• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERA. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERA. pdf"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

NOMOR 43 TAHUN 2007

(Suatu Studi di Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat)

I KOMANG RUPADHA

ABSTRAKS

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis implementasi atau pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan, baik secara institusional maupun secara fungsional. Selanjutnya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis apakah penyelenggaraan perpustakaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 43 Tahun 2007, dan kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam penyelenggaraan perpustakaan, dan kebijakan apa yang dilaksanakan dalam upaya untuk mengatasi kendala tersebut.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empirik, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji hukum dalam prakteknya di lapangan. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis yuridis, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konsep. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini dalah analisis secara kualitatif, kemudian penarikan kesimpulan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan logika berfikir secara induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kewenangan pemerintah daerah dalam penyelengaraan perpustakaan, secara institusional telah direalisasikan dengan penetapan Perda Provinsi NTB No. 8 Tahun 2008, dan Pergub NTB No.22 Tahun 2008. Sedangkan secara fungsional implementasi kewenangan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, dalam penyelenggaraan perpustakaan belum semua dapat terlaksana sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

(2)

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan merumuskan bahwa perpustakaan adalah suatu institusi atau lembaga yang mengelola koleksi yang berupa karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam, yang dilaksanakan secara profesional dengan sistem yang baku dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi, pendidikan, penelitian, pelestarian, dan rekreasi para pemustaka/pengguna perpustakaan. Perpustakaan mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai wahana dan pusat sumber informasi.

Dalam keberadaannya sebagai pusat sumber informasi, perpustakaan menjalankan fungsi mengelola dan melestarikan gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia, sebagai kekayaan budaya dan hasil karya intelektual umat manusia. Tujuan dari pelaksanaan fungsi itu tidak lain adalah terbentuknya masyarakat yang mempunyai budaya membaca dan belajar sepanjang hayat. Dengan demikian perpustakaan mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena esensi atau hakikat penyelenggaraan perpustakaan tidak lain adalah sebagai salah satu wujud dari upaya pemerintah Indonesia untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kecerdasan bangsa tidak lain merupakan cita-cita luhur kemerdekaan dan salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga oleh karenanya, maka penyelenggaraan perpustakaan merupakan suatu kewajiban dan menjadi tanggung jawab pemerintah.

(3)

penyelenggaraan perpustakaan, maka implementasinya dimungkinkan akan menjadi tidak sama diantara daerah yang satu dengan daerah lainnya, sebagai akibat dari bervariasinya kemampuan manajemen dan finansial yang dimiliki oleh setiap daerah, serta adanya perbedaan pemahaman dan persepsi mengenai peran dan fungsi perpustakaan. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 43 Tahun 2007, yang diundangkan pada tanggal 1 Nopember 2007 dalam Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 129, Tambahan L.N. RI No. 4774, maka diharapkan semua kebijakan Kepala Daerah yang menyangkut mengenai penyelenggaraan perpustakaan harus mengacu pada ketentuan Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tersebut.

Masalah kewenangan pemerintah daerah, khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan perpustakan dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu kewenangan secara institusional dan kewenangan secara fungsional. Kewenangan institusional menunjuk kepada kewenangan yang dilihat dari sisi fungsi pengaturan yaitu kewenangan pemerintah daerah untuk menetapkan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan secara normatif mengenai penyelenggaraan perpustakaan. Sedangkan kewenangan fungsional menunjuk pada kewenangan pemerintah daerah dilihat dari sisi pelaksanaan tugas dan fungsi layanan perpustakaan. Kewenangan pemerintah daerah secara institusional terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 10, sedangkan kewenangan fungsional terkait dengan penyelenggaraan layanan perpustakaan yang secara normatif diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 14 UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

Mengingat bahwa pelaksanaan fungsi pelayanan perpustakaan merupakan ujung tombak yang menentukan dan yang dijadikan sebagai barometer dari keberhasilan penyelenggaraan perpustakaan, maka pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah secara fungsional ini diharapkan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka pokok permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a) Bagaimanakah pengaturan dan implementasi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam penyelenggaraan perpustakaan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan ?

(4)

Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah sesuai dengan amanat UU No. 43 Tahun 2007 ?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan penelitian

Sesuai dengan perumusan permasalahan pokok yang diajukan dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah pengaturan

dan implementasi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat di dalam penyelenggaraan perpustakaan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

2) Untuk mengetahui, menganalisis, dan memahami apakah penyelenggaraan perpustakaan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat tersebut sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 43 Tahun 2007.

b. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pemikiran dalam rangka pengembangan teori-teori atau konsep-konsep hukum khususnya yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah, sebagai antisipasi dalam menghadapi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah khususnya dalam penyelenggaraan perpustakaan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

B. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah a. Jenis Penelitian

(5)

data empirik yang berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan secara nyata kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan, yang dilakukan melalui studi lapangan.

b. Pendekatan Masalah

Sesuai dengan jenis penelitian, maka metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan sosiologis yuridis dan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan sosiologis yuridis yaitu pendekatan yang dilakukan dengan melihat implementasi dari penyelenggaraan perpustakaan tersebut dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhubungan dengan penyelenggara-an perpustakapenyelenggara-an. Pendekatpenyelenggara-an perundpenyelenggara-ang-undpenyelenggara-angpenyelenggara-an (Statute Approach), adalah pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan yang terkait serta ketentuan-ketentuan yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.1 Dalam penelitian ini pendekatan dilakukan dengan menelusuri dan mempelajari peraturan perundang-undangan yang dipakai landasan yuridis terkait dengan pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan.

2. Jenis dan Sumber Data

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian empirik. Untuk keperluan penelitian empirik, sebagai bahan kajian digunakan data lapangan yang terdiri dari :

a) Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari para responden penelitian. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai responden antara lain pejabat dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai yang berkompeten mewakili Pemerintah Daerah dan sebagai yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan atau dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya bidang perpustakaan.

b) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari para informan, pendapat para akhli/pakar yang dianggap berkompeten dalam bidang yang diteliti, dan yang terkait dengan penyelenggaraan perpustakaan, dan bahan-bahan hukum, serta data-data pendukung lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

1

(6)

3. Teknik pengumpulan Data

Dalam penelitian empirik yang dilakukan melalui penelitian lapangan, pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan pengamatan (observasi) dan dengan mengadakan wawancara langsung dengan para responden.

Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan (library study), yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku literatur dan referensi yang terkait dengan permasalahan yang dikaji, untuk menemukan konsep-konsep atau teori-teori yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang diteliti. Selain dengan mempelajari literatur yang terkait dengan masalah yang dikaji, pengumpulan data sekunder juga dilakukan dari sumber lainnya seperti data statistik, dan hasil-hasil penelitian yang terkait.

4. Analisis Data

Data dan yang diperoleh dari studi kepustakaan maupun studi lapangan kemudian dianalisis untuk keperluan pengambilan kesimpulan. Kemudian terhadap data baik primer, maupun sekunder dilakukan analisis secara kualitatif, dengan melakukan penilaian terhadap fakta-fakta yang secara empirik diperoleh di lapangan, yang kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan teori-teori atau konsep-konsep hukum yang terkait. Dari hasil analisis tersebut kemudian dilakukan penarikan kesimpulan secara deskriptif dengan menggunakan logika berfikir secara induktif.

C. LANDASAN TEORI DAN KONSEP

(7)

berhubungan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Teori Negara Hukum

Dalam Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (UUD 1945) setelah amandemen ketiga yang diitetapkan tanggal 10 Nopember 2001, pada Pasal 1 Ayat (3) secara tegas disebutkan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum". Dalam berbagai kepustakaan hukum, secara umum istilah negara hukum juga disebutkan dengan istilah rechtstaat, dan juga sering diidentikkan dengan istilah "the rule of law". 2

Mengenai konsep “negara hukum” ini, menurut Burkens sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, menyatakan bahwa konsep negara hukum (rechtstaat) mengandung pengertian bahwa Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan, dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.3

Berdasarkan konsep negara hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka di dalam setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan harus dilandasi oleh adanya aturan hukum yang jelas. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan perpustakaan, maka setiap kebijakan dalam upaya pelaksanaan dan penyelenggaraannya harus didasari oleh landasan hukum yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar setiap tindakan penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di bidang perpustakaan, harus mempunyai dasar ataupun landasan hukum yang jelas, sehingga dapat dipertanggungjawabkan, baik secara sosisologis maupun secara yuridis. Sehingga dengan demikian setiap kebijakan yang diambil tidak akan menyimpang ataupun bertentangan dengan konsep negara hukum.

2. Teori Kewenangan

Kewenangan sangat erat hubungannya dengan perbuatan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Perbuatan pemerintah harus memiliki dasar kewenagan yang sah dari peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya suatu kewenangan yang sah, seorang pejabat atau badan tata usaha Negara tidak dapat melakukan

2 Sunaryati Hartono, dalam Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan

Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 2l.

3A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan, Makalah di-sampaikan dalam Pidato Pengukhan

(8)

perbuatan pemerintahan. Dengan kata lain, bahwa setiap perbuatan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki legitimasi hukum, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Dengan demikian substansi dari asas legalitas adalah wewenang.4 Pemerintah di dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya tidak bisa terlepas dari asas legalitas. Asas tersebut mengandung pengertian bahwa setiap penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan undang-undang. Asas legalitas ini merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum.5 Selaras dengan asas tersebut maka segala kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan harus berdasarkan pada undang-undang. Undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada badan/lembaga pemerintahan saja, tetapi juga kepada seorang pejabat fungsional tertentu (misalnya inspektur pajak, hakim, jaksa, pustakawan, dan sebagainya), atau kepada suatu badan/lembaga khusus (seperti Lembaga Pemilihan Umum, dan sebagainya). Namun demikian organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan, kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang.6

Selanjutnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dapat diperoleh melalui beberapa cara, antara lain yang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan yang diperoleh secara atribusi lazimnya bersumber atau berasal dari adanya pembagian kekuasaan Negara oleh Undang-Undang Dasar. Istilah lain untuk kewenangan atribusi adalah kewenangan asli atau kewenangan yang tidak bisa dibagi-bagikan kepada siapapun7, atau wewenang yang melekat pada suatu jabatan.8

Sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang telah ada. Sehingga delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi, sedangkan pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru.9 Dengan demikian melalui atribusi, pemerintah

4Ibid. hal. 72.

5Ibid. hal. 94. 6

RJ.H.M. Huisman, dalam Ridwan H.R., Ibid., hal 103.

7 Lutfi Efendi, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Cet. III., Penerbit Bayu Media Publishing, Malang, 2004., hal.

77.

8 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet X, Gajah Mada University Press,

Yogyakarta, 2008, hal. 130.

(9)

diberikan wewenang berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut. Kemudian mengenai mandat, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, dalam Ridwan H.R.,10 menjelaskan bahwa pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang ataupun pelimpahan wewenang, sehingga tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal). Dalam hubungannya dengan hal tersebut Indroharto,11 berpendapat bahwa pada “mandat” tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada, tetapi yang terjadi adalah hubungan internal pada suatu badan, atau penugasan bawahan untuk melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggungjawab pemberi mandat.

Terlepas dari mana wewenang itu diperoleh, yang pasti bahwa wewenang merupakan faktor yang penting dalam hubungannya dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan, dan berdasarkan wewenang itulah pemerintah dapat melakukan berbagai tindakan hukum.

Dengan mengacu kepada teori kewenangan khususnya yang terkait dengan pemahaman tentang sumber atau cara peolehan kewenangan sebagaimana yang telah diuraikan tersebut, maka dalam hubungannya dengan kewenangan penyelenggaraan perpustakaan sebagaimana yang menjadi pokok kajian dalam penelitian ini, dapat ditarik pemahaman bahwa kewenangan pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan perpustakaan di daerah, merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi. Karena kewenangan tersebut secara jelas diberikan atas dasar ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenagan pemerintah daerah yang terkait dengan penyelenggaraan perpustakaan adalah Undang-Undang No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

3. Teori Efektifitas Hukum

Sebagai konsekuensi logis dari kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, maka setiap tindakan penyelenggaraan kekuasaan negara dan pemerintahan tentu harus didasarkan atas hukum. Hukum yang telah dibuat haruslah dilaksanakan secara konsekuen, karena aturan hukum tersebut tidak akan ada artinya apabila tidak dilaksanakan.

Pelaksanaan hukum sering disebut sebagai penegakan

(10)

hukum, yaitu bagaimana mewujudkan aturan hukum tersebut di dalam kehidupan bermasyarakat. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.12 Keinginan-keinginan hukum di sini dimaksudkan adalah keinginan atau pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Oleh karenanya penegakan hukum perlu dilaksanakan, sebagai upaya untuk memenuhi tujuan hukum itu sediri. Tujuan hukum tersebut akan dapat tercapai apabila hukum atau peraturan itu benar-benar berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

Terkait dengan berfungsi dan berlakunya hukum menurut Soerjono Soekanto,13 bahwa untuk berlakunya suatu aturan hukum haruslah memenuhi ketiga unsur kelakuan sebagai berikut:

a. Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuan didasarkan pada kaedah-kaedah yang lebih tinggi tingkatnya atau bila terbentuknya menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan kausal antara satu kondisi dan akibatnya.

b. Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupaun tidak diterima oleh warganya (teori kekuasaan) atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).

c. Hukum tersebut berlaku secara filosofis artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai cita-cita-cita-cita hukum yang tertinggi.

Dari uraian tentang teori efentivitas hukum tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa tujuan hukum sebagaimana yang diharapkan oleh para pembentuk undang-undang bisa tercapai, akan sangat tergantung dari tiga komponen sebagaimana disebutkan di atas, yaitu struktur, substansi, dan kultur masyarakat. Terkait dengan penyelenggaraan perpustakaan, maka teori hukum sebagaimana diuraikan di atas, dapat digunakan sebagai landasan untuk menganalisis apakah nantinya penyelenggaraan perpustakaan tersebut akan dapat dikatakan akan dapat dijalankan secara efektif dan berhasil dengan baik atau tidak.

4. Konsep Otonomi Daerah

Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pada Pasal 1 butir angka (5)

12

Ibid, hal. 74.

13 Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Penerbit RajaGrafindo

(11)

dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah, adalah: “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Kemudian dalam Pasal 1 butir angka (6) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan daerah otonom, adalah “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut, ada tiga asas yang digunakan, yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan Desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1 butir angka 7). Kemudian Dekonsentrasi adalah “pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu” (Pasal 1 butir angka 8). Sedangkan tugas pembantuan adalah “penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu” (Pasal 1 butir angka 9). Substansi dari otonomi daerah tersebut adalah terletak pada asas desentralisasi atau pemencaran kekuasaan, sehingga setiap daerah dapat atau boleh menyelenggarakan kewenangan sebanyak-banyaknya, tergantung kebutuhan dan kemampuan daerah yang bersangkutan.

Terkait dengan penyelenggaraan perpustakaan, maka pada dasarnya bahwa pemerintah daerah berhak dan mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakannya atas dasar kebutuhan dan disesuaikan dengan kemampuan daerah.

5. Konsep Perpustakaan

(12)

pendekatan yang digunakan. Sulistyo Basuki14, memberikan pemahaman terhadap perpustakaan melalui pendekatan dari sisi lokasi atau tempat. Beliau mendefinisikan perpustakaan sebagai suatu ruangan, atau bagian dari sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan oleh pembaca. Pemahaman terhadap konsep perpustakaan berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada susbstansi antara lain sebagaimana digunakan oleh Blasius Sudarsono15, yang memberi pemahaman terhadap perpustakaan sebagai “koleksi pustaka terpilih yang dikelola dengan cara tertentu untuk memenuhi kebutuhan intelektual pemakainya. Kemudian pendekatan yang berorientasi pada system atau organisasi, digunakan di dalam Undang Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, tentang Perpustakaan, dimana pada Pasal 1 butir angka (1) mendefinisikan perpustakaan sebagai “institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara professional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka”. Lebih lanjut pada butir angka (6) dalam Pasal 1 UU No. 43 Tahun 2007 tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perpustakaan umum, adalah perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status social ekonomi.

Dari beberapa pendekatan dan pemahaman di atas, dalam tulisan ini penulis memilih untuk menggunakan pendekatan yang dipakai dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2007, karena penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. Sehingga secara yuridis mempunyai kepastian landasan hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 telah diatur secara jelas mengenai batas-batas atau ruang lingkup kewajiban dan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan. Mengenai kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

14Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Penerbit gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991,

halaman 3.

15

(13)

dalam kaitannya dengan penyelenggaraan perpustakaan, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, yang menentukan sebagai berikut:

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban:

a. menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di daerah;

b. menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di wilayah masing-masing;

c. menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat;

d. menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan;

e. memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di daerah;

f. menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan umum daerah berdasar kekhasan daerah sebagai pusat penelitian rujukan tentang kekayaan budaya daerah di wilayahnya.

Kemudian dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, ditegaskan lebih lanjut mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang perpustakaan, yaitu antara lain disebutkan bahwa:

Pemerintah Daerah berwenang:

a) Menetapkan kebijakan daerah dalam pembinaan dan pe-ngembangan perpustakaan di wilayah masing-masing;

b) mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan di wilayah masing-masing;

c) mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah masing-masing untuk dilestarikan dan didayagunakan.

Masalah kewenangan pemerintah daerah, khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan perpustakan akan dilihat dalam dua sisi, yaitu kewenangan institusional dan kewenangan fungsional. Kewenangan institusional dalam hal ini menunjuk kepada kewenangan yang dilihat dari sisi fungsi pengaturan yaitu kewenangan pemerintah daerah untuk menetapkan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan secara normatif mengenai penyelenggaraan perpustakaan.

(14)

(1) Layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi bagi kepentingan pemustaka;

(2) Setiap perpustakaan menerapkan tata cara layanan per-pustakaan berdasarkan standar nasional perper-pustakaan;

(3) Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi; (4) Layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikembangkan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan untuk memenuhi pemustaka;

(5) Layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar nasional perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan kepadda pemustaka;

(6) Layanan perpustakaan diselenggarakan terpadu diwujudkan melalui kerjasama antar perpustakaan;

(7) Layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana dimaksud ayat (6) dilaksanakan melalui jejaring telematika.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kewenangan pemerintah daerah terkait dengan penyelenggaraan perpustakaan dilihat dalam dua bentuk, yaitu kewenangan isntitusional dan kewenangan fungsional. Kewenangan secara institusional merupakan kewenangan yang dilihat dari pelaksanaan fungsi pengaturan, sedangkan kewenangan fungsional dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi layanan perpustakaan. Kewenangan secara institusional merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah daerah, berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU No. 43/ Tahun 2007. Untuk lebih jelasnya bahwa pada huruf a) dan b) Pasal 10, tersebut menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berwenang:

a) Menetapkan kebijakan daerah dalam pembinaan dan pe-ngembangan perpustakaan di wilayah masing-masing;

b) Mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan di wilayah masing-masing;

(15)

1. Analisis Terhadap Implementasi Kewenangan Institusional Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Perpustakaan

Selanjutnya implementasi dari kewenangan institusional tersebut secra empirik, dapat dilihat dari wujud atau bentuk dari kebijakan yang telah dikeluarkan dan dilakukan oleh pemerintah daerah terkait dengan penyelenggaraan perpustakaan. Bentuk atau wujud dari kebijakan pemerintah daerah dapat saja berupa penetapan Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur, atau dalam bentuk keputusan-keputusan, dan peraturan lainnya.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dapat diketahui bahwa kewenangan pemerintah daerah secara institusional atau kewenangan dari sisi pengaturan secara normatif terkait dengan kebijakan mengenai penyelenggaraan perpustakaan, baru hanya sebatas menetapkan Peraturan Daerah NTB Nomor 8 Tahun 2008, yang mengatur tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda, dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang di dalamnya termasuk pembentukan Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB sebagai institusi yang ditugasi untuk menyelenggarakan perpustakaan. Kemudian penetapan perda tersebut ditidaklanjuti dengan penetapan Peraturan Gubernur Provinsi NTB No. 22 Tahun 2008, yang mengatur tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang di dalamnya termasuk rincian tugas dan fungsi Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB. Sedangkan penetapan dan pengaturan mengenai penyelenggaraan perpustakaan secara teknis fungsional pelaksanaan oleh pemerintah daerah justru sampai saat ini belum ada ditetapkan.

Selanjutnya apabila dicermati secara seksama mengenai implementasi kewenangan pemerintah daerah yang dilihat dari sisi fungsi institusional, maka dapat penulis kemukakan bahwa dengan adanya penetapan Perda NTB No. 8 tahun 2008 dan Pergub NTB No. 22 Tahun 2008, berarti bahwa sebagian kewenangan pemerintah daerah secara institusional berdasarkan Pasal 10 telah dilakukan, namun dengan beberapa catatan sebagai berikut:

(16)

2. Peraturan Gubernur (Pergub) NTB No. 22 yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat juga hanya menetapkan dan mengatur tentang rincian tugas dan fungsi Badan Perpustakaan dan Arsip saja.

Sehingga dari kedua catatan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa bahwa implementasi kewenangan pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU No. 43/Tahun 2007, belum sepenuhnya tuntas dilaksnakan, karena baru hanya sebatas menetapkan kebijakan secara normatif saja.

2. Analisis Terhadap Implementasi Kewenangan Fungsional

Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Perpustakaan

Mengenai kewenangan fungsional, di dalam ketentuan Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, dilihat dari kewenangan pemerintah daerah yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 8 UU No. 43 Tahun 2007, dan pelaksanaan fungsi layanan perpustakaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 UU No. 43 Tahun 2007.

Implementasi kewenangan pemerintah daerah secara fungsional tersebut dalam penelitian ini dilihat dari bentuk atau wujud pelaksanaan dari program-program layanan perpustakaan yang secara nyata telah dijalankan di lapangan selama ini. Program-program kegiatan layanan perpustakaan yang dilaksanakan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB secara konkrit telah diwujudkan dalam Program Kerja Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Selanjutnya implementasi kewenangan fungsional pemerintah daerah dalam pelaksanaan perpustakaan, dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi pelayanan perpustakaan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8, dan Pasal 14 Undang No. 43 Tahun 2007. Pasal 8 Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 mengatur mengenai kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; yaitu bahwa:

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban:

a) menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di daerah;

b) menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di wilayah masing-masing;

c) menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat;

(17)

perpustakaan;

e) memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di daerah;

f) menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan umum daerah berdasar kekhasan daerah sebagai pusat penelitian rujukan tentang kekayaan budaya daerah di wilayahnya.

Kemudaian Pasal 14 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, menentukan sebagai berikut:

(1)Layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi bagi kepentingan pemustaka;

(2)Setiap perpustakaan menerapkan tatacara layanan perpustakaan berdasarkan standar nasional perpustakaan;

(3)Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi; (4)Layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikembangkan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan untuk memenuhi pemustaka;

(5)Layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar nasional perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan kepadda pemustaka;

(6)Layanan perpustakaan diselenggarakan terpadu diwujudkan melalui kerjasama antar perpustakaan;

(7)Layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana dimaksud ayat (6) dilaksanakan melalui jejaring telematika.

Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah penyelenggara-an laypenyelenggara-anpenyelenggara-an perpustakapenyelenggara-an sebagai salah satu kewenpenyelenggara-angpenyelenggara-an fungsional pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB secara empirik sudah sesuai atau tidak dengan amanat ketentuan Pasal 8 dan pasal 14 UU No. 43 Tahun 2007 tersebut di atas.

Pasal 8 huruf a) yang menentukan bahwa Pemerintah Provinsi “menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan

di daerah”.

Bahwa berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pelaksanaan kewajiban untuk “menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 huruf a), telah diwujudkan dengan melaksanakan beberapa program kegiatan antara lain :

a. Penyelengaraan Program Pendidikan dan pelatihan (Diklat) Teknis Pengelola Perpustakaan dan Magang.

(18)

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh data untuk tahun anggaran 2011/2012 telah diselenggarakan pendidikan dan pelatihan terhadap tenaga pengelola perpustakaan yaitu sejumlah 130 orang pengelola Perpustakaan Desa/Kelurahan; dan 60 orang pengelola Perpustakaan Rumah Ibadah. Serta telah melaksanakan kegiatan pemilihan perpustakaan terbaik yang dilakukan secara fungsional sebagai wujud pelaksanaan salah satu tugas Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 160 Ayat (1) Peraturan Gubernur NTB No. 22 Tahun 2008, yaitu melaksanakan kebijakan pembinaan dan pengembangan semua jenis perpustakaan.

Selanjutnya Pasal 8 huruf b) menentukan bahwa Pemerintah Provinsi “menjamin ketersediaan layanan perpustakaan se-cara merata di wilayah masing-masing”. Bahwa kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 8 huruf b), mengandung pengertian bahwa Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat mempunyai kewajiban menyediakan layanan perpustakaan secara merata di wilayah Nusa Tenggara Barat.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa kewajiban penyediaan layanan perpustakaan tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi NTB bersama-sama dengan pemerintah Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Nusa Tenggara Barat. Penyediaan layanan perpustakaan tersebut telah diselenggarakan diseluruh wilayah Provinsi baik di tingkat kabupaten/kota, bahkan sampai dengan di tingkat desa dengan penyelenggaraan perpustakaan-perpustakaan desa. Sehinga dengan melihat kenyataan demikian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kewajiban tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 8 huruf b.

Kemudian Pasal 8 huruf c), menentukan bahwa Pemerintah Provinsi “menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat”. Pasal ini mengandung pemahaman bahwa penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan harus ditunjang dengan penyediaan sarana dan prasarana yang dapat menjamin keberlajutan atau kelangsungan pelaksanaan fungsi perpustakaan sebagai pusat sumber belajar bagi masyarakat.

(19)

fasilitas atau sarana tersebut menunjukkan bahwa secara umum terhadap ketentuan Pasal 8 huruf c) tersebut dapat dikatakan telah terpenuhi.

Selanjutnya mengenai kewajiban Pemerintah Provinsi NTB untuk “menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan”. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan kegiatan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan telah dilaksanakan secara rutin yang telah dilaksanakan oleh Sub Bidang Kelembagaan dan Pembinaan Minat Baca. Sehingga dengan demikian maka dapat dipahami bahwa kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 8 huruf d) UU No. 43 Tahun 2007, secara umum dapat dikatakan telah dipenuhi.

Kemudian mengenai kewajiban Pemerintah Provinsi NTB dalam “memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di daerah”. (Pasal 8 huruf e UU No. 43 Tahun 2007) Makna yang terkandung dalam pasal tersebut bahwa Pemerintah Provinsi diwajibkan untuk memberikan dukungan dan kemudahan bagi lembaga atau organisasi masyarakat yang mau menyelenggarakan perpustakaan. Terhadap kewajiban ini berdasarkan hasil penelitian bahwa kewajiban ini telah dilakukan antara lain dengan program pemberian bantuan berupa fasilitas berupa rak buku untuk Perpustakaan Desa/Kelurahan dan koleksi bahan pustaka. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian, pada tahun anggaran 2011/2012, telah direalisasi bantuan 260 rak buku, dan 130.000 eksemplar buku untuk 130 Perpustakaan Desa/Kelurahan se Nusa Tenggara Barat.

Sehingga dengan demikian berdasarkan uraian di atas tersebut, penulis berpendapat bahwa amanat ketentuan Pasal 8 UU No. 43 Tahun 2007 tersebut, secara umum dapat dikatakan telah terpenuhi.

(20)

perpustakaan sebagai penerima layanan harus berpedoman pada prinsip: cepat, tepat, ramah dan nyaman.16

Berdasarkan hasil wawancara17 peneliti dengan 12 (dua belas) pengguna perpustakaan yang berhasil diwawancarai sebagai responden, yang pada intinya mereka menyatakan bahwa dari empat unsur layanan prima (cepat, tepat, ramah, dan nyaman), maka unsur ketepatan yang masih belum sepenuhnya diperoleh. Artinya kesesuaian antara sumber informasi yang tersedia dengan apa yang diinginkan oleh pengguna masih belum sepenuhnya dapat diperoleh. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan layanan secara prima masih belum terwujud sepenuhnya sesuai dengan kehendak yang diamanatkan oleh Pasal 14 Ayat (1).

Selanjutnya Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 mengatur mengenai penerapan tata cara layanan perpustakaan harus berdasarkan standar nasional perpustakaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan melalui studi literature dan dokumentasi serta dari hasil wawancara, bahwa layanan sebagaimana diisyaratkan oleh ketentuan Pasal 14 ayat (2) tersebut di atas, ternyata Standar Nasional Perpustakaan yang dimaksudkan oleh Pasal 14 ayat (2) tersebut sampai saat belum diterbitkan. Sehingga ketentuan tersebut belum dapat dapat dilaksanakan secara baik karena terkendala oleh belum adanya standar nasional yang akan dijadikan acuan dalam penyelenggaraan layanan perpustakaan seperti yang dimaksudkan oleh UU No. 43 Tahun 2007. Namun kendati belum ada standar nasional tersebut, tidak berarti bahwa pelaksanaan pelayanan tidak dapat bisa dijalankan. Untuk mengatasi dan sekaligus sebagai solusi agar layanan perpustakaan dapat dilaksanakan, maka sebagai pedoman dalam pelaksanaan pelayanan perpustakaan saat ini adalah berpedoman atau berdasarkan SOP (Standard Operating Procedure) yang dikeluarkan sendiri oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB.

Selanjutnya ketentuan Pasal 14 Ayat (3), mensyaratkan bahwa “setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi”; dan Pasal 14 Ayat (4), mensyaratkan bahwa layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan melalui “pemanfaatan sumber daya perpustakaan” untuk memenuhi kebutuhan pemustaka. Dari data empirik

16

Rupadha, I Komang, Konsep Pengembangan Layanan Perpustakaan Unram (Sekelumit pemikiran dalam merespons perkembangan Iptekinfokom), Dalam BULETIN PUSTAKA No. 30 TAHUN 2011, Penerbit BAPUSDA Provinsi NTB, Halaman 88.

17

(21)

yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara terhadap responden sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat ditarik suatu simpulan bahwa secara umum penerapan dari syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 14 Ayat (3) dan Ayat (4) UU No. 43 Tahun 2007 tersebut sudah dilaksanakan.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 14 Ayat (5) disyaratkan bahwa “layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar nasional perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan kepada pemustaka”.

Mengenai pelaksanaan ketentuan Pasal 14 Ayat (5) tersebut, berdasarkan hasil penelitian bahwa layanan perpustakaan yang dilaksanakan oleh Perpustakaan BPAP NTB, belum menggunakan standar nasional perpustakaan, hal tersebut disebabkan karena sampai saat ini standar nasional perpustakaan yang dimaksud belum terbit. Bahwa semua jenis layanan masih tetap di dasarkan pada SOP (Standard Operating Procedure) yang dikeluarkan sendiri oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat.18 Sedangkan mengenai penerapan ketentuan Pasal 14 Ayat (6) dan (7), yang menentukan bahwa “layanan perpustakaan diselenggarakan terpadu diwujudkan melalui kerjasama antar perpustakaan”(Ayat (6)), dan “layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana dimaksud ayat (6) dilaksanakan melalui jejaring telematika” (Ayat (7)). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa program pelayanan terpadu melalui kerja-sama antar perpustakaan belum bisa dilakukan seperti yang dikehendaki oleh ketentuan Ayat (7) yang mensyaratkan kerjasama tersebut dilaksanakan melalui jejaring telematika. Hal tersebut dikarenakan masih terkandala oleh keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yaitu Pustakawan yang memiliki kompetensi di bidang telematika masih sangat terbatas. Sampai tahun anggaran 2012 tenaga pustakawan yang memiliki kompetensi di bidang telematika di Perpustakaan BPAP hanya ada 1 (satu) orang pustakawan teknis dengan kualifikasi pendidikan teknik komputer dan manajemen informatika. Yang seharusnya yang dibutuhkan minimal ada 3 (tiga) orang pustakawan teknis dengan kualifikasi sarjana teknik informatika/komputer, yang akan menangani sistem layanan terpadu tersebut. Sehingga terhadap pelaksanaan layanan perpustakaan terpadu seperti yang ditentukankan oleh Pasal 14 Ayat (6) dan (7) UU No. 43 Tahun 2007 secara umum dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat terlaksana dikarenakan faktor-faktor keadaan internal lembaga penyelenggara perpustakaan, seperti yang disebutkan di atas. Namun demikian secara umum pelaksanaan layanan perpustakaan tetap dapat dilaksanakan kendatipun belum semua program

18

(22)

layanan yang dilaksanakan sesuai dengan yang syaratkan oleh UU No. 43 Tahun 2007, dan akan terus diupayakan agar sejalan searah dengan amanat UU No. 43 Tahun 2007.

E. PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari beberapa analisis terhadap permasalahan pokok dalam penelitian ini, sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa Pengaturan kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam penyelenggaraan perpustakaan diatur berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, tentang Perpustakaan (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4774), dan Pasal 7 Ayat (2) huruf z) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 82, Tambahan Lembaran Negara R I No. 4737).

2. Dari hasil analisis terhadap implementasi kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan di NTB, khususnya terhadap kewenangan secara fungsional ditinjau dari UU No. 43 Tahun 2007, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan perpustakaan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah NTB belum sepenuhnya sesuai dengan amanat yang diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 14 UU No. 43 Tahun 2007.

2. Saran-saran

Terkait dengan kendala dalam pelaksanaan atau implementasi dari kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan per-pustakaan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebagaimana dikemukakan di dalam kesimpulan, maka penulis menyarankan sebagai berikut:

(23)

2. Untuk Pemerintah Daerah NTB, agar segera membuat regulasi dalam bentuk peraturan daerah atau peraturan gubernur yang secara lebih khusus mengatur tentang pedoman penyelenggaraan perpustakaan umum di NTB, yang akan dijadikan sebagai acuan atau pedoman bagi pelaku atau pemangku kebijakan penyelenggaraan pemerintahan di bidang perpustakaan yang ada di seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat, termasuk pemerintah Kabupaten/Kota, sampai Pemerintah Desa/Kelurahan, yang meliputi Pedoman/Standar Koleksi, Standar Sarana dan Prasarana; Standar Ketenagaan, Standar Pengelolaan, dan Standar Layanan Perpustakaan, yang mengacu kepada standar nasional perpustakaan.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Gadjong, Agussalim, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007.

Atmosudirdjo, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986., hal. 73

Attamimi, A. Hamid S., Teori Perundang-undangan, Makalah di-sampaikan dalam Pidato pada Upacara Pengukhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum UI, Jakarta, 25 April 1992.

Indroharto, Usaha memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993.

Kamus Bear Bahasa Indonesia, Penerbit Depdikbud dan Balai Pustaka, Jakarta, 1993.

Kumpulan Naskah Orasi Ilmiah Pengukuhan Pustakawan Utama, Editor Blasius Sudarsono, Penerbit: Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, 2008.

Kumpulan Naskah Pemenang Lomba Penulisan Karya Ilmiah bagi Pustakawan Tahun 2006-2007, Editor Blasius Sudarsono; Titik Kismiyati, Penerbit: Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, 2008.

Manan, Bagir, Wewenang Provinsi, Kabupaten dan kota dalam Rangka Otonomi Daerah, disampaikan dalam Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 Mei 2000.

_____, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. IV, Penerbit Pusat Studi Hukum FH-UII, Yogyakarta, 2005.

Manan, H. Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, 2006.

(24)

Martoatmodjo, Karmidi, Pelestarian Bahan Pustaka, Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta, 1993.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cet. II., Liberty, Yogyakarta, 1986.

Muslim, Amar, Ikhtiar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1978, Penerbit: Jembatan, Jakarta, 1990.

Noerhayati S., Pengelolaan Perpustakaan, Jilid 1, Penerbit Alumni, Bandung, 1987.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo, Jakarta, 2006. Saleh, Abdul Rahman, Percikan Pemikiran di Bidang Kepustakawanan,

Penerbit Sagung Seto, Jakarta, 2011.

Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Cet.I, Rajawali Pers, Jakarta, 1988.

Sudarsono, Blasius, Pustakawan, Cinta danTeknologi, Pengantar Agus Rus-mana, Penerbit ISIPII, Jakarta, 2009.

Sutarno N.S., Tanggungjawab Perpustakaan dalam Mengembangkan Masyarakat Informasi, Jakarta: Panta Rei, 2005.

Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Tresna, R., Bertamasya Ketaman ketatanegaraan, Penerbit: Dibya, Bandung, 2002.

http://erapendidikan2020.blogspot.com/2007/05/pendidikan-sepanjang-hayat.html, di akses tanggal 17 juni 2012.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43-Tahun 2007, tentang Perpustakaan ( LN RI Tahun 2007 No. 129; TLN No.4774)

Peraturan Pemerintah RI, No. 38 Tahun 2007, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Povinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 8).

Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 22 Tahun 2008 tentang Rincian Kerja Inspektorat, Bappeda dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Lembaran Daerah Tahun 2008 No. 8).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana menganalisis pengaruh Usability Quality, Information Quality, dan

Hasil penilaian kinerja juga merupakan dasar untuk melakukan perbaikan, pembinaan dan pengembangan, serta memberikan nilai prestasi kerja dan perolehan angka kredit guru

Hasil pengujian teori kurva Phillips di provinsi dengan sektor primer sebagai sektor utama penyumbang PDRB menunjukkan variabel tingkat inflasi memiliki hubungan

MANA'O 1020717107 P KIP BINDO 7 Yanri Pandie 1010303107 L MIPA Biologi 8 Yunita Jami Riwu 1010303127 P MIPA Biologi 9 YUNIATI FICTORY BURENI 1020718164 P KIP BING 10 YOKSILA

Melihat adanya pengaruh pola keberagamaan terhadap perilaku sosial yang saling mempengaruhi disini peneliti melihat pola keberagamaan melalui demensi-demensi

Data yang diperlukan sebagai syarat kredit diantaranya adalah KTP, perfoma income, pekerjaan, kartu keluarga (jumlah anggota keluarga), lokasi dan tempat tinggal,

Fakta yang penulis temukan dilapangan yaitu dengan melakukan wawancara dengan konsumen Indomaret Plus dimana dapat disimpulkan bahwa ini sesusai yang dikemukakan oleh

Variasi konsentrasi larutan yang diadsorp mengunakan adsorben SG-ASK ternyata menunjukkan bahwa jumlah ion logam yang teradsorp meningkat seiring dengan meningkatnya