• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN LAMA RAWAT INAP DAN BIAYA PERAWATAN ANTARA TERAPI TEKNIK KONVENSIONAL DAN LAPARASKOPI PADA PASIEN APENDISITIS DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN LAMA RAWAT INAP DAN BIAYA PERAWATAN ANTARA TERAPI TEKNIK KONVENSIONAL DAN LAPARASKOPI PADA PASIEN APENDISITIS DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

PERBEDAAN LAMA RAWAT INAP DAN BIAYA PERAWATAN ANTARA

TERAPI TEKNIK KONVENSIONAL DAN LAPARASKOPI PADA PASIEN

APENDISITIS DI RSUD DR MOEWARDI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ACHMAD MUSA

G 0008189

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

2011

(2)

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Perbedaan Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan

antara Terapi Teknik Konvensional dan Laparaskopi pada Pasien Apendisitis di

RSUD Dr. Moewardi

Achmad Musa., NIM : G0008189, Tahun : 2011

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari Senin, Tanggal 9 Januari 2012

Pembimbing Utama

Nama

: Agus Raharjo, dr., Sp.B., KBD

NIP

: 19680927 200604 1 001

(...)

Pembimbing Pendamping

Nama

: Muthmainah, dr., M.Kes

NIP

: 19660702 199802 2 001

(...)

Penguji Utama

Nama

: H. Djoko Dlidir, dr., Sp.B., K.Onk

NIP

: 140050515

(...)

Anggota Penguji

Nama

: H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes

NIP

: 19560320 198312 1 002

(...)

Surakarta,...2011

Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes

Prof. Dr. Zainal A.A, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

NIP. 19660702 199802 2 001

NIP. 19510711 198003 1 001

(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan

sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah

dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 9 Januari 2012

Achmad Musa

NIM. G0008189

(4)

commit to user

iv

ABSTRAK

Achmad Musa, G0008189, 2011. Perbedaan Lama Rawat Inap dan Biaya

Perawatan antara Terapi Teknik Konvensional dan Laparaskopi pada Pasien

Apendisitis di RSUD Dr. Moewardi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Tujuan Penelitian: Apendiktomi adalah operasi pengangkatan apendik vermivormis

yang meradang atau yang sering disebut apendisitis. Terapi apendisitis dilakukan

dengan membuang apendiks yang telah mengalami inflamasi. Apendiktomi dapat

dilakukan dengan dua teknik, yaitu teknik konvensional dan laparaskopi. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efisiensi terapi teknik konvensional dan

laparaskopi terhadap pasien apendisitis.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik

dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan bulan November-Desember

2011 di Bagian Rekam Medik dan Poliklinik RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan

sampel dilaksanakan secara incidental sampling. Instrumen penelitian berupa rekam

medis dan wawancara kepada pasien apendisitis. Data yang diperoleh berjumlah 87

data dan dianalisis menggunakan (1) Uji normalitas data Kolmogorov-Smirnov (2)

Uji Mann-Whitney melalui program SPSS 17.0 for Windows.

Hasil Penelitian: Penelitian menunjukkan (1) rerata rawat inap untuk pasien

apendisitis yang mendapat terapi bedah konvensional adalah 4,4. Sedangkan untuk

pasien apendisitis yang terapi bedah laparaskopi adalah 2,45. (2) rerata besar biaya

yang dikeluarkan untuk pasien apendisitis yang mendapat terapi bedah konvensional

adalah 2,48 juta rupiah. Sedangkan rerata besar biaya yang dikeluarkan untuk pasien

apendisitis yang mendapat terapi bedah laparaskopi adalah 2,77 juta rupiah. (3) hasil

uji Mann-Whitney menunjukkan p = 0,00 untuk rawat inap dan p = 0,00 untuk besar

biaya.

Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan efisiensi dari terapi teknik konvensional

dengan laparaskopi pada pasien apendisitis yang signifikan. Pasien apendisitis yang

menggunakan terapi laparaskopi dirawat di rumah sakit lebih sebentar tetapi total

biaya perawatan lebih mahal, sedangkan pasien apendisitis yang dirawat dengan terapi

konvensional dirawat di rumah sakit lebih lama tetapi total biaya perawatan lebih

murah.

(5)

commit to user

v

ABSTRACT

Achmad Musa, G0008189, 2011. The Hospital Stay Length and Medical Cost

Difference between Conventional and Laparoscopy Technique in Appendicitis

Patients in Moewardi Hospital. Medical Faculty of Sebelas Maret University

Surakarta

Objective: Appendictomy is a type of removal surgery that removes the inflamed

appendix vermivormis or appendicitis. The therapy is done by removing the inflamed

appendix. Appendictomy can be done with two techniques, conventional and

laparoscopic. The aim of this study is to determine the comparation between

conventional and laparoscopic therapy for appendicitis patients.

Methods: This study was an analytical observational research using cross sectional

approach and had been done on November 2011 in Surgery Disease Center and

Medical Records Center of RSUD Dr. Moewardi. This sample was taken by using

incidental sampling. The instruments for the research are medical records and

interview. Eighty seven samples were obtained and analyzed using data normality test

with Kolmogorov-Smirnov and Mann-Whitney test through SPSS 17.00 for Windows.

Results: This research shows the average length of hospital stay and all the medical

cost. The average lenght of hospital stay for appendicitis patients that used

conventional therapy is 4,4. While for patients with laparoscopic therapy is 2,45. The

average cost for appendicitis patients treated with conventional therapy is 2,48 million

rupiah, and for the laparoscopic therapy is 2,77 million rupiah. The result of

Mann-Whitney test shows p = 0,00 for both hospital stay and medical cost.

Conclusion: From this study it can be concluded that there is significant difference

between conventional therapy and laparoscopic therapy on appendicitis patient.

Patients using conventional therapy had longer hospital stay but lower cost. While

patients using laparoscopic therapy had shorter hospital stay but higher cost.

(6)

commit to user

vi

PRAKATA

Alhamdulillaah, puji syukur ke hadirat Allah S.W.T yang telah memberikan berkat,

hidayah,, dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penyusunan laporan penelitian dengan judul “Perbedaan Efisiensi Terapi Teknik

Konvensional dan Laparaskopi pada Pasien Apendisitis di RSUD Dr. Moewardi”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam

penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan

dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku ketua tim skripsi beserta tim skripsi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Agus Raharjo, dr., Sp.B, KBD, selaku Pembimbing Utama yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat.

4. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat.

5. H. Djoko Dlidir, dr., Sp.B, K.Onk, selaku Penguji Utama yang telah

memberikan bimbingan dan nasihat.

6. H. Endang Sutisna Sulaiman, dr., M.Kes, selaku Anggota Penguji yang telah

memberikan bimbingan dan nasehat.

7. Seluruh Staff dan Perawat Poliklinik Bedah RSUD Dr. Moewardi yang telah

memberi banyak bantuan dalam penelitian ini.

8. Bapak, Ibu, adik-adik serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan

moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak

sangat diharapkan.

Surakarta, 9 Januari 2012

(7)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ...

x

BAB I. PENDAHULUAN ...

1

A. Latar Belakang Masalah ...

1

B. Perumusan Masalah ...

2

C. Tujuan Penelitian ...

2

D. Manfaat Penelitian ...

3

BAB II. LANDASAN TEORI ...

4

A. Tinjauan Pustaka ...

4

1. Apendiks...

4

2. Apendisitis... 6

3. Apendisitis Akut Perforasi ...

9

4. Apendisitis Kronis ...

9

5. Tata Laksana ... 11

B. Kerangka Pemikiran ... 14

C. Hipotesis ... 15

BAB III. METODE PENELITIAN ... 16

A. Jenis Penelitian... ... 16

B. Lokasi Penelitian... 16

(8)

commit to user

viii

D. Identifikasi Variabel Penelitian... 19

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 19

F. Cara Kerja ... 20

G. Teknik Analisis Data ... 21

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 22

BAB V. PEMBAHASAN ... 29

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 32

A. Simpulan ... 32

B. Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA... 33

LAMPIRAN

(9)

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakterisitik Pasien Berdasar Umur dan Jenis Kelamin……...………22

Tabel 2. Perbandingan Lama Rawat Inap dan Besar Biaya antara Tteknik

Konvensional dan Laparaskopi……….…23

Tabel 3. Daftar Biaya Operasi dan Rawat Inap antara Teknik Konvensional dan

Laparaskopi...23

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang

Mendapat Terapi Konvensional...24

Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang

Mendapat Terapi Laparaskopi...24

Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada

Pasien yang Mendapat Terapi Konvensional...25

Tabel 7. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada

Pasien yang Mendapat Terapi Laparaskopi...25

Tabel 8. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi

Konvensional.………...25

Tabel 9. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi

Laparaskopi.………... .26

Tabel 10. Uji Normalitas Lama Rawat Inap dan Besar Biaya. ………… ……..27

Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Rawat Inap ……… 27

Tabel 12. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Besar Biaya ……….. 27

Tabel 13. Uji Mann-Whitney Data Lama Rawat Inap dan Besar Biaya ……… 28

(10)

commit to user

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Penelitian

Lampiran 2. Perhitungan Statistik

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian

(11)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Apendiks vermiformis merupakan suatu struktur berbentuk seperti

jari yang menempel pada sekum pada kuadran kanan bawah abdomen.

Walaupun apendiks vermiformis diketahui tidak mempunyai fungsi apapun,

ia dapat meradang dan menimbulkan penyakit, yang disebut apendisitis

(Sisk, 2004).

Apendisitis jarang terjadi di negara berkembang, karena diet

dengan tinggi serat. Survei menunjukkan kira – kira 7% dari penduduk AS

dan negara- negara barat lainnya mengidap apendisitis dan merupakan sebab

terbanyak sakit akut abdomen yang memerlukan tindakan bedah. Hal ini

disebabkan karena adanya perbedaan kebiasaan makan penduduk (Sabiston,

2001). Penyakit ini lebih sering terjadi di negara – negara maju dan

masyarakat perkotaan dengan pola makan yang tidak memenuhi standar

gizi. Di Eropa dan AS, angka insidensi menurun 40% antara tahun

1940-1960 tetapi selanjutnya, tidak ada perubahan (Sabiston, 2001).

Apendektomi adalah operasi pengangkatan apendik vermivormis

yang meradang (apendisitis). Untuk Dokter Spesialis Bedah Umum,

Apendektomi adalah yang paling banyak dilakukan sehari-hari (Marijata,

1998), sehingga apendektomi merupakan operasi yang paling sering

dilakukan di rumah sakit di seluruh Indonesia ataupun di luar negeri.

(12)

commit to user

2

Sesuai dengan perkembangan teknologi di bidang teknik operatif,

telah di mulai era Minimal Invasive Surgery (MIS) dengan prosedur

laparoskopi sebagai salah satu teknik operasi apendektomi di Indonesia dan

telah dimulai tahun 1994 di Jawa.

Terapi Apendisitis dilakukan dengan cara membuang apendik yang

telah mengalami inflamasi (William dan Wilson, 1996). Apendektomi dapat

dilakukan dengan dua teknik yaitu, teknik konvensional dan teknik

laparoskopi (Martin, 2001). Teknik konvensional adalah prosedur

pembedahan dengan melakukan insisi sepanjang 5-7,5 cm pada bagian

abdomen sedangkan teknik laparaskopi adalah teknik pembedahan dimana

pengoperasian pembedahan pada abdomen dilakukan melalui insisi kecil

sepanjang 0,5-1,5 cm.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan lama rawat inap dan biaya perawatan antara

teknik konvensional dan laparaskopi pada pasien apendisitis di RSUD Dr.

Moewardi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan lama rawat

inap dan biaya perawatan terapi teknik konvensional dan laparaskopi

terhadap pasien apendisitis.

(13)

commit to user

3

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis: diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang

terapi konvensional dan laparaskopi pada pasien apendisitis.

2. Manfaat Aplikatif: diharapkam dapat mengetahui perbedaan lama

rawat inap dan biaya perawatan terapi teknik konvensional dengan

laparaskopi sehingga dapat mempersingkat lama rawat inap dan

menekan biaya yang dikeluarkan oleh pasien.

