• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERADILAN PIDANA (Studi Kasus di Wilayah Hukum Jakarta Selatan) (JURNAL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERADILAN PIDANA (Studi Kasus di Wilayah Hukum Jakarta Selatan) (JURNAL)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERADILAN PIDANA

(Studi Kasus di Wilayah Hukum Jakarta Selatan)

(JURNAL)

M. Ibram Manggala

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERADILAN PIDANA

(Studi Kasus di Jakarta Selatan)

Oleh

M. Ibram Manggala, Maroni, Rini Fathonah Email : manggala.ibram1995@gmail.com

Hukum pidana bertujuan untuk melindungi dan menyelamatkan individu atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus dijaga agar tidak dimungkinkan kejahatan yang lolos disebabkan kesalahan dalam penyidikan. Seperti yang dialami Ucok dan Benges keduanya ditangkap dan ditahan atas tuduhan melakukan pembunuhan yang sama sekali tidak mereka lakukan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dan apakah faktor penghambat dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dalam peradilan pidana? Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dalam peradilan pidana di Indonesia sesungguhnya sudah diatur di dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang KUHAP jo PP 27 Tahun 1983 Pelaksanaan KUHAP Jo PP 92 Tahun 2015 tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yaitu dalam bentuk Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Ketentuan mengenai ganti kerugian meliputi tindakan penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pengadilan atau karena dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Sedangkan rehabilitasi dapat diperoleh oleh seseorang yang diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Lemahnya kemampuan profesionalisme penyidik, masyarakat dan korban salah tangkap yang kurang mengerti haknya, masyarakat dan korban salah tangkap yang hanya puas hanya dengan diberikan putusan bebas serta peraturan perundang-undangan yang mengatur belum mencerminkan asas peradilan yang cepat murah dan sederhana merupakan faktor penghambat dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap. Penulis menyarankan bahwa aparat penegak hukum sebagai pelindung, pengayom, penjaga tertib masyarakat diharapkan profesional dalam melakukan prosedur penangkapan, penahanan.Masyarakat atau korban salah tangkap diharapkan lebih tegas guna mendapatkan hak atas kekeliruan yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia bagi korban salah tangkap.

(3)

ABSTRACT

AN ANALYSIS OF LEGAL PROTECTION AGAINST VICTIMS OF FALSE ARREST IN THE CRIMINAL COURT

(A Case Study in South Jakarta)

By:

M. Ibram Manggala, Maroni, Rini Fathonah Email : manggala.ibram1995@gmail.com

The aims of criminal law are to protect and save individuals from vigilante action by public, therefore it is important to keep them straight and avoid the same mistake due to errors in the investigation process. As experienced by Ucok and Benges, both were arrested and detained on charges of murder that they did not commit at all. The problems in this research were formulated as follows: how is the legal protection against the victims of false arrest? and what are the inhibiting factors in implementing legal protection against the victims of false arrest in the criminal court? This research applied normative and empirical approaches. The data sources consisted of primary and secondary data. The data collection method in this research was carried out through library study and field study. The data analysis was calculated using qualitative data analysis. The results of this study indicated that the legal protection against victims of false arrest in the criminal justice in Indonesia has been regulated in Law No. 8 year of 1981 regarding Criminal Procedure Code (KUHAP) jo PP 27 Year of 1983, the implementation of KUHAP Jo PP 92 of 2015 on Revision of Government Regulation No. 27 year of 1983 on the implementation of KUHAP in the form of Indemnification and Rehabilitation. The provisions concerning indemnification included arrest, detention, prosecution or trial or for other acts with no cause which are legally based, or due to errors concerning the person or applicable law. While rehabilitation may be obtained by the accused who are freed or discharged from any lawsuit whose decision has permanent legal force. The inadequacy of the professionalism of the investigator, the public and the victims of false arrest who are lack of understanding of their rights, the public and the victims of false arrest who are satisfied only by the free decision and the regulating legislation which have not yet reflected the principle of fast, cheap, and simple, were the inhibiting factors in implementing legal protection against the victims of false arrest. The authors suggested that the law enforcement officers as patrons, protectors, guards of public order are expected to be truly professional in carrying out the procedure of arrest, detention, and misconduct of law enforcement against the perpetrators; also, the public or the victims of false arrest are expected to be more assertive if errors are found in the investigation conducted by police officers in order to get their rights of human errors resulting in human rights violations.

(4)

I. PENDAHULUAN

Perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya perlindungan terhadap korban merupakan salah satu bentuk perwujudan atas penghormatan, penegakan, dan penjaminan atas hak asasi manusia. Dengan menunjukkan adanya persamaan prinsip dan ide hak asasi manusia, dapat digambarkan bahwa antara negara hukum dan penegakan hak asasi manusia merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda.1 Sehingga upaya perlindungan hak asasi tersebut perlu adanya peraturan-peraturan larangan bagi sistem hukum dan kedudukan sistem peradilan pidana (SPP) dalam rangka perlindungan hak asasi manusia.

Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia masih berorientasi pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied). Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dari perundang undangan nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan penyimpangan dari Pasal 27 ayat (1) Undang–undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa: “Segala warga

negara bersamaan dengan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan Internasional, Bogor: Ghalia Indonesia, Hlm. 33

diperlakukan baik dan adil, sama kedudukannya di dalam hukum sesuai dengan asas equality be for the law, juga dalam pengertian apakah ia seorang tersangka atau korban suatu tindak pidana, perikemanusiaan sebagai sendi nilai falsafah Pancasila menjiwai seluruh keberadaan hukum di negara Indonesia, mulai dari UUD 1945 hingga kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya.2

Salah satu masalah yang terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana adalah terjadinya pelanggaran hak pada salah satu atau seluruh tingkat pemeriksaan. Pelanggaran tersebut dapat berupa pelanggaran prosedural, pelanggaran adminstratif , pelanggaran terhadap diri pribadi tersangka sampai pada pelanggaran berat seperti rekayasa saksi-saksi dan rekayasa bukti-bukti suatu perkara.3 Apabila suatu keterangan tersangka yang diduga telah melakukan tindak pidana dipergunakan sebagai alat bukti bagi penyidik ternyata perolehannya atas dasar tekanan atau paksaan yang berakibat penderitaan secara psikis dan fisik dan menimbulkan rasa takut. Perolehan keterangan sebagai alat bukti tersebut harus dinyatakan tidak sah karena bisa saja berisi suatu pengakuan yang terekayasa.4

Pelanggaran prosedur serta kesalahan tindakan identifikasi terhadap korban tindak pidana yang masih terjadi saat ini, dipandang sebagai akibat lemahnya kemampuan profesionalisme aparat

2 Leden Marpaung, 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta : Sinar Grafika, Hlm. 81.

3 O.C.Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Atas

Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan

(5)

penegak hukum. Kasus salah prosedur dan salah penyidikan dapat mengakibatkan kesalahan dalam menentukan pelakunya atau yang sering disebut dengan salah tangkap.

Salah tangkap atau yang biasa dikenal dengan sebutan error in persona ini bermula dari human eror atau kesalahan dari penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik. Kesalahan dalam proses penyidikan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Apabila terjadi kesalahan dalam proses ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka tersangka atau keluarganya dapat mengajukan praperadilan tentang ketidaksahan dari proses penangkapan tersebut sekaligus dapat menuntut ganti kerugian. Namun apabila kesalahan dari proses penangkapan tersebut tidak diketahui dan baru diketahui setelah perkaranya diputus oleh pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, maka terpidana atau terhukum bisa melakukan suatu upaya hukum luar biasa setelah putusan hakim tersebut meskipun telah berkekuatan hukum tetap (In Krach Van Gewijsde).5

Terhadap seorang terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya setelah diputus bersalah oleh suatu pengadilan tidaklah seketika tertutup jalan keadilan baginya. Keadilan dalam konteks apapun merupakan suatu hak bagi siapapun juga yang ingin mendapatkannya sesuai aturan yang berlaku di Indonesia. Tidak hanya bagi yang merasa dirugikan sebagai korban atas suatu kejahatan tetapi juga bagi

5 Anton Tabah, Menetap Dengan Mata Hati

Polisi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,1991, Hlm 23

yang diputus bersalah oleh pengadilan atas suatu kejahatan. merupakan kasus tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh para Terdakwa (Fikri, Pau, Fata dan Ucok) serta dua (2) orang lainnya yaitu Nurdin Priyanto alias Benges dan Andro Supriyanto alias andro (perkaranya diajukan terpisah). Berdasarkan isi surat dakwaan, perbuatan Terdakwa dilakukan karena ketidaksukaannya kepada korban yang tidak menunjukan rasa hormat sebagai pengamen baru di wilayah Cipulir. Akibat ketidaksukaan para Terdakwa, mereka merencanakan untuk memberi pelajaran kepada korban dengan menyiksa korban di bawah jembatan Cipulir. Selama penyiksaan tersebut, terjadilah penusukan terhadap korban yang dilakukan oleh Benges dan Andro disertai aksi pemukulan oleh para Terdakwa. Akibat penusukan tersebut, korbanpun akhirnya meninggal dunia.6

Setelah proses pemeriksaan polisi kepada para Terdakwa serta Benges dan Andro, dinyatakan bahwa mereka adalah pelaku pembunuhan terhadap korban. Penetapan mereka menjadi Terdakwa berdasarkan pengakuan para Terdakwa selama proses pemeriksaan. Hal yang menarik di kasus ini adalah ketika para Terdakwa mencabut segala keterangan mereka di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Para Terdakwa mengaku di persidangan bahwa mereka disiksa dan dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku ketika diperiksa oleh para penyidik. Selain itu ada juga keterangan dari saksi yang menyatakan

(6)

bahwa pelaku pembunuhan terhadap korban bukanlah para Terdakwa melainkan orang lain yang bernama Iyan, Brengos dan Jubai. Melihat keseluruhan isi kasus ini, bisa dilihat terdapat beberapa isu menarik seperti adanya dugaan penyiksaan terhadap para terdakwa dan adanya dugaan salah tangkap yang dilakukan oleh penyidik.7

Salah tangkap yang menimpa terpidana Andro Supriyanto alias andro dan Nurdin Priyanto alias Benges tersebut menimbulkan konsekuensi hukum bagi para terpidana, selain dia dapat mengajukan Peninjauan kembali dan menuntut pembebasannya karena terpaksa menjalani hukuman atas tuduhan kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan. Para terpidana ini juga dapat menuntut Ganti kerugian dan Rehabilitasi.

Terjadinya salah tangkap terhadap orang-orang yang tidak sama sekali bersalah, bahkan lebih dari sekedar penangkapan, orang yang tidak bersalah tersebut terkadang mau tidak mau harus merasakan pahitnya penahanan dengan kurungan, menghadapi hukuman yang sama sekali tidak diperbuat oleh korban. Hal ini sudah pasti mengalami mental dan fisik yang negatif pula bagi si korban, selain mendapati kerugian-kerugian besar bagi keluarga korban salah tangkap tersebut yang sebagian merupakan tulang punggung bagi kehidupan keluarganya selama ini, kemudian pada akhirnya di ketahui terjadinya kesalahan, tetapi hanya dengan membebaskan atau meminta maaf kepada korban salah tangkap tanpa melihat kerugian-kerugian yang diterima si korban. Hal tersebut sudah jelas tidak bertanggung jawab atas

7Ibid

kesalahan yang diperbuat oleh Polri sebagai penyidik.

Berdasarkan pemaparan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam penuliasan skripsi yang berjudul Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Dalam Peradilan Pidana (Studi Kasus Di Jakarta Selatan)

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jabarkan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dalam peradilan pidana?

2) Apakah faktor penghambat pelaksanaan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dalam peradilan pidana?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif.

II. PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum terhadap Korban Salah Tangkap dalam Peradilan Pidana

Perlindunganhukum adalah

(7)

Raharjo.8Perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif. Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.9

Penegakan hukum pada hakikatnya adalah usaha atau upaya untuk menciptakan keadilan. Proses pemenuhan rasa keadilan masyarakat melalui penegakan hukum sampai sekarang ini masih belum memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum, tetapi perlindungan dari aparat penegak hukum malah menimbulkan kesakitan terhadap korban (masyarakat awam yang menjadi salah tangkap) yang dimana seharusnya mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum tapi malah menjadi kekeliruan hukum dalam penerapan penegak hukum dalam melindungi masyarakat.

Salah satu masalah yang terjadi dalam melakukan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum adalah terjadinya pelanggaran hak pada salah satu atau seluruh tingkat pemeriksaan. Pelanggaran tersebut dapat berupa pelanggaran prosedural, pelanggaran adminstratif , pelanggaran terhadap diri pribadi tersangka sampai pada pelanggaran berat seperti rekayasa saksi-saksi dan rekayasa bukti-bukti

8Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hlm 54 9 Maria Al fons, 2010,Implentasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-Produk Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak kekayaan Intelektual, Universitas Brawijaya, Malang, Hlm 18.

suatu perkara.10 Apabila suatu keterangan tersangka yang diduga telah melakukan tindak pidana dipergunakan sebagai alat bukti bagi penyidik ternyata perolehannya atas dasar tekanan atau paksaan yang berakibat penderitaan secara psikis dan fisik dan menimbulkan rasa takut. Perolehan keterangan sebagai alat bukti tersebut harus dinyatakan tidak sah karena bisa saja berisi suatu pengakuan yang terekayasa.11

Pelanggaran prosedur serta kesalahan tindakan identifikasi terhadap korban tindak pidana yang masih terjadi saat ini, dipandang sebagai akibat lemahnya kemampuan profesionalisme aparat penegak hukum. Kasus salah prosedur dan salah penyidikan dapat mengakibatkan kesalahan dalam menentukan pelakunya atau yang sering disebut dengan salah tangkap. Salah tangkap atau yang biasa dikenal dengan sebutan error in persona ini bermula dari human eror atau kesalahan dari penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik. Kesalahan dalam proses penyidikan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya.

Berdasarkan contoh kasus diatas setelah proses pemeriksaan polisi kepada para terdakwa yaitu Benges dan Andro, dinyatakan bahwa mereka adalah pelaku pembunuhan terhadap korban. Penetapan mereka menjadi terdakwa berdasarkan pengakuan para terdakwa selama proses pemeriksaan. Hal yang menarik di kasus ini adalah ketika para Terdakwa mencabut segala keterangan mereka di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Para terdakwa mengaku di

10Ibid

(8)

persidangan bahwa mereka disiksa dan dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku ketika diperiksa oleh para penyidik. Selain itu ada juga keterangan dari saksi yang menyatakan bahwa pelaku pembunuhan terhadap korban bukanlah para terdakwa melainkan orang lain yang bernama Iyan, Brengos dan Jubai. Melihat keseluruhan isi kasus ini, bisa dilihat terdapat beberapa isu menarik seperti adanya dugaan penyiksaan terhadap para Terdakwa dan adanya dugaan salah tangkap yang dilakukan oleh penyidik.

Analisis kasus salah tangkap yang menimpa ucok dan benges ini adalah Penuntut Umum menetapkan para terdakwa sebagai pelaku pembunuhan terhadap korban berdasarkan keterangan yang dicantumkan di BAP, sedangkan isi BAP sendiri dinilai penuh rekayasa karena adanya dugaan penyiksaan saat proses pemeriksaan oleh para penyidik. Di dalam amar putusan, majelis hakim tidak sependapat akan adanya penyiksaan terhadap para Terdakwa karena saksi--‐saksi yang diajukan penasehat hukum tidak dapat menunjuk polisi mana yang melakukan penyiksaan, dan saksi verbalisan juga

menyatakan tidak pernah

melakukannya. Selain itu menurut keterangan saksi verbalisan juga menyatakan bahwa ketika para terdakwa menandatangani BAP sudah didampingi oleh tim Penasehat Hukum.

Saksi yang diajukan oleh pihak Penasehat Hukum terdakwa menyatakan bahwa pelaku sebenarnya terhadap korban bukanlah para terdakwa di dalam perkara ini, melainkan Jubai, Brengos dan Iyan. Para saksi tersebut mengetahuinya setelah mendengar pengakuan dari para ketiga orang tersebut. Hal ini juga diperkuat berdasarkan keterangan saksi

Mardiyanto dan Ustadzi Wazis yang melihat Iyan, Jubai dan Brengos pergi menaiki motor bersama korban namun sekembali mereka sudah penuh luka dan darah tanpa adanya korban bersama mereka. Majelis hakim juga mempertimbangkan adanya dugaan bahwa para terdakwa bukanlah pelaku atas pembunuhan terhadap korban, namun majelis hakim menilai bahwa para saksi yang diajukan pihak terdakwa tidak kuat dikarenakan tidak ada yang mengetahui peristiwa pembunuhan terhadap korban Dicky Maulana, sehingga majelis hakim tetap menyatakan bahwa para Terdakwa adalah pelaku di perkara ini.

Berdasarkan pertimbangan majelis hakim di perkara ini, terlihat majelis hakim lebih percaya sepenuhnya terhadap keterangan penyidik, padahal keterangan dari pihak penyidik perlu dibuktikan dengan adanya keterangan saksi lainnya, tidak bisa keterangan penyidik dinilai berdiri sendiri karena keterangan dari pihak penyidik dinilai

mempunyai konflik

kepentingan.12Pertimbangan majelis hakim yang menilai para saksi dari pihak terdakwa tidak mengetahui peristiwa pembunuhan terhadap korban dinilai meragukan jika melihat majelis hakim mempercayai isi keterangan dari saksi penyidik karena keterangan saksi dari pihak penyidik juga tidak memperlihatkan mereka mengetahui peristiwa pembunuhan secara langsung. Menurut Yahya Harahap, pembuktian akan keterangan saksi yang bertentangan antara satu dengan yang lain harus disingkirkan sebagai alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum, keterangan semacam itu tidak mempunyai nilai pembuktian maupun

12 Mahkamah Agung RI, Putusan Nomor

(9)

kekuatan pembuktian.13 Dalam menilai terhadap seluruh keterangan saksi, hakim di dalam perkara ini harus dapat menggali lebih dalam mengenai fakta peristiwa yang terjadi.Seharusnya majelis hakim di dalam perkara ini perlu melakukan suatu tindakan yang lebih dalam menggali keterangan para saksi yang diajukan. Adanya keterangan pelaku lain tidak bisa serta merta dikesampingkan. Sebenarnya majelis hakim bisa meminta untuk dihadirkan para nama yang diduga sebagai pelaku sebenarnya untuk diperiksa di pengadilan, karena majelis dalam memutus suatu perkara pidana harus disertai keyakinan bahwa memang para terdakwalah yang melakukannya.14

Berdasarkan adanya dugaan pelaku lain juga memperlihatkan bahwa kinerja Jaksa dalam meneliti berkas perkara ini tidak maksimal, terlihat dari saksi yang diajukan sebagai alat bukti di persidangan, hampir keseluruhan saksi yang dihadirkan mempunyai nilai konflik kepentingan. Seharusnya ketika Jaksa dapat memberikan petunjuk kepada penyidik untuk melengkapi berkas perkara tersebut. Penetapan para Terdakwa sebagai tersangka juga berdasarkan pengakuan dari para Terdakwa yang dikaitkan dengan pengakuan Andro dan Benges (terdakwa yang perkaranya diajukan secara terpisah), seharusnya dari hal ini saja, Jaksa bisa melihat bahwa alat bukti yang ada belum cukup kuat untuk dilimpahkan ke pengadilan. Penuntut umum harus memahami bahwa penyidikan merupakan tempat untuk meletakan dasar-dasar dalam

13Yahya Harahap, 2009, Pembahasan

Permasalahan dan Penerapam KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika,Hlm. 289

14 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, Ps. 183

keberhasilan proses penuntutan yang akan dilakukannya, 15sehingga Jaksa seharusnya bisa lebih aktif untuk menggali mengenai fakta peristiwa perkara ini, selain itu jaksa juga seharusnya tidak terlalu cepat menyatakan bahwa berkas perkara ini sudah lengkap ketika alat bukti yang ada belum mempunyai kekuatan sebagai alat bukti.

Kasus diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa kesalahan yang terjadi sehingga mengakibatkan salah tangkap adalah dari pihak penyidik yang kurang cermat dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Berdasarkan kasus ini juga terlihat bahwa penyelidikan dan penyidikan ini merupakan poin penting dalam melakukan penegakan hukum dalam kasus pidana karena kesalahan dalam proses penyidikan dan penyelidikan ini merupakan awal mula terjadinya kasus salah tangkap. Mengenai penyelidikan dan penyidikan ini diatur dalam Perkap No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Pada kasus yang dialami oleh ucok dan benges, tindakan yang dilakukan oleh penyidik telah menyimpang dari kode etik profesi Kepolisian Republik Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari kecerobohan yang dilakukan oleh penyidik, di dalam kasus ini penyidik menganggap yang benar adalah salah dan yang salah adalah benar. Salah tangkap atas Ucok dan Benges merupakan bukti penyidik telah melanggar kode etik profesi pada poin a. Selain hal itu penyidik juga juga memihak pada kepentingannya sendiri untuk mempercepat proses penyidikan yaitu dengan tidak melakukan tes DNA

(10)

pada mayat korban. Penyidik yang menangani kasus Ucok dan Benges juga dapat dikatakan telah melanggar kode etik profesi yang ada dalam poin f, penyidik telah menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik yang menimbulkan penderitaan bagi korban. Penyidik melakukan kekerasan untuk mencari keterangan dari Ucok dan Benges. Penulis menyimpukan bahwa penyidik melakukan kesalahan-kesalahan dan telah melanggar kode etik profesi kepolisian dalam proses penyidikan dan penangkapan Ucok dan Benges.

Bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh polisi dibedakan menjadi 2 yaitu berupa tanggung jawab yang bersifat materiil dan immaterial. Tanggung jawab materiil yaitu mengenai sanksi pernyataan maaf secara terbatas dan secara terbuka artinnya untuk permohonan maaf secara terbatas dilakukan oleh pelanggar secara langsung baik lisan ataupun tulisan kepada pihak ketiga yang dirugikan oleh pelanggar. Sedangkan pernyataan maaf secara terbuka adalah permintaan maaf dan penyesalan secara tidak langsung melalui media massa kepada pihak ketiga yang telah dirugikan oleh pelanggar. Sedangkan tanggung jawab yang bersifat immaterial yaitu mengenai sanksi berupa kewajiban pembinaan ulang di Lembaga Pendidikan Polri yaitu apabila pelanggar telah terbukti secara sah melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebanyak dua kali atau lebih. Selain pembinaan ulang, pelanggar yang dikenai sanksi tidak lagi layak untuk menjalankan profesi kepolisian adalah pelanggar yang menurut sidang Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonseia sudah tidak pantas lagi untuk mengemban tugas kepolisian sebagaimana yang diatur dalam Pasal

14,15, dan 16 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dan untuk itu berdasarkan saran dan pertimbangan dari ketua sidang Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonseia tersebut terhadap pelanggar dapat diberikan sanksi berupa sanksi administratif seperti tour of duty, sanksi pemberhentian dengan hormat, atau sanksi pemberhentian dengan tidak hormat.

(11)

penulis ini sangat bagus, karena tidak mungkin kerugian yang mengakibatkan cacat dan luka berat disamakan dengan kerugian yang mengakibatkan kematian.

Penulis berpendapat bahwa rehabilitasi terhadap terpidana dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat terpidana yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum yakni berupa pemidanaan atas dirinya. Terhadap terpidana dalam kasus salah tangkap yang menimpa Ucok dan Benges ini, rehabilitasi menjadi suatu hal yang sangat penting karena dengan terpidana mendapatkan kembali nama baiknya yang sempat tercemar atas tindakan pidana yang tidak pernah dilakukannya. Dengan didapatkannya rehabilitasi, maka diharapkan Ucok dan Benges dapat diterima kembali dalam ruang lingkup pergaulan masyarakat. Untuk itu, isi rehabilitasi ini perlu diberitahukan kepada masyarakat.

Berdasarkan kasus salah tangkap ucok dan benges pengumuman rehabilitasi tidak perlu dipersoalkan lagi, hal ini disebabkan media massa yang ada di Indonesia sudah menyebarkan secara besar-besaran. Secara tidak langsung, pemberitaan atas terpidana Ucok dan Benges juga turut membantu pengumuman rehabilitasi atas dirinya. Pemberitaan atas kasus salah tangkap yang menimpa Ucok dan Benges menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh banyak pihak. Berbagai pihak melakukan pengkajian atas masalah ini, mulai dari masyarakat awam sampai para pakar hukum. Pemberitaan yang dilakukan itu meliputi pemberitaan oleh televise, Koran, radio bahkan internet. Karena itu, dapat dikatakan bahwa maraknya pemberitaan atas kasus ini menjadikan

pengumuman atas rehabilitasi terpidana menjadi sarana yang efektif.

B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Dalam Peradilan Pidana

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, faktor penghambat dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap yaitu : 1. Faktor Undang-Undang yang

Mengatur

Irwan Setyawan menyatakan bahwa undang-undang yang dimaksud disini adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh pemerintah pusat ataupun daerah. Dalam hal ganti kerugian, KUHAP

sudah mengatur hak

tersangka/terdakwa yang tidak terbukti bersalah dan dijatuhi putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan berhak menuntut ganti kerugian. KUHAP juga telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1983 Tentang pelaksanaan KUHAP (Kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP) dan juga PP No 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983 serta dilengkapi dengan Peraturan Menteri Keuangan

Republik Indonesia

No.983/KMK.01/1983 yang mengatur proses pembayaran ganti kerugian.16

16Wawancarapadatanggal1 Maret2018, Irwan

(12)

2. Faktor aparat penegak hukum dan Criminal Justice System

a. Aparat penegak hukum

Sandra Anggita menyatakan Aparat penegak hukum pada dasarnya ingin diakui eksistensinya ditengah-tengah masyarakat. Namun, dalam

menjalankan tugas dan

kewenangannya seringkali keluar dari aturan yang diatur dalam perundang-undangan. Dengan adanya forum praperadilan maka tersangka yang menjadi korban kesewenang-wenangan aparat penegak hukum diberikan tempat untuk memperjuangkan haknya, dalam menuntut ganti kerugian kepada negara. Namun, dalam memperjuangkan hak tersangka tersebut tidak mudah, karena harus berhadapan dengan aparat penegak hukum itu sendiri. Hal inilah yang turut mempengaruhi sehingga sangat kurang gugatan praperadilan yang dikabulkan karena dengan

banyaknya permohonan

peraperadilan yang dikabulkan akan mempengaruhi eksistensi dari aparat penegak hukum.17

b. Criminal Justice System

Sandra Anggita menyatakan bahwa aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tidak berhubungan satu sama lain. Polisi dan jaksa menjalankan tugas dan kewenangannya bersifat eksekutif, yang artinya hanya mewujudkan tujuan hukum dari segi kepastian

hukum sedangkan hakim

menjalankan tugas dan

kewenangannya selain sebagai eksekutif berperan pula sebagai yudikatif, artinya selain dituntut

17Wawancarapadatanggal28 Februari2018,

Sandra Anggita Selaku Kepala Sub Bagian Pelayanan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

untuk mewujudkan kepastian hukum, dituntut pula untuk mewujudkan tujuan hukum yang lain yaitu kemanfaatan dan keadilan.18

3. Masyarakat atau korban salah tangkap yang cendrung tidak mengerti akan haknya

Irwan Setyawan menyatakan bahwa pada umumnya masyarakat dan juga korban salah tangkap itu sendiri tidak mengetahui adanya ganti kerugian dari negara apabila dikenakan tindakan upaya paksa tidak sah atau salah tangkap oleh aparat penegak hukum dan ada pula masyarakat yang telah mengetahui hal tersebut, tetapi tidak mengetahui kemana harus mengadu/melapor dan bagaimana prosesnya untuk mendapatkan ganti kerugian hal ini menyulitkan dalam menerapkan pelaksanaan perlindungan hukum dalam hal ini adalah pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi atas tindakan kasus salah tangkap.19

4. Faktor Budaya

Sebagian besar masyarakat yang pernah mengalami kasus salah tangkap atau error in persona, memilih untuk tidak menuntut ganti kerugian karena sudah merasa bersyukur dan puas apabila sudah bebas dari tahanan. Selain itu, mereka dengan sangat mudah memaafkan kesalahan aparat penegak hukum tersebut, mereka beranggapan bahwa aparat penegak hukum itu juga adalah manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan.

18Wawancarapadatanggal28 Februari2018,

Sandra Anggita Selaku Kepala Sub Bagian Pelayanan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

19Wawancarapadatanggal1 Maret2018, Irwan

(13)

5. Faktor Psikologi

Masyarakat pada umumnya kurang mempercayai aparat penegak hukum, khususnya masyarakat yang berpendidikan rendah mereka beranggapan bahwa hanya orang yang berduit saja yang akan mendapatkan keadilan, stigma pemikiran inilah yang mempengaruhi masyarakat sehinga lebih banyak yang tidak ingin berhubungan dengan pengadilan apalagi dalam menuntut ganti kerugian, mereka beranggapan bahwa untuk menuntut ganti kerugian hanya akan memperpanjang masalah dan buang waktu saja karena walaupun menggugat tidak akan dikabulkan.20

Sanusi Husin menyatakan bahwa faktor yang menjadi penghambat dalam perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap adalah faktor hukum yang tidak jelas, dalam arti isi dari suatu peraturan itu tidak merinci cara pelaksanaannya. Hal ini menimbulkan kesimpangsiuran tersendiri dalam penerapan hukum dalam kasus salah tangkap tersebut. Dengan adanya kesimpangsiuran tersebut, maka akan menyebabkan suatu ketidakpastian hukum sehingga hal ini akan mengakibatkan kesulitan dalam pemenuhan hak asasi yang dimiliki oleh terpidana. Selain dari faktor hukum hal yang menjadi penghambat dalam perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap adalah faktor aparat penegak hukum yang dirasa dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya masih didapati terjadi kesewenang wenangan atau kekeliruan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. hal ini

20Wawancarapadatanggal28 Februari2018,

Sandra Anggita Selaku Kepala Sub Bagian Pelayanan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

yang menyebabkan masih sering ditemukannya kasus salah tangkap.21

Penulis berpendapat bahwa faktor penghambat yang paling urgen yang menjadi penghambat dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap adalah faktor undang-undang yang mengatur dalam hal tata cara pelaksanaan dan pengajuan dari ganti kerugian dan rehabilitasi itu sendiri sebagai bentuk dalam perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap. Memang benar, pengajuan dan pelaksanaan ganti kerugian sudah diatur dalam PP No 92 Tahun 2015 tentang Revisi Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983, namun dalam peraturan tersebut masih ditemukan beberapa hal yang tidak sesuai yang harus segera dilaksanakan pembaharuan terkait isi dalam peraturan tersebut, seperti dalam hal waktu pengajuan ganti kerugian yang hanya 3 bulan dari saat petikan atau salinan putusan diterima oleh terpidana atau korban salah tangkap.

Tuntutan ganti kerugian atas tindakan pelanggaran dalam penyelidikan dan penyidikan merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat diatur jangka waktu minimalnya. Karena hak tersangka/ terdakwa untuk mendapatkan keadilan atas tindakan pelanggaran tidak mesti dibatasi dengan jangka waktu. Hal ini merugikan tersangka/ terdakwa yang kurang mampu baik dari segi pendidikan, pengetahuan maupun finansial. Karenanya tersangka/ terdakwa kebanyakan mengetahui bahwa dirinya dirugikan dengan tindakan pelanggaran dalam penyidikan setelah beberapa lama sejak adanya

(14)

putusan, bahkan sekarang di persingkat pada saat tanggal petikan putusan dibacakan atau diterima oleh terdakwa. Oleh karena itu, faktor hukum ini menjadi faktor yang paling urgen yang harus segera dibenahi oleh pemerintah agar perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap bisa dilaksanakan dengan baik.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, maka penulis telah mengambil beberapa kesimpulan yaitu: 1. Perlindungan hukum terhadap

korban salah tangkap dalam peradilan pidana di Indonesia sesungguhnya sudah diatur di dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu dalam bentuk Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Ketentuan mengenai ganti kerugian meliputi tindakan penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pengadilan atau karena dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Pengajuan ganti kerugian atas putusan yang telah diajukan sampai dalam tahap pengadilan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri. Proses pengajuan ganti kerugian diawali dahulu dengan pengajuan permohonan peninjauan kembali. Tujuannya adalah untuk dapat membatalkan putusan yang sebelumnya. Setelah permohonan peninjauan kembali, maka kemudian terpidana dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri. Besarnya tuntutan ganti

kerugian yang dapat diajukan oleh korban salah tangkap berdasarkan PP No 92 Tahun 2015 tentang Revisi Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983 yaitu jumlah nilai ganti kerugian untuk korban salah tangkap adalah sebesar 500.000 (lima ratus ribu rupiah) sampai 100.000.000 (seratus juta rupiah), untuk tindakan dari aparat penegak hukum yang mengakibatkan sakit atau cacat adalah sebesar 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) sampai 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan untuk tindakan yang menyebabkan kematian adalah sebesar 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai 600.000.000 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan rehabilitasi dapat diperoleh oleh seseorang yang diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi diberikan dan diajukan sekaligus dalam amar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap yaitu: faktor Undang-Undang yang mengatur, faktor aparat penegak hukum dan criminal justice system, faktor masyarakat atau korban salah tangkap yang cendrung tidak mengerti akan haknya, faktor budaya, dan faktor psikologi karena masyarakat pada umumnya kurang mempercayai aparat penegak hukum, khususnya masyarakat yang berpendidikan rendah.

B. Saran

(15)

1. Pemerintah selaku pihak yang memiliki otoritas dalam pembuatan, pembaharuan dan penyusunan perundang-undangan, diharapkan dapat segera melakukan penyederhanaan dalam hal prosedur dan tata cara pelaksanaan pemberian ganti kerugian karena tata cara yang sebelumnya terkesan berbelit-belit sehingga terkesan menyulitkan dalam hal pengajuan ganti kerugian. Pemerintah diharapkan juga melakukan pembaharuan hukum terkait jangka waktu dalam mengajukan tuntutan ganti rugi yang hanya 3 bulan terhitung dari tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan. Karena tuntutan ganti kerugian atas tindakan pelanggaran dalam penyelidikan dan penyidikan merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat diatur jangka waktu minimalnya. Karena hak tersangka/ terdakwa untuk mendapatkan keadilan atas tindakan pelanggaran tidak mesti dibatasi dengan jangka waktu. Hal ini merugikan tersangka/ terdakwa yang kurang mampu baik dari segi pendidikan, pengetahuan maupun finansial.

2. Aparat penegak hukum sebagai pelindung, pengayom, penjaga tertib masyarakat diharapkan harus benar-benar profesional dalam melakukan prosedur penangkapan, penahanan, serta kekeliruan penerapan hukum terhadap pelaku. Aparat penegak hukum harus menyelidiki lebih dalam lagi tentang kasus yang sedang ditanganinya, agar tidak melakukan salah tangkap kepada seseorang dan dalam proses pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan, aparat penegak hukum harus menggunakan metode-metode yang tepat untuk mencari keterangan dari seseorang tersebut.

3. Masyarakat atau korban salah tangkap sendiri diharapkan untuk lebih tegas lagi apabila didapati kesalahan dalam penyidikan yang dilakukan aparat kepolisian guna mendapatkan hak atas kekeliruan yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia bagi korban salah tangkap.

DAFTAR PUSTAKA

Alfons, Maria. 2010.Implentasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-Produk Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak kekayaan Intelektual. Universitas Brawijaya. Malang.

Efendi. H.A.Mansyur. 1993.Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia.

Harahap, Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapam

KUHAP Penyidikan dan

Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika.

Kaligis, O.C.. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka. Terdakwa dan Terpidana. Bandung: PT.Alumni.

M. Hadjon, Pjillipus.Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Op cit. Hlm 2

Malamassam, Jhon Ilef.

2012.Optimalisasi Prapenuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta:Fakultas Hukum UI.

Marpaung, Leden. 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm. 81.

Prakoso, Djoko. 1984. Upaya Hukum

yang di atur dalam

(16)

Raharjo, Satijipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm 54

Tabah, Anton. 1991. Menetap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.

Mahkamah Agung RI. Putusan Nomor 1531/K/Pid.Sus/2010.

Referensi

Dokumen terkait

Ganti Kerugian;Korban;Penangkapan;Salah Tangkap. Dalam melakukan penangkapan penyidik harus benar-benar memperhatikan ketentuan dan aturan hukumnya, akan tetapi jika dari

PEMBAYARAN GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM KONSTELASIv.

Ketentuan ganti kerugian kepada pihak ketiga atau korban delik terdapat beberapa variasi dibeberapa negara, sebagaimana telah diutarakan di muka, penggabungan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pembyaran ganti kerugian terhadap korban kecelakaan lalu lintas, lalu untuk mengetahui

BAB II : TAHAPAN DALAM PROSES PENYIDIKAN DAN SANKSI HUKUM TERHADAP PENYIDIK DALAM SALAH TANGKAP SERTA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN A.. Tugas dan wewenang

Bagi korban pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan, tidak mudah untuk dapat menggugat ganti kerugian kepada pelaku. Apabila mengajukan gugatan secara

offender oriented tidak terlihat dalam UU ITE 2016 sebab sekalipun terjadi tindak pidana yang menimbulkan kerugian bagi korban, UU ITE 2016 tidak mengatur tentang ganti

Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan