• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA Pengertian dan pentingnya semangat kerja. semangat kerjanya. Untuk itu pimpinan perlu mencari cara dan solusi guna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA Pengertian dan pentingnya semangat kerja. semangat kerjanya. Untuk itu pimpinan perlu mencari cara dan solusi guna"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Semangat Kerja

2.1.1 Pengertian dan pentingnya semangat kerja

Produktivitas kerja karyawan dapat ditingkatkan dengan memperbaiki semangat kerjanya. Untuk itu pimpinan perlu mencari cara dan solusi guna menimbulkan semangat kerja para karyawan menjadi lebih tinggi. Sebab, semangat dan kegairahan kerja mencerminkan kesenangan yang mendalam terhadap pekerjaan yang dilakukan, sehingga pekerjaan akan lebih cepat dapat diselesaikan dan memberikan hasil yang lebih baik (Nitisemito, 1996).

Menurut Moekijat (1997), bahwa semangat kerja menggambarkan perasaan berhubungan dengan jiwa, semangat kelompok, kegembiraan dan kegiatan. Apabila pekerja nampak merasa senang, optimis mengenai kegiatan dan tugas serta ramah satu sama lain, maka karyawan itu dikatakan mempunyai semangat yang tinggi. Sebaliknya, apabila karyawan nampak tidak puas, lekas marah, sering sakit, suka membantah, gelisah, dan pesimis, maka reaksi ini dikatakan sebagai bukti semangat yang rendah. Halsey (1994), menyatakan semangat kerja adalah kesediaan perasaan yang memungkinkan seseorang bekerja untuk menghasilkan kerja lebih banyak dan lebih baik. Menurut Gondokusumo (1995), semangat kerja adalah refleksi dari sikap pribadi atau sikap kelompok terhadap kerja dan kerjasama. Davis (1962) dalam Taufiq (1987), menyatakan semangat kerja berarti sikap individu dan kelompok terhadap seluruh lingkungan

(2)

kerja dan terhadap kerjasama dengan orang lain untuk mencapai hasil yang maksimal sesuai dengan kepentingan perusahaan. Dengan demikian semangat kerja menggambarkan perasaan senang individu atau kelompok yang mendalam dan puas terhadap pekerjaan, kerjasama, dan lingkungan kerja serta mendorong mereka untuk bekerja secara lebih baik dan produktif.

Semangat kerja sering digunakan secara lebih luas yang berhubungan dengan perangai atau tingkah laku seseorang. Apabila seseorang merasa kecewa terhadap kondisi yang diterima, maka semangat dan gairah kerjanya akan berkurang. Flippo (1996), menggambarkan semangat kerja yang tinggi ditandai dengan gairah karyawan dalam menjalankan tugas seuai dengan perintah dan peraturan, kesetiaan pada organisasi, minat yang tinggi pada pekerjaan, dan kemauan bekerja sama dengan karyawan lain dalam mencapai tujuan organisasi.

Semangat kerja merupakan pengaruh utama pada sumbangan karyawan untuk membuat karyawan mencapai hasil yang lebih tinggi tanpa menjemukan. Semangat kerja yang tinggi dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja karyawan, menurunkan tingkat absensi, perpindahan karyawan dapat dihindarkan, dan dapat menghindari keluhan dari karyawan.

2.1.2 Beberapa faktor yang mempengaruhi semangat kerja

Naik turunnya semangat kerja karyawan disebabkan oleh beberapa faktor dan untuk meningkatkan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Nitisemito (1996), mengemukakan bahwa untuk meningkatkan semangat dan gairah kerja dilakukan dengan pemberian gaji yang cukup, memperhatikan kebutuhan rohani, menciptakan suasana kerja santai, memperhatikan harga diri, menempatkan

(3)

karyawan pada posisi yang tepat, memberikan kesempatan untuk maju, memberikan rasa aman untuk masa depan, mengusahakan karyawan memiliki loyalitas, mengajak karyawan berunding, memberikan insentif yang terarah, dan memberikan fasilitas yang menyenangkan.

Gellerman (1984), menyatakan moral kerja meliputi tiga bidang. Pertama menyangkut kepuasan di luar pekerjaan, seperti pendapatan, rasa aman, dan kedudukan yang lebih tinggi. Kedua menyangkut kepuasan terhadap pekerjaan, yaitu minat kerja, peluang untuk maju, dan prestise dalam organisasi. Ketiga menyangkut kepuasan pribadi dan rasa bangga atas profesinya. Lateiner (1985), mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah kebanggaan pekerja atas pekerjaannya, hasrat untuk maju, perasaan telah diberlakukan dengan baik, kemampuan untuk bergaul dengan kawan sekerja, dan kesadaran akan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Menurut Namawi (1990), faktor yang mempengaruhi semangat kerja karyawan adalah minat atau perhatian terhadap pekerjaan, upah atau gaji, status sosial berdasarkan jabatan tujuan yang mulia dan pengabdian, suasana lingkungan kerja dan hubungan manusiawi. Saydam (1996), mengatakan faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah supervisi yang bermutu, kondisi kerja yang menyenangkan, kesempatan untuk berpartisipasi, hubungan antar manusia yang harmonis. Anoraga (2001), menyatakan faktor yang mempengaruhi semngat kerja adalah keamanan kerja, kesempatan untuk mendapatkan kemajuan, lingkungan kerja, rekan sekerja yang baik, dan gaji atau pendapatan.

