• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disusun oleh : Efi Octaviany FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Disusun oleh : Efi Octaviany FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Farmakologi

Disusun oleh :

Efi Octaviany

4111111028

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

(2)

OBAT – OBAT KARDIOVASKULAR

1. Obat Gagal Jantung

1.1. Penghambat ACE

A. Mekanisme Kerja

Penghambat ACE menghambat konversi angiotensin I (Ang I) menjadi angiotensin II (Ang II). Kebanyakan efek biologik Ang II diperantarai oleh reseptor angiotensin tipe 1 (AT1). Stimulasi reseptor AT1 menyebabkan

vasokontriksi, stimulasi dan pelepasan aldosterone, peningkatan aktivitas simpatis, dan hipertrofi miokard. Penghambat ACE dengan mengurangi pembentukan Ang II akan menghambat aktivitas Ang II di reseptor AT1 maupun AT2, sehingga terjadi

pengurangan hipertrofi miokard dan penurunan preload jantung yang akan menhambat progresi remodelling jantung. Di Samping itu, penurunan aktivitas neurohormonal endogen (Ang II, aldosteron, norepinefrin) akan mengurangi efek langsugnya dalam menstimulasi remodelling jantung. Enzim ACE juga merupakan kininase II, maka penghambat ACE akan menghambat degradasi bradikinin sehingga kadar bradikinin yang terbentuk lokal di endotel vaskuler akan meningkat. Bradikinin bekerja lokal pada reseptor BK2 di sel endotel dan menghasilkan nitric oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2), keduanya merupakan vasodilator, antiagregasi

trombosit dan antiproliferasi. B. Kontraindikasi

Penghambat ACE tidak dianjurkan untuk diberikan kepada wanita hamil dan menyusui, pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral, atau angioedema pada terapi dengan penghambat ACE sebelumnya.

C. Dosis

Penghambat ACE harus selalu dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis target. Dosis target adalah dosis pemeliharaan yang telah terbukti efektif untuk mengurangi mortalitas/hospitalisasi dalam uji klinik yang besar.

Obat Dosis awal Dosis pemeliharaan Kaptopril 6,25 mg tid 25 - 50 mg tid

(3)

Enalapril 2,5 mg od 10 - 20 mg bid Lisinopril 2,5 mg od 5 - 20 mg od Ramipril 1,25 mg od/bid 2,5 - 5 mg bid Trandolapril 1 mg od 4 mg od Kuinapril 2,5 mg od 5 - 10 mg bid Fosinopril 5 - 10 mg od 20 - 40 mg od Perindopril 2 mg od 4 mg od od = sekali sehari ; bid = 2 x sehari ; tid = 3x sehari

D. Efek Samping

Batuk, hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hyperkalemia, dan angioedema.

1.2. Antagonis Angiotensin II (AT1-Bloker)

A. Mekanisme Kerja

Antagonis angiotensin II (Ang II) menghambat aktivitas Ang II hanya di reseptor AT1 dan tidak di reseptor AT2, maka disebut juga AT1-Bloker. Tidak

adanya hambatan kininase II menyebabkan bradikinin dipecah menjadi kinin inaktif, sehingga vasodilator NO dan PGI2 tidak terbentuk. Dalam hal ini diduga

mekanismenya juga sama, yakni akumulasi bradikinin karena terjadi reaksi saling antara penghambat ACE dan AT1-Bloker.

B. Dosis

Obat Dosis Awal Dosis Maksimal Kandesartan 4 – 8 mg od 32 mg od Losartan 25 – 50 mg od 50 – 100 mg od Valsartan 20 – 40 mg od 160 bid

C. Efek Samping

Pusing dan batuk kering.

1.3. Diuretik

(4)

a. Farmakodinamik

Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit Na+/K+/2CI- di ansa Henle asendens bagian epitel tebal; tempat kedanya di

permukaan sel epitel bagian lumina) (yang menghadap ke lumen tubuh). Pada pemberian secara IV obat ini cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Perubahan hemodinamik ginjal ini mengakibatkan menurunnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuh proksimal Serta meningkatnya efek awal diuresis. Peningkatan aliran darah ginjal ini relatif hanya berlangsung sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstrasel akibat diuresis, maka aliran darah ginjal menurun dan hal ini akan mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuh proksimal. Hal yang terakhir ini agaknya merupakan suatu mekanisme kompensasi yang membatasi jumlah zat terlarut yang mencapai bagian epitel tebal Henle asendens, dengan demikian akan mengurangi diuresis.

Masih dipertentangkan apakah diuretik kuat juga bekerja di tubuh proksimal. Furosemid dan bumetanid mempunyai days hambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya merupakan derivat sulfonamid, seperti juga tiazid dan asetazolamid, tetapi aktivitasnya terlalu lemah untuk menyebabkan diuresis di tubuh proksimal. Asametakrinat tidak menghambat enzim karbonik anhidrase. Efek diuretik kuat terhadap segmen yang lebih distal dari ansa henle asendens epitel tebal belum dapat dipastikan, tetapi dari besarnya diuresis yang terjadi, diduga obat ini bekerja juga di segmen tubuh lain.

Diuretik kuat juga menyebabkan meningkatnya ekskresi K+ dan kadar asam

urat plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama dengan tiazid. Ekskresi Ca++

dan Mg++ juga ditingkatkan sebanding dengan peningkatan ekskresi Na+. Berbeda

dengan tiazid, golongan ini tidak meningkatkan re-absorpsi Ca++ di tubuh distal.

Berdasarkan atas efek kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan simptomatik hiperkalsemia.

Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi (fitrable acid) dan ammonia. Fenomena yang diduga terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan salah sate faktor penyebab terjadinya alkalosis metabolik.

(5)

Bila mobilisasi cairan edema terlalu cepat, alkalosis metabolik oleh diuretik kuat ini terutama terjadi akibat penyusutan volume cairan ekstrasel. Sebaliknya pada penggunaan yang kronik, faktor utama penyebab alkalosis ialah besarnya asupan garam dan ekskresi H+ dan K+. Alkalosis ini seringkali disertai dengan

hiponatremia, tetapi masing-masing disebabkan oleh mekanisme yang berbeda.

b. Farmakokinetik

Diuretik kuat mudah diserap melalui saluran cema, dengan derajat yang agak berbeda-beda. Bioavailabilitas furosemid 65% sedangkan bumetenid hampir 100%. Obat golongan ini terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui sistem transpor asam organik di tubuh proksimal. Dengan cara ini obat terakumulasi di cairar tubuh dan mungkin sekali ditempat kerja di daerah yang lebih distal lagi. Probenesid dapat menghambat sekresi furosemid, dan interaksi antara keduanya ini hanya terbatas pada tingkat sekresi tubuh, dan tidak pada tempat kerja diuretik. Torsemid memiliki mass kerja seclikit lebih panjang dad furosemid.

Kira-kira 2/3 clad asam etakrinat yang diberikan secara IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui hati. Sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya Sebagian kecil dalam bentuk glukoronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit.

(6)

B. Kontraindikasi

Oleh karena penurunan curah jantung akibat deplesi cairan akan meningkatkan aktivasi neurohormonal yang akan memacu progresi gagal jantung, maka diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung yang asimtomatik maupun yang tidak ada overload cairan, maka itu diuretic harus selalu diberikan dalam kombinasi dengan penghambat ACE.

C. Dosis

D. Efek Samping

a. Gangguan cairan dan elektrolit b. Ototoksisitas

c. Hipotensi d. Efek metabolik e. Reaksi alergi

f. Nefritis interstisialis alergik E. Interaksi

Seperti diuretik tiazid, hipopkalemia akibat pemberian diuretik kuat dapat meningkatkan risiko aritmia pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat antiaritmia.

(7)

Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik seperti aminoglikosida dan antikanker sisplatin akan meningkatkan risiko nefrotoksisitas.

Probenesid mengurangi sekresi diuretik ke lumen tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang.

Diuretik kuat dapat berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran ikatannya dengan protein. Pada penggunaan kronis, diuretik kuat ini dapat menurunkan klirens litium. Penggunaan bersama dengan sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas sefalosporin. Anti-inflamasi non-steroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid.

1.4. Antagonis Aldosteron

A. Mekanisme Kerja

Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosteron meningkat (akibat aktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron), bisa sampai 20x kadar normal. Aldosteron menyebabkan retensi Na dan air serta ekskresi K dan Mg. Retensi Na dan air menyebabkan edema dan peningkatan preload jantung. Aldosteron memacu remodelling dan disfungsi ventrikel melalui peningkatan preload dan efek langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferasi fibroblas (lihat Gambar 19-1 dan 19-2). Karena itu antagonisasi efek aldosteron akan mengurangi progresi remodelling jantung sehingga dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat gagal jantung. Pada saat ini ada 2 antagonis aldosteron, yakni spironolakton dan eplerenon.

B. Dosis

Sebelum pemberian obat, periksa dulu kadar K serum (harus ≤ 5,0 mmol/L) dan kreatinin (harus ≤ 2,0-2,5 mg/dL) atau klirens kreatinin > 30 mL/menit. Obat diberikan dengan dosis awal yang rendah : spironolakton 12,5 mg, eplerenon 25 mg sehari, kemudian dosis dapat ditingkatkan menjadi spironolakton 25 mg, eplerenon 50 mg, jika diperlukan. Risiko hiperkalemia meningkat dengan dosis penghambat ACE yang lebih tinggi (kaptopril ≥ 75 mg/hari, enalapril atau lisinopril ≥ 10 mg/hari). Penggunaan obat AINS dan coxib harus dihindari. Kadar K dan fungsi ginjal harus dimonitor dengan ketat: periksa dalam 3 had dan pada 1 minggu setelah awal terapi dan sedikitnya sebulan sekali selama 3 bulan pertama. Jika kadar

(8)

K 5,0-5,5 mmol/L, kurangi dosis obat dengan 50%, hentikan obat jika kadar K > 5,5 mmol/L. Setelah 1 bulan, jika gejala-gejala gagal jantung belum membaik dan kadar K normal, dosis obat dinaikkan. Periksa lagi kadar K dan kreatinin setelah 1 minggu. Jika terjadi diare atau penyebab dehidrasi lainnya, harus segera ditangani. C. Interaksi

Antagonis aldosteron direkomendasikan untuk ditambahkan pada :

a. Penghambat ACE dan diuretik kuat pada gagal jantung lanjut (NYHA kelas III-IV) dengan disfungsi sistolik (fraksi ejeksi ≤ 35%) untuk mengurangi mortalias dan morbiditas (terbukti untuk spironolakton).

b. Penghambat ACE dan β-bloker pada gagal bantuan setelah infark miokard dengan disfungsi sistolik ventrikel kid (fraksi ejeksi ≤ 40%) dan tanda-tanda gagal jantung atau diabetes untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas (terbukti untuk eplerenon).

1.5. β – Blocker

(9)

Pada Gambar 19-3 terlihat bahwa aktivasi simpatis akan mengaktifkan sistem renin-angiotensinaldosteron (RAA). Renin disekresi oleh sel jukstaglomerular di ginjal melalui stimulasi reseptor adrenergik Pl. Selanjutnya aktivitas sistem simpatis maupun sistem RAA akan mengakibatkan hipertrofi miokard melalui efek vasokonstriksi perifer (arteri dan vena) dan retensi Na dan air oleh ginjal. Sedangkan vasokonstriksi koroner akan mengurangi pasokan darah pada Binding ventrikel yang hipertrofi sehingga terjadi iskemia miokard. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokard juga akan menyebabkan iskemia miokard relatif karena peningkatan kebutuhan O2 miokard disertai dengan berkurangnya pasokan O2 miokard. Iskernia miokard akan menyebabkan perlambatan konduksi jantung, yang akan memicu terjadinya aritmia jantung. Norepinefrin juga meningkatkan automatisitas sel-sel automatik jantung sehingga terbentuk fokus-fokus ektopik yang akan menimbulkan aritmia jantung. Angiotensin II juga bekerja langsung pada jantung untuk menstimulasi pertumbuhan sehingga terjadi hipertrofi miokard. Selanjutnya, hipertrofi miokard yang terjadi akibat styes hemodinamik maupun yang terjadi secara langsung akan memicu apoptosis dan fibrosis miokard sehingga terjadi remodelling miokard, yang berlangsung secara progresif, dan dengan demikian terjadi progresi gagal jantung.

Pemberian β-bloker pada gagal jantung sistolik (lihat Gambar 19-3) akan mengurangi kejadian iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel-sel automatik jantung dan efek antiaritmia lainnya, sehingga mengurangi risiko terjadinya aritmia jantung, dan dengan demikian mengurangi risiko terjadinya kematian mendadak (kematian kardiovaskular). β-bloker juga menghambat penglepasan renin sehingga menghambat aktivasi sistem RAA. Akibatnya terjadi penurunan hipertrofi miokard, apoptosis & fibrosis miokard, dan remodelling miokard, sehingga progresi gagal jantung akan terhambat, dan dengan demikian memburuknya kondisi klinik juga akan terhambat.

B. Dosis

β – Bloker Dosis awal Peningkatan dosis (mg/hari)

Dosis target

Periode titrasi Bisoprolol 1,25 mg od 2,5; 3,75; 5; 7.5; 10 10 mg od Minggu - bulan

(10)

Metoprolol suksinat CR

12,5/25

mg od 25; 50; 100; 200 200 mg od Idem Karvedilol 3,125 mg dib 6,25; 12,5; 25; 50 25 mg od Idem

C. Efek Samping

Pada awal terapi dengan β-bloker dapat terjadi :

a. Retensi cairan dan memburuknya gejala-gejala, maka tingkatkan dosis diuretik.

b. Hipotensi, maka kurangi dosis penghambat ACE atau β-bloker. c. Bradikardia, maka kurangi dosis β-bloker.

d. Rasa lelah, maka kurangi dosis β-bloker.

1.6. Vasodilatasor Lain

A. Hidralazin-Isosorbid Dinitrat

Kombinasi ini dapat diberikan pada pasien gagal jantung sistolik yang tidak dapat mentoleransi penghambat ACE dan antagonis All, untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas dan memperbaiki kualitas hidup. Hidralazin merupakan vasodilator arteri sehingga menurunkan afterload, sedangkan isosorbid dinitrat merupakan venodilator sehingga menurunkan preload jantung.

B. NA Nitroprusid I.V.

Merupakan prodrug dari nitric oxide (NO), suatu vasodilator kuat, kerjanya di arteri maupun vena, sehingga menurunkan after-load maupun preload jantung. Mule kerjanya cepat (2-5 menit) karena cepat dimetabolisme membentuk, NO yang aktif. Mesa kerjanya singkat sehingga dosisnya dapat dititrasi dengan cepat untuk mencapai efek hemodinamik yang diinginkan. Karena itu obat ini biasa dipakai untuk mengatasi gagal jantung akut di IGD.

C. Nitrogliserin I.V.

Obat ini juga prodrug dari NO. Pada kecepatan infus yang rendah, obat ini hanya mendilatasi vena dan dengan demikian hanya menurunkan preload jantung. Pada pasien gagal jantung, obat ini digunakan untuk pengobatan gagal jantung kiri akibat iskemia miokard akut, gagal jantung kiri non-iskemik yang memerlukan penurunan preload dengan cepat, dan pada pasien dengan overload cairan yang

(11)

simtomatik dan belum mencapai diuresis yang cukup. Pada kecepatan infus yang lebih tinggi, obat ini juga mendilatasi arteri sehingga menurunkan afterload jantung. Jika terjadi toleransi, dapat diatasi dengan meningkatkan dosisnya.

Efek samping : sakit kepala. D. Nesiritid I.V.

Merupakan rekombinan dari peptide natriuretik otak (BNP) manusia, dan diindikasikan untuk gagal jantung akut dengan sesak napas saat istirahat atau dengan aktivitas minimal. Pada pasien ini, nesiritid yang diberikan sebagai infus selama 24-48 jam menurunkan tekanan kapiler pare (PCWP) dan mengurangi sesak napas. Mekanisme kerjanya melalui peningkatan siklik GMP menyebabkan dilatasi vena dan arteri. Pada pasien gagal jantung, nesiritid mengantagonisasi efek angiotensin dan norepinefrin dengan menimbulkan vasodilatasi, natriuresis dan diuresis.

1.7. Digoksin

Beberapa efek digoksin pada pengobatan gagal jantung, yaitu : a. Inotropik positif

b. Kronotropik negatif

c. Mengurangi aktivasi saraf simpatis A. Mekanisme Kerja

a. Inotropik positif

Digoksin menghambat pompa Na-K-ATPase pada membran sel otot jantung sehingga meningkatkan kadar Na+ intrasel, dan ini menyebabkan berkurangnya pertukaran Na+ - Ca++ selama repolarisasi dan relaksasi otot

jantung sehingga Ca2+ tertahan dalam sel, kadar Ca2+ intrasel meningkat, dan

ambilan Ca2+ ke dalam retikulum sarkoplasmik (SR) meningkat. Dengan

demikian, Ca2+ yang tersedia dalam SR untuk dilepaskan ke dalam sitosol

untuk kontraksi meningkat, sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat.

b. Kronotropik negatif & mengurangi aktivasi saraf simpatis

Pada kadar terapi (1-2 mg/mL), digoksin meningkatkan tones vagal dan mengurangi aktivitas simpatis di nodus SA maupun AV, sehingga dapat

(12)

menimbulkan bradikardia sinus sampai henti jantung dan/atau perpanjangan konduksi AV sampai meningkatnya blok AV. Efek pada nodus AV inilah yang mendasari penggunaan digoksin pada pengobatan fibrilasi atrium. B. Indikasi

a. Pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrium, karena digoksin dapat memperlambat kecepatan ventrikel (akibat hambatan pada nodus AV). b. Pasien gagal jantung dengan ritme sinus yang masih simtomatik, terutama

yang disertai takikardia meskipun telah mendapat terapi maksimal dengan penghambat ACE dan β-bloker, karena digoksin tidak mengurangi mortalitas sehingga tidak lagi dipakai sebagai obat lini pertama, tetapi dapat memperbaiki gejala-gejala dan mengurangi hospitalisasi, terutama hospitalisasi karena memburuknya gagal jantung. Sebaiknya kadar digoksin dipertahankan <1 ng/mL karena pada kadar yang lebih tinggi, risiko kematian meningkat.

C. Kontraindikasi

Kontraindikasi penggunaan digoksin meliputi bradikardia, blok AV derajat 2 dan 3, sindroma sick sinus, sindroma Wolff-Parkinson-White, kardiomiopati obstruktif hipertrofik, hipokalemia.

D. Dosis

Dosis digoksin biasanya 0,125-0,25 mg sehari jika fungsi ginjal normal (pada lansia 0,06250-125 mg, kadang-kadang 0,25 mg). Digoksin tersedia dalam bentuk tablet 0,25 mg.

E. Efek Samping

Efek toksik digoksin berupa : a. Efek proaritmik, yakni :

i. Penurunan potensial istirahat (akibat hambatan pompa Na), menyebabkan after potential yang mencapai ambang rangsang, dan penurunan konduksi AV.

ii. Peningkatan automatisitas.

b. Efek samping gastrointestinal : anoreksia, mual, muntah, nyeri lambung. c. Efek samping visual: penglihatan berwarna kuning.

(13)

F. Interaksi

a. Kuinidin, verapamil, amiodaron akan menghambat P-glikoprotein, yakni transporter di usus dan di tubulus ginjal, sehingga terjadi peningkatan absorpsi dan penurunan sekresi digoksin, akibatnya kadar plasma digoksin meningkat 70-100%.

b. Rifampisin menginduksi transporter P-glikoprotein di usus sehingga terjadi penurunan kadar plasma digoksin.

c. Aminoglikosida, siklosporin, amfoterisin B menyebabkan gangguan fungsi ginjal, sehingga ekskresi digoksin melalui ginjal terganggu, akibatnya terjadi peningkatan kadar plasma digoksin.

d. Kolestiramin, kaolin-pektin, antasida akan mengadsorpsi digoksin, sehingga absorpsi digoksin menurun.

e. Diuretik tiazid, furosemid menyebabkan hipokalemia sehingga meningkatkan toksisitas digoksin.

f. β-bloker, verapamil, diltiazem: aditif dengan digoksin dalam memperlambat konduksi AV; dan mengurangi efek inotropik digoksin.

1.8. Obat Inotropik Lain

A. Dopamin dan Dobutamin I.V.

Merupakan obat inotropik yang paling sering digunakan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka pendek pada gagal jantung yang parch. Kerjanya melalui stimulasi reseptor dopamin D, dan reseptor β adrenergik di sel otot jantung.

Dopamin mempunyai penggunaan yang terbatas pada pengobatan pasien dengan kegagalan sirkulasi kardiogenik.

Dobutamin merupakan β agonis yang terpilih untuk pasien gagal jantung dengan disfungsi sistolik. Dobutamin merupakan campuran rasemik yang menstimulasi reseptor P1 dan P2. Di samping itu enansiomer (-) adalah suatu a agonis. Dobutamin tidak menstimulasi reseptor dopamin. Dobutamin diberikan sebagai infus sampai beberapa hari, dengan dosis awal 2-3 mg/kg/menit, dan ditingkatkan sampai efek hemodinamik yang diinginkan. Efek samping utama adalah takikardia berlebihan dan aritmia, yang memerlukan penurunan dosis. Pada pasien yang mendapat β-bloker, respons awal terhadap dobutamin mungkin lebih

(14)

kecil. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan toleransi, sehingga memerlukan substitusi dengan obat alternatif, misalnya penghambat fosfodiesterase kelas III.

B. Penghambat Fosfodiesterase

Inamrinon (dulu disebut amrinon) dan milrinon merupakan penghambat fosfodiesterase kelas III (PDE3) yang digunakan sebagai penunjang sirkulasi jangka pendek pada gagal jantung yang parch. Mekanisme kerjanya dapat dilihat pada Gambar 19-4. Akan tetapi, pada penggunaan jangka panjang obat-obat ini meningkatkan mortalitas (mempercepat kematian). Karena itu indikasinya hanya untuk penggunaan jangka pendek pada gagal jantung tahap akhir dengan gejala-gejala yang refrakter terhadap obat-obat lain.

1.9. Antitrombotik

Warfarin (antikoagulan oral) diindikasikan pada gagal jantung dengan fibrilasi atrial, riwayat kejadian tromboembolik sebelumnya, atau adanya trombus di ventrikel kiri, untuk mencegah stroke atau tromboembolisme.

Setelah infark miokard, aspirin atau warfarin direkomendasikan sebagai profilaksis sekunder.

(15)

1.10. Antiaritmia

Antiaritmia yang digunakan pada gagal jantung hanyalah β-bloker dan amiodaron. β-bloker mengurangi kematian mendadak pada gagal jantung. Penggunaan β-bloker pada gagal jantung dapat dilihat pada butir 2.5.

Amiodaron digunakan pada gagal jantung hanya jika disertai dengan fibrilasi atrial dan dikehendaki ritme sinus. Amiodaron adalah satu-satunya obat antiaritmia yang tidak disertai dengan efek inotropik negatif.

2. Obat Antiaritmia

2.1. Kelas I

2.1.1. IA

Mekanisme Kerja : Menghambat arus masuk ion NA+ dengan cara depresi sedang

fase 0 dan konduksi lambat (2+), memnajangkan repolarisasi. A. Kuinidin

a. Farmakokinetik

Bila diberikan per oral, kuinidin sulfat diabsorpsi dengan cepat. kadar puncak dalam plasma tercapai dalam waktu 60-90 menit, namun penyerapan kuinidin kadar puncak dalam plasmanya baru tercapai setelah 3-4 jam. Dapat juga diberikan secara intramuscular, namun menimbulkan rasa sakit pada tempat penyuntikan dan meningkatkan kreatin kinase plasma. Obat ini didistribusikan dengan cepat hampir ke semua jaringan kecuali ke otak. Kuinidin sebagian besar dimetabolisme di hati, kira-kira 20% senyawaan asal diekskresikan lewat urin. Waktu paruhnya adalah 6 jam. Kuinidin difiltrasi diglomeruli dan diekskresi oleh tubuli proksimal.

b. Dosis

Dosis oral biasanya 200-300 mg yang diberikan 3 atau 4 kali sehari. Selama terapi pemeliharaan, kuinidin biasanya mencapai kadar mantap dalam waktu 24 jam dan kadar dalam plasma akan berfluktuasi kurang dari 50% diantara 2 dosis.

c. Indikasi

Untuk pasien dengan kontraksi atrium dan ventrikel prematur atau terapi pemeliharaan. Sedangkan dosis yang lebih tinggi terbatas untuk takikardia vebtrikel proksismal.

(16)

d. Kontraindikasi

Tidak digunakan untuk pengobatan takikardia ventrikulat menetap dan aritmia yang disebabkan digitalis.

e. Efek Samping

Efek toksik kardiovaskular, pada kadar obat yang tinggi, efek toksik terhadap jantung menjadi berat, sehingga dapat menyebabkan blokade atau henti SA, blokade AV derajat tinggi, aritmia ventrikel atau asistol. Selain itu juga dapat menyebabkan takikardia ventrikel pleomorfik pada individu yang sensitif pada kadar kuinidin yang rendah atau dalam rentang kadar terapi. Kadang-kadang menyebabkan sinkop atau kematian mendadak. Efek antikolinergik menyebabkan pasien fibrilasi atau flutter atrium, kuinidin juga dapat menyebabkan hipotensi terutama bila diberikan secara intravena. Kemungkinan emboli juga bisa terjadi setelah perubahan fibrilasi atrium ke irama sinus. Efek samping lain dapat menimbulkan cinchonism ringan yang gejalanya meliputi tinitus, penglihatan kabur, tuli keluhan saluran pencernaan. Pada keracunan berat dapat timbul sakit kepala diplopia fotofobia, perubahan persepsi warna, disertai gejala bingung, delirium, psikosis. Kulit terasa panas dan merah, mual, muntah, diare dan nyeri abdominal. Pada hipersensitivitas kuinidin juga dapat terjadi trombositopenia.

B. Prokainamid a. Farmakokinetik

Diberikan per oral diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna dalam waktu 45-70 menit setelah minum kapsul tapi sedikit lebih lambat bila diminum dalam bentuk tablet. Obat ini didistribusikan dengan cepat hampir ke semua jaringan kecuali ke otak. Prokinamid dieliminasi melalui ekskresi ginjal dan metabolisme di hati. Sampai sekitar 70% dari dosis prokinamid dieliminasi dalam bentuk yang tak berubah dalam urin. Waktu paruh eliminasi pendek (3 jam pada orang nrmal, 5-8 jam pada pasien penyakit jantung).

b. Dosis

Prokinamid hidroklorida ( Pronestyl) tersedia dalam bentuk tablet dan kapsul (250-500 mg) dan tablet lepas lambat (250-1000 mg). Bila diberikan secara intramuskular atau intravena berisi 100 atau 500 mg/mL.

(17)

c. Indikasi

Untuk pengobatan jangka pendek atau jangka panjang aritmia supraventrikel dan ventrikel, untuk pengobatan takikardia supraventrikel ke proksimal (PSVT). Selain itu juga dapat digunakan untuk pencegahan fibrilasi ventrikel.

d. Kontraindikasi

Tidak digunakan untuk pengobatan takikardia ventrikulat menetap dan aritmia yang disebabkan digitalis.

e. Efek Samping

Efek samping kardiovaskular mirip seperti kuinidin. Bila diberikan intravena dapat menyebabkan hipotensi. Selain itu bila diberikan peroral dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah, diare. Efek samping SSP dapat menyebabkan pusing,psikosis, halusinasi, dan depresi. Dalam beberapa minggu dpaat terjadi agranulositosis diikuti infeksi fetal, kelhan nyeri tenggorokan. Mialgia, angioedema, rash, vaskuliti jari, Prokinamid juga dapat menyebabkan gejala menyerupai lupus eritematosus sistemik (SLE). Yang paling berat dapat terjadi perdarahan perikardial yang disertai tamponade.

C. Disopiramid a. Farmakokinetik

Sekitar 90% dosis oral diabsorpsi dalam waktu 1-2 jam setelah diminum. Sebagian kecil mengalai metabolisme lintas pertama di hati. Sekitar 50% dosis disopiramid diekskresikan oleh ginjal dalam keadaan utuh, 20% dalam bentuk metabolit dealkilasi, dan 10% dalam bentuk lain. Waktu paruh eliminasi adlah 5-7 jam, dan nilai ini memanjang pada gagal ginjal yang dapat mencapai 20 jam atau lebih.

b. Dosis

Tersedia dalam bentuk tablet (100-150 mg basa). Dosis total harian adalah 400-800 mg yang pemberiannya terbagi atas 4 dosis.

c. Indikasi

Untuk pengobatan jangka pendek atau jangka panjang aritmia supraventrikel dan ventrikel, untuk pengobatan takikardia supraventrikel ke proksimal (PSVT). Selain itu juga dapat digunakan untuk pencegahan fibrilasi ventrikel.

(18)

d. Kontraindikasi

Tidak digunakan untuk pengobatan takikardia ventrikular menetap dan aritmia yang disebabkan digitalis.

e. Efek Samping

Efek samping antikolinergik berupa mulut kering, konstipasi, penglihatan kabur, dan hambatan miksi. Selain itu juga dapat menyebabkan mual, nyeri abdomen, muntah atau diare. Efek kardiovaskular lebih menonjol dibanding obat kelas IA lain, tekanan darah biasanya meningkat sementara setelah pemberian secara intravena. 2.1.2. IB

Mekanisme kerja : Mengubah sedikit depolarisasi fase 0 dan memperlambat konduksi (0-1+). Mempersingkat repolarisasi.

A. Lidokain

a. Farmakokinetik

Walaupun lidokain diserap dengan baik setelah pemberian peroral, obat ini mengalami metabolism yang ekstensif sewaktu melewati hati dan hanya 1/3 yang dapat mencapai sirkulasi sistemik. Obat ini hampir sempurna diserap setelah pemberian intramuscular. Waktu paruh eliminasi sekitar 100 menit.

b. Dosis

Tersedia untuk pemberian intravena dalam larutan infus, diberikan dosis 0,7 – 1,4 mg/kgBB. Dosis berikutnya diperlukan 5 menit kemudian, tetapi jumlahnya tak lebih dari 200-300 mg dalam waktu 1 jam.

c. Efek Samping

Pada kadar plasma mendekati 5 µg/ml. gejala SSP seperti disosiasi, parestesia, mengantuk dan agitasi, tidak terlihat. Pada dosis lebih tinggi, menyebabkan pendengaran berkurang, disorientasi, kedutan otot, kejang, dan henti napas.

B. Meksiletin

a. Farmakokinetik

Pada pemberian peroral, meksiletin diabsorpsi dengan baik dan bioavailabilitas sistemiknya adalah sekitar 90%. Obat ini dieliminasi melalui metabolism hati, sekitar 10% dosis ditemui dalam bentuk yang tak berubah dalam urin. Waktu paruhnya sekitar 10 jam.

(19)

Tersedia dalam kapsul 150, 200, dan 250 mg. Dosis oral biasa 200-300 mg (maksimal 400 mg) yang diberikan tiap 8 jam dengan makanan atau antacid.

c. Efek Samping

Pusing, ringan kepala dan tremor, mual, muntah, dan anoreksia. C. Fenitoin

a. Farmakokinetik

Absorpsi setelah suntikan intramuscular lambat dan tak sempurna. Setelah pemberian intravena, fenitoin disebar dengan cepat ke jaringan. Obat ini dieliminasi melalui hidroksilasi di hati, karenanya waktu paruh eliminasi tergantung dosis.

b. Dosis

Dapat diberikan secara peroral atau intravena secara intermiten. Rancangan waktu untuk suntikan intravena intermiten adalah 100 mg yang diberikan tiap 5 menit sampai aritmia terkendali. Pengobatan peroral hari pertama diberi 15 mg/kgBB, hari kedua 7,5 mg/kgBB, dan selanjutnya diberi dosis pemeliharaan 4-6 mg/kgBB.

c. Efek Samping

Mengantuk, nistagmus, vertigo, ataksia, dan mual. D. Tokainid

a. Farmakokinetik

Tokanoid diabsorpsi dengan sempurna setelah pemberian peroral, kadar puncak dalam plasma muncul dalam waktu 1-2 jam. Sekitar 40% diekskresi dalam urin dalam bentuk utuh. Waktu paruh dalam plasma adalah 11-15 jam dan nilai ini naik dua kali lipat pada pasien gagal ginjal atau gagal hari.

b. Dosis

Tersedia tablet 400 mg dan 600 mg. Dosis oral biasanya 400-600 mg tiap 8 jam, tak boleh melebihi 2.400 mg/hari.

c. Efek Samping

Pusing, ringan kepala dan tremor, mual, muntah, dan anoreksia. 2.1.3. IC

Mekanisme kerja : Berafinitas tinggi terhadap kanal Na+ dengan depresi kuat pada

(20)

A. Enkainid

a. Farmakokinetik

Enkainid diabsorpsi hampir sempurna setelah pemberian peroral, tetapi bioavailabilitasnya turun menjadi 30% melalui metabolism lintas pertama di hati. Kadar puncak dalam plasma tercapai dalam waktu 30-90 menit. Enkainid memiliki waktu paruh 2-3 jam. Diperlukan 3-5 hari untuk menilai pada setiap pemberian dosis tertentu efek farmakologik dan metabolitnya.

b. Dosis

Tersedia untuk pemberian peroral sebagai kapsul 25, 35, dan 50 mg. Dosis awal adalah 25 mg, diberikan 3x sehari. Dosis dapat dinaikan tiap 3-5 hari hingga 4x 50 mg/hari.

c. Kontraindikasi

Aritmia ventrikel benigna atau belum menjadi maligna. d. Efek Samping

Meningkatkan resiko kematian mendadak dan henti jantung pada pasien yang pernah mengalami infark miokard dan aritmia ventrikel asimptomatik. Menyebabkan gangguan penglihatan pada 10-15% pasien, granulositopenia dan SLE.

B. Flekainid

a. Farmakokinetik

Flekainid dimetabolisme oleh hati, sekitar 40% diekskresikan dalam urin dalam bentuk tak berubah. Waktu paruh eliminasi rata-rata 11 jam.

b. Dosis

Tersedia untuk pemberian peroral sebagai tablet 50, 100, dan 150 mg. Dosis awal adalah 2 kali 100 mg/hari. Dosis dapat dinaikan tiap 4 hari dengan menambahkan 100 mg/hari yang diberikan 2 atau 3 kali sehari.

c. Kontraindikasi

Aritmia ventrikel benigna atau belum menjadi maligna. d. Efek Samping

Meningkatkan resiko kematian mendadak dan henti jantung pada pasien yang pernah mengalami infark miokard dan aritmia ventrikel asimptomatik. Menyebabkan gangguan penglihatan pada 10-15% pasien, granulositopenia dan SLE.

(21)

2.2. Kelas II

A. Propanolol

a. Efek elektrofisiologik: meningkatkan arus masuk ion K+ di serabut Purkinje dan menekan arus masuk ion Na+. Propanolol memblok adrenoseptor-β1 dan β2, berefek anestetik lokal, tidak memperlihatkan aktivitas simpatomimetik intrinsik.

b. Automatisitas: arus masuk ion K+ menurunkan automatisitas.

c. Kesigapan dan konduksi: kadar 1.000-3.000 ng/ml menekan kesigapan membrane serabut Purkinje. Respon premature yang beramplitudo rendah ditiadakan oleh propanolol.

d. Lama potensial aksi dan refractoriness: meningkatkan masa refrakter. e. Absorpsi: per oral, diabsorpsi sangat baik.

f. Distribusi: bioavailabilitas 25%.

g. Metabolisme: metabolisme tingkat pertama menurunkan bioavailabilitas menjadi 25%. Waktu paruh 4 jam.

h. Ekskresi: eliminasi berkurang bila aliran darah ke hati menurun. Propanolol dapat menurunkan eliminasi sendiri dengan menurunkan curah jantung dan aliran darah ke hati.

i. Dosis: oral 30-320 mg/hari (bagi yang sensitif) atau 1.000 mg/hari (beberapa aritmia ventrikel). Intravena 1-3 mg (darurat, bias diulangi setelah beberapa menit bila perlu). j. Cara pemberian: oral 3-4 kali sehari.

k. Indikasi: takiaritmia supraventrikel seperti fibrilasi atrium, flutter atrium, takikardia supraventrikel paroksismal, pencegahan aritmia oleh gerak badan dan emosi (8-160 mg/hari), penyakit jantung iskemik, aritmia ventrikel (500-1.000 mg/hari)

B. Asebutolol

a. Efek elektrofisiologik: asebutolol merupakan antagonis adrenoseptor-β1. Asebutolol memperlihatkan aktivitas simpatomimetik intrinsik dan stabilisasi membran.

b. Lama potensial aksi dan refractoriness: meningkatkan masa refrakter. c. Kesigapan dan konduksi: menyerupai kuinidin.

d. Absorpsi: per oral, diabsorpsi baik.

e. Distribusi: bioavailabilitas kurang dari 50%.

f. Metabolisme: metabolit utamanya adalah N-asetil asebutolo (diasetolol). Waktu paruh asebutolol: 3 jam. Waktu paruh diasetolol: 8-12 jam.

(22)

g. Ekskresi: oleh ginjal melalui urin.

h. Dosis: awal 2 x 200 mg, dinaikan perlahan hingga 600-1.200 mg. i. Cara pemberian: oral, terbagi dalam 2 dosis.

j. Indikasi: kompleks premature ventrikel. C. Esmolol

a. Efek elektrofisiologik: esmolol merupakan antagonis adrenoseptor-β1. Esmolol tidak memperlihatkan aktivitas simpatomimetik intrinsic dan stabilisasi membran.

b. Lama potensial aksi dan refractoriness: meningkatkan masa refrakter. c. Absorpsi: hanya intravena.

d. Distribusi: waktu paruh 2 menit.

e. Metabolisme: ikatan ester dihidrolisis dalam darah dengan cepat oleh esterase sel darah merah. Metabolit esmolol tidak aktif. Waktu paruh: 8 menit.

f. Ekskresi: melalui urin. g. Cara pemberian: intravena.

h. Indikasi: pengobatan jangka pendek mengontrol fibrilasi dan flutter atrium pasca bedah dan keadaan gawat yang memerlukan obat dengan masa kerja singkat seperti takikardia supraventrikuler.

2.3. Kelas III

Obat-obatan dalam kelas III ini memunyai sifat farmakologik yang berlainan, tapi sama-sama mempunyai kemampuan memperpanjang lama potensial aksi dan refractoriness serabut purkinje dan serabut otot ventrikel. Obat-obat ini menghambat aktivitas sistem saraf otonom secara nyat.

EFEK ELEKTROFISIOLOGIK JANTUNG

Semua obat kelas III memperpanjang lama potensial aksi dan masa refakter efektif serabut purkinje dan otot ventrikel. Kecuali bretilium, efek kedua obat lain terhadap nodus AV kurang kuat.

Automatisitas. Efek langsung obat kelas II terhadap automatisitas nodus SA dan serabut purkinje hanya sedikit. Pada pemberian parenteral, bretilium meningkatkan automatisitas selintas dengan cara melepaskan norepinefrin dari ujung saraf simpatis. Secara

(23)

eksperimenta efek ini dapat dicegah dengan mengosongkan cadangan katekolamin dengan reserpin atau dengan -bloker. Amiodaron menurunkan secara nyat automatisitas nodus sinatrial dan sistem his-purkinje melalui mekanisme yang belum diketahui. Sotalol menurunkan automatisitas, karana obat ini merupakan -bloker. Obat kelas III mempunyai efek lemah terhadap ambang potensial diastolik, tetapi meninggikan secara nyata ambang fibrilasi ventrikel.

Kesigapan dan konduksi. Bretilium dan sotalol tidak memiliki efek yang nyata terhadap kesigapan membran dan konduksi serabut purkinje. Amiodaron berkaitan dengan kanal Na+

yang dalam keadaan inaktif, menurunkan kesigapan membran dan konduksi di serabut purkinje. Konduksi melalui nodus AV ditekan secara nyata oleh sotalol dan amiodaron, tetapi hanya sedikit oleh bretilium.

Efek terhadap aritmia re-entry. Obat kelas III diduga meniadakan arus-balik dengan cara memperpanjang masa refrakter, tanpa mempengaruhi penjalaran impuls. Di samping itu bretilium dapat menyebabkan repolarisasi dan peningkatan kecepatan konduksi pada daerah yang terdepolarisasi dengan cara melepaskan katekolamin.

Efek elektrokardiografik. Pada kadar terapi, amiodaron dan sotalol menurunkan frekuensi denyut janting, tetapi bretilium hanya sedikit efeknya. Pada pengobatan jangka lma dengan amiodaron terjadi sinus bradikardi simtomatik. Amiodaron dan sotalol memperpanjang interval P-R,sedangkan bretilium tidak. Semua obat memperpanjang interval Q-Tc, J-T, P-A, dan A-V. Amiodaron memperpanjang interval H-V dan lama kompleks QRS.

EFEK TERHADAP SISTEM SARAF OTONOM

Sotalol adalah suatu -bloker, sedangkan amiodaron mempunyai khasiat penghambatan adrenoseptor-α dan β non kompetitif. Bretilium(seperti guanetidin) diambil dan dikonsentrasikan ke dalam ujung saraf simpatis. Mula-mula bretilium melepaskan norepinefrin dari ujung-ujung saraf simpatis tetapi kemudian mencegah pelepasannya. Ketiga obat kelas III ini tidak mempunyai efek terhadap aktivitas vagal.

Efek hemodinamik. Ketiga obat kelas III ini tidak mempengaruhi kontraktilitas. Akan tetapi penghambatan adrenoseptor-β oleh sotalol dapat menurunkan fungsi jantung pada pasien yang curh jantungnya dipertahankan oleh aktivias simpatis. Bretilium dapat

(24)

meningkatkan kontraktilitas miokard pada awal pemerian, tetapi obat ini dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Amiodaron menurunkan kebutuhan oksigen dan meningkatkan kinerja jantung karena menyebabkan relaksasi otot polos vaskular dan menurunkan resistensi vaskular sistemik serta koroner.

ABSORPSI, DISTRIBUSI DAN ELIMINASI

BRETILIUM. Absorpsi oral bretilium adalah buruk, karena merupakan amonium kwaterner. Setelah pemberian IM, bretilium dieliminasi hampir semuanya melalui ginjal, tanpa dimetabolisme. Waktu paruh adalah sekitar 9jam, dan naik menjadi 15-30 jam pada pasien gagal ginjal.

AMIODARON. Amiodaron diabsorbsi secara lambat dan tidak sempurna pada pemberian per oral; bioavailabilitasnya adalah sekitar 30%, dan berbeda antara individu. Pada pemberian per oral, kadar puncak tercapai setelah 5-6jam. Amiodaron terikat pada jaringan dan dimetabolisme secara lambat di hati. Waktu paruhnya panjang. Yaitu 25-60 hari. Pada pengobatan jangka panjang, metabolit desetilnya yang aktif berakumulasi dalam plasma melebihi kadar senyawaan induk.

SOTALOL. Sotalol diabsorpsi dengan cepat pada pemberian per oral dan bioavailabilitasnya hampir 100%. Kadar maksimum plasma dicapai 2-3 jam sesudah pemberian, dan hanya sedikit yang terikat protein plasma. Ewaktu paruhnya adalah sekitar 10-11 jam. Eliminasinya adalah melalui urine dalam bentuk tak berubah sehingga dosisnya perlu disesuaikan pada gagal ginja.

SEDIAAN, DOSIS DAN CARA PEMBERIAN

BRETILIUM. Tersedia dalam larutan 50mg/ml. Obat ini perlu diencerkan menjadi 10 mg/ml, dan dosisnya 5-10 mg/kgBB yang diberikan per infus selama 10-30 menit. Dosis berikutnya diberikan 1-2 jam kemudian bila aritmia belum teratasi atau setiap 6 jam sekali untuk pemeliharaan. Interval dosis harus diperpanjang pada pasien gagal ginjal. Untuk pemberian IM dosisnya adalah 5-10 mg/kgBB tanpa pengenceran, dan diulangi tiap 1-2 jam bila aritmia belum teratasi atau dilanjutkan dengan pemberian tiap 6-8 jam untuk pemeliharaan.

(25)

AMIODARON. Amiodaron HCL tersedia sebagai tablet 200mg. Karena memerlukan waktu beberapa bulan untuk mencapai efek penuh, diperlukan dosis muat 600-800 mg/hari (selama 4 minggu), sebelum dosis pemeliharaan dimulai denagan 400-800 mg/hari. Pengobatan dinilai setelah 2-8 minggu; biasanya hanya simulasi terprogram.pengobatan diteruskan bila aritmia ventrikel tidak dapat dibangkitkan lagi atau bila aritmia tidak lagi simpatomatik. Kadar terapi efektif pada pengobatan jangka lama adalah 1-2,5 µg/mL.

SOTALOL. Sotalol masih dikembangkan formulasinya, untuk pengibatan aritmia ventrikel, dosisnya adalah 2 kali 80-320 mg. Dosis awal adalah 2 kali 80 mg/hari dan bila perlu dosis ditambah tiap 3-4 hari. Keberhasilan terapi dinilai dengan pencatatan EKG selama 24 jam atau dengan stimulasi ventrikel terprogram.

PENGGUNAAN TERAPI

Bretilium hanya diindikasikan untuk pengobatan aritmia ventrikel yang mengancam jiwa, yang gagal diobati dengan obat-obat antiaritmia lini pertama seperti lidokain atau prokainamid. Pemberian bretilium harus dilakukan dalam ruangan perawatan intesif. Fibrilasi ventrikel yang refrakter damn berat memberikan respon sangat baik. Takikardia ventrikel biasanya memberikan respon setelah beberapa waktu ( 6 jam atau lebih) setelah pemberian satu dosis.

Amiodaron dapat digunakan untuk fibrilasi atrium berulang dan untuk takikardia ventrikel yang tak stabil dan berkelanjutan. Pengobatan harus dinulai di rumah sakit dan dinilai dengan test provokasi yang dipantau secara cermat dengan EKG dan peralatan elektrofisiologik lainnya.

Sotalol mungkin merupakan obat yang lebih aman daripada amiodaron, dan mungkin menjadi obat pilihan pertama pada aritmia ventrikel yang maligna. Sotalol agaknya efektif pada pengobatan takikardia supraventrikuler paroksimal dan fibrilasi atrium.

EFEK SAMPING

Hipotensi adalah efek samping utama bretilium bila diberikan IV untuk pengobatan aritmia akut. Pemberian IV dapat menimbulkan mual dan muntah. Obat anti depressan trisiklik dapat mencegah ambilan bretilium oleh ujung saraf adrenoseptor.

(26)

Efek samping amiodaron sering terjadi dan meningkat secara nyata pada 1 tahun setelah pengobatan; dapat mengenai berbagai organ, dan dapat membawa kematian. Lebih dari 75% pasien yang diobati selama 1-2 tahun mengalami efek samping, dan sebanyak 25-33% pasien menghentikan pengobatan karena efek samping.

Pengobatan dengan sotalol dilaporkan dapat menimbulkan gagal jantung (1%), proaritmia(2,5%),dan bradikardia(3%). Torsades de pointes muncul pada 2% pasien yang diobati untuk aritmia ventrikel maligna, biasanya dalam munggu pertama pengobatan, dan setelah interval Q-Tc memanjang dengan jelas. Oleh karena itu dosis sotalol perlu diturunkan bila interval Q-Tc melebihi 0,5 detik.

INTERAKSI OBAT

amiodaron meningkatkan kadar dan efek digoksin, warfarin, kuinidin, prokainamid, fenitoin, enkainid, fenkainid, dan diltiazem. Amiodaron meningkatkan kecenderungan bradikardia, henti sinus, dan penghambatan AV bila diberikan bersama beta-blocker dan atau penghambat kanal Ca++. Karena eliminasinya lambat, gejala interaksi dapat bertahan selama

beberapa minggu setelah obat dihentikan.

2.4. Kelas IV

Merupakan penghambat kanal Ca++. efek klinis yang penting dari antagonis Ca++ untuk

pengobatan aritmia adalah penekanan potensial aksi yang Ca++ dependent dan perlambatan

konduksi di nodus AV.

EFEK ELEKTROFISIOLOGIK JANTUNG

Verapamil dan diltiazem mempunyai efek langsung terhadap elektrofisiologik dan mekanik otot jantung dan otot polos pembuluh darah.

Pembentuka impuls. Verapamil menurunkan kecepatan depolarisasi spontan fase 4 di serabut purkinje dan dapat menghambat delayed afterdepolarization dan trigerd activity yang terihat pada toksisitas digitalis eksperimental.

Efek terhadap aritmia arus-balik. Efek yang palng nyata dari verapamil dan diltiazem adalah menurunkan kecepatan konduksi melalui nodus AV dab memperpanjang masa refrakter

(27)

fungsional nodus AV. Efek ini diduga merupakan efek laangsung dari penyekatan kanal Ca++.

Depresi nodus AV menimbulkan penurunan respons ventrikel pada fibrilasi atrium dan menghilangkan takikardia supraventrikuler paroksismal.

Efek elektrokardiografik. Verapamil dan diltiazem meningkatkan interval P-R pada irama sinus, dan memperlambat kecepatan ventrikel pada fibrilasi atrium.

DOSIS DAN CARA PEMBERIAN

Untuk mengubah PSVT menjadi irama sinus, verapamil dengan dosis 5-10 mg diberikan secara IV selama 2-3 menit. Untuk pengendalian iram ventrikel pada fibrilasi arium, verapamil diberikan dalam dosis 10 mg selama 2-5 menit, bila perlu diulangi dalam waktu 30 menit. Untuk mencegah kembalinya PSVT atau untuk mengontrol irama ventrikel pada fibrilasi atrium, diberikan dosis oral 240-480 mg/hari dibagi dalam 3-4 dosis.

PENGGUNAAN TERAPI

Verapamil telah menjadi obat pilihan pertama untuk pengobatan serangan akut takikardia supraventrikuler paroksismal yang disebabkan oleh arus balik pada nodus AV atau karena anomali hubungan nodus AV. Pemberian Verapamil via IV dengan dosis 75µg/mL memperlambat respon ventrikel sebanyak 30% pada pasien fibrilasi atrium.

Verapamil dan diltiazem tidak digunakan pada pengobatan aritmia ventrikel, kecuali jika penyebabnya adalah spasme arteri koronaria. Dalam hal ini penggunaan antagonis Ca++

tersebut adalah untuk menghilangkan spasme koroner dan memperbaiki toleransi jaringan ventrikel terhadap iskhemia dan bukan sebagai obat antiaritmia.

EFEK SAMPING

Efek samping Verapamil dan diltiazem adalah pada jantung dan saluran cerna. Penggunaan obat ini secara IV dikontraindikasikan pada pasien hipertensi, gagal jantung berat, sindrom sinus sakit, blok AV, sindrom wolfi-Parkinson-White, atau takikardia ventrikel. Verapamil dapat juga menimbulkan hipotensi berat atau fibrilasi ventrikel pada pasien dengan tekikardi ventrikel.efek samping saluran cerna pada Verapamil terutama adalah konstipasi, tetapi keluhan saluran cerna bagian atas dapat pula terjadi.

(28)

INTERAKSI OBAT

Pemberian Verapamil bersama β-bloker atau digitalis secara aditif dapat menimbulkan bradikardia atau blok AV yang nyata. Interaksi ini dapat pula terjadi pada nosdus SA atau nodus AV. Di samping itu Verapamil berinterakdi dengan digoksin dengan cara yang sama dengan interaksi kuinidin digoksin. Pemberian Verapamil atau diltiazem bersama reserpin atau metildopa yang dapat mendepresi sinus, akan memperhebat bradikardia sinus.

2.5. Lain – lain

1. Digitalis

Digitalis memperlihatkan khasiat vagotonik yang menyebabkan penghambatan aliran kalsium di nodus AV dan aktivasi aliran kalium yang diperantarai asetilkolin di atrium.

Efek elektrofisiologi: hiperpolarisasi, pemendekan aksi potensial atrium, dan peningkatan masa refrakter di nodus AV.

Indikasi: fibrilasi atrium yang menyertai payah jantung bila antagonis kalsium atau penyekat reseptor beta akan memperburuk fungsi jantung.

2. Adenosin

Efek adenosin diperantarai melalui interaksinya dengan reseptor adenosin yang berpasangan dengan protein G. Adenosin mengaktifkan aliran ion kalium yang sensitive asetilkolin di atrium, sinus, dan nodus AV sehingga terjadi pemendekan lama aksi potensial, hiperpolarisasi, dan perlambatan automatisasi. Adenosin menghambat efek elektrofisiologi dari AMP siklik yang meningkat karena stimulasi simpatis selanjutnya menurunkan aliran ion kalsium, penurunan aliran ion kalsium ini akan memperpanjang masa refrakter nodus AV.

Cara pemberian: bolus intravena (cepat) menimbulkan perlambatan irama sinus dan kondiksi AV dan meningkatkan masa refrakter nodus AV, mengaktifkan saraf simpatis. Pemberian melalui vena sentral.

Efek samping: hipotensi (infus), dada sesak pada dosis 6-12 mg, bronkopasme, fibrilasi atrium.

Metabolisme: menjalani transport aktif ke dalam semua sel, dan di dalam sel dimetabolisir oleh enzim deaminase menjadi metabolit tidak aktif.

(29)

Interaksi obat: dipiridamol menghambat transportasi adenosine ke dalam sel. Teofilin dan kafein menghambat reseptor adenosine.

Indikasi: pengobatan takikardia ventrikel yang diduga karena delayed afterdepolarization.

3. Magnesium

Magnesium memberikan efek langsung dan tidak langsung melalui efeknya terhadap homeostatis kalium dan kalsium. Magnesium merupakan antagonis kanal kalsium fisiologik.

Kerja: memperpanjang siklus sinus, memperpanjang konduksi AV, dan memperlambat konduksi intraatrial dan intravena, masa refrakter efektif atrium, nodus AV, dan ventrikel.

Efek elektrokardiografi: memperpanjang interval P-R dan Q-T.

Efek samping: intoksikasi dengan gejala hipotensi, perpanjangan interval P-R dan kompleks QRS, dan peninggian puncak T. Jika kadar melebihi 5 mmol/l menimbulkan arefleksia, paralisis pernapasan, dan henti jantung.

Indikasi: intoksikasi digitalis, takikardia ventricular polimorfik yang disertai perpanjangan interval Q-T (torsades de pointes).

3. Obat Antihipertensi

3.1. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air & klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya.

GOLONGAN TIAZID

Golongan obat : hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon)

 Mekanisme kerja : menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat.

(30)

 Hidroklorotiazid (HCT) merupakan prototipe golongan tiazid dan dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang dalam kombinasi dengan berbagai antihipertensi lain. Indapamid memiliki kelebihan karena efektif pada pasien gangguan fungsi ginjal, bersifat netral pada metabolisme lemak dan efektif meregresi hipertrofi ventrikel.

 Masa kerja : bendroflumetiazid memiliki waktu paruh 3 jam, hidroklorotiazid 10-12 jam dan indapamid 15-16 jam.

 Kontraindikasi : gangguan fungsi ginjal

 Efek samping :

- pada dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia ydan dapat berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis.

- hiponatremi dan hipomagnesemia serta hiperkalemia

- menghambat ekskresi asam urat dari ginjal, dan pd pasien hiperurisemia dapat mencetuskan serangan gout akut

- hiperlipidemia (peningkatan kolesterol, LDL dan trigliserida)

- pada penderita DM menyebabkan hiperglikemi karena mengurangi sekresi insulin

DIURETIK KUAT (LOOP DIURETICS, CEILING DIURETICS) Furosemid, torasemid, bumetanid dan asam etakrinat

 Mekanisme kerja : diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kontransport Na+ , K+ , Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit.

 Farmakodinamik : waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari

 Indikasi : pasien hipertensi dengan gangguan funsgsi ginjal (kreatinin serum >2,5 mg/dL)

 Efek samping :

- menimbulkan hiperkalsiura - menurunkan kalsium darah

(31)

DIURETIK HEMAT KALIUM Amilorid , triamteren dan spironolakton • Indikasi :

• Kontra indikasi :

- penggunaan harus dihindarkan bila kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL - gagal ginjal

• Efek samping :

- menimbulkan hiperkalemia pada pasien gagal ginjal atau bila dikombinasi dengan penghambat ACE, ARB, B-blocker, AINS atau dengan suplemen kalium

- penggunaan harus dihindarkan bila kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL - spironolakton menyebabkan ginekomastia, mastodinia, gangguan menstruasi

dan penurunan libido pada pria • Interaksi:

- pemberian kortikosteroid,agonis β-2, da amfoterisin B memperkuat efek hipokalemia diuretik

-

- AINS mengurangi efek hipertensi diuretik karena menghambat sintesis prostaglandin di ginjal

- AINS penghambat ACE dan β-blocker dapat meningkatkan risiko hiperkalemia bila diberikan bersama diuretik hemat kalium

3.2. Penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker)

Pemberian β-blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1 antara lain:

1. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung

2. Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal engan akibat penurunan produksi angiotensin II

(32)

3. Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin

Dari berbagai β-bloker, atenolol merupakan obat yang sering dipilih. Bersifat kardioselektif dan penetrasinya ke SSP minimal, cukup diberikan sekali sehari. Metropolol perlu diberikan dua kali sehari dan kurang kardioselektif dibanding dengan atenolol. Labelatol dan karvedilol memiliki efek vasodilatasi karena selain menghambat reseptor β, obat ini menghambat reseptor α. Sehingga memperkuat efek antihipertensi dan mengurangi efek samping seperti rasa dingin pada ekstremitas.

 Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (khususnya sesudah infark miokard akut), pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpa kelainan konduksi, pada pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik, dan pada pasien yang memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik.

 Efek samping : bradikardia, blokade AV, hambatan nodus SA dan menurunkan kakuatan kontraksi miokard

 Kontraindikasi : pada keadaan bradikardia, blokade AV derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome dan gagal jantung yang belum stabil

PENGHAMBAT ADRENORESEPTOR ALFA (α-BLOKER)

Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung. Venodilatasi α hipotensi ortostatik α refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma

 Indikasi : hipertensi dengan - dislipidemia/diabetes melitus - hipertrofi prostat

 efek samping

- Efek lain : hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis awal atau pada peningkatan dosis (fenomena dosis pertama). Pasien dengan deplesi cairan (dehidrasi,

(33)

puasa) dan usia lanjut lebih mudah mengalami fenomena dosis pertama ini. Gejala, pusing sampai sinkop.

 sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung tersumbat, mual dan lain-lain

ADRENOLITIK SENTRAL 1. METILDOPA

 Mekanisme kerja : dalam SSp menggantikan kedudukan DOPA dalam sintesis katekolamin denga hasil akhir α-metilnorepinefrin. Stimulasi reseptor α-2 di sentral mengurangi sinyal simpatis ke perifer.

 Indikasi : obat antihipertensi tahap kedua, efektif bila dikombinasikan dengan diuretik. Dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi pada kehamilan.

 Farmakokinetik : absorpsi melalui saluran cerna bervariasi dan tidak lengkap. Bioavailabilitas oral rata-rata 20-50% diekskresi melalui urim dalam konjugasi dengan sulfat dan 25% dalam bentuk utuh. Pada insufisiensi ginjal terjadi akumulasi obat dan metabolitnya. Waktu paruh obat sekitar 2 jam, tapi efek puncak tercapai setelah 6-8 jam pemberian oral atau i.v., dan efektifitas berlangsung sampai 24 jam. Perlambatan efek ini nampaknya berkaitan dengan proses transport ke SSP, konversinya menjadi metabolit aktif dan eliminasi yang lambat dari jaringan otak.

 Efek samping : yang paling sering sedasi, hipotensi postural, pusing, mulut kering dan sakit kepala. Depresi, gangguan tidur, impotensi, kecemasan, penglihatan kabur, dan hidung tersumbat. Jarang –jarang terjadi anemia, hemolitik autoimun, trombositopenia, leukopenia, demam obat (drug fever) dan sindrom seperti lupus (lupus-like syndrome). Pemberhentian mendadak dapat menimbulkan peningkatan TD mendadak (fenomena rebound)

2. KLONIDIN

Bekerja pada reseptor α-2 di susunan saraf pusat dengan efek penurunan simpathetic outflow. Efek hipotensif klonidin terjadi karena penurunan resistensi perifer dan curah jantung. Penurunan tonus simpatis menyebabkan penurunan kontraktilitas miokard dan frekuensi denyut jantung.

(34)

 Farmakokinetik : absorpsi oral berlangsung cepat dan lengkap dengan bioavailabilitas mencapai 95%. Dapat pula diberikan transdermal dengan kadar plasma setara dengan pemberian peroral. Farmakokinetiknya bersifat non linier dengan waktu paru 6 jam sampai 13 jam. Kira-kira 50% klonidin dieleminasi dalam bentuk utuh melalui urin. Kadar plasma meningkat pada gangguan fungsi ginjal atau pada usia lanjut.

 Indikasi : sebagai obat ke-2 atau ke-3 bila penurunan diuretik belum optimal. Untuk beberapa hipertensi darurat. Untuk diagnosik feokromositoma.

 Efek samping :

- Mulut kering dan sedasi setelah beberapa minggu pengobatan. Kira-kira 10% pasien menghentikan pengobatan karena menetapnya gejala sedasi, pusing, mulut kering, mual atau impotensi. Gejala ortosatatik kadang-kadang terjadi terutama bila ada deplesi cairan. Efek central berupa mimpi buruk, insomnia, cemas dan depresi.

- Reaksi putus obat sering terjadi pada penghentian mendadak. Ditandai dengan rasa gugup, tremor, sakit kepala, nyeri abdomen, takikardia, berkeringat, akibat aktivasi simpatis yang berlebihan.

3. GUANFASIN DAN GUANABENZ

Sifat – sifat farmakologik dan efek sampingnya mirip dengan klonidin. • Farmakokinetik :

- Guanabenz bioavailabilitasnya tinggi, waktu parah sekitar 6 jam dan sebagian besar obat dimetabolisme.

- Guanfasin mempunyai waktu paruh relatif panjang (14-18 jam). Dieliminasi terutama melalui ginjal dalam bentuk utuh dan metabolik.

4. MOKSONIDIN DAN RILMEDIN

Mempunyai struktur yang mirip dengan klonidin, tapi 600 kali lebih selektif terhadap reseptor imidazolin I1 dibandingkan dengan klonidin.

PENGHAMBAT SARAF ADRENERGIK Reserpin, guanetidin, guanadrel.

(35)

1. RESERPIN

 Mekanisme kerja: menghambat sistem saraf simpatis

 Farmakodinamik : reserpin teriket kuat pada vesikel di ujung saraf sentral dan perifer dan menghambat proses penyimpanan (uptake) katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) ke dalam vesikel. Selanjutnya katekolamin di pecah oleh enzim monoamin oksidase di sitoplasma. Proses yang sama juga terjadi untuk 5-hidroksitriptamin (serotonin).

 Kontraindikasi : reserpin tidak dianjurkan dengan riwayat depresi.

 Efek samping : SSP, bersifat sentral seperti letargi, mimpi buruk, depresi mental. mengakibatkan penurunan curah jantung dan resistensi perifer. Pada sistem kardiovaskular dapat terjadi bradikardia, hipotensi ortostatik. Efek samping lain, kongesti nasal, hiperasiditas lambung dan eksaserbasi ulkus peptikum, muntah. Gangguan fungsi seksual (penurunan libido, impotensi dan gangguan ejakulasi). Meningkatkan motilitas dan tonus saluran pencernaan sehingga tidak boleh diberikan pada pasien kolitis ulseratif.

2. GUANETEDIN DAN GUANADREL

 Mekanisme kerja: bekerja pada neuron adrenergik perifer. Obat ini di transport secara aktif ke dalam vesikel saraf dan menggeser norepinefrin ke luar vesikel. Guanetedin diberikan secara intravena dalam dosis besar, guanetedin akang menggeser noreprinefrin dari vesikel dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan peningkatan tekanan darah. Hal ini tidak terjadi pada pemberian oral, karena penggeseran noreprinefrin terjadi perlahan-lahan dan mengalami degradasi oleh monoamin oksidase sebelum mencapai sel sasaran. Guanetedin menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan curah jantung dan resistensi perifer. Efek venodilator yang kuat dari obat ini disertai terhambatnya reflek kompensasi simpatis.

 Indikasi : guanetedin digunakan untuk hipertensi berat yang tidak responsif dengan obat lain.

 Efek samping : hipotensi ortostatik atau diare

 Guanadrel mempunyai mekanisme kerja, efek farmakodinamik dan efek samping yang mirip dengan guanetedin, tapi lebih jarang menimbulkan diare.

(36)

PENGHAMBAT GANGLION 1. Trimetafan

 Indikasi : hipertensi darurat terutama aneurisma aorta disekan akut, menghasilkan hipotensi yang terkendali seama operasi besar.

 Efek samping : ileus paralitik dan paralisis kandung kemih, mulut kering, penglihatan kabur dan hipotensi ortostatik. Selain itu trimetafan dapat menyebabkan pembebasan histamin dari sel mast sehingga dapat menimbulkan reaksi alergi.

3.3. Vasodilatasor

Hidralazin, minoksidil dan diazoksid HIDRALAZIN

 Mekanisme kerja : bekerja langsung merelaksasi oto polos arteriol. Sedangkan otot polos vena hampir tidak dipengaruhi. Vasodilatasi yang kuat berupa peningkatan kekuatan dan frekuensi denyut jantung, peningkatan renin dan noreprinefrin plasma.

 Indikasi : untuk hipertensi darurat seperti pada glomerulonefritis akut dan eklampsia

 Farmakokinetik : diabsorpsi baik melalui saluran cerna, tapi bioavailabilitasnya relatif rendah karena adanya metabolisme lintas pertama yang besar. Pada asetilator lambat dicapai kadar plasma yang lebih tinggi, dengan efek hipotensi berlebihan dan efek samping yang lebih sering.

 Kontraindikasi : hipertensi dengan PJK dan tidak dianjurka pada pasien diatas 40 tahun.

 Efek samping : sakit kepala, mual, flushing, hipotensi, takikardia, palpitasi angina pektoris. Iskemik miokard dapat terjadi pada pasien PJK. Pemberhentian obat dapat terjadi setelah terapi lama (6 bulan lebih) berupa demam, artralgia, splenomegali, sel E positif di darah perifer. Efek samping lain neuritis perifer, diskrasia darah, hepatotoksisitas dan kolangitis akut

MONOKSIDIL

 Mekanisme kerja : bekerja dengan membuka kanal kalium sensitif ATP (ATP-dependent potassium channel) dengan akibat terjadinya refluks kalium dan hiperporalisasi membran yang diikuti oleh relaksasi otot polos pembuluh darah dan vasodilatasi. Efeknya lebih kuat pada arteriol daripada vena. Obat ini menurunkan tekanan sistol dan diastol yang

(37)

sebanding dengan tingginya tekanan darah awal. Efek hipotensifnya minimal pada subjek yang normotensif.

 Farmakokinetik : diserap baik pad pemberian oral. Bioavailabilitas mencapai 90% dan kadar puncak plasma tercapai dalam 1 jam. Obat ini merupakan prodrug yang harus mengalami penambahan gugus sulfat sebelum aktif sebagai vasolidator. Kadar plasma tidak berkolerasi langsung dengan efek terapi. Waktu paruh 3-4 jam, tapi efek terapi bertahan sampai 24 jam atau lebih. Metabolisme terjadi di hati dengan cara konjugasi dengan glukuronida. Ekskersi melalui urin, 20% terutama tidak berubah.

 Indikasi : hipertensi berat akselerasi atau maligna dan pada pasien dengan gagal ginjal lanjut.

 Efek samping : retensi cairan dan garam, efek samping kardiovaskular karena refleks simpatis dan hipertrikosis. Selain itu terjadi gangguan toleransi glukosa dengan tendensi hiperglikemi; sakit kepala, mual, erupsi obat, rasa leleh dan rasa nyeri tekan di dada.

DIASOKZID

Obat ini merupakan derivat benzotiadiazid dengan struktur mirip tiazid, tapi tidak memiliki efek diuresis.

Mekanisme kerja, farmakodinamik dan efek samping diasokzid mirip dengan minoksidil.

 Indikasi : diberikan secara intravena untuk mengatasi hipertensi darurat. Hipertensi maligna, hipertensi ensefalopati, hipertensi berat pada glomerulonefritis akut dan kronik.

 Efek samping : retensi cairan dan hiperglikemi. Relaksasi uterus sehingga dapat menggangu proses kelahiran bila digunakan pada eklampsia. Jangka panjang juga dapat terjadi hipertrikosis.

NATRIUM NITROPRUSID

 Mekanisme kerja: merupakan donor NO yang bekerja mengaktifkan guanilat siklase dan meningkatka konversi GTP ,menjadi GMP-siklik pada otot polos pembuluh darah. Selanjutnya terjadi penurunan pembuluh kalsium intrasel dengan efek akhir vasodilatasi arteriol dan venula.dnyut jantung karena reflek simpatis.

(38)

 Efek samping : hipotensi, efek toksik perubahan konversi nitropusid menjadi sianida dan tiosianat . dapat juga terjadi methemoglobinemia dan asidosis. Hipertensi rebound.

3.4. Penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor) dan

Penghambat reseptor angiotensin (angiotensin-reseptor blocker, ARB)

PENGHAMBAT ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME (ACE-INHIBITOR) ACE-Inhibitor dibedakan atas dua kelompok:

1. Yang bekerja langsung, kaptopril dab lisinopril

2. Prodrug, contohnya enalapril, kuinapril, perindopril,ramipril, silazapril, benazepril, fosinoprildll.

 Mekanisme : ACE-Inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Menghambat degradasi bradikinin sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhinitor. Vasodilatasi seacara langsung akan menurunkan tekanan darah, dan bekurangnya aldosteron akan menyebabkan sekresi air dan natrium dan retensi kalium.

 Farmakokinetik : kaptopril. Diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavailabilitas 70-75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsi sekitar 30%, maka dari itu obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Sebagian besar ACE-Inhibitor mengalami metabolisme di hati, kecuali lisinopril yang tidak dimetabolisme, eliminasi umunya melalui ginjal, kecuali fosinopril yang mengalami eliminasi di ginjal dan bilier.

 Indikasi : efektif untuk hipertens ringan, sedang maupun berat. Hipertensi dengan gagal jantung kongestif, adan hipertensi dengan diabetes, disiplidemia dan obesitas.

 Efek samping : hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, rush, edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria dan efek teratogenik.

 Kontraindikasi : wanita hamil karena bersifat teratogenik. Ibu menyusui karena diekskresikan melalui ASI sehingga berakibat buruk pada fungsi ginjal bayi. Stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral.

ANTAGONIS RESEPTOR ANGIOTENSIN II (Angiotensin receptor blocker, ARB)

Reseptor AngII dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terutama otot polos pembuluh darah dan di otot jantung. Selain itu terdapat juga di otak,

(39)

ginjal dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantai semua efek fisiologis AngII terutama yang berperan dengan homeostasis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat dimedula adrenal dan mungkin juga di SSP, tapi sampai sekarang fungsinya belum jelas.

 Mekanisme kerja : losartan merupakan prototipe obat golongan ARB yang selektif pada reseptor AT1. Obat ini menghambat semua efek AngII, seperti: vasokontriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral AngII (sekresi vasoperin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal dan efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan miokard.

 Farmakokinetik: losartan diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna dengan bioavailabilitas sekitar 33%. Absorpsinya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan di lambung. Waktu paruh eliminasi (t1/2α) ± 1-2 jam, tapi obat ini cuku diberikan satu atau dua kali sehari, karena kira-kira 15% losartan dalam tubuh diubah menjadi metabolit (5-carboxylic acid) dengan potensi 10 sampai 40 kali losartan dan masa paruh yang jauh lebih panjang (t1/2β: 6-9 jam). Losartan dan metabolitnya tudak dapat menembus sawar darah otak. Sebagian besar diekskresi melalui feses sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal termasuk pasien hemodialisis dan pada usia lanjut. Tapi dosis harus disesuaikan pada gangguan fungsi hepar.

 Indikasi : hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik

 Kontraindikasi: kehamilan pada trimester 2 dan 3, wanita menyusui dan stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis pada satu-satunya ginjal yang masih berfungsi.

Efek samping: hipotensi, hiperkalemia, fetotoksik

3.5. Antagonis kalsium

Antagonis kalsium menghambat influx kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Menimbulkan relaksasi arteriol.

Perbandingan sifat berbagai antagonis kalsium:

1. Golongan dihidropiridin (DHP, yakni nifedipin, nikardipin, isradipin, felodipin, dan amlodipin) bersifat vaskuloselektif dan generasi yang bru memiliki selektivitas yang tinggi. Sifat vaskuloselektif ini menguntungkan karena: a) efek langsung pada nodus AV dan SA minimal; b) menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti; c) relatif aman dalam kombinasi dengan β-blocker.

Referensi

Dokumen terkait