• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. METODE PENELITIAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan Penelitian 3.1.1. Alat Penelitian

1. Global Positioning System (GPS) Receiver tipe navigasi, untuk mengetahui posisi titik di permukaan bumi berbasis satelit

2. Kompas Geologi, untuk mengukur arah dan kemiringan 3. Abney level, untuk mengukur kemiringan lereng

4. Yalon dan meteran, untuk mengukur jarak

5. Kamera Digital, untuk pengambilan gambar/foto lanskap pesisir 6. Stereoskop cermin, untuk interpretasi citra secara stereoskopis 7. Soil test kit untuk test secara cepat ciri tanah di lapangan

8. Seperangkat alat komputer, lengkap dengan program aplikasi berbasis windows, yaitu :

a. ArcView GIS Version 3.1, untuk delineasi dan pembuatan peta lanskap, dan konversi format data b. ArcView Spatial Analysis Version 1.0, untuk analisis

dan pemodelan spasial data lanskap untuk pariwisata.

3.1.2. Bahan-bahan penelitian

1. Foto Udara Pankromatik Hitam Putih Skala 1 : 20.000 Tahun 2000 yang meliputi wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menyadap data/informasi bentuklahan, penggunaan lahan dan aksesibilitas

2. Peta Bathimetri skala 1 : 25.000 lembar daerah penelitian yang diterbitkan oleh DISHIDROS TNI-AL, untuk mengetahui data kedalaman laut wilayah pesisir daerah penelitian

3. Peta Rupabumi skala 1 : 25.000 lembar daerah penelitian yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL, untuk mengetahui kondisi topografi/relief dan juga penggunaan lahan daerah penelitian

4. Peta Geologi skala 1 : 100.000 Lembar Yogyakarta, yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan Bandung, untuk mengetahui kondisi batuan, proses genetik dan materi penyusun utama wilayah pesisir

(2)

5. Peta Kerawanan Bencana dari Bappeda DIY, untuk mengetahui kerawanan bencana di wilayah pesisir.

6. Data Iklim meliputi suhu, curah hujan, kelembaban, dan kecepatan angin, yang diterbitkan oleh Stasiun Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta. 7. Data pasang surut, gelombang, angin dan arus laut, yang

diterbitkan oleh DISHIDROS TNI-AL.

8. Data obyek wisata dari Dinas Pariwisata Kabupaten di daerah penelitian.

3.2. Tahapan Penelitian Waktu Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan pada bulan September 2006 – April 2007. Tahapan penelitian secara garis besar meliputi tahap pendahuluan untuk orientasi wilayah penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2006, kemudian tahap perolehan data (penelitian lapangan) yang dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2006, tahap pengolahan dan analisis data, serta tahap penyajian hasil dan analisis hasil penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – April 2007.

Metode Pengambilan Sampel

Penentuan titik sampel menggunakan metode purposive sampling, yaitu penentuan titik sampel mendasarkan pada tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah menentukan tipologi pesisir dari aspek fisik, maka penentuan titik sampel memperhatikan kondisi fisik wilayah pesisir. Kondisi fisik ini dicerminkan oleh bentuklahannya yang merupakan cerminan kondisi geologi, geomorfologi, lereng, tanah, hidrologi, dan penggunaan lahan, sehingga penentuan titik sampel mendasarkan pada sebaran bentuklahannya.

Secara terperinci dalam tahapan penelitian ini akan diuraikan metode penelitian yang mencakup :

3.2.1. Penentuan Tipologi Fisik Pesisir

Dasar penentuan klasifikasi tipologi fisik pesisir menggunakan sistem Proses – Respon, yang merupakan kombinasi antara sistem morfologi dan sistem cascade (merujuk pada aliran energi dan zat pada sistem pesisir). Sistem morfologi merujuk pada metode pengelompokan yang mendasarkan pada relief,

(3)

material penyusun utama, proses genesa, sedangkan sistem cascade yang merujuk pada aliran energi mengacu pada penentuan tipologi pesisir yang dilakukan oleh Europen Union for Coastal Conservation/EUCC (1998) terutama pada rezim pasang surut yaitu dominasi proses yang terjadi antara pasang surut, gelombang dan sungai, sehingga klasifikasi tipologi fisik pesisir dikelompokkan seperti dalam Tabel 3 di bawah ini.

Penentuan tipologi fisik pesisir dilakukan dengan menelusuri tiga komponen (unsur) pembentuknya yaitu materi penyusun utama, relief dan proses genesanya (termasuk disini adalah proses yang dominan). Dalam teknik identifikasi ini, terlebih dahulu diidentifikasi reliefnya (berelief tinggi atau rendah), kemudian diidentifikasi materi penyusun utamanya (material padu, material lepas/klastik, material lembek/lumpur, atau materinya organisme), setelah itu diidentifikasi proses genesa (struktural, vulkanik, solusional, marin, fluvio-marin

Tabel 3. Klasifikasi Tipologi Pesisir

Tipologi Pesisir Keterangan

A. Primer (primary coast)

1. Pesisir erosi darat

(land erosion coast) pesisir yang terbentuk terutama akibat proses erosi di darat. Termasuk disini adalah pantai-pantai pada topografi karst.Berbatuan keras dan mempunyai bentuk pantai yang terjal.

2. Pesisir pengendapan darat

(sub-aerial deposition coast) Pesisir yang terbentuk akibat proses pengendapan bahan-bahan sedimen sungai. Termasuk disini adalah proses pembentukan delta sungai dan rataan pasang-surut. Berbatuan lunak atau lembek (lumpur), mempunyai bentuk pantai yang datar dan proses yang dominan adalah aliran sungai.

3. Pesisir gunungapi

(volcanic coast) Pesisir yang terbentuk akibat proses vulkanik di tengah laut. Termasuk disini adalah pantai aliran lava. Berbatuan keras (padu) dan mempunyai bentuk pantai yang terjal.

4. Pesisir structural

(structurally shaped coast) pesisir yang terbentuk akibat proses patahan, lipatan, Berbatuan keras (padu) dan mempunyai bentuk pantai yang terjal. B. Sekunder (secondary coast)

1. Pesisir erosi gelombang

(wave erosion coast) Pesisir dengan garis pantai yang terbentuk akibat aktivitas gelombang, yang mungkin berpola lurus atau tidak teratur, tergantung pada komposisi maupun struktur dari batuan penyusun, seperti pada proses erosi gelombang pada tebing pantai. Berbatuan keras (padu), mempunyai bentuk pantai yang terjal dan proses yang dominant adalah gelombang.

