• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Pernikahan Fix Print

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Pernikahan Fix Print"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PERNIKAHAN: IKHTIAR MERAIH KELUARGA BAHAGIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang dibimbing oleh Bapak Mohammad Ahsanuddin

Oleh:

Offering C/Kelompok 4

Andy Heppi Risma Jaya (150341605349) Indah Rahmawati (150341603241) Umdatul Muftin (150341600407)

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI

(2)

ii KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia nikmat bagi umat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pernikahan: Ikhtiar Meraih Keluarga Bahagia” dengan baik dan lancar. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak Mohammad Ahsanuddin selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam, dan semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya.

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui makna pernikahan yang sebenarnya, bagaimana cara mencari pendamping hidup yang sesuai dengan syariat Islam, serta untuk mengetahui cara meraih kehidupan berumah tangga yang bahagia.

Kami menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Kami berharap makalah ini akan memberikan manfaat kepada pembacanya serta menambah pengetahuan khususnya mengenai pernikahan menurut Islam. Semoga makalah ini bermanfat bagi kita semua. Aamiin.

Malang, 24 Februari 2017

(3)

iii DAFTAR ISI

Halaman Judul ...i

Kata Pengantar ...ii

Daftar Isi ...iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...1

1.3 Tujuan ...2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Cinta dan Fitrah Manusia Untuk Menikah...3

2.2 Kriteria Pendamping Hidup dan Ikhtiar Mencarinya ...8

2.3 Menjaga „Iffah Kesucian Diri dengan Tidak Berpacaran dan Tidak Berzina ...9

2.4 Meraih Keluarga Berkah Dalam Bingkai Pernikahan ...16

2.5 Ragam Pernikahan Kontroversial ...18

BAB III PENUTUP Simpulan ...27

Saran ...28

(4)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Undang-Undang RI nomor 1 tahun 1974 pengertian dan tujuan perkawinan terdapat dalam satu pasal, yaitu Bab 1 pasal 1 menetapkan bahwa ”Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga, keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian jelas bahwa diantara tujuan pernikahan adalah membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Untuk mencapai suatu keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah mungkin tidaklah mudah, tetapi suatu keluarga yang baik di mulai dari perkawinan atau pernikahan yang baik pula. Pada dasarnya pernikahan merupakan salah satu cara seseorang untuk mengindari perbuatan zina. Hal ini di karenakan zina menyebabkan simpang siurnya suatu keturunan, terjadinya kejahatan terhadap keturunan, dan juga yang akan menyebabkan berantakannya sebuah keluarga, hingga tercerabutnya akar kekeluargaan dengan menyebarnya penyakit menular, merajalelanya nafsu, dan maraknya kerusakan moral.

Berkenaan dengan itu sebagai dasar pengetahuan dalam membentuk keluarga yang baik menurut Islam perlu disusun sebuah makalah yang mampu menjadi wahana bagi sebagian muslim untuk memperoleh wawasan, pengetahuan, dan konsep keilmuan berkenaan dengan hukum perkawinan dalam Islam demi mencapai sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sesuai dengan sunnah Nabi dan Rasul baik secara teoritis maupun secara praktis.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hakikat cinta dan fitrah manusia untuk menikah ?

2. Bagaimana kriteria pendamping hidup menurut ajaran Islam dan ikhtiar untuk mencarinya ?

3. Bagaimana upaya menjaga kesucian diri dengan tidak berpacaran dan tidak berzina?

4. Bagaimana cara meraih keluarga berkah dalam bingkai pernikahan ? 5. Bagaimana kontroversi pernikahan yang sering terjadi dalam kehidupan ?

(5)

2

1.3 Tujuan

1. Untuk memahami hakikat cinta dan fitrah manusia untuk menikah

2. Untuk mengetahui kriteria pendamping hidup menurut ajaran islam dan ikhtiar untuk mencarinya

3. Untuk memahami upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga kesucian diri dengan tidak berpacaran dan tidak berzina

4. Untuk mengetahui cara meraih keluarga berkah dalam bingkan pernikahan 5. Untuk mengetahui ragam kontroversi pernikahan yang ada di dalam kehidupan

(6)

3 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Cinta dan Fitrah Manusia untuk Menikah 2.1.1. Cinta dan Pernikahan

Menurut para ahli, cinta merupakan kesenangan jiwa, pelipur hati, membersihkan akal, dan menghilangkan rasa gundah gulana. Pengaruhnya membuat elok rupa, membuat manis kata-kata, menumbuhkan perilaku mulia, dan memperhalus perasaan. Namun sebaliknya, apabila sedang “mabuk cinta” emosinya bergejolak. Dirinya diliputi rasa senang,takut, sedih, cemburu, dan kuatir yang campur aduk tidak karuan. Cinta juga bisa membuat pikiran tidak bekerja dengan benar.

Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan sebaliknya adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan oleh Allah SWT di dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenis ketika ia telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya. Menurut ajaran islam, perasaan cinta akan membawa kebaikan pada manusia bila disalurkan hanya dalam bingkai pernikahan. Karena di dalam pernikahan, hampir semua bentuk interaksi antara laki-laki dan perempuan menjadi halal, bahkan bernilai pahala apabila dilakukan karena Allah.

Di luar pernikahan, semua bentuk cinta laki-laki dan perempuan adalah terlarang. Termasuk ke dalam kategori cinta yang dilarang islam adalah cinta kepada sesama jenis atau yang popular homo seksual atau liwath dalam bahasa arab. Di tempat tinggal Nabi Luth AS, dikenal kaum Sodom yang memiliki orientasi seksual sesama jenis. Nabi Luth dengan tiada henti berdakwah dengan ketulusan dan kejujuran namun tidak satupun yang mengikutinya dan beriman kepada Allah SWT kecuali anggota keluarganya, bahkan anggota keluarganya tidak semuanya menjadi pengikut Nabi Luth, istrinya kafir seperti istri Nabi Nuh. Kemudian Nabi Luth berputus asa dan meminta kepada Allah SWT agar menolongnya dan menghancurkan orang yang membuat kerusakan. Di dalam Al-Qur‟an surah QS. Al Qamar(54) ayat 33-36 Allah SWT berfirman :

(7)

4 Artinya:“Kaum Luth pun telah mendustakan ancaman-ancaman (Nabinya). Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing, sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Dan sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu.” (QS. Al Qamar(54); 33-36)

Kota kediaman Nabi Luth, dalam Perjanjian Lama disebut sebagai kota Sodom. Karena berada di utara Laut Merah, kaum ini diketahui telah di-hancurkan sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Kajian arkeologis mengungkapkan bahwa kota tersebut berada di wilayah Laut Mati yang terbentang memanjang di antara perbatasan Israel-Yordania.

2.1.2. Fitrah Manusia untuk Menikah

Secara bahasa, nikah berarti berhimpun. Secara sinonim, Al-Qur‟an juga menggunakan kata zawwaja yang bermakna menjadikan berpasangan. Secara istilah, menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pri dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan merupakan suatu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri secara halal dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi

(8)

5 manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambaNya (Burhanuddin, 2010)

Menikah adalah naluri seluruh makhluk, termasuk manusia. Al-Qur‟an beberapa kali mengulang tabiat ini antara lain dalam surah al-Dzariat: 49, As-Syura: 11, dan Yasin: 36. Dalam Q.S. Yasin: 36 Allah berfirman:

Artinya : “maha suci Allah yang telah menciptakan semua berpasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan jenis mereka (manusia) maupun dari makhluk-makhluk yang tidak mereka ketahui.”

Jika laki-laki dan perempuan diangap sebagai diri yang satu dalam dua raga yang berbeda (Q.S An-Nisa‟: 1), maka keterpasangan keduanya ibarat burung dan kedua sayapnya. Badan burung hanya akan dapat terbang apabila memiliki sayap kanan dan kiri. Kedua sayap ini saling membutuhkan agar badan burung dapat terbang.

Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, wajar menginginkan memiliki pasangan. Sebelum dewasa, dorongan ini umumnya sudah timbul, dan menjadi amat kuat saat manusia mencapai kedewasaannya. Agar dorongan ini tersalurkan dnegan benar dan membawa efek positif, maka islam mensyariatkan dijalinnya keberpasangan tersebut dalam bingkai pernikahan. Dari bentuk hubungan yang sah ini kemudian akan muncul rasa tentram atau sakinah pada laki-laki dan perempuan, sebagaiman firman Allah SWT dalam surah Ar-Rum: 21 :

(9)

6 Artinya :”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya lah ia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.

2.1.3. Hikmah Pernikahan

Dalam islam, tujuan pernikahan bukan hanya sekedar pemenuhan nafsu seksual, tetapi memilik tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan aspek sosial, psikologi, dan agama. Diantara tujuan pernikahan yang terpenting adalah sebagai berikut,

a. Memelihara keberlangsungan manusia

Pernikahan berfungsi sebagai saran untuk memelihara keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari masa ke masa. Dengan pernikahan, manusia dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah SWT. Mungkin, sebagian orang berkata bahwa untuk mencapai hal tersbut dapat dilakukan melalui penyaluran nafsu seksual tanpa mematuhi syariat, tetapi cara tersebut dibenci oleh agama, dan rentan menyebabkan terjadinya penaniayaan, pertumpahan darah, dan menyian-nyiakan keturunan sebagaimana yang terjadi pada binatang. Menikah ialah sebaik-baik cara untuk bisa mendapatkan anak, memperbanyak keturunan dengan nasab yang terjaga. Allah SWT berfirman dalam surah Ar-Ra‟du ayat38 :

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)” (Q.S. ar Ra’d:38)

(10)

7 b. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh

Menurut al-Ghazali, menikah memiliki beberapa faedah, diantaranya dapat menyegarkan jiwa, membuat hati menjadi tenang, dan memperkuat ibadah. Jiwa manusia bersifat mudah bosan dan jauh dari kebanaran jika bertentangan dengan karakternya. Bahkan jiwa menjadi durhaka dan melawan jika selalu dibebani secara paksa. Akan tetapi, jika jiwa disenangkan dengan kenikmatan dan kelezatan di sebagian waktu, ia menjadi kuat dan semangat. Kasih sayang dan bersenag-senang dengan istri akan menghilangkan rasa sedih dan menghibur hati.

c. Mengontrol hawa nafsu

Menikah dapat menjaga diri manusia dan menjuhkannya dari pelanggaran yang diharamkan agama, sebab nikah memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat biologisnya secara halal dan mubah. Pernikahan juga menjaga para pemuda dari penyalura hasrat seksual yang salah.

Karena rahasia pernikahan yang tinggi inilah islam mengajurkan menikah dan mendorong para pemuda agar menikah, sebagaimana hadits shahih yang diriwayatkan oleh ibnu mas‟ud bahwa Rasulullah bersabda:

"Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.

(11)

8 2.2 Kriteria Pendamping Hidup dan Ikhtiar Mencarinya

2.2.1 Kriteria Ideal Pendamping Hidup

Setiap orang memiliki pertimbangan dalam mencari pendamping hidup. Banyak orang yang cenderung memilih kekayaan, kedudukan, dan atau fisik rupawan sebagai prioritas utama dalam menentukan pendamping hidup mereka. Namun, jika dilihat dari sudut pandang Islam, hal ini sangatlah keliru. Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW menyampaikan:

“Barang siapa yang kawin dengan perempuan karena hartanya, maka Allah akan menjadikannya fakir. Barang siapa kawin dengan perempuan karena keturunannya, maka Allah akan menghinakannya. Tetapi barang siapa kawin dengan tujuan agar lebih dapat menundukkan pandangannya, membentengi nafsunya atau untuk menyambung tali persaudaraan, maka Allah akan memberikan barokah kepadanya dengan perempuan itu dan kepada si perempuan juga diberikan barokah karenanya” (HR. Ibnu Hibban).

Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda:

“Jauhilah olehmu khadraa’uddiman!” beliau ditanya: “wahai Rasulullah, apakah khadraa’uddiman itu?” Beliau bersabda: “Wanita cantik (yang tumbuh) di lingkungan yang buruk” (HR. Daraquthni).

Dalam agama Islam, hal utama yang harus dijadikan patokan dalam mencari pendamping hidup adalah agama yang satu paket dengan akhlak yang baik, sebab agama dan akhlak yang baik akan membawa ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi pasangan dan anak-anaknya. Nabi SAW mengingatkan kita akan pentingnya hal ini.

َي ْتَب ِزَت ِنيِّدلا ِتاَذِب ْزَفْظاَف ،اَهِنيِدِل َو ،اَهِلاَمَج َو ،اَهِبَسَحِل َو ،اَهِلاَمِل :ٍعَب ْرَلأ ُةَأ ْزَمْلا ُحَكْنُت َكاَد

“Seorang perempuan dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi perempuan yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung” (Muttafaq „alaih).

Selain menjadikan agama sebagai prioritas utama dalam mencari pendamping hidup, hendaklah seorang muslim juga mempertimbangkan latar belakang keluarga masing-masing. Sebab pernikahan tidak hanya menyatukan dua diri yang berbeda, melainkan juga dua keluarga yang berbeda.

(12)

9 2.2.2 Ragam Ikhtiar Mencari Pendamping Hidup

Ada beragam cara yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan pendamping hidup. Umumnya cara yang ditempuh adalah melalui perjodohan, pacaran, persahabatan, ta’aruf, cinta pada pandangan pertama, dan melalui ilham atau intuisi. Namun, cara mencari jodoh yang disyariatkan dalam Islam adalah ta’aruf. Secara bahasa, ta’aruf adalah perkenalan. Dalam istilah agama, ta’aruf adalah proses pertemuan/perkenalan seorang pria dan wanita dalam suasana terhormat ditemani pihak ketiga dengan tujuan mencari pendamping hidup.

Dalam proses ta’aruf, pihak pria dan wanita dipersilahkan untuk saling menanyakan berbagai hal yang ingin diketahui, terutama terkait dengan keinginan masing-masing saat menjalani pernikahan nanti. Masing-masing pihak juga diperbolehkan, bahkan disarankan untuk melihat wajah calon pendamping dengan seksama. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan kemantapan dan agar tidak terjadi kekecewaan di lain hari. Dalam hal apapun, masing-masing pihak diwajibkan untuk berkata jujur.

Disamping itu, agar masing-masing pihak memperoleh informasi yang lengkap dan benar tentang calon pendamping, mereka dapat bertanya kepada pihak ketiga atau orang yang mengenal dia. Bila kedua pihak merasa ada kecocokan, maka perlu segera ditentukan waktu pernikahan untuk menghindari fitnah dan dosa. Namun bila tidak ada kecocokan, mereka dapat menghentikan proses ta’aruf dengan cara yang baik. Seorang remaja muslim hendaknya benar-benar paham bahwa metode mencari pendamping hidup yang halal adalah ta’aruf.

2.3 Menjaga „Iffah (Kesucian Diri) dengan Tidak Berpacaran dan Tidak Berzina 2.3.1 Katakan “Tidak” pada Pacaran

Menurut KBBI (EdisiKetiga, 2002), pacar adalah kekasih atau teman (lawan jenis) yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Adapun berpacaran adalah becintaan; (atau) berkasih-kasihan (dengan sang pacar). Pacaran adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk menemukan dan mendapatkan pasangan dari lawan jenis yang disukai, yang dirasakan nyaman, dan dapat mereka nikahi pendapat yang berbeda. Pacaran dalam pandangan penulis adalah aktivitas cinta kasih yang dilakukan oleh laki-laki dan

(13)

10 perempuan tanpa ikatan pernikahan. Definisi inilah yang dipergunakan dalam tulisan ini.

Dalam rangka memberikan penilaian yang obyektif tentang pacaran, perlu dibahas terlebih dahulu keuntungan dan kerugian pacaran. Berikut ini adalah sejumlah keuntungan dan kerugian pacaran menurut hasil diskusi di situs internet (Http://ada-akbar.com/2011), wawancara dengan mahasiswa UM pada tahun 2011 dan 2012, dan pendapat Wijayanto (2003:26).

a. Keuntungan pacaran

1. Belajar mengenal karakter lawan jenis

2. Mendapatkan perhatian lebih dari orang lain, yakni pacar.

3. Mudah menemukan tempat menyampaikan keluhan, unek-unek atau curhat berbagai permasalahan yang dihadapi kepada pacar.

4. Memiliki tempat berbagi di saat suka dan duka

5. Tidak kesepian karena ada yang setia menemani kapanpun dan dimanapun 6. Ada yang mentraktir makan, minum, pulsa, dan sebagainya

7. Antar-jemput atau ojek gratis

8. Sarana mencari pendamping hidup agar mengenal dia dan tidak salah pilih 9. Senang dan bahagia karena bias menyalurkan rasa cinta dan diintai

10. Menimbulkan motivasi atau semangat hidup

11. Sarana untuk menyalurkan “hasrat” atau nafsu seksual

Bila dikaji lebih lanjut, keuntungan pacaran di atas sesungguhnya tidak sepenuhnya berlaku pada sepasang pacar. Malah keuntungan bagi si pacar sangat mungkin menjadi kerugian bagi pacarnya. Sebagi contoh, keuntungan nomor enam dan tujuh (umumnya) merupakan keuntungan pihak perempuan, tapi kerugian di pihak laki-laki. Sebagai kompensasinya, pihak laki-laki mungkin mencari nomor sebelas sebagai keuntungannya. Terlepas dari itu, dalam perspektif Islam, keuntungan nomor sebelas sebenarnya merupakan kerugian karena mengakibatkan dosa besar.

Adapun keuntungan pertama sampai kelima ternyata dapat juga diperoleh dari selain pacar, yaitu sahabat dekat atau keluarga. Selain itu, keuntungan nomor delapan juga layak dipertanyakan. Meski sering diutarakan pelaku pacaran, keuntungan ini ternyata sering kali tidak terjadi. Penyebabnya

(14)

11 adalah para pelaku pacaran cenderung menutupi sifat atau prilaku buruknya agar tidak ditinggal pacarnya.

b. Kerugian Pacaran

Meskipun pacaran dilakukan suka sama suka, tapi aktivitas ini juga menimbulkan sejumlah dampak negative pada diri pelaku dan orang terdekatnya. Kerugian-kerugian tersebut antara lain:

1. Mengurangi waktu untuk diri sendiri

2. Menghambat kinerja otak karena hanya memikirkan satu obyek saja (pacar)

3. Mendorong orang untuk berbohong agar tidak merugikan dirinya

4. Menghabiskan uang, seperti untuk beli pulsa, bensin, makanan, dan jalan-jalan

5. Menghambat cita-cita, karena waktu dan pikiran banyak yang tercurah kepada pacar

6. Berternak dosa. Hampir semua aktivitas dalam pacaran menimbulkan dosa 7. Hati menjadi resah dan tidak tenang karena telah memperbanyak dosa 8. Perasaan resah dan gelisah karena cemburu dan takut ditinggal pacar. 9. Memunculkan fitnah, bila berduaan di dalam rumah bias digrebek warga 10. Hilangnya keperawanan dan keperjakaan bila tidak mampu mengendalikan

nafsu

11. Menimbulkan aib bagi keluarga bila sampai terjadi hamil di luar nikah 12. Menunda pernikahan karena keasyikan berpacaran

13. Menimbulkan efek sakit hati, bahkan bunuh diri apabila “putus” cinta 14. Membatasi pergaulan dan wawasan karena dilarang pacar

15. Terjadi kekerasan dalam pacaran (KDP), baik fisik maupun psikis

16. Menyebabkan konflik dengan orang tua bila hubungan tersebut tidak disetujui

17. Menganggu kuliah atau studi, tidak selesai tepat waktu bahwa drop out Beragam kerugian pacaran di atas tidak selalu terjadi pada setiap pelaku pacaran, tergantung pada gaya pacaran mereka. Meskipun begitum, sejumlah kerugian hampir pasti dialami oleh pelaku pacaran, yakni: pengeluaran bertambah, berternak dosa, sakit hati karena cemburu, dan mengurangi waktu berkarya.

(15)

12 Ditinjau dari sudut pandang ajaran Islam, aktivitas pacaran pranikah dengan beragam gayanya adalah haram alias tidak bias dibenarkan. Apapun bentuk gaya pacarannya, ini dilakukan sebelum menikah hukumnya tetap terlarang. Kecuali, bila pacarnya pranikah tersebut tidak melanggar aturan agama terkait hubungan laki-laki dengan perempuan non mahram.Aturan tersebut antara lain:

1. Larangan mendekati zina (QS. Al-Isra‟:32)

“Dan janganlah kamu mendekati zina.Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”

2. Larangan berduaan di tempat sunyi (berkhalwat)

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahram wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua” (HR. Ahmad dari Jabir) 3. Larangan melihat lawan jenis tanpa maksud yang dibolehkan agama

“katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” “Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan sebagian pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa Nampak daripadanya” (QS. An-Nur: 30-31)

4. Larangan menyentuh, apalagi memegang, lawan jenis.

“ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi itu lebih baik daripada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya” (HR. At-Thabrani).

(16)

13 5. Larangan membayangkan lawan jenis (HR. Muslim)

“setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bias tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu ,kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim)

Permasalahannya adalah adakah hubungan pacaran tanpa berpandangan, berpegangan, berduaan, atau membayangkan si do‟i? Bila ada gaya hubungan cinta kasih laki-laki dan permepuan yang memenuhi criteria ini, maka layak disebut pacaran Islami. Selain itu perempuan yang bukan hanya diperbolehkan oleh ajaran Islam, tapi malah dianjurkan dan mendatangkan pahala bagi pelakunya, yakni hubungan laki-laki dan perempuan setelah terjadinya akad nikah. Jenis hubungan ini menghasilkan pahala karena tidak ada aturan agama yang dilanggar. Bahkan dapat mendatangkan kesenangan bagi kedua belah pihak.

Lingkungan pergaulan remaja zaman sekarang yang cenderung bebas merupakan daya tarik tersendiri bagi remaja muslim. Hal ini merupakan tantangan yang tidak mudah bagi remaja muslim. Namun mempertimbangkan betapa pacaran terlarang dalam Islam dan ternyata sarat dengan kerugian dan amat minim keuntungan, maka sangat layak setiap remaja muslim berani berkata tidak pada pacaran.

2.3.2 Pacaran dan Perilaku Seksual Remaja

Dari sejumlah dampak negatif diatas, dampak pacaran yang paling mengkhawatirkan adalah seks dan pergaulan bebas. Perkebangan zaman yang menyebabkan informasi tentang seks mudah diakses remaja, kontrol yang lemah dari orang tua, sikap permisif masyarakat, dan promosi seks bebas oleh para artis menyebabkan remaja zaman sekadang rentan terpengaruhi dan mencoba hal-hal yang “berbau” seks. Salah satunya adalah gaya pacaran remaja zaman sekarang yang mengarah pada hura-hura dan pemuasan kebutuhan seks. Parahnya, muda-mudi tersebtu menyalurkan hasrat seksual mereka pada orang yang seharusnya mereka lindungi, yakni pacar.

(17)

14 Jakarta (ANTARA News) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat hasil survei pada 2010 menunjukkan, 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pranikah. Hasil survei untuk beberapa wilayah lain di Indonesia, seks pranikah juga dilakukan beberapa remaja, misalnya saja di Surabaya tercatat 54 persen, di Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan. Selain itu, data tentang penyalahgunaan narkoba menunjukkan, dari 3,2 juta jiwa yang ketagihan narkoba, 78 persennya adalah remaja. Sedangkan penderita HIV/AIDS terus meningkat setiap tahunnya.

Solusinya, lanjut Sugiri Syarif, konseling untuk remaja agar tidak melakukan seks pra nikah akan terus dilakukan. Dari rilis BKKBN yang diterima wartawan diketahui, estimasi jumlah aborsi di Indonesia per tahun mencapi 2,4 juta jiwa. 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan remaja.

Berdasarkan data Kemenkes pada akhir Juni 2010 terdapat 21.770 kasus AIDS dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20-29 tahun yakni 48,1 persen dan usia 30-39 tahun sebanyak 30,9 persen. Selain itu kasus penularan terbanyak adalah heteroseksual sebanyak 49,3 persen, homoseksual sebanyak 3,3 persen dan IDU (jarum suntik) 40,4 persen. Dampak perilaku pacaran semacam ini amat merugikan individu dan masyarakat. Dalam konteks individu, pacaran bernuansa seks ini menyebabkan hilangnya keperawanan dan keperjakaan , penyait kelamin, kanker lehr rahim, hamil di luar nikah, aborsi, pernikahan usia dni, tersebarnya video porno pelaku pacaran, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam konteks masyarakat, pacaran jenis ini berdampak pada munculya kasus pembuangan atau pembunuhan bayi, nikah hamil, membuat malu keluarga, anak lahir tanpa pernikahan, rusaknya tatanan masyarakat, menipisnya budaya malu, dan sebagainya.

Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk menyelamatkan manusia, sangat menentang gaya pacaran bernuansa seks, dalam islam, hubungan badan di luar bingkai pernikahan disebut zina, dan termasuk kategori dosa besar. Perbuatan ini oleh Allah disebut tindakan yang keji dan cara yang paling buruk (QS. 17:32).

Pelaku zina dibagi menjadi dua: muhsan dan ghair muhsan. Zina muhsan yakni pelakunya sudah menikah atau pernah menikah diancam dengan

(18)

15 hukuman rajam sampai mati. Adapaun untuk zina ghair muhsan, yakni zina yang dilakukan orang yang belum pernah menikah, hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingan selama satu tahun.

2.3.3 Manajemen Hati agar Tidak Berpacaran

Sesuai dengan definisi pacaran sebelumnya, dapat diketahui bahwa pacaran dilakukan oleh seseorang atas dasar cinta. Orang yang sedang jatuh cinta umumnya ingin menyalurkan gelora rasa cinta tersebut kepada orang yang dia cintai, antara lain dengan cara berbicara berdua, berpegangan, berdekatan, dan bahkan berpelukan. Lalu, bagaimanakah cara agar seorang remaja muslim yang sedang jatuh cinta tetap teguh untuk tidak menyalurkan perasaan tersebut dalam bentuk pacaran? Salah satu cara untuk melakukan hal tersebut adalah dengan manajemen hati terhadap rasa cinta. Beberapa hal yang dapat dilakukan berkaitan dengan manajemen hati tersebut adalah:

a. Menyadari bahwa pacaran hukumnya haram dan mendatangkan dosa. b. Menyadari beragam dampak negative pacaran yang terjadi di sekitar kita. c. Meyakini bahwa jodoh kita sudah ditentukan oleh Allah SWT, sehingga tidak

perlu merasa galau apabila tidak memiliki pacar.

d. Meyakini bahwa dengan menjalankan perintah Allah untuk tidak berpacaran, Allah kelak akan memberikan jodoh yang baik untuk kita, karena muslim dan muslimah yang baik hanya pantas untuk muslim dan muslimah yang baik pula. e. Diniati untuk puasa pacaran. Dengan menunda pacaran sampai waktu kita

menikah, maka saat kita melakukannya nanti dengan pasangan sah kita akan terasa luar biasa.

f. Fokuskan segenap pikiran dan energi pada studi atau pekerjaan. Bila masih memiliki energi lebih dan waktu luang, manfaatkan dengan mengikuti berbagai kegiatan positif.

g. Fokuskan tenaga dan usaha untuk meraih cita-cita.

h. Kuatkan tekad untuk membahagiakan orang tua terlebih dahulu sebelum membahagiakan orang lain.

i. Agar tidak kesepian, bertemanlah dengan banyak orang baik. Upayakan untuk memiliki sahabat dekat sebagai teman berbagi cerita dan rasa suka serta duka.

(19)

16 2.4 Meraih Keluarga Berkah dalam Bingkai Pernikahan

Dalam bahasa arab, barokah atau berkah bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu. Mirip dengan makna ini, dalam al-Qur‟an dan hadist, berkah adalah langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya.

Sebuah kenikmatan dipandang berkah bila meningkatkan kebaikan orang yang memiliki nikmat tersebut. Karena berkah berarti bertambahnya kebaikan, maka berkah tidak identik dengan banyak atau melimpah, artinya sesuatu yang berkah bisa banyak melimpah bisa juga tidak, yang terpenting kenikmatan itu membuat seseorang semakin dekat dengan Allah SWT.

2.4.1 Ciri Keluarga Berkah

Berdasarkan makna berkah di atas, dalam konteks perkawinan, keluarga berkah adalah keluarga yang baik, yang membawa kebaikan pada diri mereka dan orang lain. Kebaikan yang ada pada keluarga tersebut akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Merujuk pada al-Qur‟an surah al-Rum: 31, keluarga berkah adalah keluarga yang sakinah (tenang, tentram), mawaddah (penuh cinta), dan rahmah (diliputi kasih). Intinya adalah bahwa keluarga berkah membuat semua anggotanya merasa nyaman, tenang, dan bahagia.

Disamping itu, keluarga berkah juga ditandai dengan makin meningkatnya kualitas keimanan para anggota keluarga tersebut. Hal ini berarti keluarga berkah menjadikan syariat Islam sebagai pedoman hidup dan ridho Allah SWT sebagai tujuan utama. Ciri lain keluarga berkah adalah kualitas pribadi-pribadi dalam keluarga tersebut berkembang menuju kebaikan; sikap semakin matang, bertambah bijak, wawasan bertambah, dan akhlak semakin membaik. Rizki dan kesehatan yang membawa kebaikan, dan anak-anak yang sholeh atau sholikhah merupakan ciri lain dari keluarga berkah.

2.4.2 Upaya Meraih Keluarga Berkah

Secara garis besar, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk mewujudkan keluarga yang baik dan mendatangkan kebaikan. Hal-hal tersebut adalah:

(20)

17 a. Sebelum menikah

 Menata niat menikah, yaitu untuk meraih ridho Allah SWT.

 Tidak berpacaran dan mencari calon pendamping hidup dengan cara yang diperbolehkan dalam Islam, misalnya ta’aruf.

 Memilih calon pendamping hidup yang sesuai dengan pedoma Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

 Menyiapkan diri secara fisik dan psikis, termasuk ilmu berumah tangga.

 Bermusyawarah dengan orang tua agar memperoleh restu dan dukungan. b. Sesudah menikah

 Menjaga agar niat tetap lurus, yaitu menikah untuk mencapai ridho Allah SWT.

 Meminta doa kepada orang tua dan orang-orang sholeh.

 Memenuhi syariat dan rukun pernikahan agar sah menurut agama. Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar, dan terlaksananya ijab qabul merupakan rukun nikah yang harus dipenuhi (Shihab, 1998).

c. Saat menjalani kehidupan rumah tangga

 Mempertahankan motivasi menjalani pernikahan untuk beribadah.

 Menjadikan ridho Allah sebagai pedoman dalam berumah tangga.

 Nafkah yang halal, dan diupayakan diperoleh di negaranya sendiri.

 Suami dan istri menjalankan kewajibannya dengan baik. Tugas pokok suami adalah mencari nafkah, dan mengurus rumah tangga merupakan tugas utama istri.

 Memperlakukan pasangan dengan baik. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap istriku” (HR. Thabrani & Tirmidzi).

 Saling membantu dalam mengerjakan urusan rumah tangga.

 Bersikap toleran pada pasangan terkait urusan yang tidak melanggar agama.

 Membiasakan bersikap sabar dan syukur.

 Saling terbuka dalam berbagai urusan.

 Berbuat adil dan bijak dalam: berbagi peran, memberikan penilaian, menerapkan aturan, memberikan penghargaan dan sanksi.

(21)

18

 Bermusyawarah dalam memutuskan permasalahan atau urusan (Takariawan, 2006).

2.5 Ragam Pernikahan Kontroversial 2.5.1 Poligami: Menikahi banyak Istri

Pengertian poligami secara sederhana adalah poligami dari bahasa Yunani. kata ini merupakan penggalan dari poli atau polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan. Jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam arti yang tidak terbatas, atau poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama (Ridwan,2010).

Menurut Musdah Mulia poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Selain poligami, dikenal juga poliandri yaitu seorang istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan (Mulia,2007)

Sayuti Thalib menjelaskan dalam bukunya bahwa seorang lakilaki yang beristeri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama memang diperbolehkan dalam hukum Islam. Tetapi pembolehan itu diberikan sebagai suatu pengecualian. Pembolehan diberikan dengan batasan-batasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak (Thalib,2009). Sehingga tidak terjadi salah pengertian terhadap arti poligami itu sendiri.

Bahkan dalam UU No.1 Tahun 1974 telah dijelaskan bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang, dari Undang-Undang tersebut dapat diartikan selain poligami itu ada batasan-batasan tertentu yaitu paling banyak empat orang, seperti pada surat An-Nisa‟ Ayat 3:

(22)

19 Artinya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kpada tidak berbuat aniaya”

Tapi juga harus dilakukan izin terlebih dahulu di depan pengadilan. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, poligami yang dimaksudkan untuk menikahi lebih dari seorang itu terbatas empat orang perempuan saja dan dengan pengabsahan dari pengadilan sebagai institusi, sehingga tidak disalah gunakan oleh orang yang hendak melakukan poligami. Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Misalnya sejak dahulu kala poligami sudah dikenal orang-orang Hindu, bangsa Israel, Persia, arab Romawi, Babilonia, Tunisia, dan lain-lain (Tihami,2010).

Banyak orang salah faham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia (Mulia,2007).Sebenarnya sejak zaman sebelum Nabi Muhammad, poligami telah banyak dilakukan. Bedanya, pada zaman sebelum Rasulullah, suami bebas untuk menikah dengan berapapun banyak istri, akan tetapi pada zaman Rasulullah, Allah membatasinya dalam batasan jumlah maksimal empat orang istri (Marzuq,2009).

Menurut Supardi Mursalin yang telah dikutip oleh Tihami, mengatakan, bangsa barat purbakala menganggap poligami sebagai suatu kebiasaan, karena dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan sehingga orang banyak menganggapnya sebagai perbuatan suci. lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri,suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas, para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.

(23)

20 Poligami dipraktekkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir kuno (Mulia,2007). Poligami dalam sejarah dan kultural juga tidak dapat dipisahkan oleh budaya Patriarki, yang tidak hanya dianut oleh masyarakat arab pra-Islam tersebut dan suku-suku nomaden di Afrika bagian timur, namun juga merujuk kepada sistem yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, di mana suami sebagai kepala rumah tangga memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas semua anggota keluarganya. Patriakri tersebut pada perkembangannya menjadi suatu gerakan dominasi suami atas istri dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi suami terhadap semua lingkup kemasyarakatan. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Al-Sunnah, menjelaskan bahwa bangsa-bangsa yang menjalankan poligami yaitu: Ibrani, Arab Jahiliyah dan Cisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni negara-negara: Rusia, Lithuania, Polandia dan sebagian besar penduduk Jerman (Ridwan,2010).Banyak sekali pendapat para ulama modern yang menafsirkan tentang hukum poligami. Diantara isu-isu hukum syariat yang ditentang dan selalu dibicarakan oleh mereka adalah apa yang berkaitan dengan poligami di dalam Islam.

Menurut pandangan Ulam‟, ayat 3 pada surat An-Nisa‟ turun setelah perang Uhud, ketika banyak pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang. Sebagai konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya. Akibatnya banyak anak yatim yang terabaikan dalam kehidupan, pendidikan, dan masa depannya. Menurut pandangan Quraisy Shihab menjelaskan sebagaimana ayat di atas tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh orang yang amat sangat membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan Al-Quran hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi (Shihab,2002).

Walaupun dengan alasan yang berbeda-beda, umumnya pemikir Islam modern, termasuk Muhammad Abduh, berpendapat bahwa tujuan ideal Islam dalam perkawinan adalah monogami. Tentang konsep

(24)

21 poligami, yang jelas-jelas tertulis dalam Al-Quran, menurut sebagian dari mereka hanyalah karena tuntutan pada zaman nabi yang pada saat itu banyak anak yatim dan janda, yang ditinggal bapaknya atau suaminya saat berperang, sedangkan sebagian yang lain berpendapat, kebolehan berpoligami hanyalah bersifat darurat.

Humaidy menyimpulkan, bahwa Islam bukan menciptakan Undang-Undang poligami, tetapi hanya membatasi poligami dengan ketentuan dan jumlah tertentu. Al-Quran tidak menyuruh poligami, tetapi hanya membolehkan. Namun kebolehan di sini masih diancam dengan sebuah kondisi berupa ketidakmampuan berbuat adil, sebagaimana disebutkan pada surat An-Nisa‟ ayat 129.

2.5.2 Nikah Mut‟ah

Kian hari kesakralan perkawinan semakin terkikis dan tipis. Realitas sosial dewasa ini menampakkan kuatnya kecenderungan manusia pada aktifitas kerja ekonomis dalam mencari kesenangan materialistik-konsumtif. Salah satu bentuknya adalah nikah kontrak yang akhir-akhir ini menjadi wacana yang menghangat. Kebutuhan biologis dan tuntutan ekonomi yang semakin sulit dan tinggi disalurkan lewat jalan pintas yakni perkawinan kontrak, yang atas nama agama kontrak seks itu menjadi halal.

Fenomena ini hidup di sebahagian wilayah (daerah) di Indonesia dengan melibatkan lelaki lokal sebagai makelar (mencari perempuan yang bersedia dinikahi secara kontrak), dan lelaki asing seperti lelaki asal Timur Tengah, serta perempuan. Prosedurnya jika lelaki asal Timur Tengah sebagai mempelai telah cocok dengan wanitanya yang akan dinikahi secara kontrak, maka selanjutnya dilakukanlah pernikahan. Pernikahan itu menghadirkan penghulu dan juga saksi, akan tetapi penghulunya adalah si makelar itu sendiri. Artinya, dalam Nikah kontrak itu seluruh sarana yang dibutuhkan seperti lokasi, wali dan saksi sudah disiapkan sedemikian rupa. Para pelaku hanya menyepakati waktu dan biaya. Setelah ”prosesi” pernikahan itu, kedua mempelai menandatangani sebuah surat. Surat tersebut menjadi dokumen pengesahan untuk status mereka. Nikah kontrak, dalam bahasa Arab dikenal dengan nikah mut‟ah, nikah mut‟ah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu nikah dan mut‟ah. Nikah secara bahasa adalah akad dan watha‟. Dalam istilah ini nikah diartikan akad. Kata

(25)

22 nikah ini kemudian disandingkan dengan kata mut‟ah. Secara defenitif Nikah menurut Muhammad Abu Zahrah yaitu akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang wanita, saling tolong menolong antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya (Zahrah,1967).

Dapat dipahami bahwa pernikahan merupakan sarana yang efektif untuk memelihara manusia dari perbuatan zina, karena secara sederhana pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera serta untuk mengembangkan keturunan. Selanjutnya dalam UU Perkawinan di Indonesia didefinisikan pernikahan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Ramulyo,1986).

Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa suatu pernikahan dilakukan untuk mempererat ikatan batin, di samping ikatan lahiriyah, antara seorang laki-laki dan perempuan. Tujuan ikatan itu adalah untuk kebahagiaan kedua belah pihak dan kebahagiaan anak-anak yang dilahirkannya. Kebahagiaan itu diupayakan untuk selama-lamanya, bukan untuk sementara waktu. Timbul pertanyaaan bagaimana dengan nikah kontrak apakah tujuan mulia itu terdapat dalam pelaksanaan dan praktek nikah kontrak yang ada di Indonesia?

Selanjutnya Mut‟ah berasal dari kata ﻣﺘﻌﺔ ﻊ ﺘ ﻤ ﯾ ﯾ ﻣﺘﻊ secara literal mempuyai ragam pengertian, antara lain manfaat, bersenang-senang, menikmati, bekal (Husaini,1985). Terdapat beberapa pengertian tentang mut‟ah, yaitu: pertama, mut‟ah adalah uang, barang, dan sebagainya yang diberikan suami kepada istri yangdiceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya. Kedua, kesenangan mutlak yang dijadikan dasar hidup bagi laki-laki untuk mencapai keinginannya, hawa nafsunya, dan birahinya dari wanita tanpa syarat. Ini dilakukan dengan perkawinan sementara atau yang diistilahkan dengan“kawin kontrak” dalam jangka waktu yang dibatasi menurut perjanjian (Fahruddin,1992).

Secara definitif, nikah mut‟ah berarti : pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan isteri. Bila habis masa (waktu) yang ditentukan, maka keduanya dapat

(26)

23 memperpanjang atau mengakhiri pernikahan tersebut sesuai kesepakatan semula. Penentuan jangka waktu inilah yang menjadi ciri khas nikah mut‟ah, sekaligus pembeda dari nikah biasa.

Nikah kontrak merupakan warisan dari tradisi masyarakat pra-Islam. Tradisi ini dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan di lingkungan sukunya. Pada masa Islam, nikah kontrak mengalami beberapa perubahan hukum. Dua kali dibolehkan (yakni pada waktu sebelum perang Khaibar dan pada waktu penaklukan kota Mekkah) dan dua kali dilarang (waktu perang Khaibar dan 3 hari setelah penaklukan kota Mekah) dan akhirnya diharamkan untuk selama-lamanya.

Pada masa sahabat, larangan Rasul SAW pada dasarnya tetap menjadi pegangan mayoritas sahabat. Akan tetapi minoritas sahabat lainnya masih membenarkannya, bahkan melakukan praktek nikah mut‟ah, seperti yang dilakukan Jabir ibn Abdullah (Dahlan dkk, 1997).

Sekarang praktek nikah kontrak masih terjadi di sebagian wilayah Islam yang bermazhab Syi‟ah yakni Iran. Dibolehkannya nikah kontrak ini diatur dalam Undang-undang Perdata pada bab enamnya. Pelaksanaannya dilakukan dengan sangat ketat dan hati-hati. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan : 1) perkawinan kontrak berlaku untuk waktu tertentu, 2) masa waktu tersebut harus disebutkan secara spesifik, dan 3) hukum yang berkenaan dengan mahar dan pewarisan sama dengan yang disebutkan dalam bab-bab yang berkaitan dengan mahar dan pewarisan. Ketentuan dalam undangundang ini tidak membedakan aturan yang berlaku pada pernikahan biasa dengan nikah kontrak.

Menurut seorang pakar hukum Islam, al-Hazimi, bahwa pada awal permulaan Islam nikah kontrak memang dibolehkan. Pembolehan nikah kontrak pada waktu itu, sebagaimana yang terdapat dalam hadis Ibn Mas‟ud, yaitu pada saat para sahabat sedang berperang. Menurutnya, tidak ditemukan riwayat (hadis) yang membolehkan para sahabat yang tinggal di rumah atau tidak sedang berperang, melakukan nikah kontrak. Oleh karena itu, Rasul SAW melarangnya berkali-kali. Kemudian membolehkan lagi pada waktu-waktu tertentu, sampai akhirnya diharamkan untuk selama-lamanya. Pengharaman yang terakhir ini berlangsung pada waktu Rasul SAW mengerjakan haji Wada‟. Terlepas dari kontroversi para fukaha‟ tentang boleh

(27)

24 tidaknya nikah kontrak, namun mereka pernah sepakat, bahwa nikah kontrak pernah dibolehkan dan menjadi salah satu bentuk perkawinan pada periode awal pembinaan hukum Islam. Karena pada waktu itu umat Islam jumlahnya sedikit dan keadaan ekonominya terbatas, sedangkan tenaganya dikonsentrasikan menghadapi musuh dalam berperang. Keadaan seperti ini tidak memungkinkan mereka dapat hidup berkeluarga secara normal dan membina anak-anak mereka. Karena alasan inilah mereka (sahabat) diberikan keringanan untuk melakukan nikah kontrak. Bukan halal secara mutlak (Fahruddin,1992).

Nikah mut‟ah adalah istilah yang dipakai di dalam fikih untuk menyebut pernikahan yang ditentukan batas waktunya. Dalam pemahaman masyarakat Indonesia nikah yang ditentukan waktunya itu disebut nikah kontrak. Nikah kontrak tersebut marak terjadi di daerah Jawa Barat terutama Bogor di daerah Cisarua, Bekasi, Indramayu, dan Cianjur di daerah Ciloto, selama bulan Juli, Agustus, dan September. Namun demikian di luar waktuwaktu itu, juga tidak menutup kemungkinan terjadi praktek kawin kontrak tersebut.

Pelakunya biasanya adalah turis asal Timur Tengah. Karena, selama kurun waktu tiga bulan tersebut merupakan musim liburan bagi mereka. Oleh masyarakat sekitar, selama waktu-waktu tersebut disebut dengan musim Arab. Karena kawasan tersebut dipadati wisatawan dari negara-negara Arab. Tidak hanya dari Arab Saudi, mereka juga datang dari negara-negara Timur Tengah lain seperti Kuwait, Iran dan bahkan dari luar Timur Tengah seperti Pakistan. Wisatawan asal Timur Tengah tersebut berkunjung ke Indonesia, ada yang sekedar berlibur, tapi tak sedikit pula yang ingin menikahi wanita lokal meski hanya untuk sementara. Mereka melakukan kawin kontrak hanya sebatas mencari kesenangan untuk berhubungan seksual secara legal. Setelah tiga bulan itu, mereka kemudian kembali ke negara asalnya. Sementara bagi warga Indonesia terutama perempuannya yakni perempuan yang terlibat dalam pernikahan kontrak tersebut, mereka melakukannya karena alasan ekonomi. Persoalan finansial menjadi alasan utama untuk melakukan nikah kontrak. Karena dalam perkawinan kontrak tersebut harga yang ditetapkan cukup tinggi, bisa mencapai 5 juta rupiah bahkan mencapai 7 juta rupiah. Jumlah sebesar ini

(28)

25 dapat menyelesaikan beberapa permasalahan ekonomi yang mereka hadapi. Semakin lama jangka waktunya, maka tarifnya semakin tinggi dan mahal. Cara ini dianggap lebih baik daripada melakukan perzinaan, karena pernikahan menghalalkan hubungan suami isteri tersebut (Fahruddin,1992).

Oleh karena itu kebolehan melakukan nikah mut‟ah merupakan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu, tidak dengan maksud menjadikannya sebagai komoditas seks yang dibingkai atas nama agama, atau mensejajarkannya dengan perzinaan. Perkawinan tidak sama dan bukanlah perzinaan. Perkawinan yang dijangkakan waktunya itu cacat hukum baik secara syar‟i ataupun hukum negara. Di samping itu, perlu ada upaya dan tindakan untuk mengubah pemahaman tentang hak perempuan, perubahan mindset tentang hidup dalam kemewahan, serta kultur yang menempatkan perempuan pada posisi subordinan seperti menuruti kata orang lain dan kebergantungan terhadap pasangan, serta sikap keberagamaan yang benar. Karena prinsip pernikahan adalah hubungan yang langgeng antara suami-istri, keturunan, cinta kasih, dan tanggung jawab bersama dalam mendidik anak. Pernikahan bukanlah sematamata menikmati hubungan seksual, sehingga seolah-olah menjadikan perempuan sebagai ”barang”. Penggunaan istilah kawin kontrak agar tidak dianggap asusila, tidak dapat dibenarkan, karena pernikahan seperti itu menimbulkan banyak persoalan baik dari segi agama, sosial, dan moral (Fahruddin,1992).

2.5.3 Pernikahan Beda Agama

Wanita muslim tidak halal kawin dengan laki-laki bukan muslim, baik ia seorang musyrik, hindu, ahli kitab (Nasrani, Yahudi), atau beragam lainnya. Karena orang lelaki mempunyai hak kepemimpinan bagi istrinya dan istri wajib taat kepadanya, maka tidak boleh orang kafir atau musyrik menjadi pemimpin dan menguasai wanita muslimah.

FATWA MUI TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA 1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.

2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu‟tamad, adalah haram dan tidak sah.

Ditetapkan : Jakarta, Jumadil Akhir 1426 H 28 Juli 2005 M Allah SWT berfirman,

(29)

26 Artinya:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”

(30)

27 BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

1. Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan sebaliknya adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan oleh Allah SWT di dalam jiwa manusia. Perasaan cinta akan membawa kebaikan pada manusia bila disalurkan hanya dalam bingkai pernikahan. Karena di dalam pernikahan, hampir semua bentuk interaksi antara laki-laki dan perempuan menjadi halal, bahkan bernilai pahala apabila dilakukan karena Allah SWT.

2. Hal utama yang harus dijadikan patokan dalam mencari pendamping hidup adalah agama yang satu paket dengan akhlak yang baik. Cara mencari jodoh yang disyariatkan dalam Islam adalah ta’aruf atau perkenalan dimana terjadi proses pertemuan/perkenalan seorang pria dan wanita dalam suasana terhormat ditemani pihak ketiga dengan tujuan mencari pendamping hidup.

3. Dari sudut pandang ajaran Islam, aktivitas pacaran pranikah dengan beragam gayanya adalah haram alias tidak bias dibenarkan. Apapun bentuk gaya pacarannya, ini dilakukan sebelum menikah hukumnya tetap terlarang. Cara agar seorang remaja muslim yang sedang jatuh cinta tetap teguh untuk tidak menyalurkan perasaan tersebut dalam bentuk pacaran adalah dengan manajemen hati terhadap rasa cinta.

4. Keluarga berkah adalah keluarga yang baik, yang membawa kebaikan pada diri mereka dan orang lain. Untuk memperoleh keluarga yang berkah banyak hal yang perlu untuk dilakukan baik sebelum menikah, sesudah menikah, dan ketika membina sebuah rumah tangga.

5. Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama. Nikah yang batas waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan para pelaku di Indonesia dikenal dengan nama nikah kontrak. Dalam istilah fikih dikenal dengan sebutan nikah mut‟ah dan hukumnya haram. Wanita muslim tidak halal kawin dengan laki-laki bukan muslim, baik ia seorang musyrik, hindu, ahli kitab (Nasrani, Yahudi), atau beragam lainnya

(31)

28

3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini, semoga pembaca bisa benar-benar memahami makna dari pernikahan yang sesungguhnya untuk membangun keluarga yang sakinah mawadah dan rohmah, selain itu penulis juga berharap bahwa setelah membaca memahami isi dari makalah ini, pembaca dapat menjauhi perbuatan-perbuatan yang mendekati zina yang tidak diperbolehkan dalam agama Islam.

(32)

29 DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah. 1967. al-Ahwal al- Syakhsiyya. Mesir: Dar al- Fikr

Burhanuddin S. 2010. Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri. Yogyakarta: Pustaka Yustisia

Dahlan, Abdul Aziz dkk. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve

Fahruddin, Fuad Mohd. 1992. Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

Marzuq, M. Ilham . 2009. Poligami Selebritis. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka

Mulia, Siti Musdah . 2007. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Ramulyo, Idris. 1986. Dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind- Hillco Ridwan, Saleh. 1020. Poligami di Indonesia. No.2 Vol. 10

Shihab, M. Quraish. 1998. Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan.

Shihab, M. Quraisy. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati

Takariawan, Cahyadi. 2006. Menjadi Pasangan Paling Berbahagia. Bandung: Syaamil. Thalib, Sayuti . 2009. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia (UIPress)

Tihami. 2010.Fikih Munakahah. Jakarta: Rajawali Pers

Tim penulis. 2015. Pendidikan Islam Transformatif: Membentu Pribadi Berkarakter. Malang: LP3 Universitas Negeri Malang

Referensi

Dokumen terkait

Secara keseluruhan, kegiatan pembelajaran pada muatan lokal pendidikan lingkungan hidup tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap tingat literasi lingkungan

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lestari (2007), bahwa terdapat perbedaan kepuasan kerja pada karyawan berdasarkan masa kerja, yaitu

 Bahwa kejadian hujan di Pulau Batam pada bulan maret 2014 merata. Dimana di seluruh wila- yah Pulau Batam intensitasnya berada pada bawah normal terhadap rata-ratanya. Berdasarkan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa (a) komoditas unggulan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah jagung manis, cabe dan ubi jalar, (b)

Ijin Panas Bumi (IPB) Geothermal License Pemerintah/ Pemerintah Daerah/ Badan Usaha WILAYAH KERJA PANAS BUMI Eksplorasi Exploration Pemerintah/ Badan Usaha Government/ Business

Berdasarkan tabel di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa responden yang menjawab kuat perhatian terhadap perayaan pacu jalur adalah 19 orang yaitu 64,3 %,

Tujuan dari analisa dan perencanaan peningkatan jalan alternatif manyaran-mijen untuk memberikan solusi peningkatan kualitas pelayanan jalan, yaitu tersedianya ruas

1HJDUD NHVDWXDQ KDQ\D DGD VDWX SHPHULQWDK \D LWX 3H PH ULQWDK 3 XV DW \ DQJ PH PSXQ\D L NHNXDVDDQ VHUWD NHZHQDQJDQ WHUWLQJJL GDODP ELGD QJ SHP HULQWD KDQ QH JDUD PHQHWD SNDQ NH ELMD