(14)

commit to user

4

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Apendiks

a. Anatomi Apendiks Vermiformis

Apendiks vermiformis atau yang sering disebut apendiks saja, pada manusia

merupakan struktur tubular yang rudimenter dan tanpa fungsi yang jelas. Apendiks

berkembang dari posteromedial dengan panjang bervariasi dengan rata-rata antara 6-10 cm

dan diameter antara 0,5-0,8 cm. Posisi apendiks dalam rongga abdomen juga bervariasi,

tersering berada posterior dari sekum atau kolon asendens. Hampir seluruh permukaan

apendiks dikelilingi oleh peritoneum, dan mesoapendiks (mesenter dari apendiks) yang

merupakan lipatan peritoneum berjalan kontinyu disepanjang apendiks dan berakhir di

ujung apendiks. (Segal dan Petras, 1992)

Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di ujung

dari apendiks di mana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular, derivat cabang

inferior dari arteri iliocoli yang merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain

arteri apendikular yang memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi

dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan

ke vena mesenterik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal. Drainase limfatik

berjalan ke nodus limfe regional seperti nodus limfatik ileocoli. Persarafan apendiks

merupakan cabang dari nervus vagus dan pleksus mesenterik superior (simpatis) (Segal

dan Petras, 1992).

(15)

commit to user

5

Secara umum, permukaan eksternal apendiks tampak halus dan berwarna merah

kecoklatan hingga kelabu. Permukaan dalam atau mukosa secara umum sama seperti

mukosa kolon, berwarna kuning muda dengan permukaan nodular, dan komponen limfoid

yang prominen. Komponen folikel limfoid ini mengakibatkan lumen dari apendiks

seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada potongan melintang dengan diameter 1-3 cm

(Rosai, 1996).

b. Perkembangan Embriologi Apendiks Vermiformis

Apendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu

bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari

sekum yng berlebih akan menjadi apendiks, yang berpindah dari medial menuju katup

ileosekal (Sjamsuhidayat, 2004 ).

Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke

arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya kasus insiden apendisitis

pada usia tersebut. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu

memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang

mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal,

yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.

Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks (Sjamsuhidayat, 2004 ).

c. Fisiologi Apendik Vermiformis

Apendik menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan

ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara

apendik tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Sjamsuhidayat, 2004).

(16)

commit to user

6

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Asociated Lymphoid Tissue

(GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendik, ialah IgA.

Imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian

pengangkatan apendik tidak mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jumlah jaringan

limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh

tubuh (Sjamsuhidayat, 2004).

2. Apendisitis

a. Definisi dan Epidemiologi

Apendisitis merupakan radang pada apendiks vermiformis yang merupakan

proyeksi dari apeks sekum. Apendisitis akut merupakan emergensi bedah abdomen yang

sering terjadi. Kelompok usia yang umumnya mengalami apendisitis yaitu pada usia

antara 20 - 30 tahun, namun penyakit ini juga dapat terjadi pada segala usia

(Sjamsuhidayat, 2004).

Meningkatnya insidensi apendisitis di Negara berkembang beberapa tahun

terakhir, dapat terlihat di Negara Indonesia. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan

Republik Indonesia pada tahun 2009, apendisitis merupakan penyakit urutan keempat

terbanyak di Indonesia. Jumlah pasien apendisitis yang menjalani rawat inap pada tahun

2008 yaitu 591.819 pasien dan pada tahun 2009 mencapai 596.132 pasien. Insidensi

tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun, dan wanita yang berusia 15-19 tahun.

Laki-laki lebih banyak menderita apendisitis daripada wanita pada usia pubertas dan pada

usia 25 tahun. Apendisitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun

(Sisk, 2004).

(17)

commit to user

7

b. Etiologi dan Patogenesis

Kebanyakan kasus dari apendisitis akut merupakan akibat dari obstruksi. Menurut

Sjamsuhidayat (2004), berbagai hal yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada

apendiks antara lain: 1) batu (fecalith), 2) makanan, 3) mukus, 4) apendiks yang

terangulasi, 5) parasit, 6) tumor pada apendiks atau sekum, 7) endometriosis, 8) benda

asing, 9) hiperplasia limfoid (khususnya terjadi sekunder akibat infeksi virus).

Mukus ataupun feses mengeras, menjadi seperti batu (fecalith) dan menutup

lubang penghubung apendiks dan sekum tersebut. Jaringan limfa pada apendiks dapat

membengkak dan menutup apendiks (Lee, 2009). Hiperplasia limfoid primer maupun

sekunder karena infeksi saluran pernapasan atas, mononucleosis, gastroenteritis, penyakit

Crohn, ataupun infeksi parasit seperti cacing Oxyuris vermicularis, Schistosoma dan

Strongyloides. Terjadinya obstruksi ini juga dapat terjadi karena benda asing seperti

permen karet, kayu, dental amalgam, batu, sisa makanan, barium dan metastasis tumor.

Dapat juga terjadi karena endometriosis (Fenoglio et al., 2008). Penyebab tersering dari

obstruksi adalah fecalith (Rosai, 1996).

Obstrusi tersebut kemudian menyebabkan resistensi mukosa apendiks terhadap

invasi mikroorganisme. Obstruksi ini diyakini meningkatkan tekanan di dalam lumen

(Rosai, 1996). Ketika tekanan mural apendiks meningkat, tekanan luminal mulai

meningkatkan tekanan perfusi kapiler. Drainase vena dan limfa terganggu dan terjadi

iskemia. Sebagai hasilnya, terjadi pemecahan pertahanan mukosa epitel. Sekarang bakteri

luminal dapat menginvasi dinding apendiks menyebabkan inflamasi transmural.

(18)

commit to user

8

Inflamasi ini dapat meluas ke serosa, peritoneum parietal, dan organ lain yang berdekatan

(Graffeo dan Counselman, 1996).

Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan adanya kontinuitas aliran sekresi

cairan dan mukus dari mukosa dan stagnasi dari material tersebut. Konsekuensinya,

terjadi iskemia dinding apendiks, yang menyebabkan hilangnya keutuhan epitel dan

invasi bakteri ke dinding apendiks. Bakteri intestinal yang ada di dalam apendiks

bermultiplikasi, hal ini menyebabkan rekruitmen dari leukosit, pembentukan pus dan

tekanan intraluminal yang tinggi. Dalam 24-36 jam, kondisi ini dapat semakin parah

karena trombosis dari arteri maupun vena apendiks yang menyebabkan perforasi dan

gangren apendiks (Rosai, 1996).

3. Apendisitis Akut Perforasi

Komplikasi dari apendisitis akut yang paling sering adalah perforasi. Perforasi

dari apendiks dapat menyebabkan timbulnya abses periapendisitis, yaitu terkumpulnya

pus yang terinfeksi bakteri atau peritonitis difus (infeksi dari dinding rongga abdomen

dan pelvis) (Lee, 2009). Apendiks menjadi terinflamasi, bisa terinfeksi dengan bakteri

dan bisa dipenuhi dengan pus hingga pecah, jika apendiks tidak diangkat tepat waktu.

Pada apendisitis perforasi, terjadi diskonuitas pada lapisan muskularis apendiks yang

terinflamasi, sehingga pus di dalam apendiks keluar ke rongga perut. Apendiks yang

perforasi ini belum tentu akan menyebabkan ruptur apendiks (Santacroce, 2006).

Alasan utama dari perforasi apendiks adalah tertundanya diagnosis dan

tatalaksana. Pada umumnya, makin lama penundaan dari diagnosis dan tindakan bedah,

kemungkinan terjadinya perforasi semakin besar. Untuk itu, jika apendisitis telah

didiagnosis, tindakan pembedahan harus dilakukan (Santacroce. 2006).

(19)

commit to user

9

4. Apendisitis Kronis

Keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial, tetapi para ahli bedah

menemukan banyak kasus di mana pasien dengan nyeri abdomen kronik, sembuh setelah

apendiktomi. Para ahli bedah sepakat bahwa ketika apendiks tidak terisi atau hanya terisi

sebagian oleh barium enema dengan keluhan nyeri abdomen kanan bawah yang bersifat

krnoik intermitten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat mungkin (Santacroce, 2006).

Apendisitis kronis lebih jarang terjadi daripada apendisitis akut dan lebih sulit

untuk didiagnosis, insidensinya hanya 1% di Amerika Serikat. Untuk mendiagnosis

apendisitis kronis paling tidak harus ditemukan 3 hal yaitu (1) pasien memiliki riwayat

nyeri kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif

diagnosis lain; (2) setelah dilakukan apendektomi, gejala yang dialami pasien tersebut

hilang; (3) secara histopatologik, gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi

kronis yang aktif pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks (Santacroce, 2006).

Menurut Crabbe et al (1986), studi yang dilakukan pada 205 pasien yang telah menjalani

apendektomi, 21 pasien, yaitu (10%) memenuhi kriteria apendisitis rekuren, sementara 3

pasien (1,5%) memenuhi kriteria apendisitis kronis atau rekuren berdasarkan riwayat

perjalanan penyakit dan temuan histopatologi dari infiltrasi limfosit dan eosinofil pada

dinding apendiks dan terdapat fibrosis.

Banyak apendiks yang diperiksa dengan otopsi atau diangkat secara elektif

berukuran kecil, tanpa lumen, dan secara histologis, mukosa dan jaringan limfoidnya

atrofik dan submukosa sering digantikan dengan jaringan fibrosis dan lemak. Dan sulit

untuk memutuskan apakah perubahan ini adalah merupakan hasil dari atropi fisiologis

atau berasal dari inflamasi akut sebelumnya. Penelitian yang membandingkan apendiks

(20)

commit to user

10

dari pasien dengan gejala yang menunjukkan apendisitis dengan apendiks yang diangkat

tanpa gejala, telah menunjukkan perbedaan yang sangat sedikit pada gambara patologi

(Morson dan Dawson, 1990).

Untuk mendiagnosis apendisitis kronis, harus ada bukti inflamasi kronis yang

aktif dengan infiltrasi pada lapisan muskularis dan serosa oleh limfosit dan sel plasma.

Telah ada laporan yang mengatakan adanya besi pada apendiks merupakan indikator

untuk inflamasi dalam 6 bulan (Morson dan Dawson, 1990).

Gejala yang dialami pasien apendisitis kronis tidak jelas, dan progresifnya bersifat

lambat. Terkadang, pasien mengeluh nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermiten

atau persisten selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Pada apendisitis kronis,

sumbatan hanya bersifat parsial, dengan lebih sedikit invasi bakteri. Sekalipun gejala dan

progresi tidak sehebat apendisitis akut, apendisitis kronis tetaplah berbahaya jika

dibiarkan tanpa ditangani (Birnbaum dan Wilson, 2006).

Mekanisme pastinya tidak jelas, walaupun obstruksi luminal juga dapat terjadi.

Penyakit seperti colitis ulseratif, sarcoidosis, poliarteritis nodosa, penyakit Crohn,

tuberkulosis, dan lain-lain dapat berhubungan dengan apendisitis kronis (Graffeo dan

Counselman, 1996).

5. Tata Laksana

a. Konvensional

Pembedahan teknik konvensional merupakan prosedur pembedahan yang

digunakan untuk tindakan apendisitis. Prosedur ini dilakukan dengan membuang

apendiks yang terinfeksi dengan satu insisi besar pada abdomen kuadran kanan bawah

(Lee, 2009).

(21)

commit to user

11

Insisi sepanjang 5-7,5 cm dibuat pada kulit dan lapisan dinding perut di atas area

apendiks yaitu pada kuadran kanan bawah abdomen. Setelah insisi dibuat ahli bedah akan

melihat daerah sekitar apendiks, apakah ada masalah lain selain apendisitis, jika tidak

ada, apendiks akan diangkat. Pengangkatan apendiks dilakukan dengan melepaskan

apendiks dari perlekatannya dengan mesenterium abdomen dan kolon, menggunting

apendiks dari kolon, dan menjahit lubang pada kolon tempat apendiks sebelumnya. Jika

ada abses, pus didrainase. Insisi tersebut lalu dijahit dan ditutup (Lee, 2009).

b. Laparoskopi

Menurut Sabiston (2001), pembedahan teknik laparoskopi, yang juga disebut

Minimal Invasive Surgery (MIS), adalah teknik pembedahan dimana pengoperasian

pembedahan pada abdomen dilakukan melalui insisi kecil sepanjang 0,5-1,5 cm. Dengan

pembedahan ini kita bisa melihat langsung apendiks, organ abdomen dan pelvis yang

lain. Jika apendisitis ditemukan, apendiks dapat langsung diangkat melalui insisi kecil

tersebut. Pada diagnosa apendiks yang meragukan, pembuangan apendik disarankan

dengan metode laparoskopi. Berikut merupakan gambar dari teknik laparaskopi.