(4)

Sastrohadiwiryo (2002), mengatakan bahwa cara yang ditempuh untuk meningkatkan semangat kerja melalui pendekatan berikut.

1) Memberikan kompensasi kepada tenaga kerja dalam porsi yang wajar tetapi tidak memaksakan kemempuan perusahaan.

2) Menciptakan kondisi kerja yang menggairahkan semua pihak.

3) Memperbaiki kebutuhan yang berhubungan dengan spiritual tenaga kerja.

4) Pada saat penyegaran sebagai media pengurangan ketegangan kerja dan memperkokoh rasa setia antara tenaga kerja dan manajemen.

5) Penempatan tenaga kerja pada posisi yang tepat.

6) Peran tenaga kerja mengembangkan aspirasi mendapatkan tempat yang wajar.

7) Merperhatikan hari esok tenaga kerja.

Wahyuningsih (2002), dalam penelitiannya mengatakan bahwa secara keseluruhan terdapat enam faktor yang mampu menjelaskan kontribusi faktor motivasi terhadap semangat dan kegairahan kerja karyawan PT. United Indobali Denpasar, yaitu faktor kesempatan berprestasi, komunikasi, integrasi, delegasi, supervisi, dan balas jasa. Dari keenam faktor tersebut, faktor kesempatan berprestasi yang memberikan kontribusi dominan terhadap semangat dan kegairahan kerja. Selanjutnya masalah yang dekat dengan semangat kerja adalah kepuasan kerja.

(5)

Penelitian tentang kepuasan kerja dilakukan oleh Agustini (2002), terhadap karyawan di Sekretariat Daerah Kabupaten Badung, yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah balas jasa, penempatan, suasana dan lingkungan pekerjaan, sikap pimpinan, dan karakteristik pekerjaan. Dari kelima faktor yang diteliti, faktor balas jasa yang dominan mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Demikian juga Arjana (2002), meneliti kepuasan kerja karyawan Universitas Warmadewa, terdapat enam faktor yang memberikan kontribusi terhadap kepuasan kerja, yaitu faktor kompensasi, kesempatan berprestasi, pekerjaan yang lebih menantang, tanggung jawab, kondisi kerja, dan pengakuan. Dari keenam faktor tersebut, faktor kompensasi dominan berkontribusi terhadap kepuasan kerja karyawan.

2.1.3 Indikator untuk mengukur semangat kerja

Semangat kerja membutuhkan perhatian yang teratur, diagnose dan pengobatan yang layak seperti halnya dengan kesehatan. Semangat kerja merupakan gabungan dari kondisi fisik seseorang, sikap, perasaan, dan sentimen karyawan. Semangat kerja yang rendah ditandai dengan kegelisahan-kegelisahan. Kegelisahan tersebut antara lain pemogokan, perpindahan, ketidakhadiran, keterlambatan, ketidadisiplinan, dan menurunnya hasil kerja. Menurut Lateiner (1985), pendekatan atau indikator yang digunakan untuk mengukur semangat kerja karyawan adalah dilihat dari disiplin, kerjasama, dan kepuasan.

1) Disiplin

Disiplin merupakan suatu keadaan tertib, karena orang-orang tergabung dalam suatu organisasi tunduk dan taat pada peraturan serta dilaksanakan dengan

(6)

senang hati (Gondokusumo, 1995). Karyawan yang menuruti semua peraturan karena takut akan dihukum mencerminkan disiplin negatif. Sebaliknya kepatuhan karyawan pada peraturan karena sadar akan fungsi peraturan tersebut untuk mencapai keberhasilan adalah mencerminkan disiplin positif. Dalam pengertian disiplin tersimpul dua faktor yang penting, yakni faktor waktu dan faktor kegiatan atau perbuatan. Dalam suatu organisasi, usaha-usaha untuk menciptakan disiplin selain melalui tata tertib atau peraturan yang jelas, juga harus ada penjabaran tugas dan wewenang yang jelas, tata cara atau tata kerja yang sederhana yang dapat dengan mudah diketahui oleh setiap karyawan. Disiplin kerja yang baik terdapat apabila karyawan datang ke kantor dengan teratur dan tepat waktu, berpakaian yang rapi dan sopan, menggunakan bahan dan perlengkapan dengan hati-hati, menghasilkan barang atau jasa dengan kualitas dan kuantitas yang memuaskan, dan mengikuti cara kerja yang ditentukan oleh organisasi. Untuk mengukur disiplin dapat dilakukan dengan cara yaitu: kepatuhan karyawan pada jam kerja, kepatuhan karyawan pada perintah atau instruksi dari atasan, taat pada peraturan dan tata tertib yang berlaku, berpakaian yang baik dan sopan di tempat kerja, meggunakan identitas atau tanda pengenal organisasi, penggunaan dan pemeliharaan bahan, penggunaan peralatan dan perlengkapan kantor dengan hati-hati, dan bekerja dengan mengikuti cara yang ditentukan oleh organisasi.

2) Kerjasama

Kerjasama diartikan sebagai tindakan kolektif seorang dengan orang lain yang dapat dilihat dari kesediaan para karyawan untuk bekerjasama dengan teman-teman sekerja dan dengan atasan mereka untuk mencapai tujuan bersama,

(7)

kesediaan untuk saling membantu di antara teman-teman sekerja maupun dengan atasan sehubungan dengan tugas-tugasnya, dan adanya keaktifan dalam kegiatan organisasi. Menurut Gondokusumo (1995), kerjasama adalah refleksi dari semangat dan akan baik apabila semangat tinggi. Semangat yang tinggi membuat kerjasama lebih baik dan ada kesediaan saling membantu. Menurut Hamalik (1993), proses kerjasama mengandung segi-segi relasi, interaksi, partisipasi, kontribusi setiap individu berhubungan satu sama lain, dan masing-masing memberikan sumbangan pikiran. Lebih jauh dikatakan bahwa kerjasama dalam kelompok merupakan pendidikan sosial bagi anggota interaksi dalam kelompok yang merupakan faktor yang menentukan moral atau semangat dalam reaksi kelompok. Demikian juga kerjasama dalam kelompok merupakan group therapy bagi karyawan yang mengalami gejala gangguan mental. Karyawan yang malas mendapat dorongan kerja lebih aktif, yang pemalu lambat laun menjadi berani, yang lamban lama kelamaan menjadi lebih pandai berkat bimbingan temen-temannya, yang mudah tersinggung atau pemarah akan tertahan oleh temannya yang bersikap akrab, dan yang suka mengasingkan diri didorong oleh kelompok sehingga suka bergaul.

3) Kepuasan kerja

Kepuasaan mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap produktivitas kerja. Setiap karyawan mempunyai dorongan untuk bekerja, karena kerja adalah pusat dari kehidupan dan kerja adalah sejumlah aktivitas fisik dan mental untuk mengerjakan suatu pekerjaan (Hasibuan, 2002). Menurut Gondokusumo (1995), kepuasan kerja adalah pokok bagi semangat kerja.

(8)

Kepuasan kerja berhubungan dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya, situasi kerja, serta kerjasama antara pimpinan dan sesama karyawan (Anoraga, 2001). Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen, dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan (Handoko, 2002). Oleh karena itu, karyawan akan merasa puas atas kerja yang telah dilaksanakan jika yang dikerjakan dianggap memenuhi harapan sesuai dengan tujuannya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mudiartha (2005), dengan judul penelitian ”Bebeberapa Faktor Yang Mempengaruhi Semangat Kerja Karyawan Kantor Rektorat Universitas Udayana”. Hasil penelitian menunjukkan faktor penempatan, kompensasi, komunikasi, kesempatan berprestasi dan lingkungan kerja mempunyai pengaruh positif secara signifikan terhadap semangat kerja karyawan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor komunikasi berpengaruh dominan terhadap semangat kerja karyawan. Urutan kedua yang berpengaruh dominan adalah faktor penempatan, indikator yang menyebabkan tidak tepatnya penempatan adalah karyawan yang ditugaskan tidak sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki karyawan, dan tidak sesuai dengan pengalaman kerja sebelumnya. Urutan ketiga adalah faktor kesempatan berprestasi indikator yang menyebabkan tidak terbukanya kesempatan berprestasi adalah jenjang karier pola kemajuan yang sistematis dan jelas, kesempatan promosi tidak terbuka, dan prospek masa depan pekerjaan tidak memberikan kesempatan untuk memduduki jabatan yang lebih tinggi. Urutan keempat adalah kompensasi indikator yang

(9)

menyebabkan ketidak adilan terhadap kompensasi adah insentif yang diterima tidak adil dengan tugas dan tanggung jawab serta gaji yang diterima belum mencukupi kebutuhan hidup karyawan dengan keluarganya. Yang terahir atau urutan kelima adalah lingkungan kerja indikatornya adalah tempat dan ruang kerja yang belum nyaman, lokasi tempat kerja kurang aman, dan ruang kerja yang kurang bersih. Selain itu juga menjag agar ruang kerja terhindar dari kebisingan, penerangan cukup, penatan peralan kantor baik, ruang gerak leluasa, dan sirkulasi udara lancar. Sebab ruang keja yang bersih nyaman dan aman akan menimbulkan semangat kerja yang tinggi. Demikian juga ruang kerja yang tidak bising, penerangan yang baik, penataan peralan kantor rapi dan ruang gerak leluasa dapat meningkatkan semangat kerja karyawan.

2.2 Penempatan Karyawan

2.2.1 Defenisi penempatan karyawan

Penempatan karyawan merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh manajer sumber daya manusia dalam suatu perusahaan atau organisasi untuk menentukan lokasi dan posisi seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaan. Penempatan karyawan tidak hanya terbatas pada penempatan karyawan baru saja tetapi juga termasuk penempatan karyawan lama. Penempatan karyawan baru dilakukan setelah mengikuti seleksi dan diangkat untuk memulai suatu pekerjaan, sedangkan penempatan karyawan lama yang sudah berpengalaman dalam pekerjaan adalah dalam proses alih tugas.

Menurut Schuler (1997), penempatan (placement) berkaitan dengan pencocokan seseorang dengan jabatan yang akan dipegang berdasarkan pada

(10)

kebutuhan jabatan dan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, preferensi, dan kepribadian karyawan. Penempatan dimaksud adalah untuk menempatkan orang yang tepat pada jabatan yang tepat. Tepat tidaknya penempatan seseorang bergantung pada kesesuaian antara pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dengan tuntutan pekerjaan, dan juga kecocokan antara kepribadian, minat, kesukaan, kesempatan, dan budaya terkait dengan perusahaan secara keseluruhan. Menurut Sastrohadiwiryo (2002), penempatan tenaga kerja adalah proses pemberian tugas dan pekerjaan kepada tenaga kerja yang lulus seleksi untuk dilaksanakan sesuai dengan ruang lingkup yang telah ditetapkan, serta mampu mempertanggungjawabkan segala resiko dan kemungkinan yang terjadi atas tugas dan pekerjaan, wewenang serta tanggung jawab. Menurut Tohardi (2002), penempatan adalah menempatkan seseorang pada pekerjaan yang seuai dengan keterampilan atau pengetahuan di organisasi atau perusahaan. Dengan demikian, penempatan merupakan suatu proses penugasan seseorang pada suatu jabatan sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, kepribadian, preferensi, minat, kesempatan, dan budaya yang terkait dengan perusahaan.

2.2.2 Pengaruh penempatan terhadap semangat kerja

Penempatan tenaga kerja pada posisi yang tepat bukan saja menjadi idaman organisasi atau perusahaan, tetapi juga menjadi keinginan tenaga kerja. Dengan penempatan yang tepat maka tenaga kerja yang bersangkutan dapat mengetahui ruang lingkup pekerjaannya. Akibat yang menguntungkan bagi organisasi atau perusahaan adalah meningkatnya semangat dan kegairahan kerja serta didiplin kerja tenaga kerja yang bersangkutan, dan terdapat suasana kerja

(11)

yang harmonis karena orang-orang bekerja sesuai dengan bidang yang diminatinya (Saydam, 1996 dan Sastrohadiwiryo, 2002). Menempatkan tenaga kerja sesuai dengan keahlian, kemampuan, dan keterampilan sangat penting dalam upaya memanfaatkan sumber daya manusia atau karyawan secara optimal, sehingga akan tercipta semangat dan kegairahan kerja yang akhirnya bermuara kepada peningkatan produktivitas kerja karyawan dan juga meningkatkan produktivitas organisasi atau perusahaan (Tohardi, 2002). Oleh karena itu dalam menempatkan atau memberi pekerjaan kepada karyawan perlu dipertimbangkan banyak hal yang melekat pada dirinya, sehingga penempatan tersebut akan memberi nilai tambah baik bagi karyawan maupun bagi perusahaan.

Dalam melakukan penempatan karyawan, perusahaan tentu menginginkan agar diperoleh efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang tinggi. Supaya diperoleh efisiensi, efektivitas, dan produktivitas tinggi maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh manajer sumber daya manusia. Menurut Nainggolan (1985), yang harus dipertimbangkan dalam penempatan karyawan dalam suatu jabatan adalah penilaian pelaksanaan pekerjaan, keahlian, minat, daftar urut kepangkatan, kesetiaan, pengalaman, dapat dipercaya, dan kemungkinan pengembangan. Sastrohadiwiryo (2002) menyatakan bahawa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penempatan tenaga kerja adalah: prestasi akademik, pengalaman, kesehatan fisik dan mental, status perkawinan, dan usia karyawan. Menurut Dessler (1986), umur karyawan sangat penting diperhatikan karena akan menentukan pengembangan karir, yang meliputi masa percobaan, masa stabilitas, masa krisis, dan masa pemeliharaan. Dengan demikian, yang perlu dipertimbangkan dalam penempatan adalah pendidikan, pengalaman, kesehatan fisik dan mental, status perkawinan, umur, jenis kelamin, minat, dan kemungkinan

(12)

pengembangan. Variabel penempatan dalam penelitian ini mempertimbangkan indikator latar belakang pendidikan, keterampilan, pengalaman kerja, dan minat karyawan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Subawa (2005), dengan judul penelitiannya Pengaruh Penempatan, Lingkungan Kerja, Pengawasan Atasan Langsung dan Balas Jasa terhadap Disiplin Pegawai. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa adanya pengaruh yang kuat dari variabel penempatan, pengawasan atasan, kompensasi, dan lingkungan kerja terhadap disiplin pegawai yaitu sebesar 75,9 persen. Disamping itu penempatan, pengawasan atasan, kompensasi, dan lingkungan kerja memiliki pengaruh positif signifikan terhadap disiplin pegawai.

2.3 Kompensasi

2.3.1 Definisi kompensasi

Salah satu kegiatan manajemen sumber daya manusia adalah membuat keputusan untuk menentukan besarnya upah atau gaji yang akan diberikan kepada karyawan, yang merupakan penghargaan atas pelaksanaan pekerjaan yang telah dilakukan. Menurut Martoyo (2000), kompensasi adalah pengaturan keseluruhan pemberian balas jasa bagi pimpinan dan karyawan, baik yang langsung berupa uang maupun tak langsung tidak berupa uang. Handoko (2002) menyatakan kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka. Menurut Namawi (1997), kompensasi berarti penghargaan atau ganjaran pada para pekerja yang telah memberikan kontribusi dalam mewujudkan tujuan melalui kegiatan yang disebut bekerja. Dengan demikian kompensasi dimaksudkan sebagai balas jasa (reward) organisasi terhadap

(13)

pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran yang telah diberikan oleh karyawan kepada organisasi baik berupa uang maupun tidak berupa uang. Menurut Robbins (2001), balas jasa yang pantas diberikan kepada karyawan adalah sesuai dengan sistem dan kebijakan yang adil dan segaris dengan harapan karyawan.

Menurut Namawi (1997), penghargaan atau ganjaran sebagai kompensasi dibedakan menjadi tiga, yaitu : (1) kompensasi langsung, disebut gaji atau upah yang dibayarkan secara tetap dengan tenggang waktu yang tetap; (2) kompensasi tidak langsung adalah pemberian bagian keuntungan bagi para pekerja di luar gaji atau upah tetap, dapat berupa uang atau barang, misalnya tunjangan hari raya; dan (3) insentif adalah penghargaan yang diberikan untuk memotivasi para pekerja agar produktivitasnya tinggi, yang sifatnya tidak tetap atau sewaktu-waktu. Menurut Umar (1999) kompensasi dibagi menjadi dua yaitu: (1) kompensasi yang bersifat finansial, sesuatu yang diterima oleh karyawan dalam bentuk gaji, upah, bonus, premi, pengobatan, asuransi yang dibayar organisasi; dan (2) kompensasi non finansial, kompensasi untuk mempertahankan karyawan dalam jangka panjang, seperti program pelayanan rekreasi, kafetaria, koperasi, dan tempat ibadah.

Macam balas jasa yang diterima oleh karyawan dari perusahaan tempat bekerja dapat dibedakan dalam bentuk uang kontan, material, dan fasilitas. Untuk uang kontan misalnya gaji atau upah, tunjangan, dan insentif. Gaji merupakan bagian dari balas jasa yang diberikan kepada karyawan secara periodik biasanya sebulan sekali dan mereka biasanya sudah menjadi pegawai tetap. Gaji pokok adalah jumlah yang disetujui secara kontrak untuk suatu pekerjaan yang diharapkan oleh individu untuk diterima secar teratur dengan mengabaikan kinerja

(14)

(Cushway, 1996). Upah adalah sejenis balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan yang bersifat tidak tetap dan besarnya telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak. Upah dibayarkan setelah pekerjaan selesai dikerjakan dan hasilnya diterima dengan baik oleh pemberi kerja. Upah dibayarkan secara mingguan atau bulanan tergantung kesepakatan bersama yang dibuat sebelumnya.

Tunjangan merupakan balas jasa tambahan yang diberikan oleh organisasi atau perusahaan kepada karyawannya, karena karyawan tersebut dianggap telah berpartisipasi dengan baik dalam mencapai tujuan perusahaan. Tunjangan ada bermacam-macam, misalnya tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan transportasi, tunjangan perumahan, tunjangan kesehatan, tunjangan kemahalan, dan tunjangan hari raya. Selain tunjangan terdapat juga balas jasa berupa insentif, yaitu tambahan penghasilan yang diberikan kepada karyawan yang didasarkan atas prestasi yang dicapai oleh karyawan. Insentif diberikan benar-benar dimaksudkan untuk merangsang dan mendorong kinerja karyawan yang lebih baik.

Balas jasa yang berbentuk fasilitas adalah balas jasa yang disediakan oleh perusahaan berupa kemudahan-kemudahan dan merupakan pelengkap dari bentuk balas jasa. Fasilitas adalah tambahan gaji pokok yang tidak berupa uang tunai, yang diberikan dengan tujuan antara lain: (1) untuk menarik minat dan mempertahankan karyawan yang berkemampuan baik; (2) untuk memastikan bahwa organisasi dapat bersaing dalam memberikan fasilitas dengan organisasi lain; (3) untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan; (4) untuk memenuhi

(15)

kebutuhan nyata karyawan; dan (5) untuk memberikan bentuk pengupahan yang efesien terhadap pajak (Cushway, 1996). Bentuk fasilitas yang umum disediakan adalah mobil/transport, rumah, pensiun, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, kantin dan koperasi, fasilitas olah raga, cuti hamil/melahirkan, dan cuti yang berhubungan dengan keagamaan.

Pemberian kompensasi harus sesuai dengan tujuan dan sistem pemberian kompensasi. Menurut Dessler (2000), bahwa sistem pemberian kompensasi yang baik adalah sistem kompensasi yang mampu menciptakan sistem imbalan yang adil dan layak, baik bagi pihak perusahaan maupun karyawan, sehingga karyawan tertarik untuk bekerja dan termotivasi melakukan pekerjaan yang baik bagi majikan.

Wether dan Davis (1996), mengatakan apabila kompensasi tidak dikelola dengan baik, maka akan mengakibatkan peningkatan perpindahan tenaga kerja, absensi, ketidakpuasan, menurunkan semangat kerja dan produktivitas serta gagalnya pencapaian rencana strategis. Demikian juga menurut Notoatmojo (1998), kompensasi sangat penting sebagai karyawan sebagai individu, karena besarnya kompensasi mencerminkan ukuran nilai pekerjaan yang dilaksanakan oleh karyawan.

Program kompensasi penting bagi organisasi karena mencerminkan upaya organisasi untuk mempertahankan sumber daya manusianya. Kompensasi dalam bentuk Upah.gaji dan balas jasa lain merupakan komponen biaya yang paling besar bagi organisasi dan mempengaruhi semangat kerja para karyawan untuk bekerja lebih efektif. Menurut Handoko (2002), pemberian kompensasi kepada karyawan diperoleh banyak manfaat, antara lain penarikan lebih efektif,

(16)

peningkatan semangat kerja dan kesetiaan, penurunan perputaran karyawan dan absensi, hubungan masyarakat yang lebih baik, pemuasan kebutuhan karyawan, dan mengurangi ancaman intervensi pemerintah. Besar kecilnya kompensasi dapat mempengaruhi prestasi kerja, motivasi, kepuasan, dan semangat kerja karyawan.

Pada dasarnya tujuan pemberian kompensasi adalah untuk memberikan kepuasan kepada karyawan, sehingga karyawan dapat memenuhi kebutuhannya. Pemberian kompensasi yang mencukupi kebutuhan hidup karyawan, maka karyawan akan merasa tenang dan dapat berkonsentrasi untuk bekerja dengan penuh semangat, sehingga tidak terpikirkan olehnya mencari tambahan penghasilan di tempat kerja yang lain. Pemberian kompensasi yang adil sesuai dengan kemampuan kontribusi karyawan, dapat memelihara semangat kerja yang tinggi. Variabel kompensasi dalam penelitian ini digunakan indikator gaji pokok, tunjangan, insentif, dan fasilitas.

2.4 Kesempatan Berprestasi

Prestasi kerja merupakan perwujudan dari hasil kerja seseorang yang akan menentukan perkembangan kariernya pada masa yang akan datang. Menurut Hasibuan (2002) prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan. Kesempatan berprestsi merupakan salah satu dari tiga motif yang ada pada diri manusia yang mampu meningkatkan semangat kerja. Menurut Mc.Clelland dan Robbins (2001), motif yang ada pada diri manusia adalah motif berprestasi, motif berafiliasi, dan motif untuk berkuasa.

(17)

Setiap pencapain prestasi diikuti dengan perolehan yang mempunyai nilai bagi karyawan yang bersangkutan, baik dalam bentuk gaji dan upah, promosi, teguran atau pekerjaan yang lebih baik, yang sudah tentu mempunyai nilai yang berbeda bagi setiap orang yang berbeda. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana pimpinan dapat memberikan kesempatan bagi setiap karyawan dalam mengembangkan diri agar mampu berprestasi dan mengejar karier sesuai dengan hasrat untuk maju. Kesempatan untuk berprestasi inilah yang memberikan peluang besar bagi karyawan untuk promosi dan mengembangkan karir dalam menduduki jabatan, sehingga mereka akan bersemangat dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan.

Menurut Hasibuan (2002), promosi memberikan peran penting bagi setiap karyawan, bukan menjadi idaman yang selalu dinanti-nantikan. Sebab, dengan promosi berarti ada kepercayaan dan pengakuan mengenai kemampuan dan kecakapan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, karyawan akan terdorong bekerja lebih giat dan bersemangat, sehingga sasaran perusahaan secara optimal dapat dicapai. Sebaliknya, jika kesempatan untuk dipromosikan relatif kecil atau tidak ada, maka semangat kerja karyawan akan menurun. Menurut Sastrohadiwiryo (2002), meskipun yang berpengaruh terhadap meningkatnya semangat kerja tidak hanya promosi, masih banyak faktor lain yang mempengaruhi semangat kerja, tetapi promosi merupakan salah satu faktor pendorong yang dapat dilakukan demi terwujudnya semangat kerja yang tinggi. Semangat kerja karyawan dapat timbul apabila mereka mempunyai harapan dan diberikan kesempatan untuk maju. Sebaliknya, apabila karyawan tidak

(18)

mempunyai harapan dan kesempatan untuk maju, maka akan sulit untuk meningkatkan semangat kerjanya.

Selain promosi yang dapat mempengaruhi semangat kerja karyawan, maka pendidikan dan pelatihan dalam tugas juga bermanfaat untuk meningkatkan semangat kerja. Menurut Saydam (1996), bahwa hasil pendidikan dan pelatihan dapat meningkatkan rasa percaya diri yang lebih besar di kalangan para karyawan sehingga menimbulkan semangat kerja yang tinggi. Begitu besarnya peranan promosi serta pendidikan dan latihan dalam meningkatkan semangat kerja karyawan, maka pimpinan organisasi atau perusahaan harus bersikap terbuka terhadap semua aktvitas yang mengantarkan karyawan untuk dapat meningkatkan prestasi kerja. Misalnya, kesempatan mengikuti pendidikan jabatan dan kesempatan mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini variabel kesempatan berprestasi mempengaruhi semangat kerja dilihat dari indikator pendidikan jabatan, pendidikan formal, dan promosi jabatan.

2.5 Komunikasi

Dalam hubungan kerja karyawan harus mengadakan komunikasi dengan semua pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam situasi formal atau informal. Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas kantor, karena pengurusan informasi akan dapat berjalan dengan baik bila dalam kantor terdapat komunikasi yang efektif. Wursanto (2003), menyatakan komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari suatu pihak kepada pihak lain dalam usaha mendapatkan saling pengertian. Komunikasi sebagai proses untuk

(19)

membangkitkan perhatian orang lain yang bertujuan untuk menjalin kembali ingatan, dan untuk mencapai pikiran-pikiran yang dimaksud orang lain. Dengan komunikasi berarti ada proses pemberian informasi dari pimpinan kepada bawahan, sehingga para bawahan mengetahui apa yang harus dikerjakan dalam usaha kerjasama untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, bawahan akan menyampaikan informasi kepada atasan mengenai apa yang telah dan belum dilaksanakan sebagai pertanggung jawaban bawahan dalam melaksanakan tugas.

Disadari bahwa ketidaklancaran komunikasi sangat tidak menguntungkan dalam hubungan kerja. Sebab, banyak waktu yang terbuang sia-sia, perbaikan yang tak perlu hanya informasi yang salah, kekeliruan bawahan melaksanakan perintah, atau kurang pengertian bawahan terhadap instruksi yang diberikan oleh pimpinan membuat pekerjaan menjadi tidak efisien. Komunikasi yang efektif menciptakan iklim kerja yang sehat yang dapat meningkatkan semangat kerja. Komunikasi yang sehat dan terbuka adalah bersifat dialogis, yang berlangsung dua arah, sehingga memberi kesempatan untuk sumbang saran akan memberikan kepuasan tersendiri bagi bawahan (Anoraga, 2001). Disamping itu, mengakui dan menghargai pendapat bawahan secara tidak langsung mebuat bawahan merasa terlibat dengan pekerjaan, merasa senang melaksanakan tugas, dan semakin menghayati dirinya sebagai bagian dari unit kerjanya.

Menurut Wursanto (2003), bahwa dalam komunikasi administrasi ada dua, yaitu komunikasi formal dan komunikasi informal. Komunikasi formal meliputi berita yang secara resmi diakui organisasi, seperti perintah, instruksi, dan petunjuk dari atasan kepada bawahan, dan komunikasi informal merupakan

(20)

komunikasi tidak resmi. Dalam meningkatkan semangat kerja, komunikasi formal dan komunikasi informal sama-sama penting, karena keterbatasan komunikasi formal dalam memecahkan masalah dapat didekati dengan komunikasi informal.

Komunikasi juga dibedakan antara komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal. Komunikasi vertikal ada dua arus, yaitu arus ke bawah dan arus ke atas. Komunikasi ke bawah adalah arus informasi dari pimpinan kepada bawahan dalam bentuk petunjuk bagi bawahan dalam melaksanakan tugas; pemberian keterangan umum yang tidak tegas menyangkut bidang pekerjaan tertentu; pemberian perintah yang secara autoritative menunjukkan keadaan bawahan mengenai apa yang harus dikerjakan dalam kedudukan resmi; pemberian teguran yang dilakukan pimpinan untuk menunjukkan kesalahan atau kekurangan yang ada pada anggota organisasi dalam menjalankan tugas; dan pemberian pujian kepada anggota organisasi yang telah berhasil melaksanakan pekerjaan. Komunkasi ke atas, adalah informasi yang mengalir dari bawahan kepada pimpinan, yang bermanfaat untuk memberikan informasi yang diperlukan dalam mengambil keputusan; untuk meningkatkan partisipasi bawahan; dan untuk mengukur efektivitas kerja bawahan. Komunikasi ke atas dalam bentuk laporan, keluhan dan pendapat.

Mengenai hubungan komunikasi dengan semangat kerja, bahwa melalui komunikasi memungkinkan sesuatu ide tersebar dan dihayati anggota organisasi, karena komunikasi adalah merupakan darahnya organisasi. Menurut Wursanto (2003), komunikasi kantor sangat penting sebab: (1) dapat menimbulkan rasa kesetiakawanan, saling pengertian dan loyalitas; (2) meningkatkan semangat kerja

(21)

pegawai; (3) meningkatkan disiplin yang tinggi; (4) alat untuk meningkatkan kerjasama dan rasa tanggung jawab. Dalam penelitian ini variabel komunikasi mempengaruhi semangat kerja karyawan dilihat dari komunikasi, baik secara formal maupun informal.

2.6 Lingkungan Kerja

Manajemen yang baik adalah memikirkan tentang lingkungan kerja yang baik dan menyenangkan, karena sangat dibutuhkan oleh tenaga kerjanya. Secara umum lingkungan kerja dalam suatu organisasi merupakan lingkungan dimana para karyawan melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Lingkunagn kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas yang dibebankan (Nitisemito, 1996). Lingkungan kerja dalam suatu organisasi mempunyai peranan penting terhadap kelancaran pelaksanaan pekerjaan, karena lingkungan kerja yang baik bukan saja dapat memuaskan karyawan dalam melaksanakan tugas, tetapi berpengaruh juga dalam meningkatkan semangat kerja dan produktivitas.

Lingkungan kerja dalam suatu organisasi sangat penting untuk diperhatikan oleh pimpinan organisasi, karena lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap para karyawan yang bekerja. Lingkungan kerja yang memuaskan karyawan akan dapat meningkatkan semangat kerja, dan sebaliknya lingkungan kerja yang sangat tidak memuaskan dapat menurunkan semangat kerja dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja karyawan (Ahyari, 1986)

Lingkungan kerja adalah kondisi fisik dalam perusahaan yang dipersiapkan oleh manajemen perusahaan, yang meliputi penerangan yang cukup,

(22)

suhu udara yang tepat, suara bising yang dapat dikendalikan, penggunaan warna, ruang gerak yang diperlukan, serta keamanan kerja karyawan. Menurut Sedamayanti (1996), beberapa faktor yang dapat menentukan terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan dengan semangat kerja karyawan adalah: penerangan atau cahaya, temperatur atau suhu udara, kelembaban, sirkulasi udara, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, tata warna, dekorasi, musik, dan keamanan di tempat kerja.

Secara fisik yang mempengaruhi lingkungan kerja adalah bangunan tempat kerja, tata ruang kerja, peralatan kerja, sarana untuk malakukan kegiatan berkumpul, halaman kantor, tempat istirahat. Tempat kerja harus cukup luas untuk bergerak dan bersih dengan udara segar serta bebas dari gangguan. Oleh karena begitu pentingnya lingkungan kerja untuk menciptakan suasana kerja yang penuh semangat, maka menjadi kewajiban pimpinan organisasi untuk memperhatikan lingkungan kerja karyawan dengan baik dan berkelanjutan. Variabel lingkungan kerja dalam penelitian ini dilihat dari indikator yang meliputi : keleluasaan ruang gerak, penataan peralatan kantor, kebisingan, penerangan, kebersihan, kenyamanan, sirkulasi udara, dan keamanan kerja.

Adapun beberapa hasil penelitian yang berkaitan lingkungan kerja adalah sebagi berikut.

1) Tjatur (2005), judul penelitiannya Pengaruh Lingkungan Kerja, Teladan Pimpinan dan Kompensasi Terhadap Disiplin Kerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Bangli. Hasil penelitian menyatakan bahwa lingkungan kerja, teladan pimpinan dan kompensasi, secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap disiplin kerja karyawan. Bahwa lingkungan kerja

(23)

mempunyai pengaruh dominan terhadap disiplin kerja karyawan di Dinas Kesehatan Kab. Bangli.

2) Ratih (2008), dengan judul penelitiannya pengaruh pengembangan organisasi, kepemimpinan, karir dan lingkungan kerja fisik terhadap kepuasan kerja. Penelitian ini mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung pengembangan organisasi, kepemimpinan, karir dan lingkungan kerja fisik terhadap kepuasan kerja. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa Adanya pengaruh yang signifikan scara simultan dari variabel pengembangan organisasi, kepemimpinan, karir dan lingkungan kerja fisik terhadap kepuasan kerja pegawai.

3) Arnami (2009), dengan judul penelitiannya pengaruh lingkungan kerja dan stres kerja serta kompensasi terhadap motivasi kerja dan kinerja karyawan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa lingkungan kerja, stres kerja dan kompensasi berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja. Tetapi lingkungan kerja, stres kerja dan kompensasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan dan motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

4) Kristina (2007), dengan judul penelitiannya pengaruh lingkungan kerja dan stres kerja dan konflik kerja terhadap kinerja karyawan. Penelitian ini mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung lingkungan kerja, stres kerja dan konflik kerja terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa lingkungan kerja, stres kerja dan konflik kerja secara simultan

(24)

berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Begitu juga secara parsial masing-masing variabel berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

Referensi

Dokumen terkait

konsekwensi perjanjian tentang objek konsolidasi di lapangan di dapatkan data- data sebagai berikut, yakni dimana dari pelaksanaan perjanjian konsolidasi ini masyarakat

disebut agglomerative hirearchy clustering [10]. Pengelompokkan agglomerative biasanya divisualisasikan sebagai dendogram. Setiap penggabungan klaster diwakili oleh

Hal-hal yang memberikan kekhususan pola penyakit di suatu daerah dengan batas-batas alam ialah: keadaan lingkungan yang khusus seperti temperature, kelembaban,

Memang harus diakui bahwa al- Futūhat dan Fusūs al - hikam bukanlah kitab tafsir kon- vensional, sehingga tidak ada penafsiran yang sistimatis dari mulai surat

Menjelaskan prinsip diagnosis dan penatalaksanaan penyakit infeksi, dan autoimun sistem urogenital pada anak dan dewasa dengan pendekatan kedokteran keluarga.. Menjelaskan

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat pemberian formula rehidrasi oral berbasis beras (FROBB/ oralit beras) terhadap lama sakit anak usia 6-24 bulan yang

Buku ini dapat merepresentasikan keindahan Garut Selatan sehingga dapat membangkitkan keinginan pembaca untuk mengunjunginya.Perancangan didasarkan pada konsep yang

Dapat merumuskan dugaan atau jawaban sementara, atau menguji pemyataan yang ada dan mengandung hubungan dua variable atau lebih, biasanya mengandung cara kerja untuk