(4)

2. Pesisir pengendapan laut

(marine deposition coast) pesisir yang dibentuk oleh deposisi/ pengendapan material sedimen laut. Berbatuan lunak dan sedimen terkini (recent sediment), mempunyai bentuk pantai yang datar dan proses yang dominan umumnya adalah pasang-surut. 3. Pesisir organic

(coast built by organism) Pesisir dengan garis pantai yang terbentuk akibat aktivitas hewan atau tumbuhan, termasuk terumbu karang , atau tumbuh-tumbuhan seperti mangrove. Material penyusun lunak (pasir) dan mempunyai bentuk pantai yang datar. Sumber : Shepard (1973), EUCC (1998),Sunarto (2003) dan Rahardjo (2003),modifikasi

aeoliomarin, biomarin). Proses marin sendiri lebih diperinci pada aktivitas gelombang atau pasang surut yang lebih dominan pengaruhnya, yaitu dengan melihat julat pasang-surutnya (apabila julat pasang-surutnya lebih dari 2 m maka aktivitas pasang-surut yang lebih dominan, sedangkan apabila julat pasang-surutnya kurang dari 2 m maka aktivitas gelombang yang lebih dominan). Dengan mengetahui ketiga faktor tersebut akan memudahkan dalam menentukan tipe pesisir di daerah penelitian.

Teknik pengumpulan data

Sumber data yang dipergunakan untuk memperoleh data-data tersebut adalah foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : 20.000 tahun 2000 (lihat Gambar 10), Peta Geologi skala 1 : 50.000, Peta Rupabumi skala 1 : 25.000 (lihat Gambar 11), dan cek lapangan. Cek lapangan dilakukan dengan mendatangi titik-titik lokasi di lapangan yang telah ditentukan sebelumnya dengan mendasarkan pada identifikasi bentuklahan untuk melakukan pengamatan, pengukuran, dan pencocokan hasil interpretasi. Hasil interpretasi foto udara pankromatik hitam putih diperoleh data bentuklahan, penggunaan lahan dan aksesibilitas. Hasil interpretasi peta geologi diperoleh data materi penyusun utama suatu bentuklahan, sedangkan dari peta rupabumi diperoleh data tentang kemiringan lereng melalui interpretasi garis kontur. Cek di lapangan dilakukan untuk mengecek hasil interpretasi citra dan peta-peta tematik untuk dicocokkan dengan kondisi sebenarnya di lapangan, disamping itu dalam cek lapangan dilakukan pengamatan dan pengukuran data-data penelitian yang tidak dapat disadap dari interpretasi citra dan peta-peta.

(5)

Gambar 10. Foto Udara Pankromatik Hitam Putih Daerah Parangtritis, Bantul tahun 2000 (Fakultas Geografi UGM, 2000)

Gambar 11. Peta Rupabumi lembar Brosot, Yogyakarta tahun 1998 (Bakosurtanal, 1998)

Data sekunder dari instansi terkait juga digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut mencakup data-data yang membutuhkan waktu cukup lama untuk pengukurannya seperti data gelombang , pasang-surut, arus, kedalaman laut, dan data-data iklim yang meliputi curah hujan, arah dan kecepatan angin, dan lain-lain. Instansi yang dihubungi untuk memperoleh data tersebut adalah BMG stasiun Geofisika Yogyakarta, Dishidros TNI-AL, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY, dan dinas terkait lainnya.

Secara grafis hubungan antara jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4.

(6)

Tabel 4. Matriks Jenis Data dan Sumber Data yang digunakan dalam Penelitian No Jenis Data Sumber Data FU Pankro-matik (H/P) Peta Rupabumi Peta Geologi Peta Batimetri Uji Lapangan dan Lab. Data seknder 1 Bentuklahan √ 2 Penggunaan lahan √ 3 Relief/lereng √ 4 Materi utama √ √ √ 5 Proses genesa √ √ 6 Kedalaman √ 7 Gelombang √ 8 Pasang surut √ 9 Arus √ 10 Curah hujan √ 11 Suhu udara √ 12 Kec.angin √ √ 13 Hidrologi √ 14 Flora fauna √ √ 15 Aksesibilitas √ √ √ 16 Rawan bencana √ Identifikasi bentuklahan

Bentuklahan diinterpretasi secara visual dari foto udara. Identifikasi bentuklahan dari foto udara mengacu pada bentuk atau relief, density (tekstur/photographic grey tone) dan lokasi (situs ekologi). Hasil identifikasi bentuklahan kemudian digunakan sebagai dasar untuk menentukan proses genesa (bentukan asal) dari setiap bentuklahan tersebut. Klasifikasi proses genesa yang digunakan dalam penentuan tipologi fisik pesisir adalah seperti dalam Tabel 5. Sistem klasifikasi bentuklahan yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 5. Klasifikasi Proses Genesa untuk Penentuan Tipologi Fisik Pesisir

No Proses Genesa Keterangan

1. Struktural Pesisir yang terbentuk akibat proses-proses tektonik, seperti lipatan dan patahan

2 Vulkanik Pesisir yang terbentuk oleh aktivitas gunungapi 3. Solusional Pesisir yang terbentuk oleh proses pelarutan seperti

pantai-pantai karst.

4 Marin Pesisir yang terbentuk oleh aktivitas marin (laut) yaitu gelombang dan pasang-surut

5 Fluviomarin Pesisir yang terbentuk oleh campuran aktivitas sungai (fluvial) yang dominan dan marin (laut)

6 Aeoliomarin Pesisir yang terbentuk oleh campuran aktivitas angin (aeolian) yang dominan dan marin (laut)

7 Biomarin Pesisir yang terbentuk oleh campuran aktivitas biogenik/organisme yang dominan dan marin (laut)

(7)

Identifikasi penggunaan lahan

Identifikasi penggunaan lahan dari foto udara dilakukan berdasarkan jenis penutup lahan yang dikaitkan dengan bentuklahannya, yang dikenali dari unsur-unsur interpretasi seperti rona, bentuk, ukuran, pola, tekstur, bayangan, situs dan asosiasi. Identifikasi penggunaan lahan dibantu juga dengan menggunakan peta rupabumi dan pengecekan lapangan. Identifikasi penggunaan lahan saat ini melalui penelitian lapangan penting untuk diketahui sebagai dasar untuk mengetahui apakah pemanfaatan lahan yang ada sudah sesuai dengan kondisi fisik yang dicerminkan dari tipologi fisik pesisirnya. Sistem klasifikasi penggunaan lahan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Identifikasi materi penyusun utama

Identifikasi materi penyusun terutama dilakukan melalui interpretasi peta geologi, dibantu dengan hasil interpretasi bentuklahan melalui foto udara. Dalam identifikasi materi penyusun utama ini selalu dikaitkan dengan bentuklahan karena pada setiap bentuklahan yang berbeda akan dibentuk oleh materi penyusun yang berbeda pula. Lihat Tabel 6.

