• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Intervensi Perubahan Perilaku dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tantangan Intervensi Perubahan Perilaku dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Page 1 of 6

Tantangan Intervensi Perubahan Perilaku dalam Penanggulangan

HIV/AIDS di Indonesia

Oleh : Agus Aribowo i

HIV/AIDS dan Respon

Upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun terakhir tampaknya masih dihadapkan dengan tantangan yang cukup besar. Pemerintah dan pihak terkait mengenai isu ini tidak tinggal diam, beberapa upaya dalam skala nasional maupun di tingkat yang lebih spesifik wilayah (provinsi ataupun kota/kabupaten) telah dan tengah dilakukan. Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia sebagai salah negara pemanfaat hutang lembaga-lembaga moneter internasional yang berkonsekuensi menjadi penerima dana bantuan Global Fund melalui proyek nasional yang kemudian dominan mewarnai program nasional sejak awal tahun 2005. Jauh sebelum itu pada tahun 1987 sejak epidemi ini pertama kali ditemukan di Indonesia beberapa respon telah dilakukan. Melalui Peraturan Pemerintah No 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, yang kemudian menjadi dasar sero surve surveilans sentinel pada kelompok risti saat itu yaitu perempuan pekerja seks menjadi salah satu produk kebijakan program yang hingga saat ini masih dilakukan. Peran serta kelompok masyarakat dalam hal ini lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun mulai menunjukkan kiprahnya. Beberapa LSM di Indonesia seperti di Jakarta, Bali, Surabaya dan Yogyakarta bisa dikatakan sebagai kekuatan pelopor di era tahun 90an awal dari masyakarat sipil dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS ini. Kemudian diikuti oleh beberapa daerah lain di Indonesia yang mulai menunjukkan adanya pergerakan temuan kasus HIV maupun AIDS. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1994 mengawali pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) menunjukan masalah epidemi ini menjadi sesuatu yang serius ditanggulangi dan memerlukan koordinasi diantara pelaku program nasional.

Sebagai salah satu dampak sosial dari pemberitaan perkembangan kasus HIV di masyarakat, adanya tuntutan beberapa kelompok masyakarat yang berkeinginan menutup lokalisasi ataupun tempat-tempat praktek prostitusi.ii Hal ini karena anggapan mereka tempat-tempat tersebut adalah sumber maksiat dan penularan HIV/AIDS. Hal ini menyadarkan semua pihak bahwa kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia membutuhkan pendekatan multi sektoral bukan hanya berhenti pada sektor kesehatan. Keterlibatan kementerian terkait hingga jajarannya di tingkat wilayah, tokoh masyarakat, tokoh agama, media massa dan sektor swasta (perusahaan) sudah menjadi kebutuhan. Dalam ruang lingkup yang lebih spesifik yaitu wilayah perkotaan ataupun wilayah rural, perpaduan peran antar komponen ini diharapkan lebih konkret. Contohnya adalah bagaimana wajah penanggulangan lokalisasi prostitusi. Beberapa lokalisasi di Indonesia memiliki pengalaman penanggulangan IMS ataupun HIV/AIDS yang beraneka ragam. Pengalaman ini meliputi bagaimana melakukan kerja pengorganisasian mewujudkan lokalisasi yang berpenghuni pekerja seks yang sehat yaitu dengan angka IMS yang rendah dan HIV yang dapat dikontrol dengan baik serta penggunaan kondom konsisten yang tinggi di kalangan pelanggan. Demikian pula dengan kinerja kelompok kerja (pokja) dari komunitas yang terdiri dari pemilik tempat usaha / mucikari, pengurus paguyuban, pihak klinik IMS dan aparat pemerintahan setingkat wilayah kecamatan dan kelurahan.

(2)

Page 2 of 6

Sedangkan terkait penanggulangan HIV pada kelompok pengguna narkotika suntik (penasun) pun mengalami situasi yang dinamis. Penerapan penindakan kasus narkotika yang gamang oleh pemerintah dengan memposisikan pengguna narkotika sebagai kriminal semakin memperburuk proses penanggulangan HIV di kalanganpenasun. Masih kuat di benak kita bahwa trend penularan tertinggi (prevalensi HIV hingga 52 %) sejak awal tahun 2000-an hingga 10 tahun terakhir berada di kelompok penasun dan pasangan seksualnya. Kesiapan respon pemerintah dengan didorong kekuatan masyarakat sipil (LSM) telah menjernihkan masalah tersebut. Sehingga berangsur membaik dengan adanya beberapa produk kebijakan pemerintah mengenai pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik yang dikenal dengan istilah harm reduction. Sebut saja Keputusan Menkes No 567/Menkes/VIII/ tahun 2006 mengenai Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza dan Permenkokesra No 02/PER/Menko/Kesra/tahun 2007 mengenai Kebijakan Nasional Penanggulangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik. Pengejawantahan dari komitmen tersebut adalah adanya peningkatan jumlah dan proses peningkatan kualitas layanan kesehatan oleh beberapa rumah sakit dan puskesmas di beberapa wilayah endemik HIV dengan latar belakang pengguna narkotika suntik.

Kolaborasi LSM, organisasi komunitas dan pemerintah dalam melaksanakan program harm reduction merupakan kata kunci proses keberhasilan. Program sudah mengantarkan pada paradigma penasun untuk menggunakan jarum suntik steril setiap melakukan menggunakan narkotika suntik (heroin dan sejenisnya). Berdasarkan data IBBS 2011, prevalensi HIV di kalangan penasun mulai menurun dalam kurun 4 tahun terakhir dari 52 % menjadi 42%. Sedangkan prevalensi sifilis pada penasun laki-laki adalah 4 % dimana 70 % lebih penasun masih seksual aktif. Terdapat 24% diantaranya mengaku membeli seks dalam 1 tahun terakhir. Konsisten menggunakan kondom di kalangan penasun masih rendah yaitu 41%.Hal itu masih menjadikan “pekerjaan rumah” bersama bagi kita mengenai pola penularan HIVmelalui hubungan seks dari penasun kepada pasangan seksualnya.

Intervensi Perubahan Perilaku dalam Pencegahan HIV/AIDS

Secara umum, program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia menggunakan kolaborasi pendekatan intervensi biomedis dan intervensi perubahan perilaku. Intervensi biomedis yang dilakukan adalah dengan memberikan dukungan layanan kesehatan berupa fasilitas pemeriksaan HIV, pemeriksaan dan pengobatan IMS, layanan substitusi napza suntik (buprenorphine dan methadone), penyediaan kondom, pelicin dan layanan alat serta jarum suntik steril bagi penasun hingga pengobatan dilengkapi dengan fasilitas penunjang lainnya. Sedangkan intervensi perubahan perilaku dilakukan dengan melakukan penyampaian informasi dengan tujuan peningkatan pengetahuan dan kesadaran mengenai hak kesehatan seksual. Intervensi ini juga mendekatkan akses layanan kesehatan dan akses terhadap material pencegahan (alat/jarum suntik steril dan kondom). Sehingga diharapkan masyarakat penerima manfaat memiliki perilaku pencarian pengobatan yang benar dan perilaku aman saat melakuan perilaku berisiko HIV. Kolaborasi intervensi ini diperkuat dengan adanya kegiatan pendekatan advokasi kepada para pemangku kepentingan hingga pada tingkat lokasi. Sehingga dalam perencanaan dan pelaksanaan program diharapkan mendapatkan dukungan positif dari pihak-pihak yang berkepentingan bukan justru menghambat atau pun kontraproduktif. Secara programatik, kolaborasi pendekatan ini yang dikemudian

(3)

Page 3 of 6

hari oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) disebut Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS).

Pengalaman Indonesia melakukan pemodelan PMTS ini sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2008. Pendekatan ini mengadopsi dari sebuah konsep implementasi program komprehensif yang disebut 100 % Condom Use Program (Program 100 % Penggunaan Kondom) yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO). WHO mengumpulkan beberapa pengalaman terbaik program nasional di beberapa negara seperti Thailand dan Kamboja yang telah berhasil menahan laju penularan epidemi IMS dan HIV melalui seksual (sexual transmission). Dalam 5 tahun, persentase seks komersial di Thailand sejak tahun 1989 dalam penerapan program ini, penggunaan kondom meningkat dari 15% menjadi lebih dari 90% dan jumlah prevalensi IMS di kalangan laki-laki menurun drastis. Penyebaran epidemi HIV sebagian besar dapat dikendalikandengan cepat. Pengalaman di Indonesia yaitu di Lokalisasi Batu 24 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau misalnya. Bermula dari proses yang sangat sederhana, LSM dan tokoh-tokoh masyarakat memiliki keprihatinan terhadap kasus IMS juga HIV yang semakin tinggi dan penggunaan kondom di kalangan pelanggan yang sangat rendah. Kemudian melakukan upaya membentuk kesepakatan / aturan lokal tentang pewajiban penggunaan kondom untuk setiap transaksi seksual dan ketentuan wajib pemeriksaan IMS minimal 1 bulan sekali dan test HIV minimal 3 bulan sekali bagi pekerja seks juga pemantauan ketersediaan kondom. Bahkan pemda setempat pun mendukung program ini dalam bentuk mengalokasikan anggaran pengadaan antibiotik terbaru yaitu azithromycin dan cefixime sebagai pengobatan gonorrhea dan chlamydia.

Pembagian peran antar komponen di lokasi tersebut terencana dan berjalan sangat harmoni. Peran intervensi perubahan perilaku dilakukan oleh LSM dengan pelibatan pekerja seks dan mucikari sebagai Peer Educatoratau pendidik sebaya. Peran manajemen layanan IMS/HIV dilakukan oleh klinik IMS puskesmas setempat yang secara rutin melakukan pemeriksaan dan pengobatan. Peran pengawasan pelaksanaan aturan local dilakukan oleh Pokja yang diketuai langsung oleh pimpinan paguyuban yang merupakan tokoh masyarakat yang berpengaruh di lokasi tersebut. Dengan tim kerjanya mereka memantau ketersediaan kondom, mengatur jadwal pemeriksaan IMS/HIV untuk pekerja seks dan mucikari dan mengingatkannya juga melakukan pencatatan serta pelaporan mengenai semua proses tersebut. Pelibatan masyarakat sekitar pun dalam upaya mendukung kegiatan ini pun dilakukan. Hal yang kurang lebih sama terjadi pula di Lokalisasi Suko Kabupaten Malang, yang dapat menekan angka prevensi IMS dari 90 % menjadi 15%.

Pembelajaran dari program ini adalah pihak pemangku kepentingan di pemerintahan tidak tinggal diam terkait keberadaan bisnis prostitusi walaupun illegal, asalkan penularan tidak meluas ke masyarakat umum. Sedangkan bagi pekerja seks, mereka mendapatkan manfaat bahwa program ini melindungi mereka dari penularan HIV dan menjadikan mereka menolak risiko penularan dari pelanggan. Kegiatan pencegahan melalui intervensi perubahan perilaku dilakukan secara intensif dengan memberdayakan komunitas melalui pendidik sebaya. Model intervensi perubahan perilaku dilakukan dengan berbagai tingkat yaitu : 1) individual yaitu oleh petugas penjangkau lapangan (outreach) atau pendidik sebaya kepada kelompok kunci secara individual; 2) kelompok yaitu petugas outreach/ pendidik sebaya kepada kelompok kelompok kunci secara kelompok berbasis jumlah pekerja seks di wisma atau beberapa

(4)

Page 4 of 6

wisma; dan 3) komunitas yaitu petugas outreach melakukan kegiatan advokasi kepada kelompok yang lebih besar dan beberapa tokoh kunci yang berpengaruh dalam komunitas tersebut.

PMTS dan Peran Intervensi Perubahan Perilaku

PMTS yang telah diadopsi oleh KPAN menetapkan 4 komponen utama di dalamnyayaitu : 1) komponen Peningkatan peran positif pemangku kepentingan; 2) komponen komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan populasi kunci; 3) komponen manajemen pasokan kondom dan pelicin; dan 4) komponen manajemen IMS. Jika mengacu pada pedoman PMTS KPAN (Pedoman Pencegahan HIV Melalui Transmisi seksual, KPAN 2010), maka intervensi perubahan perilaku lebih diartikan sebagai peran dalam komponen komunikasi perubahan perilaku (KPP). Perantersebut antara lain : memfasilitasi

p

emberian informasi kesehatan seksual (HIV dan IMS) dalam kegiatan penjangkauan kepada tiap individu di lokasi, melakukan diskusi Interaktif Kelompok (DIK) untuk perubahan perilaku kelompok, konseling penurunan risiko untuk perubahan perilaku seksual, rujukan ke tempat layanan kesehatan untuk pengobatan IMS dan tes HIV. Kegiatan lain adalah pengembangan pendidik sebaya, mengoptimalkan partisipasi populasi kunci, memfasilitasi pertemuan rutin monitoring dan koordinasi di setiap lokasi untuk mendiskusikan proses pelaksanaan, hambatan, capaian program terhadap indikator KPP, dan partisipasi populasi kunci serta melakukan pemberdayaan populasi kunci melalui peningkatan kesadaran melalui penguatan kapasitas.

Dalam pedoman tersebut dijelaskan pula bahwa program PMTS dapat diketahui bahwa melalui komponen KPP tersebut ingin menghasilkan beberapa hal yaitu : 1) populasi kunci selalu menawarkan kondom kepada pelanggan; 2) populasi kunci menggunakan kondom secara konsisten; 3) Populasi kunci selalu mencari pengobatan IMS yang benar secara berkala dan 3) Populasi kunci mengakses layanan untuk konseling dan tes HIV sukarela (KTS/VCT).

Jika Intervensi perubahan perilaku memang ditempatkan dalam komponen KPP, maka seharusnya sumber daya yang menjadi input program dalam komponen KPP antara lain : merekrut petugas penjangkau dan pendidik sebaya, pengadaan pelatihan bagi petugas penjangkau dan pendidik sebaya, penyediaan kondom dan pelicin sebagai promosi kesehatan, media KIE, pedoman juklak/juknis/panduan mengenai penjangkauan yang jelas, informasi akses layanan pemeriksaan IMS dan tes HIV di wilayah terdekat, dan sarana prasana pendukung lainnya.

Sedangkan kegiatan yang dilakukan antara lain, penjangkauan secara intens baik secara individual, kelompok ataupun komunitas. Minimal kontak harus disesuaikan dengan keluaran yang diharapkan, misalkan 1 orang kelompok kunci dalam 1 bulan minimal mendapat 3 kali pertemuan dengan petugas dimana akan ada proses identifikasi (awal), penyampaian informasi IMS/HIV dan akses layanan kesehatan, kontak mendalam, akses rujukan kesehatan. Berulang kembali di bulan selanjutnya untuk kegiatan yang sama atau pemilihan akses layanan sesuai kondisi sebelumnya (misal : bulan lalu sudah tes IMS dan KTS, maka bulan depan melakukan kontrol IMS). JIka sasaran kontaknya adalah pengurus lokalisasi, maka melakukan beberapa pertemuan antara lain perkenalan / identifikasi (awal), merencanakan jadwal pemeriksaan klinik untuk populasi kunci, pertemuan selanjutnya untuk pendekatan yang lebih dalam. Petugas lapangan dari LSM hendaknya melibatkan secara aktif pendidik sebaya agar keberlangsungan dapat diteruskan oleh komunitas.

(5)

Page 5 of 6

Namun berdasarkan pengalaman hampir 2 tahun terakhir ini, kenyataan di lapangan tidak berlangsung seperti itu. Para jumlah petugas lapangan yang disediakan terlalu minim sehingga tingkat kontak antara petugas lapangan dengan populasi kunci Wanita Pekerja Seks Langsung/ Tidak Langsung (WPSL/TL) sangat rendah yaitu :

Belum lagi dengan kondisi media KIE yang didistribusikan, yang sangat kurang bahkan sering tidak dijumpai di lokasi WPS bekerja. Demikian pula dengan akses kondom program (gratis) yang masih sangat rendah. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, karena pengadaan kondom dalam upaya PMTS sudah dilakukan oleh nasional dan telah didistribusikan ke daerah.

Sehingga berdasarkan data di atas sangat jauh dari kemungkinan upaya intervensi perubahan perilaku diharapkan berhasil mewujudkan tujuan PMTS yaitu menurunkan prevalensi IMS dan HIV dan peningkatan penggunaan kondom di kalangan pekerja seks dan pelanggannya.

Berdasarkan pengalaman di Thailand, setelah 15 tahun sejak dimulainya program setelah sempat berhasil menaikkan penggunaan kondom dari 15% hingga 90%, para pengelola program lupa diri dan

Sumber : IBBS, Kemkes 2011

(6)

Page 6 of 6

tidak pernah menjadikan lagi topik kondom bagian dari diskusi publik. Sehingga hasilnya hari ini, sebagian besar kasus HIV baru pada wanita yang sudah menikah.iii

Refleksi dan Arah Perbaikan

Berdasarkan pengalaman tersebut, KPAN serta pelaku program nasional hendaknya perlu memastikan penguatan dalam pelaksanaan konsep yang telah disusun berdasarkan keberhasilan program sebelumnya. Hal ini menjadi penting dikarenakan intervensi perubahan perilaku tidak akan mampu berjalan sendiri jika dukungan intervensi yang lain belum maksimal dilakukan. Ketersediaan petugas penjangkau yang dilengkapi kapasitas dan dukungan media pencegahan serta ketersediaan dan akses kondom yang maksimal di lokasi ada penentu keberhasilan. Demikian pula dengan dukungan fasilitas kesehatan dan sistem monitoring yang terus menerus dilakukan.

Mengenai fokus area, mengingat sebaran geografis Indonesia yang sangat luas maka hendaknya menggunakan data program mengenai estimasi maupun data penunjang lainnya untuk menentukan wilayah prioritas berbasis data epidemi. PMTS akan berfokus pada wilayah dimana situasi epidemi yaitu populasi transmisi seksual (WPS dan pelanggannya) dan prevalensi HIV dan IMS tinggi. Sehingga fokus pencapaian PMTS dapat dirasakan manfaatnya untuk program penanggulangan IMS, HIV/AIDS di Indonesia. YES WE CAN!

i

Penulis Adalah Sekjend Ikatan Praktisi Intervensi Perubahan Perilaku Indonesia/ IPIPPI 2010-2014

ii

Gelombang upaya penutupan lokalisasi di Indonesia semakin marak pasca era reformasi tahun 1998 hingga tahun 2000an. Beberapa lokalisasi besar maupun kecil di beberapa wilayah sempat menutup usaha mereka namun hanya dalam hitungan kurang dalam 1 tahun hampir semuanya pun kemudian muncul kembali secara diam-diam, ataupun eksis seperti sediakala. Akibat penutupan sebelumnya, prostitusi jalanan dan terselubung (panti pijat, tempat hiburan malam, karaoke, bar, dll) di beberapa kota semakin marak.

Bahan bacaan :

1. Laporan Survei Terpadu HIV dan Perilaku, Kementerian Kesehatan 2012

2. Pedoman Pencegahan HIV Melalui Transmisi seksual, KPAN 2010

3. Thailand's 100% Condom Program - A Paradigm for Prevention By Elizabeth Boskey, Ph.D., About.com

Referensi

Dokumen terkait

4) Pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana. 5) Penetapan prosedur operasional sesuai dengan asas penye- lenggaraan informasi publik.. Laporan Pengelolaan dan

Karena mayoritas masyarakat di Wilayah Tlogomas alumni dari berbagai lembaga kursus ketrampilan dan wilayah Tlogomas yang merupakan wilayah yang dekat dengan sentra

Hasil Regresi Linear Berganda Pengaruh Umur, Tingkat Pendidikan, Jumlah Tanggungan, dan Masa Keanggotaan terhadap Dinamika Organisasi Koperasi Kredit Bermodal Besar.. Model Summary

Arah kebijakan untuk melaksanakan strategi pada misi 1 adalah: Meningkatkan kualitas dan keterampilan tenaga, Menambah lapangan usaha bagi angkatan kerja,

Saya menyatakan di mana saya menyediakan informasi mengenai orang lain, bahwa saya akan, dalam 30 hari kalender sejak menandatangani formulirini, akan memberitahukan orang yang

Setiap pelaku e-Business yang ingin melalukan transaksi elektronik dan mendapatkan manfaat semaksimal mungkin dari e-Business harus melakukan optimalisasi proses bisnis internal

Sehubungan dengan Surat Penawaran Saudara pada Paket Pekerjaan Pengadaan Bahan Bangunan di Kecamatan Krayan Selatan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa

- Menimbang, bahwa selanjutnya dalam mempertimbangkan suatu perbuatan pidana, sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri Para Terdakwa, maka dalam hukum pidana terdapat dua hal