• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon lebih cermat terhadap perubahan-perubahan yang tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon lebih cermat terhadap perubahan-perubahan yang tengah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk bisa menyiapkan masa depan dan sanggup bersaing dengan bangsa lain. Dunia pendidikan dituntut memberikan respon lebih cermat terhadap perubahan-perubahan yang tengah berlangsung di masyarakat. Masyarakat pascamodern menghendaki adanya perkembangan total, baik dalam visi, pengetahuan, proses pendidikan, maupun nilai-nilai yang harus dikembangkan bagi peserta didik, untuk menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks. Indonesia di masa depan mengisyaratkan perlunya Sumber Daya Manusia (SDM) yang kreatif, mandiri, inovatif dan demokratis, maka dunia pendidikan yang harus mempersiapkan dan menghasilkannya (Widayati, 2002 : 6). Dengan demikian, pendidikan yang bermutu menjadi kunci keberhasilan pendidikan.

Proses pendidikan dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kapasitas intelektualnya. Makmun (2000 : 35) mengemukakan siswa Sekolah Menangah Pertama (SMP) berada pada tahap meningkatnya kapasitas intelektual ketika persentase taraf kematangan dan kesempurnaan IQ (Intelegence quotient) seseorang mencapai 92 %-nya sejak usia 13 tahun. Menurut tahap perkembangan kognitif dari Piaget (Hasan, 2006 : 137), siswa SMP berada pada fase formal operasional (sekitar 11-15 tahun). Yusuf (2010 : 195) mengungkapkan bahwa pada fase ini remaja sudah mampu berpikir secara hipotetis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah. Hal ini diperkuat oleh Desmita

(2)

(2005) dan Santrock (1996) yang mengemukakan bahwa remaja sudah mampu berpikir secara sistematik, mampu memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan permasalahan.

Siswa SMP berada pada periode perkembangan remaja. Perubahan pada masa remaja baik secara fisik maupun psikis bisa membuat remaja bingung hingga stress, terutama terkait dengan pencarian identitas diri. Santrock (1996:47) mengemukakan masa remaja merupakan masa pencarian identitas dan dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana mereka menuju dalam hidupnya. Kondisi ini kerapkali menyebabkan remaja mengalami tingkat stress yang tinggi.

Selain perubahan yang terjadi pada dirinya, remaja juga dapat stress dan mengalami penurunan produktivitasnya karena tuntutan lingkungan yang begitu besar. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Hurlock (Istiwidayanti dan Soedjarwo,1994:221) yang mengemukakan :

Sebagian besar usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja. Remaja yang tidak mampu menghadapi tuntutan pendidikan biasanya menunjukkan ketidaksenangannya dengan menjadi orang yang berprestasi rendah, bekerja di bawah kemampuan dalam setiap mata pelajaran atau dalam mata pelajaran yang tidak disukai. Terdapat remaja yang membolos dan berusaha untuk memperoleh izin dari orang tua untuk berhenti sekolah sebelum waktunya atau berhenti sekolah ketika duduk di kelas terakhir tanpa merasa perlu untuk memperoleh ijazah.

Penelitian yang dilakukan Nurmalasari (2011), ditemukan 20,93 % siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembang mengalami stress akademik pada kategori tinggi, selanjutnya 58,14 % berada pada kategori sedang, dan 20,93 % berada pada kategori rendah. Hal tersebut terjadi karena SMP Negeri 1 Lembang menerapkan

(3)

sistem Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sehingga berimplikasi pada tuntutan belajar yang lebih besar kepada siswa. Tuntutan belajar yang begitu besar bisa mengakibatkan siswa mengalami stress. Dalam jangka panjang, stress yang tidak ditangani dengan baik bisa memunculkan kejenuhan belajar.

Stress yang berkepanjangan dapat menimbulkan kejenuhan belajar. Cherniss (1980:34) menjelaskan bahwa kejenuhan (burnout) muncul dari adanya tuntutan kerja yang mengakibatkan ketegangan dan stress yang lama sehingga menyebabkan kelelahan emosi, depersonalisasi, dan menurunnya motivasi. Kondisi tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Skovholt (2003) yang menunjukkan sebagian besar faktor pemicu kejenuhan belajar pada kegiatan akademik adalah karena rutinitas yang tidak banyak berubah dan cenderung monoton. Dengan demikian, esensi dari fenomena kejenuhan belajar berdasarkan pendapat tersebut yaitu tuntutan belajar dan keterlibatan yang intensif pada kegiatan pembelajaran.

Fenomena mengenai tuntutan belajar yang berat dan keterlibatan yang intensif dalam proses pembelajaran yang dapat menimbulkan kejenuhan belajar, diungkapkan oleh Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi (Inilah Koran, Rabu 1 Februari 2012) sebagai berikut :

Efisiensi hari sekolah diberlakukan terkait upaya mengontrol emosional para pelajar. Selama ini belajar di sekolah enam hari dalam sepekan dinilai sudah menjenuhkan. Apalagi ditambah beban kurikulum yang semakin berat serta tuntutan memenuhi standar nilai dalam ujian. Untuk itu, perlu adanya perubahan supaya para pelajar kembali segar saat menyerap pelajaran di sekolah. Salama ini, kita sudah tahu bahwa pembelajaran di sekolah dilakukan untuk meningkatkan intelektual siswa. Akan tetapi, pelajaran mengenai kecakapan emosional sering terlupakan. Salah satu indikatornya, maraknya kenakalan yang ditimbulkan pelajar. Seperti, tawuran, bolos sekolah, dan pelajar yang terlibat kasus kriminal.

(4)

Proses belajar yang terus-menerus dilakukan para siswa serta tekanan-tekanan, baik dari dalam diri maupun lingkungannya untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal, terkadang membawa siswa pada batas kemampuan jasmaniahnya. Ini kemudian membuat siswa mengalami keletihan, kebosanan, dan kejenuhan dalam belajar. Meski harus diakui, kejenuhan dalam belajar dapat dialami oleh siapa saja. Siswa yang kemampuan akademiknya kurang ataupun siswa yang dianggap pintar bisa mengalaminya. Biasanya, mereka yang mengalami kejenuhan belajar akan enggan memperhatikan guru, mengerjakan tugas, banyak mangkir atau malas-malasan, dan prestasi belajar menurun. (Republika, 2009). Hal tersebut ditegaskan oleh Chaplin (1995:56) mengemukakan kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila telah kehilangan motivasi dan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum siswa tersebut sampai pada tingkat keterampilan berikutnya. Selain itu, kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai pada batas kemampuan jasmaniahnya karena bosan (boring) dan letih (fatigue). Kurangnya penghargaan dari sekolah dan banyaknya tugas belajar biasanya menjadi faktor penyebab kejenuhan belajar.

Dalam penelitiannya tentang kejenuhan belajar pada mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Agustin (2009) menemukan 54,41 % mahasiswa mengalami kejenuhan belajar dalam tingkat tinggi, dan 45, 59 % berada pada tingkat rendah. Selanjutnya, dalam area kelelahan emosi, 53, 26 % berada pada tingkat kejenuhan yang tinggi dan 46,74 % berada pada tingkat

(5)

rendah ; kelelahan fisik, 55,75% berada dalam tingkat kejenuhan yang tinggi dan 44,25 % berada pada tingkat yang rendah ; kelelahan kognitif, 61, 60 % berada pada tingkat tinggi dan 38, 31 % berada pada tingkat rendah; dan kehilangan motivasi, 54, 98 % berada pada tingkat kejenuhan yang tinggi dan 45, 02 % berada pada tingkat yang rendah.

Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugara (2011) mengenai kejenuhan belajar pada siswa SMA Angkasa ditemukan intensitas kejenuhan belajar siswa sebanyak 15,32 % termasuk ke dalam kategori tinggi, 72,97 % termasuk ke dalam kategori sedang, dan 11,71 % termasuk ke dalam kategori rendah. Persentase gejala kejenuhan belajar area keletihan emosi sebanyak 48,10 % siswa, area depersonalisasi sebanyak 19,19 % siswa, dan area menurunnya keyakinan akademis sebanyak 32,71 % siswa.

Kecenderungan dan indikator yang dialami siswa ketika mengalami kejenuhan belajar, diungkapkan oleh Huliati (Yudha dkk, 2006). Yaitu : 1) Kurang peduli terhadap materi yang harus dipahaminya, 2) Sulit mengambil keputusan dalam menghadapi pelajaran yang sukar dimengerti, 3) Mengambil jalan pintas dalam mengerjakan soal-soal/ulangan, 4) Kurang inisiatif dan kreatif dalam memanfaatkan waktu luang, 5) Mudah merasa bosan sehingga timbul keenggenan dalam mengikuti pelajaran, 6) Sulit memusatkan perhatian pada pelajaran apalagi jika materinya kurang menarik dan penjelasannya bertele-tele, 7) Kurang motivasi dalam mengerjakan tugas.

SMP Negeri 1 Lembang merupakan sekolah pertama di Kabupaten Bandung Barat yang menggunakan sistem Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional

(6)

(RSBI) tahun 2008. Indikator yang istimewa dari sekolah berlabel RSBI yaitu adanya tuntutan belajar yang tinggi terhadap siswa ditambah dengan jam belajar yang padat. Jam belajar siswa RSBI sebanyak 45 jam pelajaran perpekan. Hal tersebut bisa memberikan dampak psikologis yang negatif ketika siswa RSBI belum siap menjalani tuntutan tersebut. Seperti yang dikemukakan Lestari (2011) mengenai hasil wawancara dengan Guru Pembimbing di SMP Negeri 1 Lembang:

Masalah-masalah yang dihadapi siswa RSBI diantaranya banyak siswa yang mengeluh karena jadwal belajar yang padat dan banyaknya tugas yang diberikan guru sehingga siswa mengalami kejenuhan dalam belajar, tingkat persaingan belajar cukup tinggi dan jam belajar yang lebih lama dibandingkan kelas reguler membuat siswa merasa tidak mempunyai waktu istirahat serta adanya sikap pengeksklusifan diri siswa RSBI sehingga siswa RSBI kurang peka terhadap lingkungan sosialnya dan beberapa siswa kurang mampu bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Sanjaya (www.indonesiaeduction.org tanggal 17 Februari 2012) yang mengemukakan :

...Pengakuan menarik dari salah satu pengasuh lembaga konseling hipnoterapi yang kebajiran klien kebanyakan adalah pelajar kelas 1 SMP yang rata-rata murid yang masuk di kelas RSBI/SBI. Setelah satu bulan para siswa memulai belajar di sekolah yang dipilihnya, mereka mulai dijangkiti tanda-tanda depresi seperti jadi pemarah, suka menangis sendiri, nggak bisa tidur, dll. Beberapa penyebab diataranya merasa tertekan dengan belum fahamnya mereka atas penguasaan materi pelajaran dengan bahasa inggris, pake bahasa indonesia saja sulit, apalagi harus memahami dengan bahasa inggris begitu katanya. Kemudian mereka merasakan teman – teman di kelas sangat individualistis, juga tugas/ PR yang bertumpuk yang harus dikerjakan sampai larut malam. Ditambah ada ketakutan tersendiri jika tugas tidak selesai atau salah yang biasanya akan dimarahi guru-gurunya...

Nurihsan (Agustin, 2009 ) mengemukakan kejenuhan belajar mahasiswa (siswa) merupakan masalah yang harus segera diatasi dengan baik. Salah satu

(7)

upaya mengurangi kejenuhan belajar adalah dengan melakukan konseling akademik atau konseling belajar. Yaitu, upaya membantu konseli mengatasi kesulitan belajar, mengembangkan cara belajar yang efektif, membantu mereka supaya sukses dalam belajar dan agar mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntutan pendidikan. Schaufeli & Enzman (1998 : 143) menegaskan bahwa salah satu strategi konseling yang dapat menangani kejenuhan belajar adalah dengan menggunakan Konseling Kognitif Perilaku (KKP). Pendapat Schaufeli & Enzman (1998) dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shrap et.al (2006 : 15) yang menemukan bahwa penggunaan konseling kognitif perilaku dapat membantu menuntaskan permasalahan belajar dengan hasil yang cukup memuaskan. Hasil penelitian yang dilakukan Agustin (2008) menemukan konseling kognitif perilaku efektif dalam menangani kejenuhan belajar pada mahasiswa.

Esensi dari konseling kognitif perilaku adalah suatu bentuk konseling yang memadukan prinsip dan prosedur konseling kognitif dan konseling perilaku dalam upaya membantu konseli mencapai perubahan perilaku yang diharapkan (Ramli, 2005). Perubahan struktur kognitif pada diri siswa yang mengalami kejenuhan belajar merupakan intervensi yang utama dalam konseling kognitif perilaku. Meichenbaum (Dobson & Dozois, 2001:16) menjelaskan perubahan kognitif pada individu bisa diubah dengan menggunakan verbalisasi diri. Teknik yang biasa digunakan dengan menggunakan pola pernyataan verbalisasi diri adalah instruction training. Bryant dan Budd (1982:259) menambahkan teknik self-instruction merupakan teknik yang cocok untuk menangani masalah emosional

(8)

dan perilaku. Teknik self-instruction efektif meningkatkan self-efficacy (Permatasari, 2010). Selanjutnya, teknik self-instruction efektif dalam menangani kejenuhan belajar siswa SMA (Sugara, 2011).

Beberapa hasil penelitian menemukan kejenuhan meluas dari dunia kerja hingga dunia pendidikan. Setelah ditemukan hasil penelitian mengenai kejenuhan belajar yang terjadi di kalangan mahasiswa dan siswa SMA, dimungkinkan kejenuhan belajar dapat terjadi pada siswa SMP dan SD. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perlu dikembangkan penelitian mengenai efektivitas teknik self-instruction dalam mereduksi gejala kejenuhan belajar pada jejang Sekolah Menengah Pertama (SMP).

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan temuan mengenai fenomena kejenuhan belajar di kalangan siswa sekolah menengah, mengisyaratkan perlu adanya layanan bantuan yang sifatnya segera dilaksanakan. Layanan bantuan yang diperlukan berupa konseling akademik.

Kejenuhan belajar terjadi manakala individu mengalami gejala psikologis yang ditandai dengan keletihan emosi, sinis atau depersonalisasi dan menurunnya keyakinan akademik siswa dalam belajar sebagai akibat dari keterlibatan yang intensif terhadap suatu proses pembelajaran disertai beban belajar yang berat dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian, penanganan terhadap kejenuhan belajar yang dialami siswa mengisyaratkan untuk dilakukan dengan segera.

(9)

Pendekatan yang sudah terbukti efektif dalam menangani kejenuhan belajar adalah konseling kognitif perilaku. Schaufeli & Enzman (1998 : 143) menegaskan bahwa salah satu strategi konseling yang dapat menangani kejenuhan belajar adalah dengan menggunakan konseling kognitif perilaku. Pendapat Schaufeli & Enzman (1998) dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shrap et.al (2006 : 15) yang menemukan bahwa penggunaan konseling kognitif perilaku dapat membantu menuntaskan permasalahan belajar dengan hasil yang cukup memuaskan. Perubahan struktur kognitif pada diri siswa yang mengalami kejenuhan belajar merupakan intervensi yang utama dalam konseling kognitif perilaku. Meichenbaum (Dobson & Dozois, 2001:16) menjelaskan perubahan kognitif pada individu bisa diubah dengan menggunakan verbalisasi diri. Teknik yang biasa digunakan dengan menggunakan pola pernyataan verbalisasi diri adalah self-instruction training. Bryant dan Budd (1982:259) menambahkan teknik self-instruction merupakan teknik yang cocok untuk menangani masalah emosional dan perilaku. Sugara (2011) mengemukakan teknik self-instruction efektif dalam menangani kejenuhan belajar siswa SMA.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka masalah utama yang akan diteliti adalah “Apakah teknik self-instruction efektif digunakan dalam mereduksi gejala kejenuhan belajar pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012 ? “

Berdasarkan pada rumusan masalah, dikembangkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

(10)

1. Berapa besaran intensitas kejenuhan belajar yang dialami siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012 ?

2. Gejala apa yang dialami siswa yang mengalami kejenuhan belajar pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012 ?

3. Seperti apa rancangan intervensi untuk mereduksi gejala kejenuhan belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012 ?

4. Berapa besaran efektivitas teknik self-instruction dalam mereduksi gejala kejenuhan belajar yang dialami siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012 ?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Secara umum, penelitian bertujuan untuk mereduksi gejala kejenuhan belajar pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

a. memperoleh gambaran mengenai intensitas kejenuhan belajar yang dialami siswa kelas VIII SMP SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012; b. memperoleh gambaran mengenai gejala kejenuhan belajar yang dialami siswa

kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012;

c. memperoleh rancangan intervensi yang akan digunakan dalam mereduksi gejala kejenuhan belajar pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012;

(11)

d. menemukan besaran efektivitas teknik self-instruction dalam mereduksi gejala kejenuhan belajar yang dialami siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2011-2012.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa yang Mengalami Kejenuhan Belajar

Setelah dibekali keterampilan dalam menolong diri melalui teknik self-instruction, siswa diharapkan dapat menguasai keterampilan yang diberikan sehingga mampu menangani kejenuhan belajar secara mandiri.

2. Bagi Konselor

Konselor dapat menjadikan hasil penelitian sebagai rujukan dalam menangani masalah-masalah belajar yang dialami siswa, khususnya mengenai kejenuhan belajar melalui teknik self-instruction. Selain itu, hasil penelitian dapat digunakan sebagai pedoman praktis pada pengembangan program layanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai intensitas dan gejala kejenuhan belajar pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang tahun ajaran 2011-2012. Pendekatan kuantitatif juga berfungsi untuk mengetahui besaran penurunan skor kejenuhan belajar setelah diberikan perlakuan melalui teknik

(12)

self-instruction. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui besaran efektivitas teknik self-instruction dalam mereduksi gejala kejenuhan belajar dengan menggunakan analisis visual.

2. Metode Penelitian

Quasi Eksperimen digunakan sebagai metode penelitian dengan desain single subject research. Quasi eksperimen memberikan pretest sebelum mendapatkan perlakuan dan posttest setelah mendapatkan perlakuan. Desain single subject research memfokuskan pemberian perlakuan kepada individu sebagai sampel penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menggunakan angket. Yaitu dengan memodifikasi kalimat dan alternatif jawaban pada angket yang terdapat dalam skripsi Sugara (2011) dengan tingkat validitas instrumen sebesar 95%.

4. Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 1 Lembang. Penentuan populasi didasarkan pada sistem pembelajaran yang menggunakan standar Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) memungkinkan terjadinya stimulasi yang begitu ketat (over stimulate), seperti beban belajar yang begitu besar dengan berbagai tugas belajar. Apabila tidak mendapatkan penanganan dengan segera dapat menimbulkan stress yang berkepanjangan sehingga berakibat terjadinya kejenuhan belajar. Populasi penelitian yaitu siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembang yang berada pada kisaran usia 12-15 tahun. Sampel penelitian ditentukan secara purposive, yang selanjutnya akan mendapatkan penanganan.

(13)

5. Teknik Analisis Data

Intensitas dan gejala kejenuhan belajar dianalisis melalui metode statistik deskripstif. Efektivitas teknik self-instruction dalam mereduksi gejala kejenuhan belajar diketahui dengan membandingkan perolehan skor kejenuhan belajar pada baseline 1 dan baseline 2, hasil analisis visual dan analisis homework.

F. Sistematika Penulisan

Berikut sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian.

Bab I Pendahuluan, mencakup latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Konsep Kejenuhan Belajar dan Teknik Self-Instruction, meliputi kejenuhan belajar, teknik self-instruction, bimbingan belajar melalui teknik self-instruction untuk mereduksi gejala kejenuhan belajar siswa SMP, kerangka pemikiran, asumsi dan hipotesis penelitian.

Bab III Metode Penelitian, terdiri dari pendekatan penelitian, definisi operasional variabel, pengembangan instrumen dan program, lokasi, populasi dan sampel penelitian, langkah-langkah penelitian, dan teknik analisis data.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, mencakup hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Aturan-aturan telah menjadi landasan bagi KJRI Davao City dalam mengeluarkan kebijakan dan upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat keturunan Indonesia di

Perlindungan Pernafasan : Gunakan perlindungan pernafasan melainkan jika pengalihan udara setempat yang mencukupi disediakan atau penilaian pendedahan menunjukkan bahawa

Hal ini menjadi tantangan bagi pustakawan perguruan tinggi untuk terus meningkatkan kualitasnya dan selalu meng- update ilmu pengetahuan dan ketrampilan.Sebagai

 Langkah keempat dalam penelitian ini adalah simpulan yang menjelaskan hasil dari temuan penelitian Risālatu `t-Tauhīd yang berupa suntingan teks Risālatu `t-Tauhīd yang baik

aureus resisten terhadap antibiotik ciprofloxacin (15%), cefotaxime (31%), dan cefadroxil (8%), sedangkan bakteri Gram negatif yang mengalami resistensi tertinggi

“A Clinical Approach for The Diagnosis of Diabetes Melitus”. Dengan judul sebagai berikut :.. Seminar Ilmiah Teknologi Laboratorium Medis Muhammadiyah Sidoarjo 4 a) Diabetes

Hasil dari pengujian menunjukkan bahwa sebelum menggunakan aplikasi ini para partisipan belum memahami dengan baik tentang literasi akuntansi karena sebagian besar

Umur memiliki peranan yang cukup penting misalnya umur pertama kali beranak sangat mempengaruhi produktivitas ternak tersebut sebab ternak yang dikawinkan pada