tujuan penelitian ini adalah menerapkan teknologi penyerapan emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh industri yang menggunakan sistem pembakaran dengan memanfaatkan mikroalga Euglena sp. yang dibudidayakan pada bioreaktor kolam kultur jenis raceway.

(6)

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Industri pengolahan susu cair (PT Indolakto) yang berlokasi di Cicurug Sukabumi. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Kimia dan Laboratorium Ekotoksikologi Balai Teknologi Lingkungan-BPPT, gedung 412, Puspiptek, Serpong.

Bioreaktor Kolam Kultur raceway

Kolam kultur raceway adalah kolam yang diberi perlengkapan pedal/baling-baling untuk proses pengadukan, penggerak elektromotor, pipa pemasukan gas CO2 dan pipa pemasukan air tawar dan nutrien.

Kolam kultur mikroalga terbuat dari bahan stainless steel dengan volume 1.000 liter, kedalaman air di dalam kolam dapat diatur 20 cm, 15 cm, dan 10 cm. Kedalaman air yang dipakai dalam percobaan ini dipilih 20 cm. Kolam dilengkapi dengan tutup transparan yang terbuat dari plastik (mika) untuk memperkecil resiko kontaminasi terhadap kultur mikroalga. Air yang digunakan adalah air tawar.

Inokulasi Mikroalga

Jenis mikroalga yang digunakan adalah jenis Euglena sp. yang telah dikultivasi dalam medium Benneck dan kemudian sebelum dikulturkan pada kolam diaklimatisasi dahulu dengan menggunakan medium yang mengandung pupuk NPK 35 mg/L yang selanjutnya akan digunakan pada sistem kolam kultur. Kepadatan awal yang digunakan sekitar 300.000 sel/ml, dihitung secara mikroskopis menggunakan haemocytometer..

Inokulasi mikroalga terdiri atas serangkaian kegiatan yang antara lain meliputi persiapan

wadah dan air yang meliputi pencucian dan sanitasi wadah..

Kegiatan selanjutnya adalah upscalling secara bertahap dari skala laboratorium ke skala yang lebih besar. Skala yang lebih besar dilakukan di dalam kantong-kantong plastik bervolume 20 liter yang dilengkapi aerasi. Media yang digunakan untuk perbanyakan mikroalga tersebut adalah air hasil mikrofiltrasi yang sudah diberi pupuk NPK dengan kadar 35 mg/L. Setelah berumur antara 3-4 minggu, kelimpahan kultur dapat mencapai sekitar 6x106 sel/ml media. Pada tingkat kepadatan

tersebut mikroalga dapat dipindahkan ke kolam kultur volume 1000 L.

Kolam diisi dengan air sebanyak 950 L yang sebelumnya sudah mengalami proses penyaringan menggunakan proses ultrafiltrasi untuk meminimisasi terjadinya kontaminasi terhadap kultur mikroalga. Kemudian dimasukkan kultur mikroalga yang untuk masing-masing kolam sebanyak 50 liter dari kantong-kantong plastik, hingga kepadatan awal 300.000 sel/ml. Langkah berikutnya adalah pemberian pupuk NPK 35 mg/L untuk pertumbuhan mikroalga. Setelah 3 minggu masa kultur, mikroalga mulai diperlakukan dengan pemberian emisi CO2 pada kolam kultur volume 1000 L.

Pengoperasian Emisi CO2 ke dalam Kolam Kultur

Mikroalga adalah mikro-organisme heterotrof yaitu menyerupai tumbuhan, sehingga membutuhkan cahaya dan CO2 selain nutrisi. Penentuan asupan CO2 didasarkan pada konsentrasi gas tersebut yang diambil contohnya dari bagian keluaran (effluent) cerobong boiler.

(7)

Perlengkapan untuk mencatu CO2 ke dalam kolam adalah persediaan gas tersebut yang ditempatkan di dalam gas holder terbuat dari plastik. CO2 di dalam kantong plastik dikondisikan dengan konsentrasi sekitar 6%. Perlengkapan lain adalah pemipaan gas dari kantong plastik ke kolam kultur. Untuk menghisap gas CO2, digunakan kompresor. Pada bagian effluent gas, dipasang katup pelepas gas. Gas yang keluar diambil contohnya untuk diukur kadar CO2 nya.

Sistem Pemantauan Operasional Sistem Kolam Kultur

Pada kolam kultur sudah tersedia pipa/‘port’ untuk melakukan pengambilan contoh gas yang dilepaskan oleh sistem. ‘Port’ tersebut terletak di bagian samping sebelah atas kolam berdiameter ½ inchi. Pengambilan contoh dilakukan 2 kali dalam sehari, yaitu pagi hari pada sekitar jam 09.00, 12.00 dan 15.00 WIB. Parameter yang diukur ialah konsentrasi gas oksigen dan gas karbon dioksida. Peralatan yang digunakan berupa portable multi gas detektor merk Riken type RX-515.

Pengukuran suhu dilakukan di sekitar kolam kultur dan pelaksanaan pengukuran dilakukan setiap hari pada sekitar pukul 9.00 WIB dan 15.00 WIB.

Intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap aktifitas mikroalga, terutama dalam hal fotosistesis. Alat yang digunakan adalah digital instrument Light Meter model LX-101A. Pelaksanaan pengukuran dilakukan setiap hari pada sekitar jam 9.00 WIB dan 15.00 WIB.

Pertumbuhan microalgae sebagai hasil respon terhadap emisi CO2 diamati dengan

penghitungan secara mikroskopis setiap hari dari jumlah sel per milimeter dengan haemocytometer.

HASIL DAN PEMBAHASAN

PT. Indolakto, Sukabumi menggunakan 3 (tiga) buah boiler yang berbahan bakar ‘heavy oil’. Bahan bakar ini harus disimpan pada temperatur sekitar 38 oC dan pada saat akan

dipompa harus dipanaskan lebih lanjut antara suhu 66 oC–121 oC. Masing-masing boiler

berkapasitas 5 ton steam per jam. Dalam pengoperasiannya setiap hari, PT. Indolakto menggunakan 2 (dua) buah boiler, sementara yang satu ada dalam posisi stand by. Tekanan operasi dari boiler mencapai 8 bar. Temperatur pada gas buang mencapai 230 oC. Gas buang

dikeluarkan melalui cerobong (menara) setinggi kurang lebih 10 meter.

Untuk penelitian pemanfaatan CO2 dari cerobong boiler yang dilakukan di PT. Indolakto, Cicurug, Sukabumi, tidak dilakukan proses desulfurisasi. Hal itu disebabkan karena PT. Indolakto menggunakan gas dari Perusahaan Gas Negara. Menurut PGN, gas yang digunakan oleh PT. Indolakto yang berlokasi di area Bogor mempunyai nilai kalor sebesar 900 – 1300 BTU/SCF atau 7703 – 11127 Kcal/m3.

Sebelum melakukan perakitan dan instalasi kolam kultur, terlebih dahulu dilakukan perancangan rangkaian penelitian yang tertera pada gambar 1. Setelah dilakukan perancangan, maka dilakukan pembuatan unit-unit operasi yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian pemanfaatan dan penyerapan CO2 menggunakan kultur mikroalga

(8)

Pencatuan CO2

Emisi dari boiler mempunyai suhu yang tinggi, yaitu sekitar 210 oC. Rangkaian proses yang

ditambahkan ialah: pemipaan, kompresor dan scrubber untuk menyerap partikulat dan SOx, penukar panas, kolam pendingin, penampung kondensat.

Pemipaan gas buang dengan memasukkan ujung pipa ke dalam cerobong asap dibuat menyerupai corong. Supaya terjadi aliran gas, maka dipakai kompresor yang sudah dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan adalah memanfaatkan inlet udara masuk sebagai inlet gas CO2. Gas kemudian dialirkan melalui proses penyerapan kandungan partikulat dan senyawa sulfur dan ditampung di dalam kantung gas ekualisasi. Di dalam kantung gas ini dilakukan pengukuran kualitas

gas. Apabila sudah dicapai kualitas gas yang diinginkan maka dengan menggunakan sebuah aerator, gas dialirkan ke dalam penampung gas yang siap untuk dimasukkan ke dalam kolam kultur. Gas dialirkan dari bagian dasar kolam melalui distributor (sparger) yang berjumlah 6 buah.

