• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan Masyarakat Menghapus Status Kelurahan Foa Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perjuangan Masyarakat Menghapus Status Kelurahan Foa Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 1, No. 1 (2020): 17-32; doi.10.14421/ijsd.2020.011.02 https://jurnal.apsindo.org/index.php/ijsd/index

Perjuangan Masyarakat Menghapus Status Kelurahan Foa

Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur

Domitius Pau1, Aloysius B. Kelen2

Abstrak

Artikel ini mengeksplorasi perjuangan masayarakat dalam menghapus status Kelurahan Foa, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur agar tetap menjadi desa. Data dikumpulkan dengan Focus Group Discussion, wawancara, studi dokumentasi, dan kajian pustaka dengan dianalisa secara kualitatif. Studi ini menemukan alasan masyarakat dalam memperjuangkan penghapusan status kelurahan karena faktor sumber daya manusia, pemerataan sumber daya, partisipasi masyarakat, kinerja pelayanan, pengalokasian dana, dan ketidakpuasan masyarakat atas tindakan hegemoni pemerintah. Melalui paradigma pembangunan berkelanjutan, tulisan memberikan kontribusi pada proses perubahan birokrasi yang memprioritas kebutuhan lokal melalui status desa. Ini dapat diartikan sebagai transformasi sosial melalui pembangunan pada aras lokal desa. Ternyata, masyarakat lebih memilih status desa sebagai kawasan administratif daripada status kelurahan yang dianggap unfair dan cenderung hegemonik.

Kata Kunci: Birokrasi; Hegemoni; Otonomi Desa; Pembangunan Berkelanjutan Abstract

This paper explores the struggling of people to wipe of urban communities in Foa, Aimere sub-district, Ngada regency, Nusa Tenggar Timur that it is keeping to be a village. The data was collected by focus group discussion, interview, documentation, and literature with analysis a qualitatively. The study finds a reasonable of society who the struggle of removing urban communities are a factor of human resources, gap resources, social participation, public service, funding allocation, and unable of society who are implementing of the government hegemony. Trough sustainability development paradigm, the article gives contributing to change of process bureaucracy that it is priority local people to need with village’s administration. It can be articulated as a social transformation trough developing local villages. Unfortunately, the people more choice than village statute as an administrative region which is an urban community that it responds unfair and hegemonic approach.

Keywords: Bureaucracy; Hegemony; Village of Autonomy; Sustainability livelihood

1 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa Santa Ursula (email korespondensi: domitius.pau@

gmail.com)

(2)

Pendahuluan

Gagasan pembangunan era otonomi daerah menjadi angin segar bagi pemerintah desa. Hal ini senada dengan semangat perjuangan para aktivis dalam memperjuangan kemandirian dan pembangunan ekonomi pedesaan (Ermaya 2016). Implementasi Undang-Undang (UU) no. 6 tentang Desa tahun 2014 adalah bukti kehadiran negara yang memprioritaskan pembangunan dari aras pinggiran (Sidik, Nasution, and Herawati 2019). Namun beragam studi menunjukan pembangunan desa tidak berbanding lurus dengan semangat reformasi birokrasi yang memberikan pelayanan publik lebih responsif dan efisien (Rusli 2013).

Studi empiris tentang transformasi pembangunan desa juga tidak sejalan dengan cita-cita awal reformasi birokrasi. Kisah pembangunan pascaotoritatian di Desa Suntenjaya adalah sebagian kecil yang disajikan pada tinjauan kasus (Rifandini 2018) di antara banyak kasus lain. Konflik elite pedesaan (Cahyono 2015), negara yang kurang mendukung proses demokratisasi lokal (Satriani 2015) hingga proses penyelesaian konflik pada elite lokal yang masih setengah hati juga tersaji (Trisno et al. 2019) adalah sekelumit sajian kasus yang tidak beriringan dengan transformasi pembangunan desa.

Namun begitu, sajian data empiris tersebut bukan sebatas retoris makna dari setiap kasus yang muncul. Ada sebagian data empirik perlu dimunculkan kebaruan kajian sehingga menjadi lebih dialektis dan dinamis. Pupusnya harapan tentang pembangunan

pascaotoritatian hingga konflik yang tidak berkesudahan ada sajian lain yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Kisah ini tersaji pada kasus perjuangan warga Desa Foa, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat berjuang untuk mempertahankan status desa agar tidak berubah menjadi bentuk administrasi kelurahan.

Perjuangan masyarakat bukan tanpa alasan. Pandangan kegagalan birokrasi dalam pelayanan publik, kesenjangan sosial, kemiskinan, dan kemandirian merupakan alasan masyarakat menolak perubahan status desa menjadi kelurahan. Studi empiris yang tersaji lebih menunjukkan pada kegagalan desa mewujudkan pembangunan transformatif, namun kondisi yang berbeda dengan keadaan di Desa Foa. Masyarakat tetap mempertahankan status desa sebagai kawasan administrasi dalam proses birokrasi maupun pembangunan berkelanjutan. Ini merupakan dua katup yang bertolak belakang dengan sajian studi empiris yang telah disebutkan sebelumnya.

Kasus masyarakat Foa bisa saja terinspirasi dari kasus perjuangan lain dalam mempertahankan eksistensi desa sebagai sumber penghidupan berkelanjutan (Harsasto 2020; Meitasari 2017; Zakaria 2017) . Namun hipotesa ini perlu dibuktikan secara empiris yang sesuai dengan fakta di lapangan. Jawaban atas hipotesa yang diajukan membutuhkan kajian pendukung. Kajian yang mengarah kepada proses transformasi sosial dan pelayanan birokrasi desa yang memperioritaskan kepentingan masyarakat setempat (Eko, Krisdyatmiko, and Rozaki 2006, 123–25).

(3)

masyarakat Foa dalam mempertahankan status desa merupakan masalah baru. Peneliti merasa terpanggil untuk melakukan penelitian ini secara lebih partisipatif. Sebagai langkah membangun jawaban hipotesa, peneliti mengajukan beberapa pernyataan penting. Hal ini sebagai acuan untuk menentukan arah dan topik penelitian yang lebih spesifik. Masalah yang diangkat; mengapa masyarakat Foa melakukan perjuangan untuk mempertahankan status desa? Apa motivasi masyarakat mempertahankan status desa?

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Pengumpulan data menggunakan wawancara (data primer), Focus Discussion

Group (FGD) dan dokumentasi sebagai

data sekunder (Moleong 2010). FGD sendiri merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema secara komprehensif menurut pemahaman sebuah kelompok, berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu (Bungin 2011, 131).

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrispikan alasan masyarakat memperjuangkan penghapusan status kelurahan Foa agar kembali menjadi desa. Penentuan informan (Sugiono 2014, 302) didasarkan pada asumsi bahwa telah memadai jika telah sampai kepada taraf redundancy yakni tahapan ketika datanya telah jenuh, di mana tidak ada lagi informan baru yang dapat memberikan informasi terkait dengan obyek penelitian (Sayer 2017). Pemilihan

informan dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling purposive dan berdasarkan situasi sosial (social situation). Di samping itu, penentuan informan juga berdasarkan pertimbangan kebutuhan penelitian di lapangan sehingga aktor kunci lebih diutamakan agar dapat membantu peneliti untuk memperoleh informasi secara efisien dan efektif (Yin 2014), khususnya informasi berkaitan dengan alasan diperjuangkannya penghapusan status kelurahan menjadi desa oleh masyarakat Kelurahan Foa di Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Kerangka Teori

Salah satu agenda reformasi di bidang politik dan penyelenggaraan pemerintahan ialah terselenggaranya brokrasi dan pelayanan publik yang bersih dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Kesadaran ini terinspirasi dari penyelenggaraan pemerintahan di masa Orde Baru yang mereproduksi banyak masalah. Kemiskinan dan kesenjangan sosial adalah masalah krusial yang menimbulkan disparitas sosial sehingga melanganggengkan ketidakadilan distribusi, konflik horizontal, dan sebagainya (Supriatna 1997).

Berkaitan dengan ini Mas’oed (Maso’ed 2003, 138) berpendapat bahwa kelembagaan dan berbagai struktur dalam tatanan pemerintahan Orde Baru, baik di level desa maupun supra desa cenderung membatasi anggota masyarakat untuk menguasai dan mengakses sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi secara adil dan merata. Wilayah Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun masyarakat justru tidak

(4)

memperoleh kesempatan untuk menikmati kekayaan alam tersebut karena struktur pemerintahan cenderung tidak memberikan efektif adil dan kesejahteraan. Disamping itu, kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan penyusunan kebijakan sangat terbatas. Program-program yang dikemas dalam paket-paket pembangunanpun kurang berpihak pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini berdampak kepada kekurangan untuk memperoleh dukungan masyarakat yang berakhir pada kegagalan program pembangunan (AtKisson 1997).

Seiring dengan munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998, konsep transparansi dan responsif dalam penyelenggaraan birokrasi publik mulai dipromosikan kembali. Kebijakan atau struktur birokrasi publik yang kurang berpihak pada kebutuhan masyarakat, mulai dari tingkat pusat hingga di tingkat yang paling bawah, seperti kelurahan mulai digugat kembali, terlebih bila tidak mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat (Dwiyanto 2003). Di sisi lain, masyarakat kembali menyadari pentingnya keterbukaan dan keikutsertaan yang seluas-luasnya dalam keseluruhan proses pemerintahan (Supriatna 1997). Oleh karena itu, struktur pemerintahan dan keseluruhan fungsinya disesuaikan kembali dengan aspirasi, konteks, dan sekurang-kurangnya memiliki responsifitas terhadap kebutuhan masyarakat.

Juliantara menegaskan bahwa struktur pemerintahan setingkat desa mesti sepenuhnya diarahkan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang ideal. Desa merupakan masa depan pembangunan yang harus memiliki tiga kategori utama, yaitu keadilan, demokrasi, dan kemajuan. Keadilan

menunjuk pada suatu kondisi yang tidak terjadi dominasi, eksploitasi manusia atas manusia, dan pemerataan dalam kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Demokrasi menunjuk pada suatu kondisi dalam proses pengambilan kebijakan yang tidak dilakukan dengan paksa, militeristik, kekerasan, dan segala bentuk tekanan yang mengabaikan dialog. Di sini, rakyat berperan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan kemajuan hendak menunjuk pada suatu kondisi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi di desa harus berkembang dan menjadi salah satu kekuatan untuk mengubah wajah desa menjadi pusat peradaban baru (Juliantara 2003, 69–71).

Secara teoritis dan literatur tidak dapat disangkal bahwa penyelenggaraan pemerintahan umumnya cenderung kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat menjadi semakin sulit dan tidak pasti. Struktur pemerintahan yang dibentuk cenderung kurang sesuai dengan konteks dan aspirasi masyarakat pedesaan yang umumnya erat terikat secara genealogis (Serpa and Ferreira 2019). Di samping itu, kepemimpinan dan kebijakan pemerintah kelurahan cenderung bersifat top-down dan kurang aspiratif karena diturunkan dan dikendalikan oleh pemerintah kabupaten, sehingga nilai-nilai kebudayaan, tradisi, dan kearifan lokal yang sejak lama dihidupkan oleh masyarakat, seiring waktu semakin tergusur (Jogulu 2010). Kondisi demikian tentu berbeda dengan pemerintahan yang berstatus desa. Kehadiran desa diidealkan sebagai entitas pemerintahan tingkat bawah yang berpegang teguh pada prinsip pemerataan, demokrasi, dan keadilan (Ang 2017)all other organizational forms that

(5)

do not conform to the Weberian ideal are dismissed as corrupt or failed. Drawing on neo-institutional economics, I introduce an alternative ideal type of bureaucracy found in contemporary China. This model, which I call bureau-franchising, combines the hierarchical structure of bureaucracy with the high-powered incentives of franchising. In this system, public agencies can rightfully claim a share of income earned to finance and reward themselves, like entrepreneurial franchisees. Yet distinct from lawless corruption, this self-financing (or prebendal. Oleh sebab itu, masyarakat Kelurahan Foa pun berusaha menggugat kembali struktur birokrasi yang kurang relevan dimaksud.

Konsep pembangunan yang bersifat

top-down mendapat perlawanan dari masyarakat.

Untuk itu, masyarakat mencari alternatif melalui perjuangan yang bersifat botton-up. Hal ini sebagai bagian dari bentuk otonomi desa secara teoritis. Otonomi desa secara langsung berkaitkelindan dengan proses pembangunan berkelanjutan. Konsep ini kerap disebut juga dengan sustainability livelihood (Lestari et al. 2019). Pada konteks perjuangan masyarakat Foa dalam mempertahankan status desa senada dengan konsep teoritis tentang otonomi desa dan pembangunan berkelanjutan di desa. Kemandirian, kesejahteraan, partisipasi, dan demokrasi lokal merupakan konsep-konsep penting yang perlu dikembangkan oleh para pelaku perubahan sosial desa.

Hasil

Sosio-Demografi Desa Foa

Kelurahan Foa merupakan salah satu kelurahan di wilayah kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Kelurahan ini memiliki luas 41.800 hektar persegi, yang terbentang dari pesisir pantai Laut Sawu di sebelah Barat hingga dataran tinggi di bagian timur yang berbatasan langsung dengan desa Langagedha kecamatan Bajawa. Wilayah kelurahan Foa sejak awal dan dialihkan status dari desa dibagi dalam 4 lingkungan dan masing-masing lingkungan dipimpin oleh seorang ketua lingkungan. Keempat lingkungan dimaksud yakni Lingkungan I Bhidhu yang kini sudah menjadi Desa Binawali, Lingkungan II Kila yang sudah menjadi Desa Kila, dan Lingkungan III Waewaru serta Lingkungan IV Waebua yang kini masih menjadi bagian integral dari Kelurahan Foa. Jarak antara lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lain kurang lebih 1000 meter. Sedangkan jarak dari ibu kota kecamatan 2,5 kilometer dan ke ibu kota kabupaten berjarak 37 kilometer.

Penduduk kelurahan Foa berjumlah 2.123 orang dan 802 orang di antaranya 37,81 persen berpendidikan menengah, diploma dan sarjana. Sedangkan sisanya 62,19 persen berpendidikan atau tamatan sekolah dasar. Kondisi pendidikan demikian sangat berpengaruh langsung terhadap pilihan mata pencaharian mayoritas penduduk di Kelurahan Foa yang lebih bergantung pada sektor pertanian lahan kering.

Dari konteks sosial, masyarakat kelurahan Foa merupakan masyarakat homogen dengan satu bahasa, memiliki kebudayaan dan tradisi yang sama, memiliki sistem kekerabatan dan perkawinan matrilineal (mengikuti garis keturunan ibu). Masyarakat di wilayah ini memiliki kohesi sosial yang cukup kuat karena masih memiliki hubungan darah (genealogis). Sebelum masuknya agama Katolik, masyarakat Kelurahan Foa sejatinya telah memiliki sistem

(6)

religi dan kepercayaan asli, yakni percaya adanya Yang Maha Tinggi atau dalam bahasa setempat disebut dewa zeta nitu zale, yang artinya: Dewa penguasa langit dan penguasa alam baka.

Berkaitan dengan proses pengalihan Pemerintahan Desa Foa menjadi Kelurahan Foa pada tahun 2001 lalu hingga penelitian ini dilakukan informasinya pun masih simpang siur. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber bahwa proses peralihan status Desa Foa menjadi Kelurahan Foa sarat dengan kepentingan para pemangku kebijakan. Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa pengalihan desa menjadi kelurahan berawal dari informasi yang diberikan oleh para elit pemerintah desa dan kabupaten. Mereka seolah-olah menjanjikan kepada masyarakat dengan adanya perubahan status dari desa menjadi kelurahan dapat memberikan dampak positif yang membebaskan segala bentuk pungutan, termasuk kewajiban atas dana Anggaran Pendapatan dan Pembelajaan Keuangan Desa (APPKD).

Hal ini mencerminkan bahwa latar belakang pengalihan Desa Foa menjadi kelurahan sarat dengan rekayasa dan lebih bernuansa politik, yang tercermin dari proses sosialisasi Pemerintah Kabupaten Ngada yang lebih mengedepankan dalil APPKD untuk menyakinkan masyarakat agar menyetujui pengalihan dimaksud. Sedangkan hal-hal substansial terkait dengan syarat-syarat berdirinya kelurahan yang mestinya diketahui oleh masyarakat justru tidak disosialisasikan kepada masyarakat. Selain itu, oknum-oknum elit tertentu di tingkat kabupaten ataupun di tingkat desa terkesan memanfaatkan kondisi SDM masyarakat Kelurahan Foa yang kurang paham dengan regulasi tentang pembentukan

kelurahan untuk menyetujui pengalihan status Desa Foa menjadi Kelurahan Foa. Hal ini dapat dipahami bahwa pengalihan Desa Foa menjadi kelurahan berlatar belakang kepentingan elit dan pihak-pihak tertentu, bukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan berorientasi pada perbaikan pelayanan publik.

Selanjutnya, peningkatan sumber daya manusia dan taraf pendidikan masyarakat mesti dibarengi dengan ketersediaan ruang untuk menyalurkan aspirasi, ruang untuk mengaktualisasikan diri, dan lapangan kerja yang cukup, termasuk kesempatan untuk bekerja di Kelurahan sekaligus sebagai langkah untuk mereduksi timbulnya resistensi dari masyarakat yang bersangkutan terhadap struktur yang ada. Artinya bahwa masyarakat setempat diberikan kesempatan menjadi pemimpin di wilayahnya sendiri. Temuan penelitian menunjukkan hal sebaliknya, setelah berstatus kelurahan selama 11 tahun, sebagian dari penduduk Kelurahan Foa pun sudah berpendidikan SMP, SMA danbahkan sarjana tidak mendapat kesempatan untuk itu. Oleh sebab itu, adanya peningkatan SDM secara signifikan di wilayah tersebut setidaknya membangkitkan kesadaran masyarakat, terutama kaum intelektual di wilayah itu untuk mengembalikan struktur pemerintah desa yang dianggap lebih cocok dan memungkinkan optimalisasi sumber daya masyarakat.

Di pihak lain, lurah beserta staf yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat dan ditempatkan berdasarkan keputusan Pemerintah Kabupaten Ngada atau bupati umumnya bukan masyarakat yang berasal dari wilayah itu. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan kecemburuan di kalangan masyarakat, khususnya dari kelompok yang

(7)

berpendidikan, yang kemudian melakukan penolakan atas struktur yang ada dengan cara memperjuangkan penghapusan Kelurahan Foa menjadi Desa. Tujuannya agar masyarakat yang berpendidikan layak berpeluang yang sama untuk menjadi pemimpin di wilayah sendiri.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat apapun struktur pemerintahan yang dibentuk dan seluruh eksistensinya mesti diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang merupakan kelompok rentan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasar, bebas dari rasa sakit dan penderitaan karena suatu penyakit, menjangkau sumber-sumber produksi yang memungkinkan bagi mereka dapat meningkatkan pendapatan, memperoleh barang dan jasa yang diperlukan, dan sebagainya (Suharto 2010, 57). Hal ini berarti bahwa struktur pemerintahan yang dibentuk semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara merata. Oleh karena itu, pembangunan sarana jalan, air minum, sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan, dan sarana-sarana lain yang memungkinkan terjadinya peningkatan produktifitas kerja dalam rangka mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat setempat harus menjadi prioritas pejabat struktural dalam menjalankan fungsi sebagai pelayanan masyarakat.

Namun demikian, kenyataan pelaksanaan suatu pemerintahan yang ideal selalu saja jauh dari harapan. Struktur pemerintahan yang dibentuk di negara Indonesia umumnya, termasuk kelurahan Foa, menurut masyarakat justru belum mampu memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Keberadaan struktur-struktur yang dibentuk selama initidak jarang justru menjadi penghambat bagi

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.

Berkaitan dengan hal itu, tidak seluruh warga negara dapat memperoleh keuntungan secara equal dari pemberlakuan aturan-aturan formal penyelenggaraan pemerintah (Markoff 2002, 217–18). Struktur birokrasi yang selama ini cenderung menciptakan dan memanfaatkan kesenjangan telah membatasi masyarakat desa untuk mengakses informasi. Salah satu contoh adalah minimnya akses masyarakat desa terhadap informasi tentang kesempatan untuk menjadi PNS, pengelolaan keuangan, regulasi yang berlaku yang ada kaitannya dengan pembangunan desa, dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu sumber daya paling penting yang harus diakses oleh masyarakat adalah media komunikasi yang dapat membawa pesan-pesan politik masyarakat kepada pemerintah. Selain itu, sumber daya energi, perhubungan, air bersih, pelayanan kesehatan yang didukung oleh tenaga medis yang memadai dan sebagainya. Hal inilah yang dapat menjadi alat ukur terhadap adanya kesenjangan tersebut.

Perjuangan Masyarakat Menghapus Status Kelurahan

Wacana dan perjuangan masyarakat kelurahan Foa untuk menganulir kembali struktur pemerintahan kelurahan karena dipandang kurang efektif tersebut, mulai digulirkan sejak tahun 2006 atau lima tahun setelah pengalihan status dari desa. Namun perjuangan itu baru dimanifestasikan secara nyata dalam diskusi panel bersama mahasiswa STPM Santa Ursula yang melakukan kuliah lapangan pada tanggal 28 Juni sampai 4 Juli 2011. Dalam diskusi panel tersebut masyarakat mengusulkan kepada anggota DPRD

(8)

Kabupaten Ngada, yang hadir dan menjadi salah satu narasumber untuk memperjuangkan lebih lanjut penghapusan status kelurahan Foa agar kembali menjadi desa yang otonom. Sementara itu, keberadaan kelurahan Foa sudah berusia 11 tahun dan memiliki legalitas formal atau berdasarkan Surat Keputusan Bupati Ngada Nomor 07/D/2001.

Perjuangan masyarakat untuk menghapus status kelurahan Foa selanjutnya direspon oleh Pemerintah Kabupaten Ngada dengan membentuk dua desa baru sekaligus di dalam wilayah kelurahan itu. Wilayah kelurahan Foa kemudian dibagi menjadi tiga, yakni Desa Binawali, Desa Kila, dan sisanya tinggal dua lingkungan yang tetap berstatus kelurahan hingga saat ini. Hal menarik dari pembentukan desa baru di wilayah kelurahan Foa bahwa regulasi tentang pembentukan desa hasil pemekaran sejauh ini belum ada. Disamping itu, masyarakat dari dua lingkungan yang masih menjadi bagian dari wilayah kelurahan Foa, awalnya memiliki komitmen untuk memperjuangkan penghapusan status kelurahan masih berharap agar struktur pemerintah kembali menjadi desa otonom.

Di pihak lain, perjuangan masyarakat kelurahan Foa untuk menghapus status kelurahan sangat memungkinkan karena searah dengan regulasi yang mengatur pembentukan atau pembubaran sebuah Kelurahan. Dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Kelurahan, secara jelas dituliskan bahwa sebuah kelurahan yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Permen tersebut dapat dihapus atau digabung berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota.

Temuan penelitian ini pun secara jelas menunjukkan bahwa alasan masyarakat memperjuangkan penghapusan status kelurahan menjadi desa adalah karena keberadaan struktur pemerintahan kelurahan Foa yang cenderung menciptakan kesenjangan. Pembangunan sarana dan prasarana penting yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat seperti jalan, sarana dan pelayanan kesehatan semakin jauh dari harapan sebagaimana dijanjikan di awal pembentukan kelurahan. Demikian pula dengan sarana atau media komunikasi yang dapat membawa pesan-pesan politik juga belum tersedia. Kondisi seperti ini berbeda dengan kondisi pembangunan desa lain yang jauh lebih maju dari kelurahan Foa. Oleh karena itu, perjuangan masyarakat untuk menghapus struktur pemerintahan kelurahan Foa menjadi desa dapat juga dipahami sebagai upaya untuk membubarkan struktur yang kurang responsif terhadap kepentingan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan dan kemandirian secara merata.

Dalam konteks pembangunan desa, partisipasi merupakan salah satu aspek penting dan sangat menentukan akeselerasi pemberdayaan masyarakat desa. Setiap program pembangunan desa yang pelaksanaannya melibatkan seluruh komponen masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga ke tahap pemeliharaan merupakan proses pembangunan masyarakat yang berkualitas. Keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan dapat merangsang kepekaan terhadap program pembangunan yang sedang dijalankan. Dengan kata lain, masyarakat yang terlibat aktif dalam

(9)

pembangunan akan membangun dengan penuh kesadaran, yang pada gilirannya timbul rasa memiliki (sense of belonging) yang tinggi atas hasil-hasil pembangunan tersebut.

Berbeda dengan hakekat pemberdayaan secara konseptual, manifestasi dampak sosial dari pembangunan masyarakat selama ini yang lebih menekankan pada sektor ekonomi menyebabkan terjadinya konsentrasi kekuasaan dan marginalisasi kekayaan. Selain itu, potensi terjadinya proses pembentukan

image yang memandang manusia sebagai

salah satu faktor produksi semata-mata dapat menimbulkan depedensi, baik pada birokrasi maupun proyek, ketidakberdayaan masyarakat menghadapi imbas pembangunan, dan disparitas struktural (Tjokrowinoto 2007, 95). Akibatnya, masyarakat yang sejatinya sebagai subyek pembangunan justru sering diposisikan sebagai obyek dari sebuh program pembangunan tertentu. Dengan demikian, kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan seakan menjadi tanggung jawab pemerintah semata, sehingga kemampuan dan kemauan masyarakat untuk mengambil bagian dalam suatu keputusan, oleh struktur dibatasi secara ketat dan sistematis.

Berkaitan dengan minimnya ruang partisipasi bagi masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya, Mas’oed menuliskan bahwa birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan di tempat lain (Maso’ed 2003). Oleh karena itu, selain selalu mendominasi kegiatan adminitrasi pemerintahan, birokrasi juga mendominasi kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan. Aparatur negara bertindak sebagai inisiator dan perencana

pembangunan yang mencari dana dan yang menjalankan investasi pembangunan, yang menjadi manajer produksi maupun redistribusi outputnya, bahkan ia pula konsumen terbesar hasil kegiatan pembangunan itu. Hal ini yang mendorong keharusan dilakukannya pembagian kerja yang jelas dalam dan bersama masyarakat (Maso’ed 2003, 68).

Isu ini juga terungkap dalam masyarakat kelurahan Foa sebagai temuan penelitian yang menunjukkan bahwa struktur pemerintahan Kelurahan Foa yang sudah berusia 11 tahun dalam kiprahnya cenderung membatasi kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, baik di bidang politik dan ekonomi maupun di bidang sosial budaya. Pemerintahan kelurahan Foa cenderung mendominasi kegiatan administrasi dan perencanaan serta politik, sehingga ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan itu menjadi sangat terbatas dan bahkan dalam hal tertentu tidak disediakan ruang sama sekali, seperti berpartisipasi dalam pemilihan lurah misalnya. Hal ini berarti bahwa keberadaan dan peran Lurah beserta staf di Kelurahan Foa hanya sebagai aktor yang sekadar menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan di tempat lain, yang dalam hal ini oleh pemerintah kabupaten Ngada sebagai atasan (bersifat top down).

Di samping itu, struktur pemerintah kelurahan Foa tidak mampu menggerakkan partisipasi dan mengorganisasi masyarakat dalam pengembangan budaya lokal. Seremonial adat, seperti rebadan lainnya yang biasanya dilakukan oleh masyarakat setiap tahun, semenjak struktur pemerintahan diubah menjadi kelurahan ditinggalkan oleh generasi muda karena tidak difasilitasi pelaksanaannya oleh lurah, selaku pimpinan wilayah dan

(10)

pemberdaya masyarakat di bidang budaya. Bahkan ada lurah tertentu yang mengintervensi urusan adat di wilayah tersebut yang semestinya menjadi kewenangan masyarakat dari suku tertentu dan para tokoh-tokoh adat di wilayah itu. Oleh sebab itu, beberapa ritual adat tidak dilaksanakan dengan baik, sehingga menjadi pembelajaran negatif bagi generasi muda dalam pelestarian budaya lokal.

Dalam konteks birokrasi publik apapun bentuknya (Ujan, 2005:73-74), aspek pelayanan merupakan hal yang hakiki dari keseluruhan eksistensinya sebagai suatu lembaga yang melayani masyarakat umum. Dengan kata lain, setiap struktur birokrasi publik yang dibentuk semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan. Oleh karena itu, masyarakat harus diposisikan sebagai “tuan” atas birokrasi atau sebagai pihak yang dilayani, sedangkan pemerintah sebagai pelaku birokrasi adalah “pelayan” atas kebutuhan masyarakat yang dilayani. Singkatnya, tugas, peran dan fungsi setiap unsur birokrasi harus bertujuan untuk menghasilkan produk pelayanan yang berkualitas, adil dan merata kepada seluruh anggota masyarakat.

Berkaitan dengan pelayanan birokrasi publik yang adil, Rawls juga merumuskan prinsip keadilan sebagai basis untuk ikatan kerja sama sosial yang saling menguntungkan. Dikatakan bahwa secara esensial prinsip keadilan memiliki kemampuan untuk mengatur struktur sosial dasar sedemikian rupa, sehingga mampu menjamin kepentingan, khususnya nilai-nilai primer dari segenap anggota masyarakat. Dengannya diharapkan mendukung suatu distribusi yang adil atas manfaat-manfaat serta nilai-nilai sosial (sosial

goods) seperti pendapatan dan kekayaan,

kebebasan dan kesempatan, serta harga diri

(Ujan, 2005). Pendapat Rawls tersebut dapat diartikan bahwa struktur birokrasi publik dalam menjalankan perannya harus mampu mendistribusikan nilai-nilai sosial secara sama kepada seluruh anggota masyarakat. Hal itu hanya akan dicapai atau dimungkinkan oleh pelayanan yang berkualitas.

Sementara itu pelayanan publik di negeri ini semakin mempertegas kesenjangan antara

da sein dan da solen. Hal yang sama menjadi

temuan penelitian, dimana sejak wilayah tersebut berubah status menjadi kelurahan, kualitas pelayanan justru semakin jauh dari harapan masyarakat. Kepemimpinan lurah yang ditugaskan di kelurahan Foa umumnya belum menunjukkan kinerja pelayanan yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Pola pendekatan kemasyarakatan para lurah umumnya relatif lebih bersifat struktural administratif dan mengabaikan pendekatan sosial. Selain itu, selama menjabat sebagai pimpinan wilayah, para lurah umumnya tidak berdomisili di wilayah kelurahan Foa tetapi di wilayah lain. Hal ini jelas menghambat proses sosialisasi dan komunikasi antara lurah dan masyarakat, sehingga hubungan yang terbangun di antara kedua pihak hanya sebatas hubungan “patron-klien” atau penguasa dengan yang dikuasai. Dengan kata lain lurah belum sepenuhnya menjadi bagian integral dari komunitas masyarakat kelurahan Foa.

Pola kepemimpinan dan pelayanan Lurah yang kurang responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat seperti yang digambarkan di atas, sekurang-kurangnya menjadi alasan sekaligus pemicu bagi masyarakat untuk mencari agen pelayanan dan kepemimpinan alternatif yang lebih responsif, efisien dan efektif. Maka dari itu,

(11)

perjuangan masyarakat Foa untuk menghapus status kelurahan menjadi desa dapat dipahami pula sebagai sebuah pencarian akan struktur, pemimpin, dan agen pelayanan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

Untuk mengimplementasikan seluruh program pembangunan di suatu wilayah tertentu, umumnya memerlukan dukungan dana yang memadai. Sebaik dan secermat apapun perencanaan pembangunan suatu negara atau daerah tetapi tidak didukung dengan dana yang memadai, maka suatu perencanaan pun akan mubazir. Demikian halnya dengan pembangunan masyarakat di tingkat desa dan kelurahan pun membutuhkan dana untuk membiayai berbagai program yang direncanakan bersama masyarakat.

Berkaitan dengan sumber dan pengalokasian dana untuk pembangunan suatu kelurahan tertentu, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2007 tentang Kelurahan, yakni Pasal 9 ayat (2) bahwa alokasi anggaran untuk kelurahan bersumber dari APBD kabupaten/kota dengan memperhatikan faktor-faktor, yaitu jumlah penduduk, kepadatan penduduk, luas wilayah, geografis/karakteristik wilayah, jenis dan volume pelayanan, dan besaran pelimpahan tugas yang diberikan (Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2007 tentang Kelurahan). Oleh karena itu, pengalokasian dana pembangunan untuk kelurahan oleh kabupaten harus memperhitungkan aspek-aspek di atas dan juga kebutuhan riil di setiap kelurahan. Dengan memperhitungkan aspek-aspek tersebut, pemerataan pembangunan antara wilayah kelurahan atau desa yang satu dengan yang lain dapat tercapai.

Sementara dalam konteks kelurahan

Foa, berdasarkan temuan penelitian justru terungkap hal yang sebaliknya. Alokasi dana dari pemerintah kabupaten Ngada kepada pemerintah kelurahan Foa sangat minim, yakni hanya sebesar 55 juta rupiah per tahun karena kelurahan termasuk dalam Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD) yang tidak mendapatkan alokasi dana desa (ADD). Dengan wilayah seluas 41.800 hektar persegi dan jumlah penduduk sebanyak 2.041 jiwa (berdasarkan data per Desember 2011), dana yang dialokasikan sangat terbatas demikian jelas tidak memungkinkan untuk membiayai seluruh program pembangunan di kelurahan itu. Dengan kata lain, dana yang dialokasikan oleh pemerintah Kabupaten Ngada hanya untuk membiayai urusan pemerintahan. Oleh sebab itu, pembangunan sarana prasarana seperti jalan desa, sarana kesehatan, dan sarana pendidikan, yang semestinya menjadi prioritas perhatian pemerintah karena menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, tidak dapat dilaksanakan karena alasan keterbatasan dana.

Di pihak lain, alokasi dana pembangunan untuk desa-desa berupa ADD dan dana Pelangi Desa lebih memungkinkan terjadinya percepatan pembangunan di wilayah pedesaan. Kecukupan dana pembangunan bagi setiap desa telah berimplikasi langsung pada tersedianya fasilitas dan sarana prasarana pendukung seperti jalan-jalan dusun yang dirabat beton, sarana kesehatan, sarana pendidikan dan sarana lain, yang jauh lebih memadai dibandingkan dengan kondisi sarana yang ada di wilayah kelurahan Foa. Oleh karena itu, kesenjangan yang dirasakan dan dialami oleh masyarakat kelurahan Foa selama ini, sekurang-kurangnya menjadi referensi yang semakin memperkuat keyakinan masyarakat

(12)

untuk memperjuangkan penghapusan status kelurahan Foa menjadi Desa.

Di samping itu, alokasi dana yang terbatas demikian jelastidak cukup untuk membiayai urusan pemerintahan dan urusan lain, termasuk pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan salah satu atau lebih dari tugas dan fungsi pemerintah terhadap masyarakat yang tidak konsisten dan efektif oleh karena keterbatasan dana, dalam konteks teori konflik merupakan pelanggaran terhadap konsensus bersama yang diatur dalam regulasi tentang pembentukan kelurahan, yang di dalamnya termuat beberapa konsekuensi, termasuk dalam hal pembiayaan. Oleh karena itu, masyarakat yang merasa hak-haknya dilanggar melakukan perlawanan yang kemudian dinyatakan melalui perjuangan untuk menghapus status Kelurahan Foa menjadi desa yang otonom, karena desa diyakini lebih mampu membawa masyarakat Foa ke arah yang lebih baik.

Tradisi dan budaya lokal di desa merupakan bagian penting dalam menanamkan rasa hidup bermasyarakat, membantu memberikan ciri khas atau identitas kepada komunitas masyarakat tertentu, dan membedakan masyarakat yang satudengan yang lain. Dengan kebudayaan yang dipelihara oleh masyarakat, setiap individu anggota masyarakat dalam keseluruhan kehidupannya bertindak sesuai dengan kekhasan tersebut.

Berkaitan dengan hal ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara sosial masyarakat kelurahan Foa merupakan suatu komunitas masyarakat yang memiliki tradisi lokal dan sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ibu (matrilineal). Masyarakat kelurahan Foa masih memegang teguh tradisi dan budaya yang diwariskan oleh para

leluhur, sehingga berpengaruh terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, bahwa secara administrasi kelurahan ini menjadi bagian dari struktur pemerintahan yang berlaku di negara Indonesia. Tetapi di sisi lain bahwa masyarakat Foa yang memiliki budaya yang sama, berasal dari satu asal-usul (genealogis) yang berkembang melalui perkawinan dan membentuk suku-suku merupakan satu komunitas adat.

Dari konteks kesesuaian struktur birokrasi atau bentuk pemerintah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, pada pasal 1 ayat (6) bahwa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat, yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya dimungkinkan oleh pemerintahan desa. Oleh karena itu, struktur birokrasi dan bentuk pemerintahan yang cocok dengan kondisi sosial masyarakat di Kelurahan Foa ialah Desa. Sedangkan kelurahan hanya cocok dibentuk di wilayah perkotaan, di mana struktur dan mata pencaharian masyarakat yang hidup di dalamnya sudah sangat beragam (heterogen).

Ketidaksesuaian antara struktur pemerintahan yang diterapkan dengan konteks sosial yang nyata di masyarakat menandakan bahwa kelurahan Foa yang dibentuk 11 tahun yang lalu syarat dengan manipulasi dan terkesan dipaksakan kepada masyarakat. Artinya, dari aspek yuridis bahwa pembentukan Kelurahan Foa bertentangan dengan regulasi, sehingga berimplikasi langsung pada timbulnya berbagai konflik.

(13)

Diskusi

Dari ulasan terkait dengan kondisi sosial masyarakat kelurahan Foa di atas, peneliti mencoba untuk menganalisisnya dari perspektif teori hegemoni, teori konflik, dan teori pilihan rasional. Pertama, dari perspektif teori hegemoni yang dicetuskan oleh Gramsci bahwa pembentukan kelurahan Foa yang menuai kontroversial merupakan bukti bahwa proses sosialisasi, pengkajian, dan pembentukan kelurahan itu syarat dengan manipulasi dan kepentingan tertentu. Tindakan para elit di tingkat kabupaten Ngada yang melakukan sosialisasi secara tidak elegan merupakan bentuk hegemoni, yakni membangun konsensus yang manipulatif. Dengan kondisi sumber daya manusia masyarakat Foa waktu itu yang tergolong rendah justru dimanfaatkan oleh para elit di tingkat kabupaten untuk membentuk sebuah kelurahan. Di pihak lain, masyarakat ‘dibungkamkan’ oleh para elit secara sistematis, sehingga tidak mampu untuk menolak pembentukan kelurahan. Padahal bila ditilik dari aspek-aspek yang menjadi syarat terbentuknya sebuah pemerintahan di tingkat desa/kelurahan, maka struktur birokrasi yang cocok bagi masyarakat Foa ialah desa. Oleh karena itu, masyarakat yang hak-haknya dikungkung oleh struktur melakukan perlawanan (counter) atas tindakan hegemoni tersebut dengan jalan memperjuangkan penghapusan status kelurahan Foa menjadi desa kembali.

Kedua, dari perspektif teori konflik

yang dicetuskan oleh Dahrendorf bahwa Kelurahan Foa yang pembentukannya syarat dengan kepentingan tertentu dan tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat

jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat yang bersangkutan. Pelanggaran atas hak-hak masyarakat tersebut jelas menimbulkan konflik. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa perjuangan masyarakat Foa untuk menghapus status keluarahan Foa menjadi desa merupakan suatu fakta adanya konflik antara masyarakat dan pemerintah. Adapun tujuan dari konflik tersebut ialah merubah struktur yang tidak berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan menggantikannya dengan struktur baru yang lebih sesuai dengan konteks sosial budaya dan kebutuhan masyarakat menuju Foa yang lebih berbudaya dan beradab sesuai dengan adat dan tradisi warisan leluhur masyarakat yang bersangkutan.

Ketiga, dari perspektif teori pilihan

rasional dapat dianalisis bahwa ketidaksesuaian konteks sosial budaya masyarakat dengan struktur birokrasi yang melingkupinya cenderung menimbulkan suatu krisis, di mana masyarakat akan teralienasi dari lingkup sosialnya sendiri. Oleh karena itu, secara manusiawi setiap komunitas masyarakat akan berusaha untuk keluar dari situasi tersebut dengan berbagai cara tertentu.

Dalam konteks masyarakat Kelurahan Foa, berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa struktur birokrasi Kelurahan tidak mampu melaksanakan pemberdayaan atas kebudayaan lokal dan bahkan cenderung tidak diberi perhatian yang proporsional. Padahal, tradisi dan budaya yang masih menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut sangat efektif untuk menjembatani setiap interaksi di lingkup sosial masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa hal itu merupakan salah satu faktor pendorong bagi masyarakat untuk memperjuangkan

(14)

penghapusan kelurahan Foa menjadi desa. Dorongan seperti inilah yang dinamakan Friedman dan Hechter sebagai pilihan yang rasional. Dengan kembali menjadi desa kebutuhan masyarakat akan pengembangan budaya dan tradisi dapat dimungkinkan terlaksana dengan baik menuju masyarakat Foa yang lebih berkarakter, santun, dan berbudaya.

Penutup

Dari hasil analisis data lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Foa memperjuangkan penghapusan status kelurahan menjadi desa sebagai upaya untuk mengoptimalkan sumber daya manusia bagi generasi muda yang berpendidikan. Sebagian masyarakat yang berpendidikan dan relatif memenuhi syarat menjadi pemimpin, dengan adanya Kelurahan Foa, tidak diberi ruang akses untuk memimpin atau hanya sekadar menjadi staf kelurahan. Oleh karena itu, alternatif yang memungkinkan agar sumber daya manusia yang ada dapat dioptimalkan, termasuk menjadi pemimpin di wilayah sendiri ialah mengubah status Kelurahan menjadi Desa.

Perjuangan masyarakat untuk menghapus status Kelurahan Foa menjadi desa juga berkaitan erat dengan kesenjangan pembangunan. Setelah sekian tahun menjadi kelurahan, masyarakat melihatnya semakin jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain yang berstatus desa. Salah satu contoh ialah pembangunan infrastruktur seperti jalan dan lorong-lorong. Kondisi riil yang dialami masyarakat Kelurahan Foa jauh berbeda dengan kondisi jalan di desa-desa sekitarnya yang sudah dirabat beton.

Selanjutnya Pemerintah Kelurahan Foa, oleh masyarakat dinilai tidak mampu mengakomodir aspirasi untuk berpartisipasi secara aktif, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pemerintah kelurahan lebih berkonsentrasi di bidang administrasi (urusan pemerintahan), sehingga urusan pemberdayaan masyarakat, termasuk pemberdayaan budaya lokal, ekonomi masyarakat dan pembangunan infrastruktur seolah-olah diabaikan. Akibatnya, masyarakat memilih bersikap apatis terhadap kepemimpinan lurah, sehingga hubungan yang dibangun hanya bersifat

patron-klien, sebatas penguasa dan yang dikuasai.

Hal krusial lain yang menjadi pemicu perlawanan terhadap struktur Kelurahan Foa adalah buruknya pelayanan. Masyarakat yang semestinya mendapatkan pelayanan yang maksimal dari pejabat birokrasi, malah selalu berada di pihak yang lemah di hadapan pejabat birokrasi. Para lurah yang memimpin wilayah itu umumnya berdomisili di luar wilayah. Hal ini jelas berpengaruh terhadap intensitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang optimal.

Alokasi dana yang terbatas. Dalam konteks Kabupaten Ngada, pengalokasian dana untuk desa jauh lebih besar dari pada kelurahan. Desa mendapat alokasi dana ADD dan Pelangi Desa yang jumlahnya cukup untuk membiayai pembangunan dalam setahun. Sementara kelurahan hanya mendapat alokasi dana yang minim layaknya seperti Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya, sehingga tidak mampu membiayai semua program pembangunan yang direncanakan bersama masyarakat. Akibatnya, secara kumulatif pembangunan di desa relatif lebih maju dari kelurahan. Hal ini juga yang

(15)

menginspirasi masyarakat Kelurahan Foa untuk memperjuangkan penghapusan status kelurahan menjadi desa.

Berkaitan faktor pemicu perjuangan masyarakat adalah ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah Kabupaten Ngada atas upaya-upaya hegemoni di awal pembentukan kelurahan itu. Masyarakat lelurahan Foa yang terikat erat dalam satu struktur genealogis, memiliki satu budaya dan tradisi yang sama, belum memiliki sarana perhubungan dan media komunikasi yang memadai, berada jauh dari wilayah perkotaan, dan masih menggantungkan hidup sepenuhnya pada sektor pertanian, demi kepentingan tertentu “dipaksakan” untuk menyesuaikan diri dengan struktur pemerintahan (kelurahan) yang sama sekali tidak relevan dengan konteks sosial masyarakat. Dengan demikian, masyarakat Foa menjadi teralienasi dari lingkungan sosial karena tergusurnya kearifan lokal dan tradisi yang sejak lama dihidupkan dalam lingkup masyarakat.

Referensi

Ang, Yuen Yuen. 2017. “Beyond Weber: Conceptualizing an Alternative Ideal Type of Bureaucracy in Developing Contexts.” Regulation and Governance 11(3): 282–98.

AtKisson, Alan. 1997. “About The Sustainability Compass.”

Bungin, Burhan. 2011. Metodologi Penelitian

Sosial. Surabaya: Airlangga University

Press.

Cahyono, Heru. 2015. “Konflik Elite Politik Di Pedesaan: Relasi Antara Badan Perwakilan Desa Dan Pemerintah Desa.”

Jurnal Penelitian PolitikJurnal Penelitian Politik 2(1): 73–84.

Dwiyanto, Agus. 2003. Reformasi Tata

Pemerintahan Dan Otonomi Daerah.

Yogyakarta: PSKK UGM.

Eko, Sutoro, Krisdyatmiko, and Abdur Rozaki. 2006. Kaya Proyek, Miskin Kebijakan:

Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa. Yogyakarta: IRE & Yayasan Tifa.

Ermaya, Berna Sudjana. 2016. “Kemandirian Desa Dalam Mewujudkan Pembangunan Kawasan Pedesaan.” Litigasi 16(2).

Harsasto, Priyatno. 2020. “Membedah Diskursus Modal Sosial Dan Gerakan Sosial: Kasus Penolakan Pabrik Semen Di Desa Maitan, Kabupaten Pati.” Politika:

Jurnal Ilmu Politik 11(1): 18–30.

Jogulu, Uma D. 2010. “Culturally-linked Leadership Styles.” Leadership &

Organization Development Journal 31(8):

706–19.

Juliantara, Dadang. 2003. Pembaharuan

Desa, Bertumpu Pada Yang Terbawah.

Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Lestari, Widia, Drajat Tri Kartono, Argyo Demartoto, and Khabib Bima Setiyawan. 2019. “The Empowerment of Households towards Independence through Social Capital in Program Keluarga Harapan (PKH).” Society 7(2): 268–80. https:// society.fisip.ubb.ac.id/index.php/ society/article/view/124.

Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi

Dunia Gerakan Dan Perubahan Politik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maso’ed, Mohtar. 2003. Politik, Birokrasi Dan

Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Meitasari. 2017. “Minat Pemuda Desa Untuk Urbanisasi Di Desa Sukasari, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.” Jurnal Geografi

Edukasi dan Lingkungan 1(1): 36–47.

Moleong, Lexy. J. 2010. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rifandini, Rahmalia. 2018. “Transformation of Post-Authoritarian Rural Development in Indonesia: A Study of Farmer-Breeder Community Development in West Bandung Regency.” MASYARAKAT Jurnal

Sosiologi 23(2): 235–55.

(16)

Membangun Pelayanan Publik Yang Responsif. Bandung: Hakim Publishing.

Satriani, Septi. 2015. “Hubungan Negara-Warga Dan Demokrasi Lokal: Studi Konflik Tambang Di Bima.” Jurnal

Penelitian Politik 12(2): 33–49.

Sayer, Andrew. 2017. Routledge Method in

Social Science a Realist Approach. 2nd

ed. London & New York: Routledge. Serpa, Sandro, and Carlos Miguel Ferreira.

2019. “The Concept of Bureaucracy by Max Weber.” International Journal of

Social Science Studies 7(2).

Sidik, Fajar, Fatih Gama Abisono Nasution, and Herawati Herawati. 2019. “Pemberdayaan Masyarakat Desa Menggunakan Badan Usaha Milik Desa: Desa Ponggok Dan Kritik Terhadap Prestasi ‘Terbaik Nasional.’” Jurnal Pemikiran Sosiologi 5(2): 80. https://jurnal.ugm.ac.id/jps/ article/view/44636 (August 23, 2019). Sugiono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan

(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D). Bandung: Alpabeta.

Suharto, Edi. 2010. Membangun Masyarakat

Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial Dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika

Aditama.

Supriatna, Tjahya. 1997. Birokrasi Pemberdayaan

Dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung:

Humaniora Utama Press.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 2007. Pembangunan,

Dilema Dan Tantangan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Trisno, Arisman, Junaidi Indrawadi, Susi Fitria Dewi, and Maria Montessori. 2019. “Potensi Konflik Sosial Masyarakat Nagari Padang Sibusuk Dengan Desa Kampung Baru Pasca Resolusi Konflik.” JUPIIS:

Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 11(2):

283–94.

Yin, Robert K. 2014. Case Study Research

Design and Methods. 5th ed. California:

SAGE Publications.

Zakaria, Wan Abbas. 2017. Membangun

Kemandirian Desa. Bandar Lampung:

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa keunggulannya ditinjau dari prospek peman- faatannya adalah regenerasi tanaman nyamplung mudah dan berbuah sepanjang tahun, tahan terhadap lingkungan ekstrem, relatif

Kulonprogo 14040422010638 885 ANGGORO BUDI TJAHJONO SMK NEGERI 1 NANGGULAN Pendidikan Jasmani dan Kesehatan PENJAS.11

Selain itu, terdapat perbedaan variabel independen untuk menilai penyebab stres kerja, penelitian terdahulu menilai penyebab stres kerja berdasarkan kebisingan,

Andrea Brischetto dan Graham Voss (1999) A Structural Vector Auto Regression Model of Monetary Policy In Australia Menganalisis efektivitas kebijakan moneter

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Media sosial juga memiliki beberapa keunggulan yang dapat mendukung kegiatan cyber PR yang dijalankan oleh organisasi atau komunitas nonprofit, diantaranya

Sementara Kabupaten Pasaman, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat adalah contoh wilayah perdesaan yang memiliki PDRB

Yliopistossa opiskeleva tulee eteen tehtäväksi tutkielman teko lopputyönä, joka minun- kin kohdalla tuli ajankohtaiseksi maisterin opintojen loppuvaiheessa. Kiinnostukseni on