Tabel 6. Hubungan antara Bentuklahan dan Material Penyusun

Satuan Bentuklahan Material Penyusun

• Dasar sungai, gosong sungai, padang lahar

• Teras sungai, kipas alluvial, lereng kaki

• Gumuk pasir, delta bar, pasir pantai, beting pantai, spit, tanggul alam

• Dataran alluvial, dataran pantai, ledok fluvial, rawa belakang

• Campuran gravel/kerikil (0,6 – 60 mm) – pasir (0,02 – 0,6 mm) • Campuran gravel-pasir-material

halus/lempung

• Pasir atau pasir dengan material halus/lempung

• Hampir seluruhnya material halus/lempung

Sumber : Rib (1975) dalam Suharsono (1984)

Klasifikasi materi penyusun utama dikelompokkan dalam materi padu, material lepas/klastik, material lembek/lumpur, dan materi yang berasal dari sisa organisme. Klasifikasi material penyusun utama yang digunakan dalam penentuan tipologi fisik pesisir seperti pada Tabel 7.

(8)

Tabel 7. Klasifikasi Material Penyusun Utama untuk Tipologi Fisik Pesisir

No Material Penyusun Utama

1 Pesisir dengan material padu (keras)

2 Pesisir dengan material lempung/lumpur (liat) 3 Pesisir dengan material pasir (lepas)

4 Pesisir dengan material sisa-sisa organisme

Sumber : Sunarto, 2003

Penentuan kelompok material penyusun utama tersebut mendasarkan pada ukuran butir (lihat Tabel 8). Penentuan jenis material pasir dan lempung dapat dilakukan melalui analisis tekstur tanah untuk mengetahui sifat fisis tanah yang berkaitan dengan ukuran partikel pembentuk tanah yaitu pasir, lanau (debu), dan lempung (tanah liat).

Tabel 8. Klasifikasi Material Permukaan Jenis Material Permukaan Ukuran Butir (mm)

Berangkal (boulder) Kerakal (cobble) Batu kerikil (Gravel) Pasir (sand) Lempung (clay) > 200 mm 60 – 200 mm 2 – 60 mm 0,02 – 2 mm < 0,02 mm Sumber : Wesley (1977) Pengukuran kemiringan lereng

Kemiringan lereng permukaan bumi adalah sudut yang dibentuk antara bidang datar (bidang semu) terhadap bidang miring permukaan bumi. Pengukuran kemiringan lereng dilakukan dengan menggunakan alat abney-level melalui pengukuran langsung di lapangan. Pengukuran dengan menggunakan alat abney-level akan diperoleh data kemiringan lereng dalam satuan derajat dan persen. Abney-level adalah alat pengukur sudut miring menggunakan suatu teropong yang diperlengkapi dengan alat bidik. Teropong dapat berputar dengan sumbu mendatar sebagai sumbu putar dan bersama-sama dengan teropong dapat berputar pada suatu rangka yang bagian bawahnya berbentuk busur lingkaran. Busur lingkaran ini diberi skala yang menyatakan sudut miring garis bidik teropong dalam derajat atau dalam persen.

Cara menggunakan alat ini adalah alat abney level ditempatkan di atas tongkat seperti yalon. Untuk mengukur sudut miring lapangan,

(9)

teropong diarahkan ke titik yang sama tingginya dengan teropong pada tongkat yang ditancapkan di titik lain di lapangan. Dengan mengeraskan skrup keadaan teropong tetap, sedang pada skala dengan garis yang ada pada plat dipat dibaca besarnya sudut miring.

α

Gambar 12. Pengukuran Kemiringan Lereng dengan Abney-level

Klasifikasi relief yang digunakan dalam penyusunan tipologi fisik pesisir adalah seperti dalam Tabel 9.

Tabel 9. Klasifikasi Relief untuk Penyusunan Tipologi Fisik Pesisir

: V

Sumber : van Zuidam, R.A. and van Zuidam-Cancelado. 1978

Cek lapangan

Hasil interpretasi foto udara tersebut selanjutnya diuji kebenarannya dengan mencocokkan pada kondisi lapangan sebenarnya berdasarkan sampel yang telah ditetapkan, disamping itu juga dilakukan beberapa pengukuran lapangan untuk memperoleh data-data yang tidak dapat disadap dari hasil interpretasi foto udara, seperti data tentang kondisi

No Relief Keterangan

1 Datar Sudut kemiringan lereng 0 - 2 % 2 Landai Sudut kemiringan lereng 3 – 14 % 3 Agak curam Sudut kemiringan lereng 15 – 24 % 4 Curam/terjal Sudut kemiringan lereng 25 – 40 % 5 Sangat curam Sudut kemiringan lereng > 40 %

(10)

tanah meliputi tekstur, pH, salinitas, bahan organic, dan lain-lain, dan juga kondisi air (hidrologi) meliputi suhu, salinitas, pH, dan lain-lain. Alat yang digunakan adalah soil test kit (tanah) dan EC meter (air). Data-data ini penting untuk diketahui sebagai dasar dalam menentukan tipologi pemanfaatan wilayah pesisir.

Tipologi fisik pesisir

Untuk mempermudah dalam mengklasifikasikan tipologi pesisir yang mendasarkan pada relief/kemiringan lereng, materi penyusun utama dan proses genesanya, selanjutnya dibuat tabel analisis berupa matriks seperti yang tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10. Matrik Penentuan Tipologi Fisik Pesisir

Tipe Pesisir Parameter Tipologi Pesisir Erosi Darat Pesisir Pengen-dapan Darat Pesisir Gunung Api Pesisir Struk-tural Pesisir Pengen-dapan Laut Pesisir Erosi Gelom-bang Pesisir Organik A. Relief 1. Datar √ √ 2. Landai √ 3. Agak curam √ √ √ 4. Curam/terjal √ √ √ √ 5. Sangat curam √ √ √ √

B.Material Penyusun Utama

1. Padu (batu) √ √ √ √ 2.Lembek(lumpur √ √ 3. Lepas (pasir) √ √ 4. Organisme √ C. Proses Genesa 1. Struktural √ 2. Vulkanik √ 3. Solusional √ 4. Marin a. pasang surut b. gelombang √ 5. Fluviomarin √ 6. Aeoliomarin √ 7. Biomarin √

Sumber : Shepard (1973), EUCC (1998), Sunarto (2003), dan modifikasi

Sunarto (2003) memberikan cara mengidentifikasi secara geomorfologis tipe pesisir seperti tersaji dalam Gambar 13.