(22)

commit to user

12

Berikut meruapakan tabel perbandingan antara terapi teknik laparaskopi dan

konvensional:

Tabel 1. Perbandingan Teknik Konvensional dan Laparaskopi.

Perbandingan

Laparaskopi

Konvensional

Insisi

Nyeri

Rawat inap

Risiko infeksi

0.5-1.5 cm

Lebih sedikit

Lebih sebentar

Lebih rendah

5-7,5 cm

Lebih nyeri

Lebih lama

Lebih tinggi

Sumber: Raveenthiran (2010).

(23)

commit to user

13

6. Cost Effectiveness Analysis (CEA)

CEA merupakan suatu metoda yang didesain untuk membandingkan antara outcome kesehatan dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan program tersebut atau intervensi dengan alternatif lain yang menghasilkan outcome yang sama (Vogenberg, 2001).Outcome kesehatan diekspresikan dalam terminologi yang obyektif dan terukur seperti jumlah kasus yang diobati, penurunan tekanan darah yang dinyatakan dalam mmHg, dan lain-lain dan bukan dalam terminologi moneter (Vogenberg, 2001). Dalam evaluasi ekonomi pengertian efektivitas berbeda dengan penghematan biaya, dimana penghematan biaya mengacu pada persaingan alternatif program yang memberikan biaya yang lebih murah, sedangkan efektivitas biaya tidak semata-mata mempertimbangkan aspek biaya yang lebih rendah (Grosse, 2000). Dalam mempertimbangkan pilihan suatu produk ataupun jenis pelayanan kesehatan yang akan dipilih tetap harus mempertimbangkan efektivitas biaya.

CEA membantu memberikan alternatif yang optimal yang tidak selalu berarti biayanya lebih murah. CEA membantu mengidentifikasi dan mempromosikan terapi pengobatan yang paling efisien (Grosse, 2000). CEA sangat berguna bila membandingkan alternatif program atau alternatif intervensi dimana aspek yang berbeda tidak hanya program atau intervensinya tetapi juga outcome klinisnya ataupun terapinya. Dengan melakukan perhitungan terhadap ukuran2 efisiensi ( cost effectiveness ratio ), alternatif dengan perbedaan biaya, rate efikasi yang berbeda dan rate keamanan maka perbandingan akan dilakukan secara berimbang (Grosse, 2000).

Outcome kesehatan yang digunakan sebagai denominator pada cost effectiveness ratio dapat dinyatakan dalam satuan unit seperti jumlah tahun yang berhasil diselamatkan atau indeks dari kegunaan atau kebutuhan seperti quality adjusted life years (QALYs). Banyak orang menggunakan QALYs sebagai denominator outcome CUA, tetapi saat ini

(24)

commit to user

14

banyak ahli telah merekomendasikan pada CEA sedapat mungkin menggunakan QALYs (Nord, 2001).

B. Kerangka Pikir

Penderita Suspek

Apendisitis

Diagnosis

Apendisitis

Teknik Konvensional:

1. Insisi 5-7,5 cm 2. Lebih nyeri dibandingkan laparaskopi

3. Rawat inap lebih lama 4. Resiko infeksi lebih

tinggi

Efisiensi terapi

Teknik Laparoskopi:

1. Insisi 0,5-1,5 cm

2. Lebih tidak nyeri

dibandingkan dengan

konvensional

3. Rawat inap lebih

sebentar

4. Resiko infeksi lebih

rendah

Efisiensi terapi

Lama rawat inap

dan biaya

perawatan

1. Kelebihan

2. Kekurangan

Eksklusi:

1. Peritonitis

2. DM

3. Perforasi

4. Hipertensi

(25)

commit to user

15

C. Hipotesis

Terdapat perbedaan lama rawat inap dan biaya perawatan dari terapi teknik

konvensional dan laparaskopi pada pasien apendisitis.

(26)

commit to user

16

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan

cross sectional. Penelitian cross sectional merupakan penelitian yang

dilakukan tanpa mengikuti perjalanan penyakit, tetapi dilakukan

pengamatan sesaat atau dalam suatu periode tertentu (Budiarto, 2004).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di RSUD Dr. Moewardi.

C. Sampel dan Teknik Sampling

1. Teknik Sampling

Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan cara incidental

sampling, yaitu berasal dari individu-individu yang secara kebetulan

dijumpai (Taufiqurrahman, 2008). Sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pasien apendisitis yang memenuhi kriteria

pembatas (eksklusi).

2.

Besar Sampel

Besar

sampel

yang

dibutuhkan

dalam

penelitian

ini

menggunakan rumus besar sampel minimal untuk data nominal.

n = Zα² . p. q

(27)

commit to user

17

n = 1,96

2

.0,06.0,94

(0,050)

2

n = 86,67 = 87

Keterangan:

n = besarnya sampel yang diperlukan

p = perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan

populasi (6%)

q = 1 – p

Zα = nilai statistik Zα pada kurve normal standar pada tingkat

kemaknaan (1,65 untuk 90%, 1,96 untuk 95%, dan 2,58 untuk

99%)

d = presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi

populasi (dalam penelitian ini peneliti menggunakan tingkat

kepercayaan 0,05)

Dengan perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal

87 dengan kriteria restriksi penelitian sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi:

1. Semua pasien penderita apendisitis yang di rawat di bangsal

kelas I.

2. Pasien apendisitis pada usia 20 – 39 tahun.

(28)

commit to user

18

b. Kriteria Ekslusi:

1. Penderita dengan komplikasi apendisitis, yaitu:

a. Peritonitis

b. Perforasi

2. Penderita dengan kelainan penyerta, yaitu :

a. Diabetes Mellitus.

b.

Hipertensi

D. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik

dengan pendekatan cross sectional dimana variabel bebas dan variabel

terikat diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Budiarto, 2004).

(29)

commit to user

19

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas: Teknik konvensional dan laparaskopi

2. Variabel terikat: Lama rawat inap dan biaya perawatan

F. Definisi Operasional Variabel

1. Teknik Konvensional dan Laparaskopi

Yang dimaksud dengan teknik konvensional adalah prosedur

pembedahan yang dilakukan dengan cara melakukan insisi sepanjang 5-7,5

cm yang dibuat pada kulit daerah abdomen, sedangkan yang dimaksud

dengan teknik laparaskopi adalah teknik pembedahan terbaru dimana

pengoperasian pembedahan pada abdomen dilakukan melalui insisi kecil

Apendisitis

sesuai kriteria inklusi

Analisis cost

effectiveness

Lama rawat inap dan

besar biaya

Lama rawat inap dan

besar biaya

Interpretasi hasil

dan

kesimpulan

Teknik

apendiktomi

laparoskopi

Teknik

apendiktomi

konvensional

(30)

commit to user

20

sepanjang 0,5-1,5 cm yang kemudian pada insisi tersebut untuk dilalui alat

untuk prosedur pembedahan.

Skala ukuran variabel: nominal

2. Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan

Lama rawat inap diukur sejak pasien mendapatkan terapi yang berupa

prosedur pembedahan sampai dengan pulang dan bukan merupakan atas

permintaan sendiri. Sedangkan biaya diukur dari besarnya biaya yang

dibutuhkan pasien untuk operasi dan kamar inap sejak masuk rumah sakit

sampai dengan pulang dan bukan merupakan atas permintaan sendiri dan

dihitung dalam rupiah.

Skala ukuran variable: ratio

G. Cara Kerja

Penderita apendisitis datang ke UGD atau POLI dan diperiksa oleh

Dokter ahli. Setelah diagnosis pasti ditegakkan, akan dipilih teknik

apendektomi yang akan digunakan dalam operasi. Teknik yang akan

menjadi pilihan adalah teknik konvensional dan laparoskopi apendektomi.

Data pasien serta teknik apendektomi yang digunakan dalam operasi akan

didata pada Rekam Medis.

Di data Rekam Medis peneliti mendapatkan data tentang:

a. Jenis teknik apendektomi yang digunakan.

(31)

commit to user

21

c. Tanggal masuk pasien di RS, waktu operasi dan tanggal pulang

pasien.

Kemudian setelah pencatatan dari rekam medis, peneliti akan

mencatat lama rawat inap dan besarnya biaya operasi yang dikeluarkan oleh

pasien sejak masuk rumah sakit sampai dengan pulang.

H. Teknik Analisis Statistik

Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan uji T

(α = 0,05). Data diolah dengan menggunakan Statistical Product and

Service Solution (SPSS) 17.00 for windows.

(32)

commit to user

22

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Data Peneliian

Penelitian dilaksanakan di Poliklinik Bedah dan Bagian Rekam Medik RSUD Dr.

Moewardi terhadap 87 pasien apendisitis mulai bulan Januari sampai dengan bulan

November 2011. Rincian dari 87 pasien tersebut adalah didapatkan 65 pasien menggunakan

terapi konvensional dan 22 pasien menggunakan terapi laparaskopi.

Karakteristik pasien berdasarkan umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada tabel 1 di

bawah ini.

Tabel 1. Karakterisitik Pasien Berdasar Umur dan Jenis Kelamin (data terlampir di

halaman lampiran).

Terapi

Umur

Jenis kelamin

Jumlah

20-24

25-29

30-34

35-39

Pria

Wanita

Konvensional 23%

22%

28%

28%

29

36

65

Laparaskopi

27%

14%

32%

27%

10

12

22

Pada tabel di atas diketahui bahwa umur yang didapat adalah antara umur 20-39, hal ini

sesuai dengan kriteria inklusi yaitu pasien apendisitis yang berada pada umur decade II dan

III. Kemudian dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah pasien dengan rentang umur

30-34 tahun dan 35-39 tahun merupakan pasien apendisitis yang mendapat terapi konvensional

terbanyak. Sedangkan pada pasien apendisitis yang mendapat terapi laparaskopi terbanyak

adalah pasien dengan rentang umur 30-34 tahun.

(33)

commit to user

23

Tabel 2. Perbandingan Lama Rawat Inap dan Besar Biaya antara Tteknik Konvensional

dan Laparaskopi (data terlampir di halaman lampiran).

Kelompok

Jumlah

Rerata ± Standar Deviasi

Lama rawat inap

(hari)

Besar biaya

(juta rupiah)

Laparaskopi

Konvensional

22

65

2,45 ± 0,8

4,4 ± 1,02

2,77 ± 88,05

2,48 ± 112,67

Total

87

Pada tabel di atas terlihat bahwa pasien yang mendapat terapi laparaskopi mengalami

rerata lama rawat inap yang lebih singkat (2,45 hari) daripada pasien yang mendapat terapi

konvensional. Sedangkan rerata besar biaya pada pasien yang mendapat terapi laparaskopi

lebih besar (4,4 hari) daripada pasien dengan terapi konvensional.

Tabel 3. Daftar Biaya Operasi dan Rawat Inap antara Teknik Konvensional dan

Laparaskopi.

Teknik Operasi

Besar Biaya (Kelas I)

Operasi Rawat Inap (per hari )

Konvensional

Rp 2.000.000,0-

Rp 110.000,0-

Laparaskopi

Rp 2.500.000,0-

Rp 110.000,0-

Sumber: Administrasi RSUD Dr. Moewardi (2011)

Pada tabel di atas terlihat bahwa harga biaya operasi dari teknik laparaskopi lebih mahal

daripada teknik konvensional.

B. Analisis Statistika

1.

Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap

Hasil uji normalitas terhadap data umur dengan lama rawat inap disajikan pada tabel 4

dan 5 berikut.

(34)

commit to user

24

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat

Terapi Konvensional.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-W ilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

rawatinapkonvensional .272 65 .000 .876 65 .000

umurkonvensional .138 65 .003 .936 65 .002

Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat

Terapi Laparaskopi.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-W ilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

rawatinaplaparaskopi .387 22 .000 .681 22 .000

umurlaparaskopi .127 22 .200* .940 22 .196

Pada kedua tabel di atas didapatkan interpretasi hasil uji Kolmogorov-Smirnov untuk

umur dan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi konvensional dan hasil uji

Shapiro-Wilik untuk umur dan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi

laparaskopi. Dari kedua data di atas di dapatkan nilai p = 0,000 dan p = 0,003 pada uji

Kolmogorov-Smirnov yang berarti distribusi data tidak normal kemudian pada hasil uji

Shapiro-Wilik didapatkan p = 0,000 dan p = 0,196. Hasil uji Shapiro-wilik ini didapatkan

salah satu hasil distribusi data normal, tetapi karena ada distribusi data yang tidak normal

maka distribusi data tersebut dianggap tidak normal. Karena distribusi data tidak normal

maka dilakukan transformasi data. Hasil transformasi data dapat dilihat pada tabel 6 dan 7 di

bawah ini.

(35)

commit to user

25

Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada

Pasien yang Mendapat Terapi Konvensional.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

rawatinaptrans .237 65 .000 .888 65 .000

umurtrans .148 65 .001 .929 65 .001

Tabel 7. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada

Pasien yang Mendapat Terapi Laparaskopi.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

umurrawatinaplaparas .394 22 .000 .686 22 .000

umurlaparas .123 22 .200* .933 22 .143

Dari hasil uji transformasi di atas didapatkan distribusi data tidak normal oleh karena

itu, data diuji dengan uji Spearman. Hasil uji Spearman dapat dilihat pada tabel 8 di bawah

ini.

Tabel 8. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi

Konvensional.

Correlations

umurkonvens rawatinapkonven

Spearman's rho umurkonvens Correlation Coefficient 1.000 -.186

Sig. (2-tailed) . .137

N 65 65

rawatinapkonven Correlation Coefficient -.186 1.000

Sig. (2-tailed) .137 .

N 65 65

Interpretasi hasil Uji Spearman didapatkan p= 0,137 yang dapat diartikan bahwa

hubungan umur dengan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi konvensional ini

tidak bermakna. Hasil bermakna adalah jika p< 0,05.

(36)

commit to user

26

Tabel 9. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi

Laparaskopi.

Correlations

umurlaparas rawatinaplaparas

Spearman's rho umurlaparas Correlation Coefficient 1.000 .106

Sig. (2-tailed) . .638

N 22 22

rawatinaplaparas Correlation Coefficient .106 1.000

Sig. (2-tailed) .638 .

N 22 22

Interpretasi hasil Uji Spearman didapatkan p = 0,638 yang dapat diartikan bahwa

hubungan umur dengan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi laparaskopi ini

tidak bermakna. Hasil bermakna adalah jika P < 0,05.

2. Perbandingan Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan antara Terapi Konvensional

dan Laparaskopi

Data lama rawat inap dan besar biaya yang diperoleh dalam penelitian kemudian

dianalisis dengan uji t independent menggunakan SPSS versi 17.0. Syarat uji T independent

yaitu data harus berdistribusi normal, dan varians data bisa sama ataupu berbeda. Jika data

berdistribusi tidak normal dilakukan terlebih dahulu trasnformasi data, jika hasil

transformasi berdistribusi normal maka dipakai uji t independent. Namun jika hasil

trasnformasi tidak berdistribusi normal maka dipilih uji Mann-Whitney. Uji normalitas pada

penelitian ini dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov.

(37)

commit to user

27

Hasil uji normalitas terhadap data lama rawat inap dan biaya terangkum dalam tabel 10

berikut ini.

Tabel 10. Uji Normalitas Lama Rawat Inap dan Besar Biaya

Kelompok

Nilai p

Lama rawat

inap

Besar biaya

konvensional

0,00

0,00

laparaskopi

0,00

0,00

Interpretasi hasil uji Kolmogorov-Smirnov adalah jika p > 0.05 berarti distribusi data

normal. Tabel di atas menunjukkan bahwa data lama rawat inap dan besar biaya mempunyai

nilai p = 0,00 yang menunjukkan distribusi data tersebut tidak normal.

Karena pada uji normalitas data tidak berdistribusi normal maka dilakukan transformasi

data. Hasil trasnformasi data terangkum dalam tabel 11 dan 12 berikut.

Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Rawat Inap

TeknikApendiktomi

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

transform Laparoskopi .350 22 .000 .793 22 .000

Konvensional .266 65 .000 .881 65 .000

Tabel 12. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Besar Biaya

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-W ilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

(38)

commit to user

28

Dari dua hasil uji statistik di atas didapatkan hasil trasnformasi data tidak normal

sehingga syarat uji parametrik tidak terpenuhi. Oleh karena itu, data diuji dengan uji statistik

nonparametrik (Uji Mann-Whitney).

Hasil uji Mann-Whitney terhdap lama rawat inap dan besarnya biaya terangkum dalam

tabel 13 berikut ini.

Tabel 13. Uji Mann-Whitney Data Lama Rawat Inap dan Besar Biaya

Lama Rawat Inap

Besar Biaya

Mann-Whitney

p

Mann-Whitney

p

Teknik

Konvensional

dan Laparaskopi

109,5

0,00

36,0

0,00

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari hasil uji Mann-Whitney, didapatkan nilai p =

0,00 (p < 0,05) berarti terdapat perbedaan lama rawat inap dan besarnya biaya yang

bermakna antara kelompok pasien yang dioperasi dengan teknik konvensional dan

laparaskopi.

(39)

commit to user

29

BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Poliklinik Bedah RSUD Dr. Moewardi,

didapatkan data-data seperti yang telah disajikan dalam tabel-tabel pada Bab IV.

Pada tabel 1 dan 2 diketahui pasien yang mendapat terapi laparaskopi sebanyak 22

pasien dengan rata-rata lama rawat inap dari pasien yang mendapat terapi laparaskopi

adalah 2,45 hari, sedangkan rata-rata besar biaya yang dikeluarkan adalah 2,77 juta rupiah.

Kemudian pada pasien yang mendapat terapi konvensional didapat 65 pasien dengan

rata-rata lama rawat inap 4,4 hari, sedangkan rata-rata-rata-rata besar biaya yang dikeluarkan adalah 2,48

juta rupiah.

Pada tabel 3 menunjukkan perbedaan biaya operasi dan rawat inap kelas I di RSUD

Dr. Moewardi, dimana biaya operasi teknik konvensional lebih murah daripada biaya

operasi teknik laparaskopi. Hal ini dapat disebabkan karena dalam pengoperasiannya hanya

dilakukan insisi sebesar 0,5-1,5 cm (Sabiston, 2001).

Pada tabel 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 menunjukkan hasil uji Spearman, didapatkan hasil

bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan lamanya rawat inap pada

pasien. Hal ini mungkin dikarenakan pasien yang didapat adalah pasien dengan rentang

umur antara 20-39 tahun, dimana pasien dengan umur tersebut memiliki tingkat

penyembuhan yang hampir sama.

Hasil uji Mann-Whitney pada data lama rawat inap dan besar biaya perawatan

menunjukkan perbandingan yang signifikan antara pasien yang dirawat dengan teknik

bedah konvensional dan pasien bedah yang dirawat dengan teknik bedah laparaskopi,

(40)

commit to user

30

dimana pasien yang mendapat terapi bedah konvensional harus lebih lama berada di rumah

sakit tetapi diharuskan membayar biaya terapi dan rawat inap yang lebih kecil, sedangkan

pada pasien yang mendapat terapi bedah laparaskopi lebih sebentar berada di rumah sakit

tetapi biaya terapi bedah dan rawat inap yang lebih besar.

Hal ini disebabkan karena pada pasien apendisitis yang mendapat terapi bedah

konvensional mendapat luka operasi yang lebih besar sehingga penyembuhan pada pasien

ini lebih lama dan rawat inap di rumah sakit menjadi lebih lama, sedangkan pasien

apendisitis yang mendapat terapi bedah laparaskopi mendapat luka operasi yang lebih kecil

sehingga penyembuhannya pun lebih cepat dan rawat inap di rumah sakit menjadi lebih

singkat juga.

Menurut studi di Amerika yang dilakukan oleh Robert (1995), bahwa prosedur

operasi bedah laparaskopi lebih banyak keuntunganya daripada prosedur operasi bedah

konvensional yaitu morbiditas lebih rendah, perawatan di rumah sakit lebih cepat, dan

proses penyembuhan lebih cepat. Meskipun demikian data yang diperoleh oleh peneliti di

RSUD Dr. Moewardi menunjukkan bahwa lebih banyak pasien yang memilih untuk

dioperasi melakukan prosedur bedah konvensional dikarenakan biaya yang lebih murah

dibandingkan dengan prosedur bedah laparaskopi. Penelitian yang dilakukan oleh Robert

di Amerika sesusai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Dr.

Moewardi, dimana hasil yang didapat adalah perawatan di rumah sakit yang lebih cepat

dikarenakan tingkat penyembuhan yang lebih cepat, dan besar biaya yang didapat lebih

mahal untuk dilakukan prosedur operasi bedah laparaskopi.\

Menurut studi di Inggris yang dilakukan oleh Andre Chow dan Omar Omer Aziz

(2010), teknik operasi laparaskopi sudah menjadi gold standard pada pasien apendisitis

(41)

commit to user

31

akut. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, dimana pasien dapat memilih

teknik apendiktomi. Mungkin hal ini dikarenakan status ekonomi yang berbeda antara

Inggris dengan Indonesia.

Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya.

Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain kesulitan dalam mencari sampel pasien yang mendapat

terapi bedah laparaskopi yang sesuai kriteria inklusi dikarenakan lebih banyak pasien yang

memilih dilakukan prosedur bedah konvensional.

(42)

commit to user

32

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan lama rawat inap dan besar biaya perawatan dari terapi teknik konvensional dengan

laparaskopi pada pasien apendisitis yang signifikan. Pasien apendisitis yang menggunakan

terapi laparaskopi dirawat di rumah sakit lebih sebentar tetapi total biaya perawatan lebih

mahal, sedangkan pasien apendisitis yang dirawat dengan terapi konvensional dirawat di

rumah sakit lebih lama tetapi total biaya perawatan lebih murah.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran-saran penulis adalah sebagai

berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama dalam hal risiko infeksi dan efek

psikologis pasien setelah dilakukan operasi.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengukur parameter lain sehingga dapat

memberi gambaran sebenarnya terhadap teknik apendiktomi.

Gambar

Tabel 1. Karakterisitik Pasien Berdasar Umur dan Jenis Kelamin……...………22  Tabel 2. Perbandingan Lama Rawat Inap dan Besar Biaya antara Tteknik
Tabel 1. Perbandingan Teknik Konvensional dan Laparaskopi.
Tabel  1.  Karakterisitik  Pasien  Berdasar  Umur  dan  Jenis  Kelamin  (data  terlampir  di  halaman lampiran)
Tabel  3.  Daftar  Biaya  Operasi  dan  Rawat  Inap  antara  Teknik  Konvensional  dan  Laparaskopi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung jawab melunasi utang pajaknya dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau meningkatkan, melaksanakan penagihan

Nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam novel Ruma h di seribu Ombak yaitu persahabatan yang tulus walaupun berbeda agama, serta kehidupan masyarakat

Di dalam metode seven steps, terdapat dua alat yang dapat digunakan untuk membantu Penulis dalam memecahkan masalah dan mencari solusi perbaikan yang paling

Proses transformasi nilai-nilai kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat.

Untuk mengimplementasikan esensi pembelajaran kimia dalam kurikulum 2013 ini, maka dalam pelaksanaanya pada materi Struktur Atom akan digunakan model pembelajaran make a

Sruti/ interval memegang peranan yang sangat penting dalam pelarasan salah satu gambelan Semar Pagulingan Saih Pitu (SPSP).. Gambelan Semar Pagulingan Saih Pitu menggunakan

Judul laporan akhir ini adalah Penerapan Sistem E-Correspondence pada Unit SPRM (Strategic Planning &amp; Risk Management) PT Pertamina EP Asset 2 Prabumulih. Tujuan dari studi

Ada hubungan antara dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif dimana ibu yang mendapat dukungan dari suami mempunyai kecenderungan untuk memberikan ASI secara eksklusif sebesar