Sistem pengaliran gas dari penampung gas ke dalam kolam kultur diatur menggunakan timer. Sebuah aerator digunakan untuk mengalirkan gas ke dalam kolam. Proses pengadukan kolam (menggunakan pedal) dan pemasukan gas ke dalam kolam dilakukan bersamaan dan diatur oleh sebuah timer. Dengan sistem demikian, maka aliran gas akan mengalami kontak dengan media kultur dalam waktu yang lebih lama.

Gambar 1. Rangkaian penelitian di PT. Indolakto.

(9)

Pertumbuhan Mikroalga

Hasil pengamatan mikroalga Euglena sp. pada awalnya menunjukkan respon pertumbuhan yang kurang baik dengan tampaknya warna hijau kekuningan. Hasil analisis kandungan nutrisi pada media menunjukkan kekurangan unsur P. Setelah dilakukan penambahan unsur P yang terkandung pada pupuk NPK (16:16:16) sebanyak 35 mg/l, warna mikroalga berubah hijau segar dan tampak mulai terjadi pertumbuhan. Grafik pertumbuhan mikroalga pada periode I dan II disajikan pada Gambar 2 dan 3. Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan kolam kultur telah mendukung pertumbuhan mikroalga. Mikroalga Euglena sp mampu menyerap CO2 dengan konsentrasi 15-50% .[8] Mikroalga Euglena sp merupakan

mikroalga kosmopolit yang sebagian besar hidup di lingkungan akuatik baik perairan tawar, laut maupun payau yang banyak mengandung nutrisi, juga ditemukan di tanah dan di tempat lembab. Sel Euglena sp. memiliki tingkat reproduksi yang tinggi, setiap sel Euglena sp. mampu berkembang menjadi 10.000 sel dalam waktu 24 jam. [3]

Analisa dan Interpretasi Kinerja Kolam Kultur

Gas yang dihisap dari cerobong asap boiler menggunakan pemipaan (galvanis) berdiameter ½ inchi mempunyai kondisi sebagai berikut. Debit gas masuk ke dalam kolam 2,091 L/menit. Rata-rata konsentrasi CO2 yang masuk ke dalam kolam adalah 6,17%. Dengan mengatur timer, maka dibuat dua tahap pemasukan jumlah gas yang masuk ke dalam kolam yang masing-masing nilainya sebesar 1003,68 L/hari pada periode I dan 1.505,52 L/hari pada periode II. Kondisi gas masuk ke dalam kolam dapat dilihat pada Tabel 1. Maka dapat dihitung efisiensi penyerapan CO2 yaitu 96,90% untuk periode I (hari 1-16) dan 98,87% untuk periode II (hari 1-25).

Budidaya Euglena sp. dengan tektik kultur bergantung pada kesesuaian antara jenis mikroalga yang dibudidayakan dan beberapa faktor lingkungan, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah faktor pengadukan agar metabolisme sel mikroalga tidak mengganggu.-[7]

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Euglena sp pada periode I pemberian emisi CO2

Jumlah sel mikroalga

(sel/ml x 10

(10)

Pemanfaatan kultur mikroalga pada industri untuk penyerapan emisi CO2 perlu dilakukan kontrol dalam fotobioreaktor. Upaya pemanfaatan alga sebagai carbon sink

Gambar 3. a dan b. Grafik Pertumbuhan Mikroalga pada periode II pemberian emisi CO2

Jumlah sel mikroalga

(sel/ml x 10

5)

b.

Jumlah sel mikroalga

(sel/ml x 10

5)

membutuhkan pengetahuan tentang jenis-jenis yang cocok dan kondisi lingkungan yang optimum untuk mendorong pertumbuhan yang maksimum. [8, 9]

No Periode

Input CO2 Output CO2 Serapan CO2 Biomasa

Konsentrasi CO2 (% vol) Konsentrasi CO2 (% vol) Konsentrasi CO2 (% vol)

Liter/hr g/L/hari Efissiensi (%) x 105 (sel/ml)

1 Hari ke1- 16 6,2 0,09 6,11 117,31 211,54/1000 L = 0,2111 96,90 1060,2

2 Hari ke1- 25 6,8 0,12 6,68 160,32 289,1/1000 L = 0,29 98,87 1840,2

(11)

Gambar 5. Pengaruh intensitas cahaya (lux) terhadap pertumbuhan mikroalga (x 105 sel/ml).

Gambar 4. Pengaruh suhu (0C) terhadap pertumbuhan mikroalga (x 105 sel/ml).

Jumlah sel mikroalga

(sel/ml x 10

5)

Hubungan kondisi lingkungan dan Penyerapan CO2

Hasil pencatatan suhu di sekitar kolam kultur pada adalah 27oC pada pengukuran sekitar

pukul 09.00 dan 34oC pada pengukuran

sekitar pukul 15.00. Jika suhu meningkat

maka kelembaban menurun, hingga tercatat kelembaban minimum adalah 45% sedangkan maximum adalah 70%. Pertumbuhan mikroalga tidak tampak terpengaruh terhadap fluktuasi suhu di sekitar kolam, karena masih dalam kisaran yang sesuai untuk aktivitas metabolismenya (Gambar 4).

(12)

Gambar 6. Efisiensi penyerapan CO2 oleh mikroalga.

ada kemungkinan pemberian konsentrasi CO2 ditingkatkan hingga 20%. Dalam komposisi gas yang diberikan terkandung gas CO dengan konsentrasi lebih dari 1000 ppm, akan tetapi pertumbuhan mikroalga tidak menunjukkan adanya gangguan. Penelitian ini menggunakan mikroalga untuk penyerapan emisi CO2 industri merupakan langkah penanggulangan dampak pencemaran udara. [10] Sistem kolam kultur yang dilengkapi dengan alat penukar panas menunjukkan kemampuan dalam menurunkan suhu gas buang hingga mencapai suhu yang dapat diadaptasi oleh mikroalga.[11]

SIMPULAN

1. Penambahan nutrisi untuk pertumbuhan mikroalga dibutuhkan setiap 7 hari dan penambahan unsur P dibutuhkan setiap 14 hari.

Pengukuran intensitas cahaya menunjukkan bahwa pada pukul 09.00 menunjukkan sekitar 50.000 lux dan sekitar pukul 15.00 dapat mencapai 80.000 lux jika keadaan cuaca cerah. Kisaran intensitas cahaya tersebut sangat baik untuk pertumbuhan mikroalga (Gambar 5). Penyerapan CO2 oleh mikroalga menunjukkan kisaran 89% sampai 100%. Penyerapan tinggi terjadi terutama pada kondisi cuaca cerah dan penyerapan rendah terjadi pada cuaca mendung. Dengan demikian mikroalga Euglena sp. mampu menyerap CO2 hingga 98,87% Dinamika penyerapan CO2 tidak menunjukkan penurunan dengan meningkatnya pemberian CO2 dan pertumbuhan mikroalga cenderung meningkat (Gambar 6).

Mikroalga Euglena sp. mampu menyerap CO2 dengan konsentrasi 15-20%.[8,9] Dalam penelitian ini, konsentrasi CO2 yang digunakan 6,71%. Dengan demikian, masih

(13)

2. Berdasarkan data pertumbuhan mikroalga dan grafik kandungan unsur anion pada media kolam kultur tampak bahwa pertumbuhan mikroalga sangat dipengaruhi ketersediaannya nutrisi pada media kolam kultur.

3. Mikroalga Euglena sp mampu menyerap gas CO2 dengan konsentrasi 20% ( kemampuan alat Gas Analyzer hanya mendeteksi konsentrasi maksimum 20%).

4. Efisiensi penyerapan CO2 oleh mikroalga Euglena sp. dapat mencapai 98,87% dengan pemberian CO2 rata-rata sebesar 167,26 gram/hari.

DAFTAR PUSTAKA

(1) Meiviana. 2004 Faktor Lingkungan. http://aatunhalu.wordpress.com. Diakses tanggal 24 November 2010. (2) B o r o w i t z k z , M A . 1 9 9 9 .

Pharmaceuticals and agrochemicals from microalgae. In: Cohen, Z (ed) Chemicals from microalgae. Taylor & Francis. London. Pp.313-352. (3) Sanchez Miron A, Contrreras Gomez

A, Garcia Camacho F, Molina Grima E, Chisti Y. 1999. Comparative evaluation of compact photobioreactors for large-scale monoculture of microalgae. J Biotechnol 70:231-247.

(4) Technology. 2010. CO2-Adsorbing Microalgae Cultivated Using Power Plant Exhoust Gas. http://www. japanfs.org/en/pages/029515.html. 15 Nov 2010

(5) Steenblok. 2000. Heterotrophic Carbon Dioxide Fixation Products of Euglena. Plant Physiol. (1980) 65:566-568.

(6) Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Diponegoro. Semarang. (7) Dianursanti, Nuzulliany R, Wijanarko

A dan Nasikin M. 2009. Peningkatan Produksi Biomassa Chlorella vulgaris melalui perlakuan teknik pemerangkapan sel dalam aliran sirkulasi media kultur. Pros. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI. Bandung, 19-20 Oktober 2009.

(8) Jennifer, G.P and Meyrick, J.P.1979. Heterotrophic Carbon Dioxide Fixation Products of Euglena. Plant Physiol. (1980) 65:566-568.

(9) Anonim. 2010. CO2-Absorbing Microalga Cultivated Using Power Plant Exhaust Gas. http://japans. org/en/pages/029515. Diakses 15 November 2010.

(10) Kastiyowati, Indah. Dampak dan

Upaya Penanggulangan Pencemaran Udara . http://buletinlitbang.dephan.

go.id. Diakses tanggal 24 November 2010.

(11) Kraus, and Bejan. 2003. Heat Transfer Handbook. USA: John Wiley and Sons.

(14)

POLA SUHU PERMUKAAN DAN UDARA MENGGUNAKAN CITRA

SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL

ESURFACE AND AIR TEMPERATURE PATTERN USING

MULTITEMPORAL SATELLITE IMAGE LANDSAT

Wiweka1

(Diterima tanggal 30-11-2013; Disetujui tanggal 02-01-2014)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan nilai dari suhu udara pada tahun 2000, 2003, dan 2013 serta membandingkan nilai dari radiasi netto, fluks bahang, dan suhu udara pada tahun 2000 dan 2003 pada wilayah path/ row 118/065 yaitu wilayah Jawa Timur bagian utara dan Pulau Madura. Metode yang digunakan untuk pengolahan data suhu permukaan adalah berdasarkan nilai radiance pada band 6 citra Landsat 7 ETM+ path/row 118/065 tahun 2000 dan 2003 serta nilai radiance pada band 10 dan band 11 citra Landsat 8 TIRS path/row 118/065 tahun 2013. Radiasi netto tahun 2000 dan 2003 menggunakan pengolahan radiance dan reflectance landsat 7 melalui pendeka-tan persamaan Stefan-Boltzman. Fluks bahang pendeka-tanah menggunakan radiance yang diklasifikasikan berdasarkan nilai dari proporsi radiasi netto dan bahang tanah pada penelitian sebelumnya. Fluks bahang terasa menggunakan pendekatan bowen ratio, sedangkan fluks bahang laten menggunakan persamaan neraca energi. Nilai suhu udara pada tahun 2000 memiliki nilai yang tinggi berkisar antara 8o hingga 60oC, Sedangkan pada tahun 2003 berkisar

antara 8o hingga 45oC dan 2013 berkisar antara 12.8o hingga 41.2oC. Radiasi netto di wilayah kajian pada tahun

2000 berkisar antara 366 hingga 792 W/m2. Sedangkan pada tahun 2003 berkisar antara 340 hingga 761 W/m2. Nilai fluks bahang tanah tahun 2000 berkisar antara 25 hingga 82 W/m2, sedangkan tahun 2003 nilai fluks bahang

tanah berkisar antara 37 hingga 78 W/m2. Nilai fluks bahang terasa tahun 2000 berkisar antara 31 hingga 534 W/

m2, sedangkan untuk tahun 2003 berkisar antara 50 hingga 508 W/m2. Nilai fluks bahang laten tahun 2000 berkisar

antara 65 hingga 670 W/m2, sedangkan untuk tahun 2003 berkisar antara 60 hingga 645 W/m2. Suhu udara tahun

2000 berkisar antara 0o hingga 52oC, sedangkan untuk tahun 2003 berkisar antara 1o hingga 41o C.

Kata Kunci : fluks bahang, suhu permukaan, radiasi netto, suhu udara, Landsat-8

ABSTRACT

This study aimed to compare the value of air temperature in 2000, 2003 and 2013, as well as comparing the value of the net radiation, heat flux, and the air temperature in 2000 and 2003 in the area of path / row 118/065 is the northern part of East Java and Madura Island. The method used for the processing of surface temperature data is based on the value of radiance at band 6 of Landsat 7 ETM + path / row 118/065 2000 and 2003 as well as the value of radiance at band 10 and band 11 Landsat 8 TIRS path / row 118/065 2013. Net radiation between 2000 and 2003 using radiance and reflectance processing of Landsat 7 via the Stefan-Boltzmann equation approach. Soil heat flux using a radiance which is classified based on the value of the proportion of net radiation and soil heat in previous studies. Heat flux was using the Bowen ratio approach, while the latent heat flux using the energy balance equation. Temperatures predicted by the heat flux was combined with the aerodynamic resistance value. Value of air temperature in 2000 has a high value ranged from 8o to 60oC, while in 2003 ranged from 8o to 45oC and 2013

ranged from 12.8o to 41.2oC. Net radiation in the study area in 2000 ranged from 366 to 792 W/m2. While in 2003

ranged from 340 to 761 W/m2. Soil heat flux values in 2000 ranged from 25 to 82 W/m2, while the heat flux value

of 2003 soil ranged from 37 to 78 W/m2. Heat flux value was in 2000 ranged from 31 to 534 W/m2, while for 2003

ranged from 50 to 508 W/m2. Latent heat flux values in 2000 ranged from 65 to 670 W/m2, while for 2003 ranged

from 60 to 645 W/m2. Temperatures in 2000 ranged from 0o to 52oC, while for 2003 ranged from 1o to 41o C.

Keywords: Surface temperature, net radiation, heat flux, air temperature, Landsat

1 Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh-LAPAN, Jalan Kalisari 8 Jakarta Timur. Telp: 021-8706582, Fax: 021-8722733.

(15)

PENDAHULUAN

Teknologi penginderaan jauh semakin berkembang melalui kehadiran berbagai sistem satelit dengan berbagai misi dan teknologi sensor. Aplikasi satelit penginderaan jauh telah mampu memberikan data/informasi tentang sumberdaya alam dataran dan sumberdaya alam kelautan secara teratur dan periodik. Ketersediaan data penginderaan jauh/citra satelit dalam bentuk digital memungkinkan penganalisaan dengan komputer secara kuantitatif dan konsisten. Selain itu data penginderaan jauh dapat digunakan sebagai input yang independen untuk verifikasi lapangan [1]. Dengan teknologi penginderaan jauh, penjelajahan lapangan dapat dikurangi, sehingga akan menghemat waktu dan biaya bila dibanding dengan cara turun langsung di lapangan. Salah satu analisis penginderaan jauh yang biasa digunakan adalah menggunakan citra satelit Landsat. Satelit Landsat bertujuan untuk menghasilkan data seri seluruh daratan dan wilayah pesisir bumi dengan perekaman citra menggunakan panjang gelombang tampak (visible) dan inframerah kualitas tinggi [2]. Neraca energi merupakan kesetimbangan antara masukan energi dari surya dengan kehilangan energi oleh permukaan setelah melalui proses-proses yang kompleks. Fluktuasi suhu udara berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi matahari akan diserap oleh gas -gas atmosfer dan partikel-partikel padat yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tercapai. Intensitas cahaya maksimum tercapai pada

saat berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari.

Suhu permukaan mengindikasikan besarnya tutupan lahan pada wilayah tersebut, yang berpengaruh juga terhadap radiasi netto yang diserap dan dipantulkan oleh tutupan lahan. Selain hal itu, fluks bahang mengindikasikan besar energi yang diserap oleh sebuah tutupan lahan, dan mengindikasikan besarnya energi yang dibutuhkan untuk memanaskan permukaan [3]. Suhu udara pun akan dipengaruhi oleh jenis tutupan lahan yang berada di permukaan bumi. Perubahan atau alih fungsi lahan vegetasi menjadi lahan terbangun mengindikasikan adanya perubahan dari semua aspek yang telah dijelaskan, Sehingga dari hal-hal tersebut, dibutuhkan penelitian untuk melihat perubahan-perubahan nilai suhu permukaan, radiasi netto, fluks bahang, dan suhu udara.Penelitian ini akan melihat perubahan nilai suhu permukaan, radiasi netto, fluks bahang, dan suhu udara pada wilayah path/row 118/065 berdasarkan data citra satelit landsat 7 ETM+ tahun 2000 dan 2003 serta data citra satelit landsat 8 OLI/ TIRS tahun 2013. Tujuan penelitian ini adalah; 1) melihat dan membandingkan perubahan nilai suhu permukaan pada wilayah path/ row 118/065 tahun 2000, 2003, dan 2013; 2) melihat dan membandingkan perubahan radiasi netto, fluks bahang, dan suhu udara pada wilayah path/row 118/065 tahun 2000 dan 2003, dan; 3) membandingkan hasil nilai permukaan, radiasi netto, fluks bahang, dan suhu udara pada masing-masing tutupan lahan berupa badan air, vegetasi, awan, dan lahan terbangun.

Penginderaan jauh (inderaja) secara umum didefinisikan sebagai cara untuk memperoleh

(16)

informasi dari obyek tanpa mengadakan kontak fisik dengan obyek tersebut, sedangkan secara khusus adalah usaha untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik baik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek. Landsat 8 merupakan citra satelit Landsat yang terbaru, merupakan hasil dari USGS EROS Center. Landsat 8 menggunakan perhitungan dan kalibrasi skala Digital Number (DN) yang merepresentasikan gambar multispectral menggunakan dua hal yaitu Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS). Produk landsat 8 menggunakan format data 16-bit unsigned integer yang dapat dirubah menjadi radiance dan reflectance Top Of Atmosphere (TOA). Suhu permukaan dapat diartikan suhu bagian terluar dari suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah sedangkan untuk vegetasi seperti hutan [4] dapat dipandang suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya akan meningkat. Hal ini juga akan meningkatkan fluks energi (radiasi gelombang panjang) yang keluar dari permu-kaan benda tersebut. Suhu permupermu-kaan bukan-lah suhu udara, keduanya memiliki nilai aktual yang bervariasi menurut ruang dan waktu. Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat), terutama pada siang hari, karena suhu permukaan benda lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara [5]. Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya belum tentu sama. Hal ini tergantung pada sifat fisik obyek pada permukaan tersebut. Sifat fisis obyek tersebut diantaranya: emisivitas,

konduktivitas termal dan kapasitas panas jenis. Suatu obyek permukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah sedangkan konduktivitasnya termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaan meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada suatu obyek yang memiliki emisivitas dan kapasitas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas termalnya rendah akan menyebabkan lebih rendahnya suhu permukaan. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara [6]. Radiasi gelombang pendek dan albedo diestimasi berdasarkan nilai spectral radiance yang diperoleh dari nilai digital number. Pada satelit penginderaan jauh, radiasi gelombang elektromagnetik yang dideteksi oleh sensor termal disebut “suhu kecerahan (Brightness Temperature)” [9,10]. Untuk menghitung nilai suhu permukaan pada data satelit Landsat sebelumnya harus diketahui dulu nilai suhu kecerahan. Estimasi suhu permukaan dari data thermal, nilai digital piksel citra harus dikonversi terlebih dahulu ke radiance menggunakan data kalibrasi sensor.

Radiasi netto adalah jumlah energi radiasi gelombang pendek yang datang dikurangi dengan energi radiasi gelombang pendek yang keluar ditambah energi radiasi gelombang panjang yang datang dan dikurangi energi gelombang panjang yang keluar. Berdasarkan persamaan radiasi netto, radiasi gelombang pendek ditentukan oleh nilai albedo, sedangkan radiasi gelombang panjang yang diterima bumi ditentukan oleh nilai suhu udara dan radiasi gelombang panjang yang keluar ditentukan oleh nilai suhu permukaan. Fluks bahang tanah (G) merupakan sejumlah energi matahari yang sampai pada permukaan

(17)

tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Bentuk aliran energi pada fluks panas udara berupa konduksi di mana sebagian energi kinetik molekul benda/medium yang bersuhu lebih tinggi dipindahkan ke molekul benda yang lebih rendah melalui tumbukan molekul-molekul tersebut. Fluks bahang terasa (H) atau fluks pemanasan udara merupakan energi yang digunakan untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara. Fluks lengas terasa pada umumnya berlangsung secara konveksi dimana panas dipindahkan bersama-sama dengan fluida yang bergerak. Fluks bahang laten (LE) merupakan limpahan energi yang digunakan untuk menguapkan air ke atmosfer. Fluks panas laten adalah jumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa air menjadi uap pada suhu yang sama. Bila terjadi evaporasi, maka sistem yang berevaporasi mengalami pengurangan energi, sedangkan aliran energi akan bersifat positif. Pada proses ini terjadi konversi panas laten menjadi lengas terasa yang kemudian meningkatkan suhu udara dan menurunkan suhu permukaaan.Suhu permukaan bukanlah suhu udara. Nilai aktual keduanya bisa jauh berbeda dan bervariasi menurut ruang dan waktu. Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa

(Sensible heat), terutama pada siang hari, karena suhu permukaan benda lebih tinggi dari suhu udara. Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel-partikel padat yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tercapai. Intensitas cahaya maksimum tercapai pada saat berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari. Salah satu metode untuk menduga nilai suhu udara adalah dengan menggunakan metode regresi linear berganda dengan input berupa suhu permukaan, NDVI, ketinggian, serta letak lintang [7].

METODOLOGI

Bahan yang digunakan adalah data citra Landsat 7 ETM+ Path/Row 118/065 tahun 2000 dan 2003 serta citra Landsat 8 OLI/TIRS Path/Row 118/065 tahun 2013. Langkah yang dilakukan dalam mengerjakan penelitian ini disajikan dalam gambar 1.

(18)

Untuk menghitung suhu permukaan(Ts), dilakukan perhitungan spectral radiance(Lλ) dan temperature brightness(Tb), formulanya di persamaan (1), (2), dan (3). Bila digunakan citra satelit Landsat 7 ETM+ digunakan band 61 dan band 62

a. Spectral radiance

Keterangan :Lλ= Spectral radiance pada kanal ke-i (Wm-2sr-1μm-1), QCAL= Nilai

digital number kanal ke-i , Lmin= Nilai minimum spectral radiance kanal ke-i, Lmax= Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-i, QCALmin= Minimum pixel value (1), QCALmax= Maksimum pixel value (255) b. Temperature Brightness (Tb) Keterangan :Tb = Temperature Brightness (K), K1= 666.09 (Wm-2sr-1μm -1),K2= 1282.71 (K), L λ = S p e c t r a l radiancepadakanalke-i (Wm-2sr-1μm-1) c. Suhu permukaan (Ts) Keterangan : Ts= permukaan (K), Tb=-Temperature Brightness (K), λ= 11.5 μm (Nilai tengah panjang gelombang kanal 6, δ= hc/σ besarnya (1.438 x 10-2 m

K), h = Konstanta Planck (6.26 x 10-34J

sec), c = Kecepatancahaya (2.998 x 108m s-1),=Konstanta Stefan-Boltzman

(1.38 x 10-23J K-1), ε=Emisivitasobjek,

untukbadan air= 0.98, RTH= 0.95, non-RTH= 0.92

Untuk menghitung radiasi netto (Rn), digunakan spectral radiance (Lλ), radiasi gelombang pendek keluar (Rs Out), albedo (α), radiasi gelombang pendek masuk (Rs In), radiasi gelombang pendek netto (Rs Netto), radiasi gelombang panjang keluar (Rl Out)

a. Spectral radiance

Keterangan : Lλ=Spectral radiance pada kanal ke-i (Wm-2sr-1μm-1),QCAL

=Nilai digital number kanal ke-i , Lmin = Nilai minimum spectral radiance kanal ke-i, Lmax=Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-i , QCALmin = Minimum pixel value (1), QCALmax = Maksimum pixel value (255)

b. Radiasi gelombang pendek keluar (Rs Out)

Keterangan:Rs Out= Radiasi Gelombang Pendek Keluar (W/m2), d2=Jarak

astronomi matahari ke bumi (dalam unit astronomi), Lλ = Spectral radiance pada kanal ke-i (Wm-2sr-1μm-1),

= Nilai tengah dari panjang gelombang tiap band (Tabel 1)

Tabel 1. Nilai Tengah Dari Panjang Gelombang Tiap Band

Spektral

Band Half-Amplitude Bandwidth

1 0.450 - 0.515 2 0.525 - 0.605 3 0.630 - 0.690 4 0.775 - 0.900 5 1.550 - 1.750 6 10.40 - 12.50 7 2.090 - 2.350

(19)

c. Albedo (α)

Keterangan : ESUN = Rata-rata nilai solar spectral IrradianceETM+ Solar Spectral Irradiances (Tabel 2),Lλ = S p e c t r a l radiance padakanalke-i (Wm-2sr-1μm-1),

θs= Sudut zenit matahari (90o – sun

eleva-tion), d2 = Jarak astronomi matahari ke

bumi (dalam unit astronomi), π =

Band watt/m2μm 1 1997 2 1812 3 1533 4 1039 5 230,8 7 84,9 8 1362

Tabel 2. Band landsatETM+ Solar Spectral Irradiances

d. Radiasi gelombang pendek masuk (Rs In)

Keterangan: Rs In= Radiasi gelombang pendek masuk (W/m2), Rs Out=Radiasi

gelombang pendek keluar (W/m2), α

= Albedo

e. Radiasi gelombang pendek netto (Rs Netto)

Keterangan: Rsnetto=Radiasi gelombang pendek netto (W/m2), Rs In=Radiasi

gelombang pendek masuk (W/m2), Rs

Out = Radiasi gelombang pendek keluar (W/m2)

f. Radiasi gelombang panjang keluar (Rl Out)

Keterangan:Rs Out = R a d i a s i gelombang panjang keluar (W/m2), ε

= Emisivitas objek, untuk badan air= 0.98, RTH= 0.95, non-RTH= 0.92 ,  = Tetapan Stefan-Boltzman (5.67 x 10 -8Wm2K-4), Ts = Suhu permukaan (K)

g. Radiasi netto (Rn)

Keterangan:Rsnetto = R a d i a s i gelombang pendek netto (W/m2), Rs

Out

= Radiasi gelombang panjang keluar (W/ m2)

Untuk menghitungfluks bahang dan suhu udaramenggunakan data pengolahanRn, Ts,danreclass band 542.

(20)

a. Fluks bahang tanah (G)

Keterangan:G= Perpindahan panas tanah (soil heat flux) (Wm-2) , Rn = Radiasi

netto (Wm-2)

α=Albedo permukaan, NDVI= Normalized Difference Vegetation Index, Ts= Suhu permukaan (K), G = Proporsi * Rn

Tabel 3. Nilai Rn, G Dan Proporsi Untuk Tiap-Tiap Kelas Penutup Lahan

PenutupanLahan Rn G Proporsi Tambak 212 15 0.07 SawahVegetasi 208 17 0.08 SawahBera 195 20 0.1 Industri 194 21 0.11 Perkotaan 194 20 0.1 Perdesaan 201 19 0.1 Belukar 207 18 0.09 Perkebunan 213 16 0.08

b. Fluks bahang terasa (H)

Keterangan:H=Perpindahan panas terasa (sensible heat flux) (Wm-2),Rn= Radiasi

netto(Wm-2) , β= Bowen Ratio, G

= Perpindahanpanastanah, soil heat flux (Wm-2), β =

Tabel4. Nilai Bowen Ratio UntukTiap Tiap KelasP enutup Lahan

PenutupanLahan Bowen Ratio (β)

Pemukiman 4.0

Perkebunan 0.5

Air 0.11

Sawah 0.25

HutanTropis 0.33

c. Fluks bahang laten (LE)

Keterangan:H= Perpindahan panas terasa (sensible heat flux) (Wm-2), G=

Perpindahan panas tanah (soil heat flux) (Wm-2), Rn = Radiasi netto (Wm-2)

d. Suhu udara (Ta)

Keterangan:H= Fluks Pemanasan Udara (Wm -2), ρair= Kerapatan udara lembab (1,27 Kg m-3),Cp= Panas spesifik udara

pada tekanan konstan (1004 JKg-1K -1),Ts= Suhu permukaan (K) Ta = Suhu

udara (K), raH = Tahanan aerodinamik (sm-1), raH = 31.9u-0.96

Tabel 5. Nilai Kecepatan Angin Untuk Tiap-Tiap Kelas Penutup Lahan

PenutupanLahan KecepatanAngin (ms-1)

Air 2.01

Non vegetasi 1.79

Vegetasi 1.41

HASIL DAN PEMBAHASAN

Radiasi gelombang pendek dan albedo diestimasi berdasarkan nilai spectral radiance yang diperoleh dari nilai digital number. Pada satelit penginderaan jauh, radiasi gelombang elektromagnetik yang dideteksi oleh sensor termal disebut “suhu kecerahan (Brightness Temperature)”. Untuk menghitung nilai suhu permukaan pada data satelit Landsat sebelumnya harus diketahui dulu nilai suhu kecerahan. Estimasi suhu permukaan dari data thermal, nilai digital piksel citra harus dikonversi terlebih dahulu ke radiance

(21)

menggunakan data kalibrasi sensor. Suhu permukaan di wilayah Kajian pada tahun 2000 berkisar antara 8o hingga 60 oC tersaji di

gambar 3. Sedangkan pada tahun 2003 nilai suhu permukaan berkisar antara 8o hingga

45 oC tersaji di gambar 4. Suhu permukaan

bernilai rendah terdapat pada awan dan dataran tinggi (gunung atau bukit), dimana awan dan dataran tingi memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan semua tutupan lahan dan ketinggian yang ada dipermukaan. Untuk suhu permukaan yang bernilai tinggi, terdapat di lahan terbangun, yang merupakan wilayah yang kurang ditutupi oleh vegetasi dan merupakan daerah dataran rendah.

Radiasi netto adalah jumlah energy radiasi gelombang pendek yang datang dikurangi dengan energy radiasi gelombang pendek yang keluar ditambah energy radiasi gelombang panjang yang datang dan dikurangi energy gelombang panjang yang keluar. Berdasarkan persamaan radiasi netto, radiasi gelombang pendek ditentukan oleh nilai albedo, sedangkan radiasi gelombang panjang yang diterima bumi ditentukan oleh nilai suhu udara dan radiasi gelombang panjang yang keluar ditentukan oleh nilai suhu permukaan. Radiasi netto di wilayah kajian pada tahun 2000

Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai-Nilai Suhu Permukaan, Radiasi Netto, Fluks Bahang Tanah, Fluks Bahang Terasa, Fluks Bahang Laten, Dan Suhu Udara

Tahun 2000 Tahun 2003 Tahun 2013 SuhuPermukaan (oC) 8 - 60 8 - 45 12.8 – 42.1 RadiasiNetto (W/m2) 366 - 792 340 - 761 -FluksBahang Tanah (W/m2) 25 - 82 37 - 78

-Fluks Bahang Terasa (W/m2) 31 - 534 50 - 508

-FluksBahangLaten (W/m2) 65 - 670 60 - 645

-SuhuUdara (oC) 0 - 52 1 - 41

-berkisar antara 366 hingga 792 W/m2tersaji

di gambar 5. Sedangkan pada tahun 2003 berkisar antara 340 hingga 761 W/m2tersaji di

gambar 6. Radiasi netto bernilai tinggi terdapat pada badan air dan daerah dataran tinggi, pada tempat ini nilai radiasi netto bernilai tinggi karena merupakan wilayah yang lebih banyak menyerap radiasi dan sedikit untuk mengembalikan radiasi tersebut, radiasinya berbentuk radiasi gelombang panjang dan pendek. Nilai radiasi netto bernilai kecil pada awan, dimana awan lebih banyak menyerap radiasi dibandingkan mengembalikan radiasi tersebut.Fluks bahang terdiri dari fluks bahang tanah (G), fluks bahang terasa (H), dan fluks bahang laten (LE). Fluks bahang tanah (G) merupakan sejumlah energi matahari yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Bentuk aliran energi pada fluks panas udara berupa konduksi di mana sebagian energi kinetik molekul benda/medium yang bersuhu lebih tinggi dipindahkan ke molekul benda yang lebih rendah melalui tumbukan molekul-molekul tersebut.

Fluks bahang tanah pada wilayah kajian tahun 2000 dan tahun 2003 memiliki nilai tertinggi di wilayah darat tersaji di gambar 7 dan gambar

(22)

8, karena fluks bahang tanah merupakan energi yang digunakan untuk memanaskan permukaan dengan cara konduksi, sehingga tanah merupakan media/objek yang paling terpengaruhi oleh fluks tersebut. Berbeda dengan air dan awan yang memiliki nilai fluks bahang tanah yang kecil karena air dan awan lebih banyak dipanaskan dalam proses konveksi. Nilai fluks bahang tanah tahun 2000 berkisar antara 25 hingga 82 W/m2, sedangkan

tahun 2003 nilai fluks bahang tanah berkisar antara 37 hingga 78 W/m2.Fluks bahang terasa

(H) atau fluks pemanasan udara merupakan energi yang digunakan untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara. Fluks lengas terasa pada umumnya berlangsung secara konveksi dimana panas dipindahkan bersama-sama dengan fluida yang bergerak. Fluks bahang terasa pada wilayah kajian tahun 2000 dan 2003 memiliki nilai tertinggi di awan, hal tersebut terjadi karena awan terpanaskan melalui proses konveksi serta awan merupakan proses pengangkatan massaa fluida ke udara yang didorong oleh fluks bahang tersa tersebut. Nilai terkecil fluks bahang terasa terdapat di wilayah perairan , hal tersebut dikarenakan air memiliki kapasitas panas yang tinggi sehingga mampu menjaga panas dalam keadaan yang lebih lama yang menjadikan fluks bahang terasa itu kecil. Nilai fluks bahang terasa tahun 2000 berkisar antara 31 hingga 534 W/m2, sedangkan untuk

tahun 2003 berkisar antara 50 hingga 508 W/ m2 tersaji di gambar 9 dan gambar 10. Fluks

bahang laten (LE) merupakan limpahan energi yang digunakan untuk menguapkan air ke atmosfer. Menurut Monteith dan Unsworth (1990), fluks panas laten adalah jumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu

unit massa air menjadi uap pada suhu yang sama. Bila terjadi evaporasi, maka sistem yang berevaporasi mengalami pengurangan energi, sedangkan aliran energi akan bersifat positif. Pada proses ini terjadi konversi panas laten menjadi lengas terasa yang kemudian meningkatkan suhu udara dan menurunkan suhu permukaaan. Fluks bahang terasa pada wilayah kajian tahun 2000 dan 2003 memiliki nilai tertinggi di badan air, hal tersebut karena membutuhkan energi yang besar untuk menguapkan air, sehingga fluks bahang laten tersebut bernilai tinggi. selain itu, air memiliki kapasitas panas yang tinggi sehingga dibutuhkan energi yang besar untuk mengubah bentuknya menjadi uap air. Nilai fluks bahang laten terkecil terdapat di daratan rendah yang cenderung kering dan memiliki sedikit kandungan air, sehingga energi yang diperlukan untuk mengupakan air tidak terlalu besar. Nilai fluks bahang laten tahun 2000 berkisar antara 65 hingga 670 W/m2,

sedangkan untuk tahun 2003 berkisar antara 60 hingga 645 W/m2 terjsaji di gamabr 11 dan

gambar 12. Suhu udara pada wilayah kajian tahun 2000 dan 2003 memiliki nilai tertinggi di wilayah lahan terbangun tersaji di gambar 13 dan gambar 14, hal tersebut karena pada lahan terbangun tidak terjadi penyerapan radiasi, sehingga lebih banyak memantulkan. Hal tersebut menyebabkan suhu udara meningkat, sesuai dengan fluks bahang terasa yang tinggi energinya di wilayah tersebut. Nilai suhu udara pada wilayah kajian tahun 2000 berkisar antara 0o hingga 52oC, sedangkan untuk tahun

2003 berkisar antara 1o hingga 41o C. Untuk

tahun 2013, data yang digunakan adalah data citra landsat 8 OLI/TIRS. Pada tahun 2013 hanya menghitung nilai dari suhu permukaan

(23)

berdasarkan reflectance yang di miliki oleh sensor thermal yaitu TIRS. Nilai reflectance pada landsat 8 dapat dilihat pata meta data citra satelit tersebut. Berdasarkan perhitungan reflectance tersebut, didaptkan nilai suhu permukaan pada tahun 2013 berkisar antara 12.8 o hingga 42.1 oC. Pada tahun 2013 nilai

radiasi netto, fluks bahang dan suhu udara tidak dilakukan pengolahan, karena terdapat metode yang berbeda dan belum menemukan metode yang sesuai untuk mengolah nilai tersebut berdasarkan radiance dari citra landsat 8 tersebut.

SIMPULAN

Suhu udara dari tahun 2000, 2003, dan 2013 mengalami penurunan hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya tutupan awan pada tahun 2003 dan 2013 sehingga mempengaruhi nilai dari suhu permukaan tersebut. Pada radiasi netto dan fluks bahang tahun 2000 dan 2003 terjadi perubahan yang terlalu signifikan, dapat diartikan bahwa untuk tahun 2000 dan 2003 tidak terjadi perubahan tutupan lahan

yang terlalu signifikan. Untuk suhu udara terjadi penurunan pada tahun 2000 ke tahun 2003, hal tersebut karena adanya tutupan awan yang menyebabkan suhu udara sekitar awan lebih dingin dari suhu permukaan bumi. Suhu permukaan memiliki nilai tertinggi pada penutupan lahan terbangun dan suhu permukaan terendah dimiliki oleh awan. Radiasi netto tertinggi terdapat pada badan air dan daerah dataran tinggi dan radiasi netto bernilai kecil pada awan. Fluks bahang memiliki nilai tertinggi di wilayah darat dan nilai fluks bahang tanah yang kecil terdapat pada air dan awan. Fluks bahang terasa memiliki nilai tertinggi di awan dan nilai terkecil fluks bahang terasa terdapat di wilayah perairan. Fluks bahang terasa memiliki nilai tertinggi di badan air dan nilai fluks bahang laten terkecil terdapat di daratan rendah. Suhu udara memiliki nilai tertinggi di wilayah lahan terbangun, hal tersebut karena pada lahan terbangun tidak terjadi penyerapan radiasi, sehingga lebih banyak memantulkan yang me-nyebabkan terjadi akumulasi bahang di udara.

(24)

Gambar 5. Radiasi netto tahun 2000

Gambar 7. Fluks bahang tanah tahun2000

Gambar 9. Fluks bahang terasa tahun2000

Gambar 11. Fluks bahang laten tahun2000

Gambar 6. Radiasi netto tahun 2003

Gambar 8. Fluks bahang tanah tahun 2003

Gambar 10. Fluks bahang terasa tahun2003

Gambar 12. Fluks bahang laten tahun2003 Gam-bar 12. Fluks bahang laten tahun2003

(25)

DAFTAR PUSTAKA

(1) Rubini A. 1995. Land Resource Balance. Conference Proceeding on Remote Sensing and GIS for Environmental Resources Management, BPPT New Building, Jakarta, June 6-8, 1995: page 7-1 to 7-14. Agency for The Assessment and Application of Technology (BPPTeknologi), Jalan Thamrin No.8 Jakarta.

(2) Purwadhi F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Grasindo. (3) USGS. 2002. Landsat 7 Science Data

Users Handbook. http://ltpwww.gsfc. nasa.gov/IAS /handbook_htmls/ chapter111.html. [14 April 2012] (4) Handayani N. 2007. Identifikasi

Perubahan Kapasitas Panas Kawasan Perkotaan Dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM+ (studi kasus : Kodya Bogor). Skripsi. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.

(5) Kalfuadi Y. 2009. Analisis Temperature Heat Index (THI) Dalam Hubungannya Dengan Ruang Terbuka Hijau (studi kasus : Kabupaten Bungo – Propinsi Jambi). Skripsi. Bogor: Jurusan Geofisika dan meteorology FMIPA IPB.

Gambar 13. Suhu udara tahun 200 Gambar 14. Suhu udara tahun 2003bar 12. Fluks bahang laten tahun2003

(6) Kiefer TM. Dan Lillesand RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Bulaksumur.

(7) Khomarudin M R, Roswintiarti O, Tjahjaningsih A. 2005. Estimasi U n s u r - U n s u r C u a c a U n t u k Mendukung Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan Dengan Data Modis. Jakarta: LAPAN

(8) Ligar BW. 2008. Penyusunan Metode Kuantifikasi Pengaruh Luas Dan Jarak RTH Terhadap Kondisi Suhu Udara Dengan Menggunakan Data Satelit. Skripsi. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.

(9) Offer Rozenstein 1, Zhihao Qin , Yevgeny Derimian and Arnon Karnieli ,Derivation of Land Surface Temperature for Landsat-8 TIRS Using a Split Window Algorithm, Sensors 2014, 14, 5768-5780; doi:10.3390/s140405768,ISSN 1424-8220, www.mdpi.com/journal/sensors (10) Rajeshwari A, Mani N D2, Estimation

Of Land Surface Temperature Of Dindigul District Using Landsat 8 Data, Ijret: International Journal Of Research In Engineering And Technology Eissn: 2319-1163 | Pissn: 2321-7308

(26)

IDENTIFIKASI AWAL POLYAROMATIC HYDROCARBONS (PAHs) DI

UDARA AMBIEN SERPONG-JAKARTA

PRE-IDENTIFICATION OF POLYAROMATIC HYDROCARBONS (PAHs) IN

SERPONG-JAKARTA AMBIENT AIR

Dewi Ratnaningsih1, Hari W1, Esrom H1, Jetro S1

(Diterima tanggal 23-09-2013; Disetujui tanggal 02-01-2014) ABSTRAK

Pengukuran Polyaromatic hydrocarbons (PAHs) dengan menggunakan Passive Air sampling (PAS) bertujuan untuk identifikasi awal pencemaran PAHs di udara ambien. Passive air sampling yang berisi poliurethan foam (PUF) berbentuk lingkaran dengan diameter 14 cm dan ketebalan 1.35 cm dipaparkan selama 42 hari di Serpong dan di Jakarta untuk menangkap sampel udaradalam bentuk gas secara pasif. Metode ekstraksi dan pemurnian dilakukan terhadap sampel yang ada didalam PUF, dan proses selanjutnya analisis menggunakan GCMS.∑15 PAH di Jakarta terdeteksi dengan konsentrasi 74 ng/m3 sedangkan di Serpong terdeteksi dengan konsentrasi 34 ng/m3.∑

15 PAH

tersebut terdeteksi dengan pola distribusi yang mirip namun dengan konsentrasi ∑15 PAH di Jakarta dua kali lebih tinggi dibandingkan di Serpong. Kemiripan pola distribusi konsentrasi PAHs menunjukkan kemiripan sumber pencemar PAHs. Hasil rasio individual PAH menunjukkan bahwa sumber pencemar PAH di dua lokasi tersebur mayoritas berasal dari minyak bumi.

Kata Kunci: Passive Air Sampling, PAHs, PUF, ekstraksi organik, GCMS

ABSTRACT

The aim of this study is in order to identified contamination of PAHs in the ambient air by using passive air sam-pler. Poliurethane Foam (PUF) with diameter 14 cm and thickness 1,35 cm were used for collecting gas phase of ambient air passively by using Passive Air Sampling. PUF were exposured in Serpong and Jakarta during 42 days. PUF were extracted by organic solvent and purified before analysis by using GCMS. Ambient air concetration of 15 PAH in Jakarta was detected 74 ng/m3 two times higher than in Serpong 34 ng/m3 with similir distribution pattern of PAHs in those two locations. Similar distribution pattern reflected similar polution source of PAHs. Rasio calculation of individual PAHs indicated that PAHs pollution in ambient air majority resulted from petroleum. Keyword: Passive Air Sampling, PAHs, PUF, organic extracted, GCMS.

PENDAHULUAN

Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), atau dikenal sebagai poly-aromatic hydrocarbons atau polynuclear aromatic hydrocarbons, merupakan senyawa organik yang berpotensi menjadi pencemar di lingkungan baik di udara, air, sedimen maupun tanah. Senyawa ini dihasilkan dari proses pembakaran tidak sempurna dan atau proses tekanan tinggi.

PAHs dengan kandungan dua sampai delapan cincin aromatik terdiri dari ratusan senyawa individual di lingkungan, namun hanya 16 senyawa yang termasuk dalam daftar pencemar prioritas oleh US-EPA (United

States-Environmental Protection Agency) yang

umum dijadikan target dalam pemantauan lingkungan yaitu naphthalene, acenaphthylene,

acenaphthene, fluorene, phenanthrene,

1 PUSARPEDAL-Kementerian Lingkungan Hidup. Kawasan Puspiptek gedung 210, Jl Raya Puspiptek-Serpong,

(27)

anthracene, fluoranthene, pyrene,

benzo[a]anthracene, chrysene,benzo(a) pyrene, benzo[b]fluoranthene, benzo[k] fluoranthenedibenz(ah)anthracene, benzo(ghi) perylene, dan indeno(1,2,3-cd)pyrene [1]. Agency for Toxic Subtances and Disease Registry (ATSDR) menentukan 17 senyawa PAHs yang terdiri semua senyawa dalam daftar EPA (tidak termasuk naphthalene ) ditambah dengan coronene dan benzo(e) pyrene [4].

Individual PAH sangat bervariasi, dan memiliki sifat tidak mudah larut dalam air atau bersifat lipofilik sehingga mudah terakumulasi dalam jaringan lemak, sebagian mudah menguap di udara namun sebagian besar cenderung terserap di dalam bahan partikulat organik. PAH yang lebih berat akan berasosiasi dengan bahan partikel diudara sehingga jatuhnya partikel partikel tersebut merupakan jalur terjadinya pencemaran. PAH dengan cincin aromatik lebih besar atau sama dengan lima akan dominan berada di partikel halus (<2,5 um) sedangkan PAH dengan dua atau tiga cincin aromatik hampir keseluruhanya berada dalam fase uap dan PAH dengan empat cincin aromatik berada pada posisi tengah fase gas dan partikel halus [2].

Sebagai polutan, PAHs ini telah menjadi perhatian karena beberapa senyawa telah diidentifikasi sebagai karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik. Toksisitas PAHs secara struktural sangat tergantung dari isomernya, dengan formula dan jumlah cincin yang sama dapat bervariasi toksisitasnya. Salah satu senyawa PAHs yaitu benzo(a)

pyrene merupakan senyawa yang bersifat

karsinogenik, menyebabkan gangguan pada kulit manusia dan hewan serta menyebabkan

dampak berbahaya terhadap pertumbuhan

dan reproduksi [3].Manusia yang menghirup

campuran PAHs dalam periode waktu yang lama dapat terkena kanker. Beberapa PAH dapat menyebabkan kanker pada binatang percobaan, jika menghirup udara tercemar PAHs maka akan mengalami kanker paru-paru, terkontaminasi PAH lewat makanan terjadi kanker perut, dan terpapar dikulit

terjadi kanker kulit [4].

Sumber pencemar PAHs di lingkungan ada dimana mana, selain berasal dari bahan bakar fosil dan biomasa, PAHs juga terbentuk dari hasil proses pembakaran tidak sempurna bahan bakar yang mengandung karbon seperti pembakaran kayu, batubara, solar, aspal, lemak, tembako dan dupa. Pembakaran dupa ditempat tempat ibadah, maupun dirumah

beresiko terhadap kanker [5].PAHs juga

berasal dari kebakaran hutan, asap rokok, proses pemasakan makanan dengan suhu

tinggi seperti daging panggang, ikan asap [6].

PAHs juga berada dalam minyak, batubara

dan timbunan tar [3].

Senyawa PAH di udara berpotensi untuk tersebar dan juga menjadi pencemar pada mahkluk hidup melalui proses inhalasi. Paparan PAHs yang terjadi di daerah urban pada umumnya melalui aktifitas antropogenik seperti emisi kendaraan bermotor, pembakaran batubara dan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik, penyulingan minyak bumi, pembakaran jerami dan kayu bakar, proses industri, manufaktur kimia, tumpahan minyak

dan ter batubara [7]. Sumber pembakaran

yang berbeda akan menghasilkan distribusi individual PAHs yang berbeda dimana isomer tersebut dihasilkan. Oleh karena itu pembakaran batubara akan menghasilkan jenis

(28)

pola PAH yang berbeda dengan pembakaran motor atau kebakaran hutan. Perbedaan komponen tersebut sangat berguna untuk indikator sejarah pembakaran yang terjadi.

Mengingat mudahnya PAHs terpapar di lingkungan dan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kesehatan serta minimnya data PAHs diudara ambien maka perlu inisiasi mengetahui pencemaran PAHs yang terjadi di udara ambien dan sumber pencemarnya. Kegiatan ini bertujuan untuk identifikasi awal keberadaan 15 senyawa PAHs yang terdiri dari acenaphthylene (Acy), acenaphthene(Ace), fluorene(Fl), phenanthrene(Phe), anthracene(Ant),

fluoranthene(Flu), pyrene(Pyr),benzo[a]

anthracene(BaA), chrysene(Chr), benzo(a) pyrene(BaP), benzo(b)fluoranthene(BbF), benzo(k)fluoranthene(BkF), dibenz(ah) a n t h r a c e n e ( D a h A ) , b e n z o ( g h i ) perylene(BghiP), dan indeno(1,2,3-cd) pyrene(IcdP), di udara ambiendengan menggunakan passive air sampling (PAS).

METODOLOGI

Pengambilan sampel PAHs di udara ambien dengan menggunakan Passive Air Sampler

(PAS) yang berisi Polyurethane foam (PUF-disk)yang berbentuk lingkaran dengan diameter 14 cm dan ketebalan 1,35 cmdilakukan di dua lokasi sampling yaitu di Serpong dan Jakarta. PUF-disk yang dikembangkan oleh KORDI-AMETEC berdasarkan PUF tipe Harner tersebut ditempatkan ditengah wadah berbentuk dua kubah stainless stell dengan rongga diantara dua kubah agar udara mengalir ke PUF (Gambar1). Kubah tersebut berfungsi untuk melindungi PUF dari tetesan air hujan atau presipitasi, sinar matahari UV langsung, dan deposisi partikel [8]. Wadah juga berfungsi untuk mengurangi ketergantungan laju sampling dengan kecepatan angin yang dihasilkan selama periode sampling. Pengambilan sampel udara secara pasif dengan PUF akan lebih dominan dalam bentuk fase gas dengan kecepatan 3-5 m3/hari meskipun senyawa kimia yang berasosiasi dengan partikel halus juga mungkin tertangkap di PUF tersebut [9]. Paparan PUF di udara ambien dilakukan pada periode ahkir bulan Agustus sampai awal bulan Oktober 2010 selama kurun waktu 42 hari, yaitu paparan di Serpong mulai tanggal 24 Agustus sampai 5 Oktober 2010 dan di

(29)

Jakarta mulai tanggal 23 Agustus sampai 4 Oktober 2010. Untuk menjaga keamanan dan memudahkan pengawasan selama paparan PUF berlangsung maka PAS ditempatkan diatap gedung Pusarpedal Serpong pada koordinat S 6o13,34.01”, T 106o50’5.14” dan

diatap gedung BPLHD Jakarta pada koordinat S 6o21’0.27” T:106o40’3.43”. Lokasi

penempatan PUF di Jakarta berdekatan dengan jalan raya dan jalan layang bebas hambatan sedangkan lokasi Serpong diasumsikan mempunyai aktifitas kegiatan manusia atau transportasi yang lebih rendah dibandingkan dengan di Jakarta.

PUF yang telah dipaparkan diudara kemudian dilakukan ekstraksi dengan pelarut organik hexane/diklorometan dan dilakukan pemurnian dengan dilewatkan pada kolom silica/alumina sebelum di analisis dengan menggunakan Gas Chromatografi Mass Spectrometry (GCMS) HP GC 5890, MS 5972 dengan kondisi GC sebagai berikut : Colom DB-5MS (30m x 0,25mm x 0,25 µm film), temperatur program:temperatur awal 60

oC selama 2 menit, kenaikan temperatur 6oC/

min sampai 300 oC, temperatur ahkir 300 oC

ditahan selama 13 menit. Gas pembawa He 1 ml/min, temperaturinjektor 300 oC, mode

injeksi dengan splitless, volume injeksi 2 µl. Kondisi MS : temperatur interfase 280

oC, scanning range 30-300 amu, 2cycle/sec,

ionization voltage 70eV, metode :Selected Ion Monitoring (SIM) [10].

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran PAHs dengan menggunakan passive air sampling (PAS) di Jakarta dan Serpong menunjukkan bahwa dari ∑15 senyawa PAH yang diukur semuanya terdeteksi di

udara ambien di dua lokasi tersebut dengan konsentrasi yang bervariasi. Jumlah ∑15 PAH yang diukur di Serpong sebesar 34 ng/ m3 sedangkan di Jakarta sebesar 74 ng/m3.

Konsentrasi total PAH di Jakarta dua kali lebih besar dibandingkan dengan di Serpong yang didominasi oleh senyawa phenantrenedi kedua lokasi tersebut (gambar 1).

Total ∑15 PAH yang terdeteksi di udara ambien tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil pemantauan yang dilakukan pada waktu bersamaan dari negara lain di Asia Pasific yaitu di India Utara (urban 69,1 ng/m3; rural

27,9 ng/m3),Vietnam (urban 71,9 ng/m3; rural

24,2 ng/m3), Thailand (urban 57,8 ng/m3,rural

36.3 ng/m3), China Selatan (urban 27,8 ng/m3,

rural 13,5 ng/m3), kecuali China Utara (urban

130 ng/m3, rural 98,4 ng/m3) dan Malaysia

(urban 18,1 ng/m3, rural 2 ng/m3) [10].

Phenenthrene (Phe) merupakan senyawa individual PAH yang terdeteksi paling tinggi dengan nilai sebesar 29 ng/m3 di daerah

urban Jakarta dan dideteksi sebesar 15,8 ng/m3 didaerah rural Serpong, diikuti oleh

fluroranthene dan pyrene. Fluoranthene terdeteksi di Jakarta dan Serpong secara berurutan dengan nilai 11,7 ng/m3 dan 6,2

ng/m3, sedangkan untuk pyrene di Jakarta

terdeteksi 13,4 ng/m3 dan di Serpong 4,6 ng/

m3 (Gambar 3). Keberadaan senyawa tersebut

diudara ambien utamanya berada pada fase gas, dan PUF yang digunakan lebih cenderung berinteraksi dengan gas, meskipun partikel yang sangat halus juga dimungkinkan untuk ditangkap oleh PUF tersebut [9]. Phenantrene diasumsikan sebagai tapak dari buangan asap kendaraan bermotor [11].Informasi tersebut

mendukung hasil yang diperoleh karena lokasi penempatan sampling secara fisik baik

(30)

Gambar 2. Hasil Total PAHs yang terdeteksi di daerah Serpong dan Jakarta pada periode pemantauan tahun 2010

di jakarta maupun di Serpong tidak terlepas dari pengaruh oleh asap kendaraan bermotor, dengan intensitas kegiatan transportasi di Jakarta yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Serpong. Hasil ini juga memberikan indikasi bahwa titik pantau Serpong tidak sesuai dijadikan sebagai daerah perwakilan rural yang belum terpengaruh aktifitas kendaraan bermotor, karena lokasi titik pantau berada di kawasan perkantoran.

Gambar 4 menunjukkan bahwa hasil pemantauan PAHs untuk senyawa

Acenapthilen, Flurene, antracene dna Benzo(a) antracene terdeteksi di Jakarta dan Serpong dengan konsentrasi masih dibawah 7 ng/m3 dengan urutan Fluorene> acenap

htylene>anthracene>benzo(a)anthracene. Konsentrasi senyawa tersebut terdeteksi lebih tinggi di BPLHD Jakarta dibandingkan dengan di Pusarpedal Serpong.

Senyawa individual PAHs seperti acenapthene, benzo(b) fluoranthene, benzo(K) fluoranthene, benzo(a)pyrene fluoranthene , indeno(1,2,3-cd)pyrene, dibenzo(ah) anthracene, benzo(ghi)

Gambar

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Euglena  sp pada periode I pemberian emisi CO 2
Gambar 3. a dan b. Grafik Pertumbuhan Mikroalga pada periode II pemberian emisi CO2
Gambar 5. Pengaruh intensitas cahaya (lux) terhadap pertumbuhan mikroalga (x 10 5  sel/ml).
Gambar 6. Efisiensi penyerapan CO 2  oleh mikroalga.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari rincian biaya yang telah dilakukan diatas maka total biaya yang diperlukan untuk pembuatan perekat lignin resorsinol formaldehid dari natrium

Kegiatan Pendayagunaan TKS bertujuan untuk memberdayakan para sarjana dalam kegiatan pendampingan masyarakat dibidang perluasan kesempatan kerja dan penempatan tenaga kerja,

” setelah Kepala Sekolah melakukan supervisi pelaksanaan pembelajaran dengan masuk kelas, guru dipanggil ke ruang Kepala Sekolah untuk menyampaikan hasil supervisi, kemudian guru

75-100 ribu / hari, sehingga sebagian besar masyarakat begitu setuju terhadap rencana pembangunan ini karena masyarakat mendapatkan pendapatan/ upah di balik

Bismilllahirrahmanirrohim Alhamdulillah atas berkat rahmat dan hidayah yang telah dicurahkan kepada kami sehingga dengan segenap harapan dan doa yang tulus agar

tak terlupakan.. Kontribusi Media Pembelajaran, Motivasidan Kondisi Tempat Belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X Sekolah Menengah Kejuruan

Tugak pokok Dinas Pemberdayaan Perempuan,Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, Dan Keluarga Berencana (DPPPAPPKB) bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera

Marinal Indoprima cukup baik dikarenakan tingkat kepuasan karyawan yang naik dan turun, retensi karyawan yang mengalami peningkatan yang tidak stabil,