DOI: 10.18592/jsi.v6i1.2006
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) untuk Meningkatkan
Kualitas Hidup pada Wanita yang Mengalami Bencana Tanah Longsor
Zuhdan Aftrinanto, Elli Nur Hayati, Siti Urbayatun Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta
Abstract
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) is engineering the merger of the energy system of the body and spirituality therapy using the method of tapping on certain points on the body. The purpose of this study was to determine the influence of Spiritual Emotional Freedom Technique in improving the quality of life in women who experienced landslide disaster in Purworejo. This study uses a quasi-experimental design with one group pretest-posttest design research model. The subjects of this study were six women in Purworejo with criteria aged 20 to 40 years, experienced landslide disaster, and having a low quality of life based on WHOQOL-BREF scale categorization. The experimental group was treated using the Spiritual Emotional Freedom Technique therapy. Quantitative data analysis techniques using Wilcoxon Signed Rank Test analysis. Qualitative data analysis is obtained from the observation, interview, worksheet, and evaluation sheet. The results showed that there was a significant increase in quality of life, both in each domain and overall between before and after being treated by SEFT. Based on that results, it can be concluded that the SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) can improve the quality of life of women who experienced a landslide disaster in Purworejo.
Keywords: Quality of life; Spiritual Emotional Freedom Technique; woman; landslide
Abstrak
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) merupakan teknik penggabungan dari sistem energi tubuh dan terapi spiritualitas dengan menggunakan metode tapping pada beberapa titik tertentu pada tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique dalam meningkatkan kualitas hidup pada wanita yang mengalami bencana tanah longsor di Purworejo. Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimen dengan model rancangan penelitian one grup pretest – posttest design. Subjek penelitian ini adalah enam orang wanita dewasa di Purworejo dengan kriteria berusia 20 sampai 40 tahun, mengalami bencana tanah longsor, dan memiliki kualitas hidup yang rendah berdasarkan hasil kategorisasi skala WHOQOL-BREF. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa terapi Spiritual Emotional Freedom Technique. Teknik analisis data kuantitatif menggunakan analisis Uji Wilcoxon Signed Rank Test. Analisis data kualitatif diperoleh dari hasil observasi, wawancara, lembar kerja, dan lembar evaluasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan tingkat kualitas hidup yang signifikan, baik pada masing-masing domain maupun secara keseluruhan antara sebelum dan setelah diberi perlakuan berupa SEFT. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) dapat meningkatkan kualitas hidup pada wanita yang mengalami bencana tanah longsor di Purworejo.
Pendahuluan
Negara Indonesia berada di garis khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua
samudera. Indonesia pun berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis,
hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekwensi yang
cukup tinggi (Ramli, 2010). Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2016)
menjelaskan bahwa hujan lebat yang turun sejak Sabtu 18 Juni 2016 siang hingga malam hari
telah menyebabkan bencana banjir dan longsor yang luas di 16 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
yaitu di Purworejo, Banjarnegara, Kendal, Sragen, Purbalingga, Banyumas, Sukoharjo,
Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Klaten, Magelang, Wonogiri, Cilacap, Karanganyar, dan Kota
Solo. Banjir dan longsor dengan korban jiwa terbanyak terjadi di Kabupaten Purworejo.
Berdasarkan penjelasan Kepala BPBD Kabupaten Purworejo, Desa Jelok yang terletak
Kecamatan Kaligesing merupakan desa yang masih kurang mendapatkan bantuan karena
terkendala akses menuju lokasi longsor yang cukup sulit dijangkau dibandingkan daerah
terdampak lainnya.
Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa bencana alam yang terjadi
cukup besar biasanya akan menghilangkan banyak harta benda, nyawa, dan korban luka baik
fisik maupun psikologis. Korban bencana tersebut perlu mendapatkan perlakuan yang tepat
untuk keamanan mereka. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa
aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana. Kelompok rentan terdiri dari
wanita, lansia, anak-anak, orang cacat, kaum pendatang, dan penduduk asli setempat (Bizzarri,
2012). Salah satu dampak bencana adalah menurunnya kualitas hidup bagi masyarakat yang
menjadi korban (Pan American Health Organization, 2006). Kualitas hidup pada masyarakat
yang mengalami bencana alam lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat depresi, interaksi sosial,
dan jenis kelamin yang menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami kualitas
hidup yang rendah dibandingkan dengan laki-laki (Nurhasanah, 2008).
Ketua Relawan Desa Jelok menjelaskan bahwa banyak warganya yang masih mengalami
trauma akibat tanah longsor seperti ketakutan ketika terjadi hujan ataupun suara angin
tersebut. Hal tersebut terjadi karena minimnya trauma healing yang dilakukan pada wanita korban bencana tanah longsor. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu-ibu yang mengalami
bencana tanah longsor, mereka mengeluhkan masih merasa ketakutan ketika keadaan di sekitar
lingkungannya mendung yang disertai hujan dengan angin kencang. Selain itu, adanya
bencana membuat mereka merasa tidak nyaman dalam beraktivitas sehari-hari dan tidak dapat
tidur dengan tenang, karena mereka merasa tidak aman berada di daerah yang rawan terjadi
tanah longsor.
Perlindungan korban bencana alam tidak hanya terkait dengan penyembuhan fisik, tetapi
yang tidak kalah penting adalah penanganan luka trauma akibat bencana. Trauma tersebut
harus segera ditangani karena orang yang mengalami trauma menjadikan dirinya juga
mengalami penurunan kualitas hidup (Hapsari, 2015). Pernyataan tersebut didukung oleh hasil
penelitian Nygaard & Heir (2012) menunjukkan bahwa kondisi trauma memiliki hubungan
negatif dengan kualitas hidup yang baik pada korban bencana alam tsunami di Norwegia dan
Asia Tenggara. Seseorang yang mengalami bencana alam akan mengalami perubahan berupa
adanya persepsi positif menjadi negatif dalam rasa harga diri dan kebermaknaan hidup. Hal
tersebut menjadikan adanya penurunan kualitas hidup pada korban bencana alam.
Safarino & Smith (Sarafino & Smith, 2014) mengartikan bahwa kualitas hidup adalah
penilaian individu tentang peningkatan yang dialaminya selama hidup berkaitan dengan
kemampuan dalam beraktivitas, energi atau ketidaknyamanan, perasaan positif dan negatif
kontrol pribadi, hubungan interpersonal, kenyamanan beraktivitas, materi pertumbuhan
pribadi dan intelektual. Secara umum kualitas hidup mencakup semua area kehidupan yaitu
komponen lingkungan, material, komponen fisik, dan sosial (Dewi, 2014). Kualitas hidup akan
mengalami penurunan apabila aspek-aspek dari kualitas hidup itu sendiri masih kurang
terpenuhi (Karangora, Yudiarso, & Mazdafiah, 2012). Jika seseorang mencapai kualitas hidup
yang rendah, maka kehidupan individu tersebut mengarah pada keadaan tidak sejahtera ( ill-being) (Das, 2008).
Sadli (Sadli, 2010) menjelaskan bahwa terdapat domain-domain yang merupakan bagian
penting untuk mengetahui kualitas hidup individu. Domain-domain tersebut adalah kesehatan
bencana alam lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat depresi, interaksi sosial, dan jenis kelamin
yang menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami kualitas hidup yang rendah
dibandingkan dengan laki-laki (Nurhasanah, 2008). Peningkatan kualitas hidup pada korban
bencana merupakan hal yang penting agar masyarakat menjadi lebih sejahtera meskipun dalam
bayang-bayang potensi dan kemungkinan bencana (Yulaelawati, 2008).
Permasalahan yang dialami ibu-ibu yang mengalami bencana tanah longsor di Purworejo
menunjukkan adanya penurunan kualitas hidup pada wanita yang menjadi korban bencana
alam. Disamping itu, kondisi ekonomi mereka termasuk rendah. Hal tersebut mempengaruhi
kualitas hidup mereka karena kondisi ekonomi dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang
(Aprillia & Puspitasari, 2007). Mereka juga memiliki kondisi kesehatan yang kurang baik
karena sulitnya mendapatkan sarana kesehatan pasca terjadi tanah longsor. Kondisi kesehatan
merupakan hal yang dapat mempengaruhi kualitas hidup (Handayani & Dewi, 2016). Selain
itu, wanita biasanya memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibanding laki-laki (Chou dkk.,
2007).
Wanita merupakan kelompok rentan yang perlu diberikan penanganan khusus di dalam
situasi bencana. Kerentanan wanita berakar kuat pada ketidaksetaraan gender yang membatasi mobilitas mereka, membuat mereka kurang mampu melepaskan diri dari bahaya dan
melindungi diri dari konsekuensi bencana yang dialaminya (Bizzarri, 2012). Kerentanan
tersebut juga berkaitan erat dengan optimisme dan harapan untuk bangkit kembali dari
masalah (Primardi & Hadjam, 2011). Selain itu, mereka memiliki strategi koping yang rendah
dalam situasi bencana. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka
(Rubbyana, 2012).
Beberapa intervensi yang telah diteliti dan berdampak positif untuk meningkatkan kualitas
hidup antara lain dengan terapi relaksasi. Penelitian Sulistyarini (Sulistyarini, 2013)
menunjukkan bahwa terapi relaksasi dapat menurunkan tekanan darah dan meningkatkan
kualitas hidup penderita hipertensi. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan tekanan
darah sistolik yang signifikan dan tekanan darah diastolik pada kelompok eksperimen
dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu, terdapat penelitian lain seperti hasil penelitian
yang positif pada kualitas hidup lansia yakni derajat kesehatan lansia semakin baik, lebih
semangat dan ikhlas dalam menjalani masa tua, dan lebih bersyukur atas apa yang dimiliki.
Adapun Penelitian yang dilakukan oleh Wardiyah (Wardiyah, 2013) yang memberikan group positive psychoteraphy pada remaja yang memiliki orang tua bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) menunjukkan hasil bahwa group positive psychoteraphy dapat meningkatkan psychological well-being pada remaja. Jika seseorang memiliki psychological well-being yang tinggi, maka kehidupan individu tersebut mengarah pada kualitas hidup yang baik (Brown, Bowling,
& Flynn, 2004).
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa penanganan psikologis untuk
meningkatkan kualitas hidup sangat beragam, salah satu penanganan yang dapat digunakan
adalah dengan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). SEFT menjelaskan bahwa penyebab segala macam emosi negatif adalah terganggunya sistem energi tubuh. Oleh karena itu,
solusinya adalah dengan menetralisir gangguan energi itu dengan SEFT. Aliran energi yang
tersumbat di beberapa titk kunci tubuh harus dibebaskan hingga mengalir lagi dengan lancar.
Cara membebaskannya adalah dengan mengetuk ringan dengan dua ujung jari (tapping) di bagian tubuh tertentu, sambil mengucapkan kalimat yang berupa doa. Doa berperan sangat
penting untuk penyembuhan yang telah terbukti secara ilmiah (Zainuddin, 2006).
SEFT adalah suatu teknik yang menggabungkan antara spiritualitas berupa doa,
keikhlasan, dan kepasrahan, dengan Emotional Freedom Tehnique (EFT) yang merupakan seperangkat prinsip dan tehnik memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi
pikiran, emosi, dan perilaku melalui tiga teknik sederhana yaitu set-up, tune-up, dan tapping (Zainuddin, 2006).
Hasil penelitian Feinstein (Feinstein, 2008) menunjukkan bahwa EFT dapat mengatasi
trauma pada korban bencana alam di Kongo, Guatemala, Indonesia, Kenya, Kosovo, Kuwait,
Moldavia, Nairobi, Rwanda, Afrika Selatan, Tanzania, Thailand, dan Amerika Serikat. EFT juga
dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup pada orang yang mengalami sakit kepala
kronis (Bougea dkk., 2013). Energi psikologi dilakukan dengan memunculkan kewaspadaan
yang tinggi berupa bayangan pikiran, cerita, dan pengalaman yang berhubungan dengan
adalah penghapusan ingatan tentang kejadian traumatis difasilitasi oleh tiga hal berikut yaitu
adanya stimulasi manual dari akupuntur yang berhubungan dengan hal yang diyakini,
mengirim sinyal ke amigdala dan struktur otak lainnya, serta mengurangi kewaspadaan yang
berlebihan dengan cepat.
Penggunaan tapping dalam EFT secara signifikan dapat menurunkan tingkat Kortisol dalam tubuh. Selanjutnya dalam proses tapping, dilakukan juga beberapa gerakan yang disebut dengan the nine gamut procedure yaitu sembilan gerakan untuk merangsang otak yang dilakukan bersamaan dengan mengetuk ringan pada titik gamut spot yang biasa dikenal dengan istilah Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) (Church, Yount, & Brooks, 2012). EFT pun pernah digunakan oleh Church (Church, 2009) untuk merekonstruksi kognitif dan terapi
exposure untuk mengatasi PTSD pada veteran yang telah mengalami pertempuran. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Karatzi (Karatzias dkk., 2011) yang menunjukkan bahwa EFT dan
EMDR efektif dalam mengatasi PTSD.
Menurut (Zainuddin, 2006), EFT akan semakin efektif apabila digabungkan dengan
kekuatan doa dan spiritualitas. Pendapat Zainuddin didukung oleh hasil penelitian yang
dilakukan oleh seorang dokter ahli penyakit dalam, Dossey yang melakukan penelitian
ekstensif tentang efek doa terhadap kesembuhan pasien. Inti pesan yang disampaikan Dossey
adalah bahwa doa dan spiritual, terbukti dalam penelitian ilmiah memiliki kekuatan yang sama
besar dengan pengobatan dan pembedahan.
Penelitian Ulfah (Ulfa, 2013) menunjukkan bahwa SEFT dapat menurunkan Gangguan
Stres Pasca Trauma pada remaja yang menjadi korban erupsi Gunung Merapi. Semua peserta
merasa lebih tenang, rileks, dan nyaman setelah melakukan SEFT dengan tiga teknik sederhana
yaitu set-up, tune-in, dan tapping sehingga perasaan takut, sedih, gelisah, trauma akibat kejadian erupsi Gunung Merapi menjadi berkurang dan seluruh peserta dapat melakukan SEFT secara
mandiri setelah dipandu oleh terapis SEFT. SEFT juga dapat digunakan untuk mengatasi
masalah fisik, contohnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Hakam (Hariyati, Yetti, &
Hakam, 2009), menunjukan bahwa kombinasi SEFT dengan terapi analgesik lebih efektif dalam
menurunkan rasa nyeri pada pasien kanker dibandingkan hanya terapi analgesik saja.
Bakara, Ibrahim, & Sriati (Bakara, Ibrahim, & Sriati, 2013) menunjukkan bahwa SEFT dapat
mengurangi gejala depresi, kecemasan dan stress pada pasein Sindrom Koroner Akut.
Maka dari itu, perlu adanya intervensi untuk meningkatkan kualitas hidup pada wanita
yang menjadi korban bencana tanah longsor. Salah satu penanganan yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kualitas hidup adalah dengan intervensi Spiritual Emotional Freedom Tehnique (SEFT). Penelitian yang akan dilakukan terkait dengan usaha peningkatan kualitas hidup pada wanita yang menjadi korban tanah longsor di Purworejo. Keluhan mereka adalah
masih merasa ketakutan ketika keadaan disekitar lingkungannya gelap yang disertai hujan
deras dan angin kencang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique dalam meningkatkan kualitas hidup pada wanita yang mengalami bencana tanah longsor di Purworejo, sehingga diharapkan peneliti dapat membantu
memecahkan masalah wanita yang mengalami penurunan kualitas hidup karena bencana tanah
longsor.
Metode
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel tergantung yang
artinya variabel yang berubah jika berhubungan dengan variabel bebas, dan variabel bebas
yang artinya variabel yang dimanipulasi untuk dipelajari efeknya pada variabel-variabel lain
(Latipun, 2015). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kualitas hidup dan variabel
bebasnya adalah SEFT.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah enam orang wanita dewasa di Purworejo
dengan kriteria berusia 20 sampai 40 tahun, mengalami bencana longsor di tempat kejadian
bencana, memiliki kualitas hidup yang rendah berdasarkan hasil kategorisasi skala
WHOQOL-BREF, beragama Islam, mampu berkomunikasi dan kooperatif, tidak mengalami gangguan
mental berat, dan bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini yang dibuktikan dengan
pengisian informed consent.
Norma dalam skala WHOQOL-BREEF yang digunakan dalam pre-test terbagi dalam lima
kategori tersebut adalah kualitas hidup sangat buruk dengan perolehan skor antara 0-20,
kualitas hidup buruk dengan perolehan skor antara 21-40, kualitas hidup sedang dengan
perolehan skor antara 41-60, kualitas hidup baik dengan perolehan skor antara 61-80, dan
kualitas hidup sangat baik dengan perolehan skor antara 81-100.
Metode Pengumpulan Data
1. Skala Kualitas Hidup
Skala yang digunakan umtuk mengukur tingkat kualitas hidup pada wanita yang
mengalami bencana alam tanah longsor di Purworejo adalah skala yang diadaptasi dari The World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) –BREF (Salim, Sudharma, Kusumaratna, & Hidayat, 2016). WHOQOL adalah suatu alat ukur berupa skala yang dinilai dari domain
kualitas hidup yaitu kesehatan fisik, aspek psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan.
Peneliti menggunakan Skala The World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-BREF (Salim dkk., 2016), jadi peneliti tidak menyusun sendiri skala tersebut.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data secara kualitatif mengenai kondisi subjek,
perasaan dan sebagai salah satu data tambahan mengenai efektivitas dari terapi yang diberikan.
Wawancara dilakukan dengan subjek dan significant others. 3. Observasi
Observasi dilakukan untuk memperoleh data alami yang mendukung data-data yang
sudah ada dari hasil penyebaran skala dan wawancara. Observasi ini dilakukan selama proses
terapi.
4. Lembar kerja
Pada lembar kerja, subjek diminta menuliskan bagaimana perasaan yang muncul terkait
dengan rasa sakit yang dirasakan sebelum dilakukan terapi SEFT dan setelah dilakukan terapi
SEFT. Selanjutnya subjek diminta menuliskan kalimat set-up yang digunakan selama melakukan terapi SEFT serta menuliskan berapa skala dari perasaan yang muncul sebelum
dilakukan terapi SEFT dan setelah dilakukan terapi SEFT.
Pada lembar evaluasi, subjek diminta untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan
pelatihan yang telah dilakukan. Lembar evaluasi ini diisi oleh subjek setelah berakhirnya semua
sesi pelatihan. Lembar evaluasi ini mencakup evaluasi pelaksanaan terapi SEFT secara umum,
proses terapi, dan SEFTer yang memberikan terapi.
6. Modul Spiritual Emotional Freedom Technique
Modul dalam penelitian ini diadaptasi dari modul Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) yang disusun oleh Rahmah (2016). Program ini terdiri dari tiga sesi yang berlangsung
selama dua sampai tiga jam. Program ini akan dipandu oleh seorang fasilitator dan dibantu
oleh seorang co-fasilitator. Fasilitator dalam penelitian ini adalah psikolog klinis yang
berkompeten dalam melakukan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT).
Desain Eksperimen
Penelitian menggunakan desain kuasi eksperimen dengan model rancangan penelitian
yang akan digunakan adalah one grup pretest – posttest design. Desain ini bertujuan untuk melihat efek suatu perlakuan terhadap kelompok eksperimen, sehingga hasil perlakuan dapat
diketahui lebih akurat karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum diberi
perlakuan. Penelitian dilakukan pada satu kelompok yaitu kelompok eksperimen yang
berjumlah enam orang yang akan mendapatkan perlakuan berupa intervensi SEFT. Adapun
bentuk rancangan tersebut di bawah ini :
Tabel 1 Desain Eksperimen
Kelompok Pretest Perlakuan Posttest Follow up
KE NR Y1 X Y2 Y3
Keterangan
KE : Kelompok eksperimen non random
Y1 : Pengukuran sebelum perlakuan
X : Perlakuan
Y2 : Pengukuran setelah perlakuan
Prosedur Eksperimen
Tabel 2
Prosedur SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
Tujuan Sesi Kegiatan
Waktu
Pertemuan Durasi Membangun suasana akrab
antar peserta
Peserta mengetahui tujuan kegiatan pelatihan secara keseluruhan
Peserta memiliki kemauan untuk mengikuti pelatihan secara keseluruhan
Peserta mengenal terapi SEFT beserta manfaatnya
Peserta memahami tentang terapi SEFT
Pengenalan Terapi SEFT
Penjelasan terkait terapi SEFT
Diskusi Tanya jawab
50 menit
Membantu peserta mengendalikan pikiran dan emosi agar tidak mudah terganggu oleh keadaan negatif.
meningkatkan kinerja dan prestasi.
Peserta memiliki keterampilan menerapkan terapi SEFT versi singkat
Set-up, tune-in,dan tapping
untuk keluhan fisik dan emosi.
90 menit
Peserta lebih memahami dan mampu menetapkan tujuan dari pelatihan terapi SEFT
Peserta mampu
mempraktekkan terapi SEFT
Refleksi dan Tugas rumah
Refleksi perasaan Pemberian tugas rumah
versi singkat secara mandiri
Tujuan Sesi Kegiatan
Waktu
Pertemuan Durasi Evaluasi terapi SEFT versi
singkat yang telah dilakukan masing-masing peserta secara mandiri di rumah mengendalikan pikiran dan emosi agar tidak mudah terganggu oleh keadaan negatif.
meningkatkan kinerja dan prestasi.
Peserta memiliki keterampilan menerapkan SEFT versi lengkap dalam
Set-up, tune-in,dan tapping
untuk keluhan fisik dan emosi.
90 menit
Memonitor pelaksanaan pelatihan sebagai bahan masukan untuk pelatihan selanjutnya
Sebagai proses evaluasi pelatihan bagi SEFTer maupun peneliti.
Mengetahui tingkat kualitas hidup pada peserta
Memperoleh kesimpulan dari pelatihan yang sudah dilaksanakan.
Terminasi Peserta mengisi skala kualitas hidup
Wawancara dan
penutupan
20 menit
Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Skala kualitas hidup dalam penelitian ini menggunakan instrumen kualitas hidup yang
dibuat oleh WHO yaitu WHOQOL-BREF. Alat ukur WHOQOL-BREF adalah alat ukur yang
valid (0.89-0.95) dan reliable (0.66-0.87), yang dilihat dari setiap dimensinya yaitu kesehatan fisik, aspek psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Alat ukur ini telah diadaptasi ke
berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia untuk penelitian pada pemakai narkoba (V
Wardhani, 2006).
Pengujian instrumen WHOQOL-BREEF oleh Sekarwiri (Sekarwiri, 2008) yang meneliti
tentang kualitas hidup dengan sense of community pada warga Jakarta yang tinggal di daerah rawan banjir, menunjukkan hasil validitas sebesar 0,384-0,889, dengan rata-rata 0,603,
sedangkan ujian reliabilitas dengan menggunakan Coefficient Alpha Cronbach diperoleh sebesar 0,902. Hasil uji validitas menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antar setiap aitem
dengan setiap skor dimensi yang memuat aitem tersebut. Pengujian tentang instrumen
WHOQOL-BREF juga dilakukan oleh Salim dkk (Salim dkk., 2016) dengan tujuan menilai
validitas dan reliabilitas WHOQOL-BREF sebagai instrument untuk mengukur kualitas hidup.
Hasil penelitian menunjukkan distribusi skor setiap domain dari WHOQOL-BREF adalah
simetris dan tidak didapatkan efek floor atau ceiling.
Hasil ini menunjukkan adanya korelasi yang positif dan tinggi antar skor dengan kata lain
instrumen WHOQOL-BREF merupakan instrumen yang valid untuk mengukur kualitas hidup.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode pengumpulan data dengan melakukan
observasi, wawancara, lembar kerja, dan lembar evaluasi yang digunakan untuk mendapatkan
data secara kualitatif mengenai kondisi subjek, perasaan, dan sebagai salah satu data tambahan
Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kuantitatif.
Metode yang akan digunakan dalam analisis kuantitatif adalah statistic nonparametric karena data dalam penelitian tidak terdistribusi secara normal, sedangkan teknik analisis statistik
untuk menguji hipotesis menggunakan Uji Wilcoxon Signed Rank Test. Pada uji ini menggunakan sampel yang sama dan diberi perlakuan yang sama. Peneliti ingin membandingkan data pada
saat pre-test, post-test, dan follow-up. Pengujian hipotesis dibantu menggunakan komputer program SPSS (Statistical Product & Service Solution)16.0for windows.
H a s i l
Deskripsi penelitian yang diperoleh dari pre-test, post-test, dan follow-up dari skor skala kualitas hidup dapat dilihatpada table 3 berikut:
Tabel 3
Perbandingan Kategori Kualitas Hidup Kelompok Eksperimen
Nama
Domain 1 Domain 2 Domain 3 Domain
4 Total
Pre- Test
Post- Test
Follow Up
Pre- Test
Post- Test
Follow Up
Pre- Test
Post- Test
Follow Up
Pre- test
Post- Test
Follow up
Pre- test
Post- test
Berdasarkan data sebelumnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan skor kualitas
hidup, baik pada masing-masing domain maupun secara keseluruhan yang dilihat dari pre-test, post-test, dan follow-up pada semua subjek penelitian.
Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode statistik
non parametrik dengan teknik Wilcoxon Signed Rank Test. Peneliti ingin membandingkan data pre-post dan post-follow. Deskripsi hasil analisis penelitian yang diperoleh dari pre-test dan post-test dari skor skala kualitas hidup pada masing-masing domain dan secara keseluruhan dapat dilihatpada tabel 4 berikut:
Tabel 4
Hasil Analisis Pre-Test dan Post-Test Skor Kualitas Hidup
Domain Pre-test Post-test Asymp.Sig. (2-tailed)
Kesehatan 15,67 26,17 0,026
Psikologis 12,50 21,50 0,027
Sosial 9,67 11,17 0,041
Lingkungan 14,83 26,17 0,028
Kualitas hidup keseluruhan 52,67 85,00 0,028
Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan
tingkat kualitas hidup yang signifikan, baik pada masing-masing domain maupun secara
keseluruhan antara sebelum dan setelah diberi perlakuan berupa SEFT. Berdasarkan hasil
analisis kuantitatif yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian
ini diterima, yaitu adanya pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap peningkatan kualitas hidup pada wanita yang mengalami bencana tanah longsor di Purworejo. Adapaun deskripsi hasil analisis penelitian yang diperoleh dari post-test dan follow-up dari skor skala kualitas hidup pada masing-masing domain dan secara keseluruhan dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 5
Hasil Analisis Post-Test dan Follow-Up Skor Kualitas Hidup
Domain Post-test Follow-up Asymp.Sig. (2-tailed)
Kesehatan 26,17 24,83 0,066
Psikologis 21,50 20,50 0,131
Sosial 11,17 10,83 0,157
Lingkungan 26,17 24,33 0,024
Kualitas hidup keseluruhan 85,00 80,50 0,027
Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup
setelah dilakukan pelatihan SEFT antara post-test dengan follow-up. Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan kualitas hidup setelah dua minggu diadakannya pelatihan SEFT pada
wanita yang mengalami bencana tanah longsor di Purworejo. Meskipun demikian, terdapat
peningkatan kualitas hidup antara pre-test dibandingkan dengan follow-up pada skor skala kualitas hidup yang dapat dilihatpada tabel berikut:
Tabel 6
Hasil Analisis Pre-Test dan Follow-Up Skor Kualitas Hidup
Domain Pre-test Post-test Asymp.Sig. (2-tailed)
Kesehatan 15,67 24,83 0,027
Psikologis 12,50 20,50 0,027
Sosial 9,67 10,83 0,066
Lingkungan 14,83 24,33 0,027
Kualitas hidup keseluruhan 52,67 80,50 0,027
Analisis Kualitatif
Seluruh subjek merasakan beberapa perubahan setelah mengikuti SEFT, di antaranya rasa
cemas terhadap terjadinya tanah longsor kembali mulai berkurang. Sebelum mendapatkan
terapi SEFT, seluruh peserta merasa ketakutan apabila terjadi hujan lebat dan angin kencang
karena teringat kembali akan kejadian sewaktu terjadi tanah longsor. Seluruh subjek juga
merasa lebih nyaman dan rileks dalam beraktivitas sehari-hari. Beberapa peserta memiliki
aktivitas di luar rumah, seperti mencari kayu di hutan dan batu untuk membantu tetangga lain
dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka merasa cemas ketika berada di luar
rumah sebelum mendapatkan SEFT. Selain itu, ada dua orang peserta yang memiliki
permasalahan dalam rumah tangganya. Setelah mendapatkan terapi SEFT, dua peserta tersebut
merasa lebih tenang ketika menghadapi permasalahan tersebut.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan tingkat kualitas hidup yang
signifikan, baik pada masing-masing domain maupun secara keseluruhan antara sebelum dan
setelah diberi perlakuan berupa SEFT. Berdasarkan hasil kuantitatif uji Wilcoxon Signed Rank Test antara pre-test dengan post-test menunjukkan bahwa taraf signifikansi sebesar 0,026 < 0,05 untuk domain kesehatan, 0,027 < 0,05 untuk domain psikologis, 0,041 < 0,05 untuk domain
sosial, 0,028 < 0,05 untuk domain lingkungan. dan untuk keseluruhan domain taraf signifikansi
sebesar 0,028 < 0,05. Sedangkan Uji Wilcoxon Signed Rank Test antara post-test dengan follow-up menunjukkan bahwa taraf signifikansi sebesar 0,066 > 0,05 untuk domain kesehatan, 0,131 <
0,05 untuk domain psikologis, 0,157 < 0,05 untuk domain sosial, 0,024 < 0,05 untuk domain
lingkungan, dan untuk keseluruhan domain taraf signifikansi sebesar 0,027 < 0,05.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kualitas hidup setelah diberikan terapi
SEFT lebih tinggi daripada sebelum diberikan terapi SEFT. Selain itu, seluruh subjek juga
merasakan beberapa perubahan setelah mengikuti SEFT, diantaranya rasa cemas terhadap
terjadinya tanah longsor kembali mulai berkurang, merasa lebih nyaman dan rileks dalam
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi SEFT dapat meningkatkan
kualitas hidup pada wanita yang mengalami bencana tanah longsor di Purworejo.
Mardiyono, Songwathana, & Petpichetchian (Mardiyono, Songwathana, & Petpichetchian,
2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa intervensi spiritual merupakan intervensi
perawatan yang berdasarkan pada prinsip islam mencangkup tata pelaksanaan secara islam
seperti berdoa, pembacaan Al-Quran, berzikir, berpuasa, beramal, mengikuti sunnah nabi, dan
memodifikasi metode islam untuk menyeimbangkan dan memadukan antara tubuh, pikiran,
dan motivasi pada pasien. SEFT merupakan salah satu bentuk intervensi spiritual berupa doa
yang dilakukan pada waktu set-up, yang dapat mengurangi permasalahan individu, kecemasan, dan dapat meningkatkan kontrol diri. Teknik tune-in dalam EFT maupun SEFT dilakukan dengan memfokuskan pikiran pada rasa sakit dengan tujuan untuk memusatkan
pikiran subjek terkait pada rasa sakit yang dialami. Penelitian Kimbrough, Magyari,
Langenberg, Chesney, & Berman (Kimbrough, Magyari, Langenberg, Chesney, & Berman,
2010)menyatakan bahwa mindfulness diiringi dengan penerimaan diri terhadap kejadian traumatis yang dialami dapat menurunkan gangguan stres paca trauma hyperarousal. Feinstein (Feinstein, 2008) mengungkapkan bahwa ketukan ringan atau tapping yang dilakukan untuk mengatasi gangguan psikologis dapat memberikan efek biokimia berupa teridentifikasinya
neurotransmitter, endorpin, dan zat kimia lain dalam otak, sehingga dapat menurunkan tingkat kewaspadaan individu terhadap kejadian yang tidak menyenangkan.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu, Flint, Lammers, & Mitnick (Flint,
Lammers, & Mitnick, 2006), yang mengungkapkan bahwa EFT merupakan metode yang sangat
aman, mudah dan sederhana untuk dipelajari dan digunakan sebagai teknik yang dapat
dilakukan oleh individu. Baker, Carrington, & Putilin (Baker, Carrington, & Putilin, 2009)
menyatakan bahwa metode dengan prosedur EFT dapat dilakukan dalam waktu yang relatif
singkat dengan efektif yang besar. Selain itu, hasil penelitian ini juga mendukung penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Ulfah (Ulfa, 2013) dalam penanganan pada korban bencana
dengan mengunggakan SEFT. Hasil penelitian Ulfah (Ulfa, 2013)menunjukkan bahwa SEFT
dapat menurunkan PTSD pada remaja yang menjadi korban erupsi Gunung Merapi. Semua
takut, sedih, gelisah, trauma akibat kejadian erupsi Gunung Merapi menjadi berkurang dan
seluruh peserta dapat melakukan SEFT secara mandiri setelah dipandu oleh terapi SEFT. Selain
itu, SEFT juga pernah dilakukan oleh Zainuddin (Zainuddin, 2006) pada saat membantu
meringankan korban gempa bumi di Yogyakarta, Klaten dan beberapa kota di sekitarnya pada
tahun 2006.
Mekanisme EFT secara psikologis menurut Haynes (Haynes, 2010) adalah pada saat
melakukan EFT, terjadi peningkatan dari sumbu HPA (Hypothalamic Pituitary Adrenal), kemudian terjadi penghentian respon alarm dari sistem syaraf simpatis bergantian dengan
respon relaksasi dalam sistem syaraf parasimpatis yang kemudian terjadi penurunan tingkat
hormon kortisol dalam tubuh. Penelitian Lane (Lane, 2009) yang menunjukan bahwa
menstimulasi secara manual pada titik akupuntur dapat meregulasi kortisol, menurunkan rasa sakit, memperlambat denyut jantung, menurunkan kecemasan, meregulasi sistem syaraf
otonom dan dapat menciptakan rasa tenang. Sementara itu berdasarkan hasil penelitian
Tantular (2015) dijelaskan secara fisiologis bahwa menstimulasi titik akupuntur juga dapat
meningkatkan hormon endofrin yang dapat menghilangkan kecanduan akibat penyalahgunaan obat.
Hormon endorfin berfungsi untuk menghilangkan rasa sakit atau rasa nyeri dalam tubuh dan menimbulkan perasaan tenang setelah menghadapi perasaan traumatis. Selain itu, endorfin juga muncul untuk menghasilkan perasaan euforia. Secara umum perasaan euforia dapat terjadi ketika endorfin dilepaskan setelah melakukan olah raga seperti berlari, berenang, bersepeda, dan aerobik (Doctor & Shiromoto, 2010). Demikian juga yang dirasakan subjek saat melakukan
SEFT, maka hormon stres yang pada awalnya meningkat yaitu kortisol, epinefrin, dan norepinefrin yang dikeluarkan oleh kelenjaradrenal, kemudian dapat menurun setelah melakuan SEFT disertai dengan pelepasan hormon endorfin yang dapat mengatasi rasa nyeri (rasa sakit) yang dialami sehingga dengan demikian subjek yang melakukan SEFT akan merasa lebih
tenang, lebih nyaman dan rileks setelah melakukan SEFT.
Hasil interview Stearns and Stearns (NurrieStearns & NurrieStearns, 2013) terkait dengan penelitian Dossey tentang efek doa terhadap kesembuhan pasien yang dijelaskan secara rinci
penyembuhan yang efektif. Doa merupakan suatu pernyataan kesadaran yang ditandai dengan
cinta, haru, dan kepedulian yang mendalam. Doa memberikan ketenangan pada individu
dalam mengatasi setiap permasalahan hidup. Doa termasuk dalam set-up yang menyembuhkan dalam SEFT secara pisikologis, individu yang melakukan doa akan mengalami peningkatan
hormon endorfin dalam tubuhnya sehingga cenderung merasa tenang dan tidak merasa sakit. Selain itu, unsur rasa syukur yang terkandung dalam doa mampu membuat seseorang
berpikiran positif dalam menanggapi pengalaman emosional dan psikologis yang dialaminya
(Vernon, Dillon, & Steiner, 2009).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup pada wanita yang mengalami bencana tanah longsor di Purworejo, yang ditunjukkan dengan meningkatnya skor kualitas hidup pada
domain kesehatan, psikologis, sosial, lingkungan, dan skor kualitas hidup secara keseluruhan,
pada masing-masing peserta pelatihan setelah diberikan pelatihan SEFT. Seluruh subjek
merasakan beberapa perubahan setelah mengikuti pelatihan SEFT, di antaranya merasa tenang
apabila terjadi hujan deras dan angin kencang, bersemangat dalam beraktivitas tanpa khawatir
akan terjadi longsor kembali, dan tidak sering terbayang kejadian sewaktu terjadi longsor.
Kepustakaan
Aprillia, N. I., & Puspitasari, N. (2007). Faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada wanita perimenopause. The Indonesian Journal of Public Health, 4(1), 35–42.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2016). 24 tewas dan 26 orang hilang akibat banjir dan longsor di Jawa Tengah. Diambil 19 Januari 2017, dari https://bnpb.go.id/24-tewas-dan-26-orang-hilang-akibat-banjir-dan-longsor-di-jawa-tengah.
Bakara, D. M., Ibrahim, K., & Sriati, A. (2013). Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap Tingkat Gejala Depresi, Kecemasan, dan Stres pada Pasien Sindrom Koroner Akut (SKA) Non Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Abstrak, 1(1), 52–59.
Baker, A., Carrington, P., & Putilin, D. (2009). Theoretical and Methodological Problems in Research on Emotional Freedom Techniques (EFT) and Other Meridian Based Therapies. Psychology Journal, 6(2), 34–46.
Bougea, A. M., Spandideas, N., Alexopoulos, E. C., Thomaides, T., Chrousos, G. P., & Darviri, C. (2013). Effect of the emotional freedom technique on perceived stress, quality of life, and cortisol salivary levels in tension-type headache sufferers: a randomized controlled trial. Explore: The Journal of Science and Healing, 9(2), 91–99.
Brown, J., Bowling, A., & Flynn, T. (2004). Models of quality of life: A taxonomy, overview and systematic review of the literature (Vol. 6, hlm. 46). European forum on population ageing research.
Chou, F. H.-C., Wu, H.-C., Chou, P., Su, C.-Y., Tsai, K.-Y., Chao, S.-S., … Ou-Yang, W.-C. (2007). Epidemiologic psychiatric studies on post‐disaster impact among Chi‐Chi earthquake survivors in Yu‐Chi, Taiwan. Psychiatry and Clinical Neurosciences, 61(4), 370–378.
Church, D. (2009). The effect of EFT (Emotional Freedom Techniques) on Athletic Performance: A randomized Controlled Blind Trial. The Open Sports Sciences Journal, 2(1), 94–99.
Church, D., Yount, G., & Brooks, A. J. (2012). The effect of emotional freedom techniques on stress biochemistry: a randomized controlled trial. The Journal of nervous and mental disease, 200(10), 891–896.
Das, D. (2008). Urban quality of life: A case study of Guwahati. Social Indicators Research, 88(2), 297–310.
Dewi, S. R. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Deepublish.
Doctor, R. M., & Shiromoto, F. N. (2010). The Encyclopedia of Trauma And Traumatic Stress Disorders. New York City: Facts On File, Inc.
Feinstein, D. (2008). Energy Psychology in Disaster Relief. Traumatology, 14(1), 127–139.
Flint, G. A., Lammers, W., & Mitnick, D. G. (2006). Emotional Freedom Techniques: A Safe Treatment Intervention For Many Trauma Based Issues. Journal of aggression, maltreatment & trauma, 12(1–2), 125–150.
Handayani, D. Y., & Dewi, D. E. (2016). Analisis Kualitas Hidup Penderita dan Keluarga Pasca Serangan Stroke (Dengan Gejala Sisa). Psycho Idea, 7(1), 35–44.
Hariyati, R. T. S., Yetti, K., & Hakam, M. (2009). Intervensi Spiritual Emotional Freedom Technique Untuk Mengurangi Rasa Nyeri Pasien Kanker. Makara Seri Kesehatan, 13(2), 91–95.
Haynes, T. (2010). Effectiveness of emotional freedom techniques on occupational stress for preschool teachers. Psychology Journal, 6(2), 34–46.
Karangora, M. L. B., Yudiarso, A., & Mazdafiah, S. Y. (2012). Hubungan Antara dukungan sosial dan kualitas hidup pada lesbian di Surabaya. Calyptra, 1(1), 1–9.
Karatzias, T., Power, K., Brown, K., McGoldrick, T., Begum, M., Young, J.Adams, S. (2011). A controlled comparison of the effectiveness and efficiency of two psychological therapies for posttraumatic stress disorder: eye movement desensitization and reprocessing vs. emotional freedom techniques. The Journal of nervous and mental disease, 199(6), 372–378. Kimbrough, E., Magyari, T., Langenberg, P., Chesney, M., & Berman, B. (2010). Mindfulness
intervention for child abuse survivors. Journal of clinical psychology, 66(1), 17–33.
Lane, J. (2009). The Neurochemistry of Counterconditioning: Acupressure Desensitization in Psychotherapy. Energy Psychology: Theory, Research, and Treatment, 1(1), 31–44.
Mardiyono, M., Songwathana, P., & Petpichetchian, W. (2011). Spirituality Intervention And Outcomes: Corner Stone of Holistic Nursing Practice. Nurse Media Journal of Nursing, 1(1), 117–127.
Nurhasanah. (2008). Hubungan tingkat depresi dengan kualitas hidup pada daerah bencana pasca gempa bumi di Kabupaten Sleman tahun 2008. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. NurrieStearns, M., & NurrieStearns, R. (2013). Yoga for Emotional Trauma: Meditations and
Practices for Healing Pain and Suffering. Oakland: New Harbinger Publications.
Pan American Health Organization. (2006). Bencana alam: Perlindungan kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC.
Primardi, A., & Hadjam, M. N. R. (2011). Optimisme, harapan, dukungan sosial keluarga, dan kualitas hidup orang dengan epilepsi. Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(2), 123–133.
Putri, D. N. R. S. (2016). Pelatihan Kebersyukuran Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Pada Lansia (Tesis). Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Ramli, S. (2010). Pedoman Praktis, Manajemen Bencana. Jakarta: Dian Rakyat.
Rubbyana, U. (2012). Hubungan Antara Strategi Koping Dengan Kualitas Hidup Pada Penderita Skizofrenia Remisi Simptom. Jurnal psikologi klinis dan kesehatan mental, 1(02), 59–66.
Sadli, S. (2010). Berbeda Tapi Setara. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Salim, O. C., Sudharma, N. I., Kusumaratna, R. K., & Hidayat, A. (2016). Validitas dan reliabilitas World Health Organization Quality of Life-BREF untuk mengukur kualitas hidup lanjut usia. Universa Medicina, 26(1), 27–38.
Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2014). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. London: John Wiley & Sons.
Sekarwiri, E. (2008). Hubungan antara kualitas hidup dan sense of community pada warga DKI Jakarta yang tinggal di daerah rawan banjir (Tesis). Universitas Indonesia, Jakarta.
Sulistyarini, I. (2013). Terapi Relaksasi Untuk Menurunkan Tekanan Darah Dan Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Hipertensi. Jurnal Psikologi, 40(1), 28–38.
Ulfa, E. (2013). Intervensi Spiritual Emotional Freedom Technique Untuk Menurunkan Gangguan Stres Pasca Trauma Erupsi Gunung Merapi. Journal of Educational, Health and Community Psychology, 2(1), 38–57.
V Wardhani. (2006). Gambaran Kualitas Hidup Dewasa Muda Berstatus Lajang Melalui Adaptasi Instrumen Whoqol-Bref Dan SRPB. Universitas Indonesia, Depok.
Vernon, L. L., Dillon, J. M., & Steiner, A. R. (2009). Proactive coping, gratitude, and posttraumatic stress disorder in college women. Anxiety, Stress, & Coping, 22(1), 117–127. Wardiyah, M. (2013). Group Positive Psychotherapy Untuk Meningkatkan Kesejahteraan
Psikologis Remaja. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 1(2).
Yulaelawati, E. (2008). Mencerdasi Bencana: Banjir, Tanah Longsor, Tsunami, Gempa Bumi, Gunung Api, Kebakaran. Jakarta: Grasindo.