• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT

Oleh: VIDY HARYANTI

F14104067

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh: Vidy Haryanti

F14104067

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor Oleh:

Vidy Haryanti F14104067

Dilahirkan pada Jakarta, 5 September 1986 Tanggal Lulus:...

Bogor, September 2008 Menyetujui, Pembimbing Akademik,

Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr. NIP. 131 471 384

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknik Pertanian,

Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS. NIP. 131 671 603

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 5 September 1986 di Jakarta, dari orang tua yang bernama Sugeng Haryanto, SH. MSi dan Endang Widarmawati. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN II Penengahan, Bandar Lampung, Lampung pada tahun 1998, lalu melanjutkan ke SLTPN 4 Tebing Tinggi, Sumatera Utara dan tamat pada tahun 2001. Tahun 2004, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Mekanika Fluida pada Tahun Akademik 2006/2007 dan asisten praktikum pada mata kuliah Teknik Mesin dan Budidaya Pertanian pada Tahun Akademik 2007/2008. Penulis juga terdaftar menjadi anggota Dewam Perwakilan Mahasiswa (DPM) IPB sebagai Staf Riset dan Pengembangan pada masa jabatan 2004/2005, pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fateta IPB sebagai Staf Minat dan Bakat Mahasiswa pada masa jabatan 2005/2006, pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) sebagai Staf Hubungan Masyarakat pada masa jabatan 2006/2007.

Pada tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Gula Putih Mataram, Lampung dengan judul laporan ”Aspek Keteknikan Pertanian di PT. Gula Putih Mataram, Lampung (Kajian Khusus pada Pemanenan Tebu (Saccharum officinarum L.)”. Pada tahun 2008 Penulis melakukan penelitian masalah khusus dengan judul ”Analisa Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal di PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana.

(5)

Vidy Haryanti. F14104067. Analisa Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal di PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr. 2008.

RINGKASAN

Gula sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia memiliki nilai strategis dalam usaha menjaga ketahanan pangan. Perkembangan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan berkembangnya industri-industri makanan dan minuman memerlukan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Namun kenaikan konsumsi gula masyarakat dan keperluan industri ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi gula dalam negeri. Hal ini tercermin dari turunnya produksi tebu sebagai bahan baku utama dalam pembuatan gula. Produksi tebu tahun 2006 mencapai 30,244.051 ton. Jika dibandingkan dengan tahun 2005 yang menghasilkan 31,139.969 ton berarti mengalami penurunan sebesar 895.917 ton atau sebesar 2.88%. Salah satu yang mempengaruhi penurunan tersebut adalah kegiatan pemanenan. Untuk itu sistem pemanenan yang paling tepat (optimal) dapat diterapkan dalam rangka mengoptimalkan produksi tebu.

Pemanenan tebu dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan memungut hasil gula yang masih potensial berada pada bagian tanaman tebu di kebun untuk diolah menjadi butiran kristal gula di pabrik (GPM Grup, 1995). Pemanenan tebu yang diterapkan dalam industri gula saat ini adalah sistem tebang manual, sistem tebang semi mekanis dan sistem tebang mekanis. Kegiatan pemanenan selalu menjadi fokus perhatian dari manajemen pabrik gula. PG. Jatitujuh merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam industri gula.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisa biaya pemanenan pada setiap sistem pemanenan tebu. (2) menganalisa kerugian yang ditimbulkan oleh tebu tertinggal di kebun dan trash yang terbawa ke pabrik. (3) mempelajari pengaruh pembebanan akibat lintasan angkutan dan mesin pemanenan tebu di lahan kering. (4) menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat.

Biaya pemanenan adalah biaya yang diperlukan untuk menebang dan mengangkut tiap kwintal tebu sesuai dengan sistem pemanenan yang digunakan. Besarnya biaya dengan sistem tebang manual adalah jumlah keseluruhan biaya pokok tenaga tebang, ongkos muat tebu, ongkos angkutan, dan biaya lainnya yang berhubungan dengan pengadaan tenaga tebang. Besarnya biaya dengan sistem semi mekanis adalah jumlah keseluruhan biaya tenaga tebang dan biaya muat menggunakan grab loader dan biaya pengangkutan. Biaya muat dihitung dengan menjumlahkan biaya pemilikan dan biaya operasional grab loader. Besarnya biaya dengan sistem tebang mekanis adalah biaya total penggunaan mesin-mesin yang terlibat dalam kegiatan pemanenan ini. Biaya total terdiri dari biaya pemilikan dan biaya operasional mesin-mesin seperti mesin panen tebu (cane harvester), traktor angkutan, dan trailer.

Pengukuran jumlah tebu tertinggal, jumlah trash, dan pemadatan tanah dilakukan pada lahan dengan pemanenan menggunakan sistem tebang manual dan semi mekanis. Pengukuran pada sistem mekanis tidak dapat dilakukan karena sistem ini sedang tidak beroperasi pada tahun pelaksanaan penelitian. Jumlah tebu

(6)

tertinggal di kebun dihitung dengan banyaknya tunggak dan cako per Ha (kw/Ha). Jumlah trash (sampah) yang terbawa ke pabrik adalah persentase antara berat sampel kotoran tebu (kg) dengan berat sampel tebu (kg). Pemadatan tanah merupakan hasil dari pembebanan akibat lintasan angkutan dan mesin pemanenan tebu. Pemadatan tanah dinyatakan dengan nilai tahanan penetrasi (kg/cm²), berat isi tanah (gram/cm³) dan porositas (%). Tahanan penetrasi diukur menggunakan penetrometer. Pengukuran berat isi tanah dan porositas tanah dilakukan dengan metode gravimetrik dengan menggunakan sampel tanah dari kebun.

Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk memodelkan permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh. Metode AHP dibagi menjadi tiga model. Model pertama yaitu pengambilan keputusan oleh empat aktor yang terlibat dalam kegiatan pemanenan di PG Jatitujuh yaitu bagian Tebang-Angkut, bagian Riset dan Pengembangan, bagian Mekanisasi dan bagian Pabrikasi. Model kedua yaitu pengambilan keputusan oleh pelaku tunggal yaitu peneliti. Model ketiga yaitu pengambilan keputusan oleh lima pelaku yang merupakan gabungan dari hasil keputusan kedua model sebelumnya. Ketiga model tersebut masing-masing mempunyai kriteria dan alternatif. Kriteria terdiri dari biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal, jumlah trash, dan pemadatan tanah. Alternatif terdiri dari sistem tebang manual, sistem tebang semi mekanis dan sistem tebang mekanis.

Biaya pokok (Rp./kw) pada sistem tebang manual pada masa giling tahun 2007 lebih kecil dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis dan mekanis yaitu sebesar Rp. 5,329/kw. Biaya pokok pada sistem tebang semi mekanis dan mekanis adalah sebesar Rp. 6,316/kw dan Rp. 5,568/kw.

Hasil pengukuran tebu tertinggal di kebun menyatakan bahwa mutu tebangan pada sistem tebang semi mekanis lebih baik dibandingkan dengan sistem tebang manual berdasarkan jumlah tebu tertinggal di kebun. Rata-rata jumlah cako dan tunggak yang tertinggal di kebun pada sistem pemanenan semi mekanis sebesar 0.2 kw/ha dan 3.55 kw/ha. Rata-rata jumlah cako yang tertinggal di kebun pada sistem pemanenan manual sebesar 0.09 kw/ha tetapi rata-rata jumlah tunggak yang tertinggal di kebun sebesar 12.4 kw/ha atau lebih tinggi dari batas yang diizinkan sebesar 9 kw/ha. Tebu tertinggal di kebun maupun di lahan sebanyak ± 1 kw/ha, biaya kerugian yang dapat disimpan setiap hari setelah melakukan usaha pengambilan tebu tertinggal dengan luasan 45 ha/hari mencapai Rp. 16,183,125.

Hasil analisa trash menyatakan bahwa mutu tebangan pada sistem manual lebih baik dibandingkan dengan sistem semi mekanis berdasarkan jumlah trash yang terbawa ke pabrik. Rata-rata jumlah trash untuk sistem pemanenan manual dan semi mekanis sebesar 1.79% dan 3.11%,dan mutu tebangan kedua sistem pemanenan dinyatakan baik karena trash < 5%. Biaya kerugian akibat trash terbawa ke penggilingan di pabrik tidak dapat diketahui akibat data lapangan yang kurang memadai.

Hasil pengukuran pemadatan tanah menunjukkan nilai porositas (%) yang lebih rendah, nilai tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai bobot isi tanah (gr/cm³) lebih tinggi setelah proses tebang baik pada sistem tebang manual maupun mekanis. Sistem tebang manual menghasilkan pemadatan tanah yang lebih rendah dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini ditunjukkan oleh nilai tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai bobot isi tanah (gr/cm³) yang lebih kecil

(7)

dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini ditunjukkan pula oleh nilai porositas (%) yang lebih besar pada sistem tebang manual.

Berdasarkan hasil analisa metode AHP dengan empat aktor yang berasal dari PG. Jatitujuh, menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas utama dengan bobot sebesar 0.581. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh sistem tebang semi mekanis dan mekanis dengan bobot sebesar 0.283 dan 0.137. Berdasarkan hasil analisa metode AHP dengan aktor tunggal yaitu peneliti, menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas utama dengan bobot sebesar 0.467. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh sistem tebang mekanis dan semi mekanis dengan bobot sebesar 0.313 dan 0.220. Pengambilan keputusan oleh peneliti didasarkan atas data kuantitatif yang diperoleh selama penelitian. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan lima aktor yang merupakan gabungan dari pegawai PG. Jatitujuh dan peneliti, menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas utama dengan bobot sebesar 0.575. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh sistem tebang semi mekanis dan mekanis dengan bobot sebesar 0.259 dan 0.166. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan, sistem pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh adalah sistem tebang manual. Sistem tebang manual dapat dilaksanakan dengan asumsi jumlah tenaga kerja memadai. Jika tidak sistem tebang semi mekanis atau mekanis harus dilaksanakan agar pabrik tetap dapat beroperasi.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena hanya atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat meyelesaikan penelitian dengan judul ”Analisa Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal di PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat”. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr sebagai dosen pembimbing akademik atas

bimbingan, arahan, masukan, kesabaran, dan pengertiannya dalam penyusunan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng dan Dr. Ir. Desrial, M.Eng selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penulisan skripsi. 3. Pimpinan dan karyawan PG. Jatitujuh atas bimbingan selama penulis

melaksanakan penelitian.

4. Gina Agustina, STP atas bimbingan dan tempat tinggal selama penelitian. 5. Bapak, Ibu, Bhakti Haryanto Atmojo, Whisnu Haryanto dan seluruh keluarga

besar atas doa, dorongan, dan dukungannya selama ini.

6. Teman-teman seperjuangan di areal kering penuh debu : Tania, Bayu, Heru, Malik, Sukris, Ludy, Busan, Pak Farry, Pak Lamto atas kekompakan dan kebersamaannya selama penelitian.

7. Sahabat-sahabat : Ismi, Ananti, Dara, Tami, Nurul, dan Puspita atas doa, kesabaran, pengertian dan kebersamaan selama menyelesaikan pendidikan. 8. Teman-teman Teknik Pertanian Angkatan 41 yang telah banyak membantu

penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

9. Panji Yudha Prakasa, atas doa dan dukungan yang telah diberikan. 10. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tulisan ini.

Penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi seluruh pihak yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu ... 4

B. Pemanenan Tebu ... 4

C. Biaya Pemanenan Tebu ... 8

D. Tebu Tertinggal dan Trash ... 8

E. Pemadatan Tanah ... 9

F. Teknik Penganbilan Keputusan ... 10

G. Penelitian Terdahulu ... 15

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

B. Asumsi ... 16

C. Bahan dan Alat ... 16

D. Metode Pengumpulan Data ... 16

E. Metode Analisa Data ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Perusahaan ... 30

B. Pemanenan Tebu ... 31

C. Biaya Pemanenan ... 34

D. Tebu Tertinggal dan Trash ... 36

E. Pemadatan Tanah ... 40

(10)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 66 DAFTAR PUSTAKA ... 68

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perkembangan produksi tebu dan hablur serta jumlah pabrik

gula yang giling di Jawa dan di luar Jawa tahun 2002-2006 .... 2

Tabel 2. Skala penilaian perbandingan berpasangan ... 12

Tabel 3. Contoh matriks perbandingan berpasangan ... 13

Tabel 4. Nilai random indeks (RI) ... 14

Tabel 5. Luas areal dan tata guna lahan PG Jatitujuh tahun 2007 ... 31

Tabel 6. Biaya transportasi (Rp./kw) PG. Jatitujuh tahun 2007 ... 34

Tabel 7. Biaya pokok ketiga sistem pemanenan di PG Jatitujuh tahun 2007 ... 35

Tabel 8. Jumlah kandungan trash, cako dan tunggak pada sistem pemanenan manual dan semi mekanis ... 37

Tabel 9. Rata-rata hasil pengukuran tahanan penetrasi tanah dengan menggunakan penetrometer tipe tekan dengan luas cone 3.23 cm² (kg/cm²) ... 40

Tabel 10. Rata-rata hasil pengukuran berat isi tanah (gr/cm³) ... 44

Tabel 11. Rata-rata porositas tanah (%) ... 46

Tabel 12. Hasil pengolahan horizontal pada aktor yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan ... 50

Tabel 13. Hasil pengolahan horizontal pada kriteria dalam setiap aktor yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal ... 52

Tabel 14. Hasil pengolahan horizontal pada alternatif dalam setiap aktor yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal ... 55

Tabel 15. Hasil pengolahan vertikal pada level alternatif ... 56

Tabel 16. Hasil uji konsistensi matriks pendapat empat aktor ... 57

Tabel 17. Hasil pengolahan horizontal kriteria oleh aktor tunggal ... 58

Tabel 18. Hasil pengolahan horizontal pada alternatif dalam setiap kriteria yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal ... 60

(12)

Tabel 20. Hasil pengolahan horizontal pada level aktor ... 62 Tabel 21. Hasil pengolahan vertikal pada alternatif ... 64 Tabel 22. Hasil uji konsistensi matriks pendapat lima aktor ... 64

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman Tebu ... 6

Gambar 2. Mekanisme kerja cane harvester ... 7

Gambar 3. Struktur hierarki AHP ... 12

Gambar 4. Diagram alir penelitian ... 17

Gambar 5. Model sistem hierarki keputusan untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh ... 26

Gambar 6. Proses muat tebu dengan grab loader di PG. Jatitujuh ... 33

Gambar 7. Proses muat tebu dengan grab loader di PT. GPM ... 33

Gambar 8. Hubungan nilai tahanan penetrasi tanah pada Ratoon II dengan kedalaman tanah ... 41

Gambar 9. Hubungan nilai tahanan penetrasi tanah pada Ratoon III dengan kedalaman tanah (cm) ... 41

Gambar 10. Sistem tebang manual ... 42

Gambar 11. Sistem tebang semi mekanis ... 43

Gambar 12. Sistem tebang mekanis ... 44

Gambar 13. Hubungan nilai berat isi tanah (gr/cm³) pada Ratoon II dengan kedalaman tanah (cm) ... 44

Gambar 14. Hubungan nilai berat isi tanah (gr/cm³) pada Ratoon III dengan kedalaman tanah (cm) ... 45

Gambar 15. Hubungan nilai porositas (%) pada Ratoon II dengan kedalaman tanah (cm) ... 46

Gambar 16. Hubungan nilai porositas (%) pada Ratoon III dengan kedalaman tanah (cm) ... 47

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuisioner untuk penentuan sistem pemanenan tebu yang

optimal di PG. Jatitujuh, Jawa Barat ... 71

Lampiran 2. Struktur organisasi PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat .. 73

Lampiran 3. Peta PG. Jatitujuh ... 74

Lampiran 4. Hasil pengukuran kapasitas kerja pemanenan tenaga tebang lokal (laki-laki) ... 75

Lampiran 5. Hasil pengukuran kapasitas kerja pemanenan tenaga tebang lokal (wanita)... 76

Lampiran 6. Hasil pengukuran kapasitas kerja pemanenan tenaga tebang impor ... 77

Lampiran 7. Hasil pengukuran kapasitas kerja grab loader ... 78

Lampiran 8. Analisa biaya tebang dan angkut dengan sistem tebang manual tahun 2007 ... 79

Lampiran 9. Analisa biaya pokok grab loader ... 81

Lampiran 10. Analisa biaya tebang dan angkut dengan sistem tebang semi mekanis tahun 2007 ... 83

Lampiran 11. Analisa biaya pokok mesin panen (cane harvester) ... 85

Lampiran 12. Analisa biaya pokok traktor tebangan ... 87

Lampiran 13. Analisa biaya pokok trailer tebangan ... 89

Lampiran 14. Analisa biaya tebang dan angkut dengan sistem tebang mekanis tahun 2007 ... 90

Lampiran 15. Hasil analisa cako dan tunggak pada tebang manual ... 91

Lampiran 16. Hasil analisa cako dan tunggak pada tebang semi mekanis 92

Lampiran 17. Hasil analisa trash pada tebang manual ... 93

Lampiran 18. Hasil analisa trash pada tebang semi mekanis ... 94

Lampiran 19. Analisa biaya pengambilan tebu tertinggal tahun 2007 ... 95

Lampiran 20. Data hasil pengukuran tahanan penetrasi (kg/cm²) pada status tanaman ratoon II dan III ... 96

Lampiran 21. Data hasil pengukuran berat isi tanah (gr/cm³) dan kadar air (%) pada status tanaman ratoon II dan III ... 97

(15)

Lampiran 22. Data hasil pengukuran porositas tanah (%) pada status

tanaman ratoon II dan III ... 99 Lampiran 23. Analisa biaya pokok kegiatan rippering ... 100 Lampiran 24. Model sistem hierarki keputusan oleh empat

aktor untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang

optimal di PG. Jatitujuh ... 102 Lampiran 25. Model sistem hierarki keputusan oleh aktor tunggal

untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang

optimal di PG. Jatitujuh ... 103 Lampiran 26. Model sistem hierarki keputusan oleh lima aktor

untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu tanaman yang penting sebagai penghasil gula. Gula sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia memiliki nilai strategis dalam usaha menjaga ketahanan pangan. Perkembangan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan berkembangnya industri-industri makanan dan minuman memerlukan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Namun kenaikan konsumsi gula masyarakat dan keperluan industri ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi gula dalam negeri. Rendahnya produksi gula di Indonesia disebabkan oleh lahan yang semakin sempit dengan produktivitas lahan yang semakin menurun khususnya di pulau Jawa, cuaca yang terkadang kurang mendukung, menurunnya kemampuan pabrik dalam mengolah tebu menjadi gula, dan sarana produksi kurang, serta teknik budidaya kurang sehingga dihasilkan tebu dengan rendemen yang rendah dan biaya produksi gula yang semakin tinggi (Hadi, 2007).

Pada teknik budidaya tebu mencakup kegiatan pemanenan. Kegiatan ini menjadi jembatan antara kebun yang menyediakan bahan baku dengan pabrik yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Kegiatan ini hanya dapat meminimalkan kehilangan hasil gula karena pemanenan dan pengolahan di pabrik tidak pernah bisa menambah hasil gula yang telah diproduksi di kebun. Kegiatan pemanenan menggabungkan tiga kegiatan yaitu tebang, muat, dan angkut. Walaupun kegiatan ini sudah menjadi kegiatan rutin setiap tahun bagi pabrik gula, namun bukan berarti dalam pelaksanaannya selalu mulus dan lancar. Untuk itu kegiatan pemanenan selalu menjadi fokus yang mendapat perhatian lebih dari manajemen pabrik gula.

Pada masa giling 2006, pabrik gula (PG) di Indonesia yang melaksanakan giling berjumlah 59 buah. Areal tanaman tebu giling tahun 2006 seluas 397,281.60 ha. Jika dibandingkan dengan luas areal tanaman tahun 2005 seluas 382,354.14 ha berarti mengalami kenaikan seluas 14,924.46 ha. Namun kenaikan luas areal tebu sebesar (3.90%) tidak diimbangi dengan

(17)

kenaikan produksi tebu. Produksi tebu tahun 2006 mencapai 30,244.051 ton. Jika dibandingkan dengan tahun 2005 yang menghasilkan 31,139.969 ton berarti mengalami penurunan sebesar 895.917 ton atau sebesar 2.88% (Hadi, 2007). Perkembangan produksi tebu dan hablur serta jumlah PG yang giling di Jawa dan di luar Jawa tahun 2002-2006 dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan produksi tebu dan hablur serta jumlah pabrik gula yang giling di Jawa dan luar Jawa tahun 2002-2006

Sumber: Hadi, 2007

Dalam usaha meningkatkan produksi gula di Indonesia dan memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk, maka dilakukan segala usaha ke arah ini baik dalam bidang budidaya tanaman tebu, pasca panen sampai pengolahan gula. Pemerintah juga mengupayakan pembangunan pabrik gula yang diarahkan pembangunannya terutama di luar Jawa.

Pemanenan tebu yang diterapkan dalam industri gula saat ini adalah sistem manual, sistem semi mekanis dan sistem mekanis. Sistem pemanenan tebu yang lebih tepat (optimal) dapat diterapkan dalam rangka mengoptimalkan produktivitas tebu (kw/ha). Untuk mengetahui kriteria dalam

Wilayah Tahun Giling 2002 2003 2004 2005 2006 Jawa Produksi tebu (ton) 16.715.495 14.782.288 16.978.751 20.435.639 19.918.387 Produksi hablur (ton) 1.097.670 1.024.672 1.206.179 1.389.128 1.455.805 Jumlah pabrik gula 47 47 47 47 47 Luar Jawa Produksi tebu (ton) 8.777.308 7.842.667 9.764.429 10.704.330 10.325.664 Produksi hablur (ton) 661.134 607.158 845.472 855.74 852.169 Jumlah pabrik gula 13 12 11 12 12 Indonesia Produksi tebu (ton) 25.492.603 22.624.955 26.743.179 31.139.969 30.244.051 Produksi hablur (ton) 1.758.771 1.631.830 2.051.916 2.244.868 2.307.974 Jumlah pabrik gula 60 59 58 59 59

(18)

penerapan sistem pemanenan tebu yang optimal, perlu adanya penelitian tentang hal tersebut. Dari kriteria yang telah ditemukan maka harus dapat ditetapkan kriteria mana yang memegang peranan. Beberapa kriteria tersebut dapat disederhanakan dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan pemanenan tebu, sehingga dapat memaksimumkan keuntungan yang dapat diperoleh.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa biaya pemanenan pada setiap sistem pemanenan tebu.

2. Menganalisa kerugian yang ditimbulkan oleh tebu tertinggal di kebun dan trash yang terbawa ke pabrik.

3. Mempelajari pengaruh pembebanan akibat lintasan angkutan dan mesin pemanenan tebu di lahan kering.

4. Menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Tebu

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai sifat tersendiri, karena di dalam batangnya terdapat zat gula. Tanaman ini tumbuh optimal di khatulistiwa pada 39o LU-35o LS dengan suhu 21oC (Sutardjo, 1994). Tanaman ini merupakan salah satu tanaman penting sebagai penghasil gula karena lebih dari setengah produksi gula berasal dari tebu.

Tebu merupakan famili graminae yang dapat tumbuh di berbagai kondisi tanah dan iklim. Menurut Muljana (1989), tanah yang paling cocok untuk tanaman tebu adalah daerah dataran dengan ketinggian di bawah 500 m di atas permukaan laut dan mempunyai curah hujan kurang dari 2000 mm per tahunnya. Lebih baik lagi apabila dipadu dengan keadaan iklim yang bergantian antara kemarau dan penghujan.

Dalam masa pertumbuhannya tanaman tebu membutuhkan banyak air, sedangkan ketika tebu akan menghadapi waktu masak menghendaki keadaan kering sehingga pertumbuhannya terhenti. Apabila hujan turun terus menerus akan menyebabkan tanaman tebu rendah rendemennya. Jadi jelas bahwa tebu selain memerlukan daerah-daerah yang beriklim panas, juga diperlukan adanya perbedaan yang nyata antara musin hujan dan musim kemarau (Notojoewono, 1967).

B. Pemanenan Tebu

Menurut Notojoewono (1967), pemanenan adalah suatu kegiatan penyiapan tebu untuk diangkut ke pabrik, dimana kegiatannya terdiri dari penebangan, pembersihan dari segala kotoran dan penyiapan tebu ke tempat pengangkutan. GPM Grup (1995) menyatakan bahwa pemanenan tebu dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan memungut hasil gula yang masih potensial berada pada bagian tanaman tebu di kebun untuk diolah menjadi butiran kristal gula di pabrik. Implikasi dari makna tersebut adalah:

(20)

1. Orang yang terlibat dalam kegiatan pemanenan akan selalu ingat dan hati-hati bahwa barang yang ditangani adalah gula yang nilai ekonominya tinggi.

2. Setiap elemen dari bagian pemanenan harus mengerti dan sadar bahwa bagian tanaman yang mengandung gula yang harus dikirim sedangkan yang tidak harus ditinggalkan.

Pada pelaksanaan proses tebang, jika dilihat dari kondisi tebu, terdapat dua macam metode yaitu tebu hijau (green cane) dan tebu bakar (burn cane). PG. Jatitujuh menerapkan metode tebu hijau. Keunggulan dari sistem ini adalah kesegaran tebu relatif terjamin, resiko kehilangan pol in cane relatif kecil. Kekurangan pada penerapan sistem tebang ini yaitu kandungan sampah yang dibawa ke pabrik relatif banyak, tebu tertinggal di lahan juga lebih banyak, produktivitas tenaga kerja lebih kecil, dan memerlukan pengawasan yang ketat baik dalam tebang maupun angkut.

Sistem pemanenan ialah apakah tebu akan ditebang secara manual atau mekanis atau kedua-duanya; tebu akan ditebang sebagai tebu utuh atau dipotong-potong (chopped cane); dipanen sebagai tebu segar atau dibakar. Setiap kombinasi sistem yang digunakan memerlukan persiapan, perlakuan dan penyediaan sarana dan prasarana yang berbeda (Mochtar, et. al (1989) dalam Rahmawati (1994)). Terdapat tiga sistem penebangan di PG Jatitujuh, yaitu:

1. Sistem tebang manual

Sistem pemanenan dimana pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang, pembersihan klaras, pengikatan dan muat tebu hasil tebangan dilakukan seluruhnya oleh tenaga manusia. Sedangkan pengangkutan dilakukan menggunakan truk-truk serta pembongkarannya dilakukan secara mekanis di pabrik.

2. Sistem tebang semi mekanis

Sistem pemanenan dimana pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang, pembersihan klaras dan pengikatan batang-batang tebu tebangan dilakukan oleh tenaga manusia sedangkan muat, angkut dan bongkarnya di pabrik dilakukan secara mekanis.

(21)

Tunggak > 30cm Cako (a) (b) Pucuk tebu Tanah

3. Sistem tebang mekanis

Sistem pemanenan dimana pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang, muat, angkut dan bongkarnya di pabrik dilakukan secara mekanis.

Pada penebangan secara manual, pekerjaan yang dilakukan oleh penebang adalah sebagai berikut:

1. Batang tanaman tebu (Gambar 1) dipotong hingga pandes atau hingga tunggak (sisa batang di tanah, lihat Gambar 1a) maksimal 5 cm dari tanah. 2. Batang tebu dibersihkan dari klaras, akar dan kotoran lain yang melekat

pada batang tebu.

3. Pemotongan pucuk harus sesuai standar yaitu pada daun kelima ( ± 30 cm dari atas). Apabila pemotongan terlalu panjang akan menghasilkan cako (tebu lonjoran) (lihat Gambar 1b).

4. Menyisihkan pucuk bersama klaras dan kotoran lain dalam satu lajur dan membuang sogolan (tebu muda).

5. Meletakkan tebu yang telah ditebang pada lajur yang bersih dari kotoran dan kemudian diikat dengan sayatan kulit tebu atau bambu dengan berat tebangan 40-50 kg per ikatnya.

(22)

Perbedaan antara sistem manual dan semi mekanis hanya pada proses pemuatannya. Pada sistem manual pemuatannya dilakukan secara manual dengan menggunakan tenaga manual sedangkan sistem semi mekanis pemuatannya dilakukan secara mekanis dengan menggunakan grab loader. Pada sistem tebang mekanis dilakukan dengan menggunakan cane harvester tipe chopper harvester. Mekanisme kerja dari mesin ini (Gambar 2) adalah melakukan sekaligus pemotongan pucuk, pangkal batang, membuang daun dan memotong batang menjadi potongan-potongan sepanjang 20-45 cm serta langsung memuatnya ke dalam trailer/dump truck. Sistem ini baru akan diterapkan apabila jumlah tenaga tebang manual berkurang secara drastis dimana kuota tebangan harus segera dipenuhi untuk memenuhi target giling pabrik.

Sumber : www.beeh.unp.ac.za [25 Agustus 2008]

Gambar 2. Mekanisme kerja cane harvester

Tebu setelah ditebang harus segera diangkut ke pabrik untuk selanjutnya digiling. Pengangkutan tebu dari kebun sampai ke pabrik dapat dilaksanakan menggunakan cane trailer dan truk. Pengangkutan ke pabrik menggunakan truk. Truk angkutan yang digunakan adalah truk milik kontraktor.

(23)

C. Biaya Pemanenan Tebu

Biaya pemanenan tebu adalah biaya yang diperlukan untuk memanen tiap kwintal tebu. Biaya ini merupakan biaya penebangan dan biaya pengangkutan tebu ke pabrik dengan alat angkut. Biaya penebangan yang dikeluarkan tergantung dari cara penebangan yang digunakan, cara manual, semi mekanis atau mekanis. Sedangkan biaya pengangkutan ditentukan dari jumlah tebu yang ditebang dan cara pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik.

Pembayaran (sistem upah) dilakukan pada sistem manual dan semi mekanis dengan sistem tonage (berat tebu yang dikirim ke pabrik). Upah dari perusahaan langsung dibayarkan kepada kontraktor tebang, kemudian dibayarkan kepada masing-masing tenaga tebang melalui mandornya.

Biaya yang diperlukan dalam penggunaan peralatan mekanis dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu biaya tetap (fixed costs) atau biaya pemilikan (owning costs), dan biaya tidak tetap (variabel costs) atau biaya operasi (operation costs). Biaya pemilikan terdiri dari penyusutan, bunga modal, pajak, asuransi dan bangunan penyimpanan. Biaya operasi terdiri dari biaya untuk bahan bakar, pelumas, pemeliharaan, perbaikan ban dan upah untuk operator (Pramudya, 1989). Besarnya biaya yang diperlukan mesin panen tebu untuk memanen tebu akan ditentukan juga oleh besarnya pemakaian mesin tersebut dalam setiap tahunnya. Besarnya pemakaian ini tergantung dari banyaknya tebu yang harus dipanen.

D. Tebu tertinggal dan Trash

Susut atau kehilangan tebu di kebun pada waktu penebangan dapat berupa sisa batang bawah (tunggak) atau yang tidak tertebang, dan tebu yang tercecer di kebun (Dardak dan Suryanto dalam Pramudya, 1989).

Kebersihan tebu yang dikirim ke pabrik adalah sangat penting. Trash (kotoran) yang ikut terbawa ke pabrik harus ditekan serendah mungkin. Trash adalah segala sesuatu yang tidak mengandung gula yang melekat pada tanaman tebu. Trash yang dianalisa meliputi klaras daun kering/hijau, sogolan < 1,5 m, pucuk, akar, tali ikat, tanah dan tebu mati. Trash dinyatakan dengan nilai EM (extraneous matter), yaitu persentase dari berat kotoran dibagi

(24)

dengan berat tebu. Berdasarkan kriteria di lapangan, kebersihan tebu dapat dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu :

a. Tebu bersih apabila EM < 5% b. Tebu normal apabila EM 5-8 % c. Tebu kotor apabila EM > 8 %

Untuk meminimalkan EM maka dibuat sistem insentif dan penalti kepada kontraktor tebang agar kebersihan tebu yang dikirim dapat terjaga.

E. Pemadatan Tanah

Tanah merupakan suatu sistem yang dinamis yang tersusun dari empat bahan utama, yaitu bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan-bahan penyusun tanah tersebut masing-masing berbeda komposisinya untuk setiap jenis tanah, kadar air dan perlakuan terhadap tanah. Pada tanah lapis atas yang baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering (bukan sawah) umumnya mengandung 45% (volume) bahan mineral, 5% bahan organik, 20-30% udara, dan 20-30% air (Hardjowigeno. 1989). Koolen dan Kuiper (1983) menyatakan bahwa pada tanah-tanah pertanian, sifat mekanis tanah yang terpenting adalah reaksi tanah terhadap gaya-gaya yang bekerja pada tanah dimana salah satu bentuknya yang dapat diamati adalah perubahan tingkat kepadatan tanah.

Pemadatan tanah dinyatakan sebagai menurunnya volume atau naiknya berat isi suatu massa tanah. Menurut McKyes (1985) pemadatan tanah adalah perubahan naik merapatnya partikel-partikel padatan tanah serta menurunnya porositas tanah. Williford (1980) menyatakan bahwa perubahan ciri fisik tanah, dimana tanah menjadi lebih padat, adalah karena hancurnya kerangka tanah oleh kerja gaya mekanis pada tanah. Perubahan tingkat kepadatan tanah dapat dinyatakan dengan menggunakan parameter seperti berat isi, porositas dan tahanan penetrasi. Tahanan penetrasi dapat diukur menggunakan penetrometer.

Pemadatan tanah ditentukan oleh faktor mesin yang melintasi tanah dan faktor tanah itu sendiri. Faktor mesin dilihat dari intensitas lintasan mesin pertanian yang ditunjukkan oleh umur penggunaan lahan (kategori lahan replanting cane atau ratoon cane) dalam satu siklus musim. Faktor tanah

(25)

meliputi kadar air tanah dan kepadatan tanah awal. Kondisi akhir sebagai hasil proses pemadatan tanah diukur dengan besaran berat isi tanah (gr/cm³), porositas (%), dan tahanan penetrasi tanah (kg/cm²). Pemadatan tanah menurunkan aerasi tanah sehingga menghambat metabolisme perakaran tanaman, meningkatkan keteguhan tanah sehingga menghambat perkembangan akar, menurunkan permeabilitas tanah sehingga meningkatkan aliran permukaan dan erosi.

F. Teknik Pengambilan Keputusan

Metode yang dipakai untuk dasar penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan suatu alat analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan (Saaty, 1993). Pada hakikatnya AHP adalah suatu model pengambil keputusan yang komprehensif dengan memperhitungkan hal-hal yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hirarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004).

Peralatan utama dari AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Jadi perbedaan yang mencolok antara metode AHP dengan metode lainnya terletak pada jenis inputnya.

Terdapat 4 aksioma yang terkandung dalam metode AHP, yaitu: 1. Reciprocal Comparison, artinya pengambilan keputusan harus dapat

memuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensi tersebut harus memenuhi syarat resiprokal yaitu apabila A lebih disukai daripada B dengan skala x, maka B lebih disukai daripada A dengan skala 1/x.

(26)

2. Homogenity, artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lainnya. Kalau aksioma ini tidak dipenuhi maka elemen-elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogen dan harus dibentuk cluster (kelompok elemen) yang baru.

3. Independence, artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan dalam AHP adalah searah, maksudnya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu tingkat dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen pada tingkat diatasnya.

4. Expectation, artinya untuk tujuan pengambil keputusan. Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objectif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.

Selanjutnya Saaty (1993) menyatakan bahwa AHP menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas isu kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukung keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur kedalam suatu komponen-komponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP, kita dapat memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan.

Pada dasarnya langkah-langkah dalam metode AHP meliputi : 1. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi.

Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki seperti pada Gambar 3.

(27)

Gambar 3. Struktur hierarki AHP 2. Penilaian kriteria dan alternatif

Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1993), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Skala penilaian perbandingan berpasangan

Intensitas Kepentingan

Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya 7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen

lainnya

9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan

Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya. Proses perbandingan berpasangan, dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A, kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Maka susunan

Alternatives Objectives

(28)

elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Contoh matriks perbandingan berpasangan

A1 A2 A3

A1 1

A2 1

A3 1

Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 2. Penilaian ini dilakukan oleh seorang pembuat keputusan yang ahli dalam bidang persoalan yang sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya. Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung (direct), yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya atau dari pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan tersebut.

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot atau prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Penyelesaian dengan manipulasi matriks yaitu dengan jalan menentukan nilai eigen (eigen vector). Prosedur untuk mendapatkan nilai eigen adalah : a. Jika k adalah jumlah iterasi (k = 1, 2, .... n), hitung Ak dimana A adalah

perbandingan berpasangan.

b. Hitung jumlah nilai dari setiap baris kemudian lakukan normalisasi. c. Ulangi proses a dan b untuk k = k + 1

(29)

d. Hentikan proses ini, bila perbedaan antara hasil dari dua perhitungan berturut-turut telah lebih kecil atau sama dengan suatu nilai batas tertentu.

3. Konsistensi Logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut:

Hubungan kardinal : aij . ajk = aik

Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak

Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Penghitungan konsistensi logis dapat menggunakan persamaan matematika dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengalikan matriks dengan prioritas bersesuaian. b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris.

c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan.

d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks. e. Indeks Konsistensi (CI) = (λmaks-n)/(n-1)

f. Rasio Konsistensi = CI/ RI, di mana RI adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan. Daftar RI dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai random indeks (RI)

N 1,2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

(30)

G. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk dasar pengambilan keputusan, salah satunya adalah metode Bayes. Dalam metode ini diperhitungkan juga adanya unsur peluang atau ketidakpastiaan dan alternatif yang terpilih merupakan alternatif yang dapat memberikan persentase kerugiaan terkecil.

Zulichah (1990) menggunakan metode Bayes untuk menganalisis beberapa pelaksanaan alternatif tebang angkut dalam usaha pengendalian penyediaan bahan baku di Pabrik Gula Kebon Agung, Malang. Pelaksanaan tebang angkut pabrik diprioritaskan karena mempunyai tingkat kerugian terkecil, dimana tiap harinya dibutuhkan 1700 pekerja, 229 truk, dan biaya Rp. 18,840,385.88. Namun dalam pemilihan alternatif tersebut belum diperhitungkan susut tebu akibat tercecer di kebun, trash yang terbawa ke pabrik dan pemadatan tanah hasil pembebanan akibat lintasan alat angkutan dan mesin panen tebu.

(31)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2008, meliputi persiapan penelitian, penelitian lapangan, penelitian laboratorium. Penelitian utama dilakukan di lahan perkebunan tebu PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat. PG. Jatitujuh terletak di desa Sumber, Majalengka dan berjarak ± 78 km dari kota Cirebon ke arah Barat. Pengukuran berat isi tanah, porositas dan kadar air tanah dilaksanakan di Laboratorium Mekanika dan Fisika Tanah, Departemen Teknik Pertanian, Fateta, IPB. Analisa data dilakukan di Bagian Sistem dan Manajemen Mekanisasi Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fateta, IPB.

B. Asumsi

1. Varietas tanaman tebu, bentuk lahan, dan jenis tanah tidak dipertimbangkan.

2. Biaya pada kegiatan pemanenan adalah yang berlaku pada tahun pelaksanaan penelitian.

3. Metode tebang yang dianalisis hanya metode tebu hijau (green cane). 4. Jenis golok tebang tidak dipertimbangkan dalam proses tebang tebu.

C. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tebu tertinggal berupa tunggak dan batang tertinggal (cako) di kebun, tanah yang berasal dari petak kebun, dan trash (sampah) yang ikut terbawa ke pabrik. Peralatan lapangan yang digunakan terdiri dari Stopwach, Penetrometer, Ring Sampel, Cangkul,

Meteran, Tali, Patok, Golok dan Timbangan. Peralatan Laboratorium yang digunakan adalahOven, Desicator, Wadah Tanah, Sendok, dan Timbangan.

D. Metode Pengumpulan Data

Pemilihan sistem pemanenan yang optimum dilakukan berdasarkan kriteria biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal, jumlah trash dan pemadatan

(32)

tanah. Kriteria di atas kemudian disederhanakan dengan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir penelitian Mulai

Identifikasi Masalah

Survey Pra Penelitian untuk Penentuan Kriteria Pada AHP

Pengambilan Data

Pengolahan Data 1. Waktu Kerja 2. Analisa biaya 3. Trash dan Tebu

Tertinggal 4. Pemadatan Tanah

Hasil Pemilihan Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal

Selesai

Analytical Hierarchy Process (AHP)

(33)

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dan sekunder ini dikumpulkan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi komponen-komponen penelitian seperti biaya tetap, biaya variabel, biaya pokok, waktu kerja, produktivitas lahan, kapasitas kerja rata-rata tenaga panen dan kapasitas kerja peralatan serta tingkat kepadatan tanah. 1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui observasi lapang, pengujian di laboratorium dan wawancara langsung serta pengisian kuesioner. Pengisian kuesioner kepada responden bertujuan sebagai input dalam komparasi berpasangan yang diperoleh dari para pelaku yang terlibat (aktor) dalam penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal. Responden dapat seorang ahli atau bukan ahli tetapi yang penting terlibat dan mengetahui dengan baik permasalahan yang dinilai. Jumlah responden yang diambil sebanyak 16 orang staf perusahaan yang terdiri dari empat orang dari empat bagian, yaitu bagian Tebang-Angkut, bagian Riset dan Pengembangan, Bagian Mekanisasi dan bagian Pabrikasi. Kuesioner untuk penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal disajikan pada Lampiran 1. Data yang diperoleh dari kuisioner kemudian diolah berdasarkan pengolahan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

Sebelum dilaksanakan penelitian lapangan, terlebih dahulu ditentukan petak-petak contoh pada lahan. Petak yang digunakan berdasarkan umur penggunaan lahan, misalnya :

RPC = lahan replanting cane (lahan tanaman tebu yang ditanam pada areal bekas tanaman tebu yang dibongkar setelah pemanenan).

RC1 = lahan ratoon cane 1 (lahan tanaman tebu yang tumbuh dari bekas RPC yang telah ditebang).

RC2 = lahan ratoon cane 2 (lahan tanaman tebu yang tumbuh dari bekas RC1 yang telah ditebang).

RC3 = lahan ratoon cane 3 (lahan tanaman tebu yang tumbuh dari bekas RC2 yang telah ditebang).

Pada petak contoh dilakukan pengukuran waktu kerja dan pengambilan sampel tebu tertinggal dan tanah. Pengambilan sampel trash

(34)

(sampah) yang terbawa ke pabrik dilakukan di cane yard (tempat membongkar tebu dari lahan baik yang dibawa dengan menggunakan truk.

Pengambilan data primer berupa waktu kerja, tebu tertinggal dan trash serta pemadatan tanah.

a. Waktu Kerja

Waktu pelaksanaan dan hasil kegiatan digunakan untuk menentukan kapasitas kerja dan efisiensi pelaksanaan pemanenan. Analisa waktu kerja digunakan untuk mengetahui waktu yang diperlukan dalam penyelesaian suatu kegiatan. Pengukuran waktu menggunakan stopwatch. Pengukuran langsung ini dimulai dari waktu pada saat kegiatan akan dimulai sampai waktu kegiatan berakhir. Pengukuran luasan lahan yang dipanen menggunakan meteran, tali dan patok. Sedangkan hasil panen diperoleh dari data pada tiket timbang. Pengukuran waktu dilakukan dalam tiga kali ulangan untuk masing-masing petak contoh.

Hasil pengukuran meliputi waktu standar operasi kegiatan, waktu aktual pelaksanaan, luas panen dan hasil panen tebu. Dengan data tersebut kapasitas kerja tenaga tebang baik manual maupun mekanis dan effisiensi kegiatan pemanenan dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan (1) dan (2).

=

keterangan :

Kap : Kapasitas aktual pemanenan (kw/hari)

Ksp : Kapasitas standar pemanenan (kw/hari) dengan rata-rata 8 jam kerja

b. Tebu Tertinggal dan Trash

Pengambilan sampel tebu tertinggal dilakukan pada petak-petak contoh, dilakukan dengan menganalisa tunggak dan cako (batang

Kapasitas kerja = Banyaknya tebu (kw)

Waktu pemanenan (hari) ….………(1)

(35)

yang tertinggal di kebun). Pada pengambilan sampel tunggak, petak contoh yang diambil mempunyai luasan 5 juring x 15 m = 75 m. Total panjang baris tebu/ha adalah 7400 m. Pada pengambilan sampel cako, petak contoh yang diambil mempunyai luasan 5 juring x 1.35 m x 15 m = 101.25 m². Sampel tunggak dan cako kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan.

Persamaan yang digunakan untuk menghitung banyaknya tunggak (kw/ha) dan cako (kw/ha) yang berada di kebun adalah :

Proses pengambilan data trash (sampah) dimulai dari pengambilan sampel dari truk yang telah dibongkar. Pengambilan secara acak ± 5 ikat/truk (2 atas, 1 tengah, dan 2 bawah). Batang-batang tersebut kemudian dibersihkan untuk dipisahkan dari trashnya. Trash yang diperoleh kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan. Jumlah trash nilainya dinyatakan dengan nilai EM, EM dapat diperoleh melalui persamaan (5), yaitu:

c. Pemadatan Tanah

Tingkat kepadatan tanah akibat penggunaan alat dan mesin pemanenan dapat diketahui melalui pengukuran kondisi tanah. Parameter yang digunakan adalah tahanan penetrasi (kg/cm²), berat isi tanah (gram/cm³), porositas tanah (%) dan kadar ait tanah (%). Pengukuran tingkat kepadatan tanah dilakukan melalui penelitian lapangan dan pengujian laboratorium. Data tingkat pemadatan tanah yang ingin diketahui adalah sebelum dan sesudah kegiatan pemanenan.

Tunggak = Banyaknya tunggak (kw) x 7400 m

75 m .……...(3)

Cako = Banyaknya cako (kw) x 10,000 m ²

101.25 m² ….…..……(4)

(36)

1) Penelitian Lapangan

Pengambilan sampel tanah untuk pengukuran berat isi tanah, porositas dan kadar air tanah dilakukan pada kedalaman 0-60 cm dengan selang kedalaman 10 cm dengan tiga kali ulangan pada tiap petak contoh. Pengukuran tahanan penetrasi dilakukan di antara barisan tebu pada kedalaman 0-60 cm dengan selang kedalaman 10 cm dengan enam kali ulangan dari setiap petak kebun, tiga sebelum tebang dan tiga kali setelah tebang. Tahanan penetrasi diukur dengan menggunakan alat penetrometer. Nilai tahanan penetrasi yang ditunjukkan penetrometer kemudian dikonversi dengan menggunakan rumus (6) (Asep, 1990).

keterangan :

Nr = Nilai yang terbaca di penetrometer Bp = Berat penetrometer (3.8 kg)

Lcp = Luas cone penetrometer ( 3.23 cm²) 2) Pengujian Laboratorium

Pengukuran kadar air tanah dilakukan dengan metode gravimetrik dengan menggunakan contoh tanah yang sama dengan tanah untuk pengukuran berat isi tanah dan porositas tanah. Pengujian dilakukan terhadap sampel tanah pada kedalaman 0-10, 10-20, 20-30, 30-40, 50-60 cm. Metode gravimetrik dilakukan dengan mengeringkan sampel tanah pada oven selama minimal 24 jam pada suhu 105ºC dan kemudian ditimbang berat sampel tanahnya. Besarnya kadar air tanah dihitung berdasarkan persamaan (7) (Asep, 1990):

keterangan :

Kab = Kadar air tanah basis basah (%) Wa = Berat contoh tanah basah (gram)

Tahanan penetrasi (kg/cm²) = ((Nr) x 0.384) + Bp

Lcp ……(6)

Kab = (Wa-Wb)

(37)

Wb = Berat contoh tanah kering (gram)

Dengan mengukur volume ring sampel dan berat kering tanah besarnya berat isi tanah/bulk density (gram/cm³) dapat dihitung dengan persamaan (8) (Asep,1990).

Besarnya porositas (%) dapat dihitung dengan persamaan (9) (Pelawi,1999):

keterangan :

x = nilai bulk density (gram/cm³) 2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari data perusahaan, internet, literatur perusahaan, bahan-bahan yang sesuai dengan topik penelitian maupun informasi dari pihak-pihak yang berhubungan dengan topik penelitian. Data sekunder ini meliputi data lahan dan jenis biaya. Data lahan di antaranya jumlah tenaga kerja, jumlah peralatan, kapasitas peralatan yang digunakan dan jam kerja per hari kerja.

Jenis biaya yang dikumpulkan antara lain biaya dari tenaga kerja, mesin panen tebu dan alat muat serta alat angkut berupa trailer dan truk milik kontraktor. Mesin panen tebu, alat muat tebu (grab loader), alat angkut (trailer) dimiliki oleh perusahaan sehingga komponen biayanya terdiri dari biaya pemilikan dan operasi. Komponen biaya pemilikan dari mesin panen tebu, alat muat dan alat angkut yaitu penyusutan, bunga modal, pajak, asuransi, dan bangunan penyimpanan (gudang). Komponen biaya operasi dari mesin panen tebu, alat muat, dan traktor penarik alat angkut (trailer) yaitu bahan bakar, pelumas, ban, perbaikan, pemeliharaan dan upah operator.

Komponen-komponen biaya dari tenaga kerja yaitu biaya untuk tenaga tebang, tenaga harian dan penyediaan sarana dan prasarana tempat tinggal tenaga tebang. Data harga insentif dan potongan untuk sistem

Massa padatan (gram) Volume total (cm³)

Bulk density = ……..………..(8)

(38)

tebang bundle cane dan loose cane juga diperlukan untuk menunjang data dari aspek tenaga kerja. Komponen biaya dari alat angkut berupa biaya pengangkutan (Rp/kw) dan harga insentif berdasarkan jarak angkut. Selain itu data sekunder yang diperlukan yaitu tingkat suku bunga dan gambaran umum dari tempat penelitian yang meliputi sejarah dan perkembangannya, aspek personalia, struktur organisasi dan produksi umum.

E. Metode Analisa Data 1. Analisa Biaya

Biaya yang diperhitungkan adalah biaya pemanenan (tebang-angkut), biaya (opportunity lost) tebu tertinggal di kebun dan trash yang terbawa ke pabrik, biaya pengoperasian mesin baik penggunaan subsoiler, mesin pemuat (grab loader) dan traktor penarik trailer. Besarnya biaya total pemanenan (tebang-angkut) tebu adalah jumlah keseluruhan biaya tebang, ongkos muat, ongkos angkut dan biaya lainnya yang berkaitan dengan tebang-angkut tebu.

Biaya pengoperasian mesin pertanian terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah semua komponen biaya yang besarnya tidak dipengaruhi oleh beroperasinya alat-mesin. Sedangkan biaya tidak tetap adalah semua komponen biaya yang besarnya tergantung pada intensitas pengoperasian alat-mesin. Komponen-komponen biaya tersebut adalah sebagai berikut:

a. Komponen biaya tetap per tahun, terdiri dari:

1) Penyusutan atau depresiasi (D), disajikan sebagai:

D = (P − S)/ ……...……….(10) keterangan:

P = Harga pembelian mesin S = Nilai sisa (10% P) N = Umur ekonomi mesin

2) Bunga modal (I) yang disajikan sebagai:

(39)

keterangan :

r = Tingkat bunga modal

Jika tidak ada data lokal/perusahaan, dipakai perkiraan r = 15%/tahun berdasarkan tingkat bunga modal pada tahun penelitian. 3) Pajak (T) dan Asuransi (A), menggunakan data perusahaan. Jika

tidak ada data lokal/perusahaan, dipakai perkiraan T dan A = 5%/tahun.

4) Gudang (H) yang disajikan sebagai (Ciptohadijoyo (1995) dalam Haryanto (2001)):

 = h x P………...……….(12)

keterangan :

h = Nilai gudang yang besarnya 0.5% x P (RNAM (1983) dalam Haryanto (2001)).

b. Komponen biaya tidak tetap per jam operasi terdiri dari biaya untuk bahan bakar, oli, grease, penggantian ban, perawatan dan perbaikan, dan upah (gaji) operator.

1) Biaya bahan bakar (F) menggunakan data perusahaan, bila tidak terdapat data yang memadai dapat digunakan pendekatan berikut:

keterangan :

Pm = Daya mesin (Hp) Fp = Harga bahan bakar (Rp)

2) Biaya oli (O) menggunakan data perusahaan. Bila tidak ada, dapat didekati dengan persamaan berikut:

keterangan : O adalah harga oli (Rp)

3) Grease (G) menggunakan data perusahaan. Bila tidak ada, dapat didekati dengan persamaan berikut:

F = 0.2 lt

Hp x jam x Pm x Fp ……..……….(13)

O = 0.4 lt

(40)

G = 60% x O ………..(15) 4) Perawatan dan Perbaikan (M)

keterangan :

m adalah nilai perawatan dan perbaikan yang nilainya 5% (RNAM (1983) dalam Haryanto (2001)).

5) Ban

Keterangan :

N = Jumlah ban (buah), Tp = Harga ban (Rp) dan Nt = Umur pakai ban (jam).

6) Operator dan pembantu operator mengikuti harga lokal (perusahaan).

c. Biaya Pokok (BP)

Menurut Pramudya dan Dewi (1992), biaya pokok adalah biaya yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit produk yang akan dihasilkan.

Keterangan :

BP = Biaya pokok (Rp/unit produk) BT = Biaya tetap (Rp/tahun)

BTT = Biaya tidak tetap (Rp/jam atau Rp/unit produk) x = Perkiraan jam kerja (jam/tahun atau unit produk/jam) k = Kapasitas mesin (unit produk/jam)

2. Pengambilan Keputusan

Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk memodelkan permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan penentuan kriteria dalam penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal.

O = m 100 x P ….………...(16) Ban = N x Tp Nt ….……….(17) BP = BT kx BTT k + ….………..(18)

(41)

Kriteria berupa kriteria biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal dan trash serta pemadatan tanah. Pengolahan data kuesioner menggunakan Expert Choice 2000. Model sistem hirarki keputusan dapat dilihat pada Gambar 5.

Tujuan

Aktor

Kriteria

Alternatif

Gambar 5. Model sistem hierarki keputusan untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh

a. Perbandingan Berpasangan

Di dalam menentukan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan yang ada pada setiap tingkat hierarki keputusan, penilaian pendapat (judgement) dilakukan dengan menggunakan fungsi berpikir yang dikombinasikan dengan intuisi, perasaan dan penginderaan. Penilaian pendapat ini dilakukan dengan perbandingan berpasangan (pairwise comparison), yaitu dengan membandingkan setiap elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga didapat nilai kepentingan elemen. Dalam membandingkan setiap elemen digunakan skala penilaian yang telah ditentukan.

Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal

Biaya Pemanenan Jumlah Tebu Tertinggal Pemadatan Tanah Sistem Tebang Manual Sistem Tebang Mekanis Bagian Tebang-Angkut

Bagian Riset & Pengembangan Bagian Mekanisasi Bagian Pabrikasi Jumlah Trash (Sampah) Sistem Tebang Semi Mekanis

(42)

b. Matriks Pendapat Individu

Jika C1, C2, ….., Cn adalah merupakan set elemen suatu tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan tiap elemen terhadap lainnya akan membentuk matriks A yang berukuran n x n. Misalkan suatu Ci dibandingkan dengan Cj maka aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci terhadap Cj. Sedangkan untuk penentuan nilai matriks aij = 1/ aij, yaitu nilai kebalikan dari matriks aij. Untuk i = j, maka nilai matriks aij = aji = 1, karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri = 1.

Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1 , C2,.., Cn untuk i,j = 1,2,…n adalah

C1 C2 . . Cn

C1 a11 a12 . . a1n

A=(aij)= C2 1/a12 a22 . . a2n

. . . .

. . . .

Cn 1/a1n 1/a2n . . ann

c. Matriks Pendapat Gabungan

Matriks pendapatan gabungan (G) merupakan susunan matriks baru yang elemen matriksnya (gij) berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu (aij) yang rasio konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan. Formulasi rata-rata geometrik adalah sebagai berikut:

gij = ∑ aij (k) 

 ………(19)

keterangan:

gij = Elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j aij = Elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i kolom ke-j

untuk matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi (CR) yang memenuhi persyaratan ke-k

(43)

m = Jumlah matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi (CR) yang memenuhi persyaratan.

d. Pengolahan Horizontal

Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas elemen pada setiap tingkat hierarki keputusan. Tahapannya menurut Saaty (1983) dalam Marimin (2004) adalah sebagai berikut:

1) Perkalian baris (z) dengan rumus:

 = ∑ aij 

!

………....(20) (i,j = 1,2,….n)

2) Perhitungan vektor prioritas (VP) dengan rumus: VP = ∑&'() #$% & ∑ ∑! #$% *() ! ! +() ……….…...…(21) 3) Perhitungan nilai eigen maksimum (λmaks) dengan rumus:

VA = (aij) x VP, dengan VA = (Vai) VB = VA; VP, dengan VB = (Vbi), dan

, -./0 =1∑ aij

1   ……….………..………(22) Untuk I = 1,2,3,…n

VA = VB = vektor antara

4) Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus: CI =λ4#5678

87 …………...………(23)

5) Perhitungan rasio konsistensi (CR)

Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui yang dianggap baik, yaitu apabila CR ≤ 0.1, Rumus CR adalah:

CR = CI / RI………....(24) Nilai RI seperti tertera pada Tabel 4.

(44)

e. Pengolahan Vertikal

Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama (fokus). Apabila CVij didefenisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka

CVij = ∑ CHij :

1 (t, i − 1)x VWt(i − 1) ..……...…...…(25)

Untuk i = 1,2,3,…r j = 1,2,3,…s

Chij = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j tingkat ke-i terhadap elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i-1), yang diperoleh dari pengolahan horisontal.

VWt(i-t) = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(i-1) terhadap sasaran utama yang diperoleh dari hasil pengolahan vertikal.

r = Jumlah elemen pada tingkat ke-i s = Jumlah elemen pada tingkat ke-(i-1)

Jika dalam hirarki terdapat dua faktor yang tidak berhubungan, keduanya tidak saling mempengaruhi, maka nilai prioritas sama dengan nol. Vektor prioritas vertikal pada tingkat ke-i (CV) didefinisikan sebagai :

(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Perusahaan

1. Sejarah berdirinya PG. Jatitujuh

Pada tahun 1971, Pemerintah Indonesia mengadakan kerjasama dengan Bank Dunia membentuk Indonesian Sugar Study (ISS) dalam rangka swasembada gula. Salah satu programnya adalah mencari areal baru yang berorientasi pada lahan kering. Hasil survei yang dilakukan pada tahun 1972-1975, menyatakan areal Jatitujuh, Kerticala, Cibenda dan Jatimunggul cocok untuk pertanaman tebu sehingga pada tanggal 9 Agustus 1975 dikeluarkan SK. Mentan No. 795/VI/1975 tentang izin prinsip pendirian pabrik gula di Jatitujuh yang dikenal dengan nama “Proyek Gula Jatitujuh” dan diikuti SK. Mentan No. 654/Kpts/UM/76 untuk membebaskan lahan tersebut.

Pada tahun 1977-1978 dibangun PG Jatitujuh yang ditangani oleh Kontraktor Perancis Fives Cail Babcock (FCB) yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 5 September 1980. Sejak itu pengelolaannya ditangani oleh PNP XIV. Pada tahun 1989, PG Jatitujuh diambil alih oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja produksi dan manajemen. Bagan struktur organisasi PT. PG. Jatitujuh dapat dilihat pada Lampiran 2.

2. Lokasi dan Areal PG Jatitujuh

PG Jatitujuh terletak di Desa Sumber, Majalengka dan berjarak ± 78 km dari kota Cirebon ke arah Barat atau ± 20 km di sebelah Selatan kec. Jatibarang, kab. Indramayu, Jawa Barat. PG Jatitujuh terletak di antara garis-garis Bujur Timur 108º6’23” dan 108º16’36” serta garis Lintang Selatan 6º31’58” dan 6º38’22”. Suhu udara rata-rata tahunan berkisar antara 26.3-27.1ºC dan berada pada ketinggian 3-50 m dpl.

Iklim wilayah Jatitujuh tergolong tipe hujan tropis yang dicirikan dengan adanya bulan-bulan kering lebih dari 3 bulan dengan curah hujan rata-rata tahunan 1500-2500 mm/tahun. Lima jenis tanah yang ditemukan di wilayah Jatitujuh yaitu: Aluvial, Kambisol, Crumusol, Mediteran, dan Padsolik.

(46)

Areal PG Jatitujuh merupakan areal HGU seluas 11,921.56 ha, yang terdiri dari:

1. SK HGU No. 2 Tahun 2005 (Kab. Indramayu) seluas 6,248.52 ha 2. SK HGU No.001 Tahun 2005 (Kab. Majalengka) seluas 5,673.04 ha. Peta lokasi PG Jatitujuh tahun 2007/2008 disajikan pada Lampiran 3. Pada Tabel 5 disajikan data luas areal dan tata guna lahan PG. Jatitujuh sampai tahun 2007.

Tabel 5. Luas areal dan tata guna lahan PG Jatitujuh tahun 2007 No. Pemanfaatan Lahan Luas (ha)

1. Emplasemen 135.40

2. Jalan 682.40

3. Kantong air 479.50

4. Pertamina 66.50

5. Hortikultura dan penghijauan 253.00 6. Sungai/daerah genangan 1,794.76

7. Kebun produksi 8,200.00

Total 11,921.56

Sumber : Risbang PG Jatitujuh, 2008 B. Pemanenan Tebu

Pemanenan tebu dalam industri gula dikenal dengan tiga sistem tebang antara lain sistem manual, sistem semi mekanis, dan sistem mekanis. PG. Jatitujuh menerapkan pemanenan dengan sistem manual (93%) dan sistem semi mekanis (7%). Pemanenan secara manual membutuhkan banyak tenaga kerja karena seluruh kegiatan tebang dan muat menggunakan tenaga manusia. Pemenuhan tenaga tebang pada PG. Jatitujuh dipenuhi oleh tenaga tebang lokal dan impor. Tenaga tebang lokal bertempat tinggal tidak jauh dari pabrik dan tidak memerlukan pemondokan yang harus disediakan oleh pabrik. Tenaga tebang yang digunakan terdiri dari pria dan wanita. Tenaga tebang impor berasal dari luar daerah sehingga memerlukan pemondokan selama bekerja pada musim giling. Tenaga tebang impor hanya terdiri dari laki-laki.

Jumlah tenaga tebang yang diperlukan adalah ± 4500 orang pada saat kapasitas giling maksimum yaitu sebesar 45000 kw tebu. Tiap kelompok

Gambar

Tabel  1.  Perkembangan  produksi  tebu  dan  hablur  serta  jumlah  pabrik  gula  yang giling di Jawa dan luar Jawa tahun 2002-2006
Gambar 1. Tanaman tebu
Gambar 2. Mekanisme kerja cane harvester
Gambar 3. Struktur hierarki AHP  2.  Penilaian kriteria dan alternatif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Binatang-binatang yang ada pada cerita fabel memiliki karakter seperti manusia. Karakter mereka ada yang baikdan ada juga yang tidak baik. Mereka mempunyai sifatjujur, sopan,

1) Pada kegiatan awal yaitu menyiapkan kondisi kelas sudah tercapai, dan pada kegiatan yang lain ada beberapa deskriptor yang belum tercapai. 2) Pada kegiatan inti

Konflik yang terdapat dalam Kumpulan Cerita Fiksi Anak (Cerpen) pada Blog Kelas Merah Jambu Karya Novia Erwida 1) cerpen “Mobil Antik” konflik internal dialami tokoh istri.

Skop kajian ini menumpukan kepada tiga aspek iaitu tahap pengetahuan pentadbir dan ahli jawatankuasa terhadap pengurusan masjid dalam Islam, bentuk pengurusan yang dijalankan dan

Perubahan itu terjadi karena perjumpaan kita dengan Kristus, yang mengundang kita untuk masuk dalam kehidupan-Nya sendiri, ke dalam misteri kasih-Nya yang tak terpahami, sebab

kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar. dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam

Sehubungan dengan hasil evaluasi penawaran saudara, perihal penawaran Pekerjaan Pekerjaan Taman Kantor Gabungan Dinas - Dinas , dimana perusahaan saudara termasuk

memperketat alur pembiayaan agar barang yang diperjualbelikan dapat dipastikan telah menjadi milik bank baik secara langsung maupun secara prinsip sebelum