(11)

Relief Materi Penyusun Utama Proses Genesa Tipologi Fisik Pesisir PESISIR Relief Tinggi: - Agak curam - Curam/terjal - Sangat curam Materi penyusun padu Struktural Sesar Kekar Lipatan Pesisir Struktural Pesisir Struktural Pesisir Struktural Vulkanik Pesisir Vulkanik Materi

penyusun padu Biogenik Pesisir Organik

Aeoliomarin Marin (pasang surut) Biomarin Marin (pasang surut) Fluviomarin (sungai) Pesisir Pengendapan Laut Pesisir Pengendapan Laut Pesisir Organik Pesisir Pengendapan Laut Pesisir Pengendapan Darat Materi penyusun pasir (lepas) Materi penyusun Lumpur (lembek) Relief rendah: - datar - landai

Gambar 13. Diagram Alir Identifikasi Geomorfologis Pesisir (Sunarto, 2003) dengan modifikasi Marin

(gelombang)

Solusional

Pesisir Erosi Gelombang

(12)

Pengolahan data

Tahap pengolahan data dilakukan dengan melakukan konversi data/peta analog ke dalam bentuk digital. Metode yang digunakan adalah on screen digitizing, yaitu input data/peta analog melalui proses scanning kemudian dilakukan digitasi pada monitor (on screen digitizing) sehingga dihasilkan peta digital. Koreksi hasil digitasi (seperti undershoot dan overshoot) perlu dilakukan untuk menghasilkan peta digital yang siap untuk dianalisis menggunakan SIG. Disamping koreksi hasil digitasi, perlu juga dilakukan transformasi proyeksi dan koordinat untuk memposisikan peta seperti kondisi sebenarnya di lapangan. Proyeksi dan sistem koordinat yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM). Software yang dipergunakan adalah ArcView 3.2. dan ArcGIS 9.1.

Pemodelan spasial menggunakan SIG dilakukan dengan metode tumpang-susun (overlay) dari ketiga parameter yaitu parameter relief, materi penyusun utama, dan proses genesa, sehingga dihasilkan peta tipologi fisik wilayah pesisir daerah penelitian. Peta tipologi fisik pesisir yang dihasilkan ini selanjutnya dipergunakan sebagai peta unit analisis, yaitu sebagai unit atau area untuk keperluan analisis tipologi pemanfaatan pesisir dan analisis model pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir daerah penelitian. Pengambilan titik sampel di lapangan juga ditentukan berdasarkan pada peta tipologi fisik pesisir ini, artinya setiap tipologi yang ada di lapangan diambil sebagai satu sampel untuk kemudian dilakukan pengecekan hasil interpretasi dan pengukuran langsung di lapangan untuk data-data yang memang harus diukur di lapangan, seperti data kemiringan lereng, materi penyusun utama pesisir, kondisi tanah, air, dan lain-lain. Penambahan titik sampel di lapangan dimungkinkan untuk bertambah sesuai dengan perkembangan kondisi di lapangan dan kemudahan aksesibilitas untuk mencapai lokasi sampel.

Data oseanografis

Faktor oseanografi merupakan kondisi kelautan yang berpengaruh terhadap penentuan tipologi fisik pesisir dan tipologi pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir. Kondisi kelautan sangat dipengaruhi oleh tiga macam tenaga laut, yaitu gelombang laut, arus laut, dan pasang surut laut.

(13)

Gelombang Laut

Gelombang memiliki dimensi dan sifat. Dimensi gelombang mencakup periode, panjang, tinggi, kecepatan dan energi gelombang. Untuk menentukan dimensi gelombang, sifat gelombang, dimensi gelombang pecah diperlukan data-data sekunder dari hasil penelitian yang pernah dilakukan atau data dari instansi terkait.

Arus Laut

Arus laut merupakan gerakan air di permukaan yang terutama kecepatan dan arah arusnya ditentukan oleh angin yang berhembus di atasnya. Data arah dan kecepatan angin diperoleh dari BMG Stasiun Geofisika Yogyakarta, sedangkan data arus laut diperoleh secara instansional melalui instansi terkait yaitu Dishidros TNI-AL.

Pasang surut

Pasang-surut adalah fluktuasi ritmik muka air laut yang diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama oleh Bulan dan Matahari, terhadap massa air laut di Bumi (Sunarto, 2003). Data pasang surut diperoleh secara instansional melalui instansi terkait yaitu Bakosurtanal dan Dishidros TNI-AL. Data yang berasal dari Bakosurtanal merupakan data pasang-surut dari pengukuran langsung di Pelabuhan Sadeng Yogyakarta, sedangkan data pasang surut dari Dishidros TNI-AL merupakan data hasil peramalan pasang-surut mendasarkan pada hasil perhitungan. Kedua data tersebut sifatnya saling melengkapi untuk menentukan kisaran pasang-surut di daerah penelitian.

Kedalaman Laut

Data tentang kedalaman laut ditentukan melalui interpretasi Peta Bathimetri yang diterbitkan oleh Dishidros TNI-AL. Peta Bathimetri yang digunakan berskala 1 : 500.000. Informasi kedalaman laut ditunjukkan oleh angka-angka kedalaman laut dan garis kontur yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai angka kedalaman yang sama.

(14)

3.2.2. Penentuan tipologi pemanfaatan sumberdaya pesisir Unit Analisis

Unit analisis atau unit pemetaan yang digunakan untuk melakukan analisis tipologi pemanfaatan sumberdaya pesisir adalah peta tipologi fisik pesisir daerah penelitian. Hal ini berarti bahwa area yang digunakan untuk menganalisis setiap pemanfaatan wilayah pesisir adalah setiap tipologi fisik pesisir. Penggunaan unit analisis ini akan mempermudah kita dalam memahami karakteristik fisik wilayah pesisir dikaitkan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya. Tipologi pemanfaatan wilayah pesisir meliputi pariwisata, perikanan, pertanian, pelabuhan, dan permukiman. Pemilihan jenis-jenis pemanfaatan tersebut mendasarkan pada jenis pemanfaatan utama di wilayah pesisir.

Penetuan tipologi pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir menggunakan metode analisis kesesuaian lahan pesisir. Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk pemanfaatan tertentu. Dalam menilai kesesuaian lahan, metode yang digunakan adalah menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan (matching) antara karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan pemanfaatan lahan.

Penilaian kesesuaian lahan pesisir dibedakan menurut tingkatannya, yaitu kelas sesuai (S1), agak sesuai (S2), dan tidak sesuai (N). Kelas sesuai (S1) artinya lahan pesisir tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap pemanfaatan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Kelas agak sesuai (S2) artinya lahan pesisir mempunyai pembatas, dan faktor pembatas ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pemanfaatan secara berkelanjutan. Kelas tidak sesuai (N) artinya lahan pesisir mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi.

Berikut metode kesesuaian lahan dari masing-masing pemanfaatan wilayah pesisir. Pada metode penentuan pemanfaatan lahan pesisir untuk pariwisata, disamping digunakan metode kesesuaian lahan, juga digunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE) untuk menilai kualitas visual lanskap pesisir.

(15)

Pariwisata pesisir

 Kualitas Visual Lanskap Pesisir DIY

Pada tahap ini dilakukan analisis spasial dalam bentuk penilaian visual lanskap yang merupakan metode penetapan nilai kualitas lanskap dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata.

Metode yang dapat digunakan untuk menentukan nilai visual suatu lanskap adalah prosedur Scenic Beauty Estimation (SBE). Beberapa pertimbangan mengapa digunakan metode SBE ini adalah ;

• Banyak penelitian visual yang menggunakan metode SBE ini dalam perhitungan nilai visualnya, hal ini disebabkan karena prosedur SBE dikenal efektif dan dapat dipercaya (Yu, 1995).

• Awal mula dikembangkannya metode SBE ini adalah untuk menilai secara visual suatu lanskap untuk pengembangan wisata kehutanan. Dengan prinsip dasar bahwa metode SBE digunakan untuk menilai secara visual lanskap, dimana wilayah pesisir juga mempunyai lanskap yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir (coastal tourism), maka digunakanlah metode SBE ini, dengan menyesuaikan pada kondisi dan jenis lanskap yang ada di wilayah pesisir.

• Penggunaan metode SBE untuk penilaian lanskap pesisir, sepanjang pustaka yang telah dibaca, termasuk juga pada penelusuran data melalui internet, belum pernah dilakukan, sehingga mendorong peneliti untuk menggunakan metode SBE ini dalam melakukan analisis dan pemodelan pemodelan spasial sumberdaya wilayah pesisir DIY untuk pengembangan pariwisata.

Tahapan yang dilakukan dalam menentukan nilai SBE ini diawali dengan penentuan titik pengamatan, pengambilan foto, seleksi foto, penilaian oleh responden dan diakhiri dengan perhitungan nilai SBE dengan menggunakan rumus : SBEx = (Zx – Zo) X 100. Cara seperti ini memang ada kekurangannya/kelemahan yaitu pada unsur subyektifitas yang cukup tinggi dan tergantung pada kualitas foto yang dinilaikan kepada responden, tetapi dari pertimbangan tenaga, waktu, dan biaya sangat efektif. Secara lebih ideal dengan hasil yang lebih bagus apabila metode ini diterapkan pada saat responden keluar dari obyek wisata langsung disodori daftar penilaian dari lanskap yang baru saja dilihat, hanya memang butuh waktu, tenaga dan biaya yang banyak karena semua obyekwisata harus didatangi dan disurvei.

(16)

a. Penentuan titik pengamatan dan pengambilan foto

Titik pengamatan ditentukan dengan terlebih dahulu menentukan karakteristik lanskap wilayah pesisir pada setiap tipologi pesisir sebagai unit analisis, dengan berpedoman pada hasil penentuan tipologi fisik pesisir wilayah pantai. Masing-masing karakteristik lanskap yang telah diidentifikasi kemudian diambil fotonya dengan terlebih dahulu menentukan titik pengamatannya. Titik pengamatan ini merupakan daerah terbuka, tempat yang tinggi atau pada tepian jalan raya maupun tempat-tempat lain yang memungkinkan.

b. Seleksi foto

Foto-foto yang akan dipresentasikan kepada responden merupakan hasil seleksi dari keseluruhan foto yang diambil. Seleksi dilakukan dengan memilih foto yang dianggap paling mewakili keanekaragaman pemandangan yang dapat dilihat di sepanjang wilayah pesisir DIY. Pengambilan foto dilakukan pada waktu yang berbeda-beda, sehingga kemungkinan adanya pengaruh cuaca pada hasil foto yang diambil akan memberikan kualitas foto yang berbeda-beda. Untuk mengurangi bias akibat pengaruh cuaca, maka dilakukan editing dengan menggunakan software Adobe Photoshop 7.0, sehingga diharapkan foto yang dipresentasikan pada responden memiliki kualitas gambar yang sama.

c. Penilaian oleh responden

Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengunjung wisata yang ditemui di lokasi pantai. Lokasi pantai yang dipilih adalah Pantai Sadeng, Ngungap, Wediombo, Krakal, Kukup, Baron, Parangendog, Parangtritis, Depok, Trisik, Glagah, dan Congot. Pemilihan ini didasari oleh telah dikenalnya obyek wisata di pantai-pantai tersebut sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal baik bagi masyarakat dari

dalam maupun luar DIY, sehingga diasumsikan

(17)

pengunjung kawasan wisata sebagai responden karena berkaitan dengan salah satu tujuan dari preferensi visual yaitu untuk melihat kemungkinan dikembangkannya kawasan pesisir yang selama ini masih belum dikembangkan untuk wisata dapat dikembangkan untuk obyek wisata, sehingga kecenderungan pelaku wisata terhadap obyek-obyek yang dianggap menarik dapat diamati.

Responden diseleksi pada hari Sabtu dan Minggu. Setiap kali presentasi dikumpulkan sekitar 3 – 5 orang. Presentasi dilakukan dengan menggunakan LCD Projector dengan program presentasi Microsoft Power Point. Setiap foto ditampilkan selama 10 detik dan langsung dinilai oleh responden. Responden menilai setiap foto yang ditampilkan dengan memberikan skor 1 sampai 10, dimana skor 1 menunjukkan nilai yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan nilai yang paling disukai.

d. Perhitungan nilai SBE

Tahapan perhitungan nilai visual dengan metode SBE diawali dengan tabulasi data, perhitungan frekuensi setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan cumulative probabilities (cp). Selanjutnya dengan menggunakan Tabel z ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Khusus untuk nilai cp = 1.00 atau cp = (z = ± ∞) digunakan rumus perhitungan cp = 1 – 1/(2n) atau cp = 1/(2n) (Bock dan Jones, 1968 dalam Daniel dan Boster, 1976). Rata-rata nilai z yang diperoleh untuk setiap fotonya kemudian dimasukkan dalam rumus SBE sebagai berikut:

SBE x = (Zx – Zo) x 100 Dimana,

SBEx = nilai penduga nilai keindahan pemandangan lanskap ke-x

Zx = nilai rata-rata z untuk lanskap ke-x Zo = nilai rata-rata suatu lanskap tertentu

(18)

► Kemampuan lahan untuk Wisata

Penentuan kemampuan lahan pesisir untuk wisata pantai menggunakan metode yang disampaikan oleh Yulianda (2007) yang membuat matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi. Pertimbangan penggunaan metode ini adalah karena memiliki kriteria yang spesifik dan komprehensif (lengkap) tentang penentuan kemampuan lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi di wilayah pesisir. Metode yang digunakan adalah evaluasi lahan dengan parameter/kriteria yang dipergunakan meliputi : kedalaman perairan, tipologi pantai, lebar pantai, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, kecerahan perairan, penutupan lahan pantai, biota berbahaya, dan ketersediaan air tawar.

Tabel 11. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi

No Kriteria Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N) 1 Kedalaman perairan (m) 0 - 3 3 - 10 > 10 2 Tipe pantai Pasir putih Pasir putih,

sedikit karang

Lumpur, berbatu, terjal

3 Lebar pantai (m) > 15 10 - 15 < 3

4 Material dasar perairan Pasir Karangberpasir Lumpur 5 Kecepatan arus (m/dt) 0 – 0,17 0,17 – 0,51 > 0,51 6 Kemiringan pantai ( o ) < 10 10 – 45 > 45 7 Kecerahan perairan (m) > 10 3 – 10 < 2 8 Penutupan lahan pantai Kelapa, lahan

terbuka Semak belukar, savana Hutan bakau, permukiman, pelabuhan 9 Biota berbahaya Tidak ada Bulu babi Bulu babi, ikan

pari, lepu, hiu 10 Ketersediaan air tawar

(jarak/km) < 0,5 km 0,5 - 2 > 2

Sumber : Yulianda (2007)

Kriteria kemiringan pantai, tipe pantai, ketersediaan air tawar, dan penutup lahan pantai digunakan untuk menilai potensi lahan untuk wisata karena sangat berpengaruh dalam kenyamanan berwisata. Wisatawan akan merasa sangat nyaman sekali apabila tempat wisata yang dikunjungi secara fisik lahan mempunyai lereng yang relatif datar, material pasir apalagi pasir putih sehingga lebih terasa indah jika dibandingkan dengan materi pasir hitam lebih-lebih lumpur, persediaan air banyak dan kualitas baik, serta penutup lahan yang rindang dan alamiah.

(19)

Perikanan (Tambak)

Perikanan yang dimaksud disini adalah perikanan budidaya darat. Kriteria yang digunakan adalah kriteria umum yang dikaitkan dengan kriteria dalam menentukan tipologi fisik pesisir, yaitu kemiringan lereng, materi penyusun utama, dan proses genesa.

Tabel 12. Potensi Lahan untuk Perikanan (Tambak)

Kriteria Potensi Lahan

Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N)

1. Kemiringan Lereng (%) 0 – 1 1 – 2 > 2

2. Materi penyusun utama

(tekstur tanah) Lempung, lempung berpasir

( Kode : CL)

Geluh (lekat), geluh berlempung, geluh berpasir, geluh lempung berdebu (kode : CL) Pasir (Kode : SW / SP)

3. Proses genesa Fluvio-marin, Marin Solusional,

struktural, volkanik 4. Kisaran pasang surut (m) 1 – 3 0.5 - <1; > 3 – 3.5 <0.5 ; >3.5 5. Kondisi Air (hidrologi)

a. Salinitas (ppt) b. Suhu (oC) c. pH 15 -25 29 – 30 8 – 8.5 10 – 15 26 – 28; 31 – 32 8.6 – 8.7; 7.5 – 7.9 <10 <26 ; >32 >8.7 ; <7.5 6. Iklim CH tahunan rata-rata (mm) 2000 – 3000 1000 – 2000 <1000 ; > 3000 Sumber : CSR/FAO (1993) Pertanian

Lahan yang sesuai untuk pertanian adalah lahan yang mempunyai sifat fisik lahan yang baik, yaitu lahan yang daya serap air dan sirkulasi udara di dalam tanahnya cukup baik. Sifat fisis ini ditunjukkan oleh tekstur dan struktur tanahnya. Tekstur tanah adalah sifat fisis tanah yang berkaitan dengan ukuran partikel pembentuk tanah. Partikel utama pembentuk tanah adalah pasir, lanau (debu), dan lempung (tanah liat).

Tekstur tanah berpengaruh terhadap daya serap dan daya tampung air. Tanah lempung teksturnya sangat halus, mudah menampung air tetapi daya serapnya kecil. Sebaliknya tanah pasir mudah menyerap air, tetapi sukar menampungnya. Tekstur tanah yang ideal untuk pertanian adalah geluh, yaitu tanah yang lekat. Tekstur tanah geluh terdiri dari dua macam tanah, yaitu tanah lanau (20% lempung, 30 - 50% lanau dan 30 - 50% pasir) dan tanah lanau berpasir (20 - 50% lanau/lempung, 50 - 80% pasir). Struktur tanah adalah sifat fisis tanah yang dikaitkan dengan cara partikel-partikel tanah berkelompok. Struktur

(20)

tanah ini berpengaruh terhadap pengaliran air dan sirkulasi udara di dalam tanah.

Kriteria umum yang digunakan untuk menentukan lahan yang sesuai untuk pertanian adalah :

Tabel 13. Potensi Lahan untuk Pertanian

Kriteria Potensi Lahan

Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N) 1. Kemiringan Lereng (%)

a. Sawah

b. Tegalan 0 – 5 0 - 3 3 – 5 5 - 8 > 5 > 8 2. Materi penyusun utama

(tekstur tanah) Geluh (lekat) lempung berpasir, geluh berdebu, geluh berlempung (Kode : CL) Geluh lempung berdebu, lempung ( Kode : CL) Kerikil (Kode : GW/GP)

3. Proses genesa Fluvial Fluvio-marin,

Aeolio-marin, solusional, volkanik, struktural marin 4. Iklim a. CH tahunan rata-rata (mm)

b.Suhu rata-rata tahunan (oC) 1500 – 3000 25 -30 30 – 32 ; <24 1000 – 1500 <1000 ; > 3000 > 32 ; <18

Sumber : CSR/FAO (1993)

Pelabuhan

Penilaian lahan untuk pemanfaatan pelabuhan lebih ditekankan pada jenis pelabuhan umum, dengan kriteria sebagai berikut :

Tabel 14. Potensi Lahan untuk Pelabuhan

Kriteria Potensi Lahan

Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N)

1. Kemiringan Lereng (%) 0 – 8 8 - 15 > 15

2. Materi penyusun utama : a. material batuan/tekstur

tanah

b. Daya dukung tanah (CBR)

Tanah berpasir, berbatu, kerikil (Kode : GW) > 45 Tanah berpasir (Kode : SW) 17.5 – 45 Lumpur/lempung (Kode : CL) < 17.5 3. Proses genesa Marin, fluvio-marin Aeolio-marin Solusional,

struktural, volkanik 4. Oseanografi :

a. tinggi gelombang (m) b. kecepatan angin (m/dt) c. kisaran pasang surut (m) d. kedalaman laut (m) < 0.7 0 – 5.4 < 1.0 > 5 0.7 – 1.5 5.5 – 7.9 1.0 – 2.0 4 - 5 > 1.5 > 8 > 2.0 < 4 5. Aksesibilitas Tanpa halangan

atau tingkat kesulitan paling rendah (slight) Tingkat kesulitan sedang (moderate) dengan halangan ringan yang dapat diatasi dengan rekayasa teknik

Tingkat kesulitan tinggi karena semua halangan tidak bisa diatasi dengan rekayasa teknik Sumber : Triatmodjo (1999), Kramadibrata (2002), Sunarto (1998)

(21)

Permukiman

Lahan yang sesuai untuk permukiman dicirikan oleh beberapa parameter antara lain daya dukung tanah yang besar yang memiliki kemampuan untuk menahan beban dalam ton tiap satu meter kubik, mempunyai fluktuasi tanah air yang baik, mempunyai kandungan lempung yang cukup yang berpengaruh terdhadap kembang kerutnya tanah, dan mempunyai topografi yang datar sampai landai.

Penilaian lahan untuk pemanfaatan permukiman lebih ditekankan pada penilaian kondisi fisik untuk bangunan. Kriteria yang digunakan adalah :

Tabel 15. Potensi Lahan untuk Permukiman

Kriteria Potensi Lahan

Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N)

1. Kemiringan Lereng (%) 0 – 8 8 - 25 > 25

2. Materi penyusun utama : a. material batuan/tekstur

tanah

b. Daya dukung tanah (CBR)

Tanah berpasir, berbatu, kerikil (Kode : GW) > 15 Tanah berpasir (Kode : SW) 12 – 15 Lumpur/lempung (kode : CL) < 12 3. Proses genesa Fluvio-marin aeolio-marin,

solusional, struktural, volkanik

Marin

4. Kisaran pasang surut (m) < 1 1 - 3 > 3

5. Ketersediaan dan kualitas

air Besar dan kualitas baik (> 500 lt/dt) Sedang (100 – 500 lt/dt) Sedikit dan kualitas jelek (< 100lt/dt) 6. Aksesibilitas Tanpa halangan

atau tingkat kesulitan paling rendah (slight) Tingkat kesulitan sedang (moderate) dengan halangan ringan yang dapat diatasi dengan rekayasa teknik

Tingkat kesulitan tinggi karena semua halangan tidak bisa diatasi dengan rekayasa teknik Sumber : MREP (2000)

Daya dukung tanah digunakan sebagai faktor yang dipertimbangkan untuk menentukan teknis konstruksi bangunan yang sesuai. Horonjeff & Mc Kelvey (1991) membuat kriteria klas daya dukung tanah yang ditunjukkan oleh nilai CBR berdasarkan pada tekstur tanah.

(22)

Tabel 16. Kriteria Klas Daya Dukung Tanah

Tekstur tanah Kode Nilai CBR

Kerikil bergradasi baik, campuran kerikil – pasir, sedikit atau tanpa

butiran halus GW 60 - 80

Kerikil bergradasi jelek, campuran kerikil – pasir, sedikit atau tanpa

butiran halus GP 35 – 60

Kerikil berlanau, campuran kerikil – pasir – lanau GM 25 – 50 Kerikil berlempung, campuran kerikil – pasir – lempung GC 20 – 40 Pasir bergradasi baik, pasir berkerikil, sedikit atau tanpa butiran halus SW 20 – 40 Pasir bergradasi jelek, pasir berkerikil, sedikit atau tanpa butiran halus SP 15 – 25

Pasir berlanau, campuran pasir – lanau SM 20 – 40

Pasir berlempung, campuran pasir – lempung SC 10 – 20 Lanau organik dan pasir sangat halus, serbuk batuan, pasir halus

berlanau atau berlempung, atau lanau berlempung dengan sedikit plastisitas

ML 5 – 15

Lempung organik dengan plastisitas rendahsampai sedang, lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau

CL 5 – 15 Lanau organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah OL 4 – 8 Lanau organik, pasir halus atau tanah berlanau yang mengandung mika MH 4 – 8

Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi CH 3 – 5

Lempung organik dengan plastisitas sedang hingga tinggi, lanau organik OH 3 – 5 Sumber : Horonjeff & Mc Kelvey (1991)

Tabel 17. Kriteria Klas Kerawanan Terhadap Bencana (Pembatas)

Jenis rawan Bencana

Kelas

Sesuai (S1) Agak sesuai (S2) Tidak sesuai (N) Banjir

(luapan air sungai dan air laut pasang/rob)

Tidak pernah banjir, hampir tidak pernah tergenang dalam 1 tahun ≤ 3x tergenang dalam 1 tahun, genangan 3 – 5 jam Selalu tergenang, ≥ 5x tergenang dalam 1 tahun Erosi/abrasi

(gelombang) Tidak ada erosi/abrasi Tingkat erosi/ abrasi kecil Erosi/abrasi berat – sangat berat

Gempa Tidak ada gempa Potensial terjadi

gempa Gerak massa batuan Sangat stabil Gerak massa batuan

dengan pengaruh kecil terhadap proyek kerekayasaan

Gerak massa batuan dengan resiko tinggi terhadap longsor Tsunami Tidak potensial terjadi

tsunami

- Potensial terjadi

tsunami

(23)

3.2.3. Analisis rekomendasi pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir

Tujuan akhir dari penelitian ini adalah membuat pola pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir DIY yang mendasarkan pada tipologi fisik pesisirnya. Pola pengembangan yang dimaksud adalah menganalisis jenis pemanfaatan sumberdaya yang paling sesuai dengan kondisi fisik yang dicerminkan pada tipologi fisik pesisirnya. Untuk menentukan model pengembangan ini, digunakan analisis matrik yang diilhami dari analisis SWOT. Pemilihan metode ini didasarkan kepada relevansi dari pendekatan yang dilakukan melalui metode tersebut, yang akan menghasilkan Analisis dan Pilihan Strategis (Strategic Analysis and Choices) yang merupakan asumsi-asumsi hasil analisis dan kemudian dapat digunakan untuk menentukan Faktor Penentu Keberhasilan dan Faktor Ancaman Kegagalan.

Analisis SWOT ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).Analisis SWOT mempertimbangkan faktor lingkungan internal strengths dan weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan threats. Analisis ini biasanya diterapkan untuk mengatasi masalah perusahaan/organisasi, tetapi dalam penelitian ini dicoba untuk digunakan dalam menentukan model pengembangan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dengan mempertimbangkan faktor-faktor fisik sebagai faktor lingkungan internal yang sangat menentukan optimalisasi pemanfaatannya. Faktor lingkungan eksternal yang ikut dijadikan pertimbangan lebih banyak dipengaruhi pada dinamika lingkungan seperti kondisi iklim, perilaku oseanografis, dan kerawanan bencana yang mungkin terjadi seperti banjir, longsor, rob, dan tsunami.

Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut:

Tahap pengumpulan data

Dalam tahap pengumpulan data ini dilakukan evaluasi faktor internal dan eksternal dalam bentuk pembuatan matrik profil kompetitif. Bentuk matrik profil kompetitif yang dimaksud disini adalah analisis kesesuaian lahan pada setiap tipologi fisik pesisir untuk kegiatan pariwisata, perikanan, pertanian, pelabuhan, dan permukiman (yang metodenya telah diuraikan pada bab sebelumnya). Faktor

(24)

yang dipergunakan untuk penentuan tipologi fisik pesisir adalah faktor utama pembentuknya yaitu relief, materi penyusun utama dan proses genesa, sedangkan faktor penentuan kesesuaian lahan untuk berbagai peruntukan mendasarkan pada persyaratan kesesuaian lahan yang dikaitkan dengan faktor penentu tipologi fisik pesisir. Hasil dari matriks profil kompetitif ini adalah tipe pemanfaatan lahan yang sesuai (S1), agak sesuai (S2) atau tidak sesuai (N) pada setiap tipologi fisik pesisir. Hasil matrik kompetitif dalam bentuk pemanfaatan lahan yang tidak sesuai (N) untuk selanjutnya tidak diikutsertakan dalam proses analisis SWOT secara lebih lanjut (drop).

Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data kondisi fisik secara lebih detil pada setiap tipologi pesisir sebagai faktor internal seperti kondisi iklim, dan perilaku oseanografis, dan faktor eksternal berupa rawan bencana seperti banjir/rob, erosi dan tsunami, dan juga peratuan atau kebijakan pemerintah daerah seperti tata ruang, dan lain-lain, untuk kemudian dibuat matrik dengan tipe pemanfaatan lahan yang sesuai (S1) dan agak sesuai (S2) yang telah dihasilkan pada matrik profil kompetitif.

Tahap analisis

Tahap analisis yang dilakukan adalah membuat matriks SWOT dengan memanfaatkan faktor-faktor internal dan eksternal yang telah diperoleh sebelumnya, untuk menjelaskan berbagai kemungkinan pemanfaatan lahan yang paling sesuai di setiap tipologi pesisir dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal tersebut. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) suatu kegiatan, dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Untuk lebih jelasnya dapat pada Tabel 18 berikut ini :

Tabel 18. Matriks SWOT

Faktor internal Faktor eksternal kekuatan (strength) kelemahan (weaknesses) Peluang (opportunities) Strategi kekuatan-peluang Strategi peluang-kelemahan

Ancaman (threats) Strategi

kekuatan-ancaman

Strategi

(25)

Tahap pengambilan keputusan

Dalam tahap pengambilan keputusan ini, matriks SWOT yang telah dihasilkan digunakan untuk menentukan alternatif strategi penggunaan unsur-unsur kekuatan kawasan tipologi fisik pesisir tertentu untuk mendapatkan peluang pengembangan pemanfaatan yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada dalam suatu kawasan tipologi pesisir tertentu untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), pengurangan kelemahan kawasan tipologi pesisir yang ada dengan memanfaatkan peluang pengembangan pemanfaatan lahan yang ada (WO), dan pengurangan kelemahan yang ada dalam suatu tipologi pesisir untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Strategi yang dihasilkan terdiri dari beberapa alternatif strategi. Untuk menentukan prioritas strategi yang harus dilakukan, maka dilakukan penjumlahan bobot yang berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu alternatif strategi. Jumlah bobot tadi kemudian akan menentukan rangking prioritas alternatif strategi pengelolaan kawasan tipologi pesisir.

(26)

S W O T

Pola Pemanfaatan pada Tipologi Pesisir

ANALISIS DAN PEMODELAN SPASIAL Pola Pemanfaatan Pesisir

Zonasi Tipologi Pesisir ---- unit analisis --- Bentuklahan - Kebijakan Pemda (tata ruang) - Data : iklim, tanah, air, oseanografi - rawan bencn (tsunami, banjir, erosi) Permukiman Kriteria penilaian - Relief/lereng - Daya dukung tanah - Kerawanan bencana - kedalaman muka airtanah Pelabuhan Pertanian

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN

Penggunaan. Lahan

Aksesibilitas

Proses Genetik Materi Penyusn Utama Relief Pariwisata Perikanan Lanskap : Metode SBE Kualitas Lingkungan Kriteria Penilaian - Relief/lereng - Kondisi tanah - Pasang surut - Kualitas air - Kerawanan bencana (banjir) Kriteria penilaian - Relief/lereng - Daya dukung tanah - Iklim - Kerawanan bencana (banjir dan erosi) Krieria penilaian: - Relief/lereng - Daya dukung tanah - Kerawanan bencana - Kedalaman laut - Gelombang - Pasang-surut Kualitas visual lanskap

Pola Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir DIY

Gambar 14. Diagram Alir Penelitian

Gambar

Tabel 3. Klasifikasi Tipologi Pesisir
Gambar 10. Foto Udara Pankromatik Hitam Putih Daerah Parangtritis, Bantul tahun 2000  (Fakultas Geografi UGM, 2000)
Tabel  4. Matriks Jenis Data dan Sumber Data yang digunakan dalam Penelitian  No  Jenis Data  Sumber Data  FU   Pankro-matik (H/P)  Peta  Rupabumi  Peta  Geologi  Peta  Batimetri  Uji  Lapangan dan Lab
Tabel 6. Hubungan antara Bentuklahan dan Material Penyusun  Satuan Bentuklahan  Material Penyusun
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa Negara Indonesia telah mengesahkan Konvensi tentang Hak Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang harus ditindak lanjuti oleh Pemerintah dalam upaya

Faktor penyebab kecelakaan lalu lintas yang paling banyak adalah tindakan tidak aman pengemudi (99,4%), disusul kondisi tidak aman lingkungan fisik (8,7%), kondisi tidak

Adapun tujuan dari pelaksanaan praktikum uji kualitas susu ialah agar praktikan mengetahui kualitas fisik dan kimia susu yang diproduksi apakah dalam keadaan baik atau tidak

Pada Cara Ganteng-1, kami akan memberikan tips bagaimana menentukan kata itu termasuk kata benda, kata sifat, kata keterangan, atau kata kerja yang dilihat dari

Di Jawa Barat sendiri, Pekan Olahraga Daerah (PORDA) XII- 2014 yang dilaksanakan di Kabupaten Bekasi Merupakan Momentum yang sangat berharga menyongsong PON ke

Reaksi oksidasi ini dapat dipengaruhi antara lain : jumlah Oksigen yang bereaksi , dalam hal ini dipengaruhi oleh jumlah udara yang dikontkkan dengan air serta luas kontak

Itu sebagai bentuk peran pengawasan bank Indonesia selaku pengawas dalam mewujudkan monitoring langsung, baik secara laporan berkala yang disampaikan bank kepada Bank Indonesia

dimaksud pada huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 130 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa