• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM DAN PEMERINTAHAN : KONSEP POLITIK JAMAL AL BANNA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISLAM DAN PEMERINTAHAN : KONSEP POLITIK JAMAL AL BANNA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Abstract : There are three ways of thought in the contemporary Islamic thought, especially in relationship between religion and state, which are; secularist, traditionalist, and reformist. Secularists state that Islam is only a religion which arranges the relationship between human and God. There is no regulation related to the state problem. In contrast, traditionalists argue that Islam is a comprehensive religion. People can find all regulation including a relationship with the state. Therefore, Islamic followers don’t have to imitate the Western ways. On the other hand, reformists say that Islam is not religion which only arranges the relationship between humans and God, but it’s not a comprehensive way too. According to reformists, it is enough for Islam to give based principles for people in order to guide activities and relationship among people in their communities and states.

According to Jamal al-Banna, there are four bases principles for the establishment of Islamic state, which are

1

Penulis adalah dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya

Also, Jamal al-Banna argues that syura concept is the based principle for running the Islamic state. All regulation should comply with the Quran, Sunah, and wisdom. A good example of this is economic system should guarantee the prosperity of people in this country based on Islamic values. Furthermore, one of the characteristics of Islamic state is that every person has a right to release his opinion.

In summary, Jamal al-Banna’s ideas can be categorized as reformist thought. He argues that there are no detailed and direct regulation about state in Quran and Sunah . However, in Quran and Sunah people can find code of ethic that can be used as guidance in human activities.

(2)

I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Masalah pemerintahan dalam Islam merupakan bagian dari berbagai permasalahan penting yang senantiasa terasa aktual untuk dibahas, karena relevansi masalah yang diperbincangkan senantiasa berkembang sepanjang masa. Al-Qur‟an maupun hadis sebagai sumber utama hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara tegas dan tuntas mengenai masalah yang berhubungan dengan kenegaraan, baik konsepsi kekuasaan, kedaulatan, ide-ide tentang konstitusi, struktur, maupun sistem pemerintahan dalam sebuah negara. Aktualisasi permasalahan tersebut juga dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak memberikan contoh konkret yang baku dan mapan tentang keberadaan sebuah negara yang harus ditegakkan oleh umat Islam, baik

ketika ia hidup maupun sebagai pedoman untuk masa-masa sepeninggalnya.

Menurut Munawir Sjadzali (1993:1-2), ada tiga pendapat tentang konsepsi negara dalam Islam. Pendapat

pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara. Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa Islam, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan kenegaraan. Terakhir, tidak sependapat bahwa Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang di dalamnya juga mengatur suatu sistem kenegaraan. Namun, aliran ini tidak sependapat pula bila Islam sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah politik dan ketatanegaraan.

Apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam -apakah dalam Islam diajarkan atau dituntut agar mendirikan negara atau tidak- kenyataannya umat Islam selalu membutuhkan sebuah sistem kenegaraan Islami. Karena, bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan

(3)

Andaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu mengacu kepada tegaknya ajaran Islam maka perangkat-perangkat peraturan keamanannya seharusnya yang Islami pula. Adalah suatu hal yang kurang tepat bila ingin menegakkan segala prinsip-prinsip Islami tetapi menggunakan sistem yang non Islami. Dari sinilah umat Islam membutuhkan sebuah negara dengan sistem yang Islami.

Realitas sejarah Islam menunjukkan bahwa negara itu dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah. Misalnya, ketika nabi masih di Makkah (611-622 M), tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena kekuatan politik didominasi oleh kaum aristoktrat Quraisy yang memusuhi nabi. Tetapi setelah hijrah ke Madinah, di mana nabi telah mempunyai komunitas sendiri yang berjanji setia untuk hidup bersama dengan suatu kesepakatn menggunakan aturan yang disepakati bersama berupa

Piagam Madinah.

Kehidupan nabi bersama umatnya pada periode Madinah ini (622-632H), oleh banyak pakar dianggap kehidupan yang bernegara (Nasution, 1986:92). Penilaian ini

tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa ketika itu telah terwujud sebuah negara, baik itu wilayah, masyarakat maupun penguasa. Demikian juga penilaian terhadap nabi ketika itu telah bertindak tidak hanya sebagai nabi tapi juga sebagai kepala negara, misalnya memutuskan hukum, mengirim dan menerima utusan, dan juga memimpin peperangan.

Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah nabi tidak meninggalkan satu Sunah yang pasti bagaiamana sistem penyelenggaraan negara itu, misalnya bagaimana sistem pengangkatan kepala negara, siapa yang berhak menetapkan undang-undang, kepada siapa negara bertanggungjawab, dan bagaimana pertanggungjawaban tersebut. Untuk mengikuti nabi sepenuhnya tentu tidak mungkin. Pertama, ia sebagai seorang rasul yang selalu mendapat petunjuk dari Allah Swt. Kedua, dari kenyataan

(4)

Allah bahkan ucapan dan tindakannya pun selalu mendapat pengawasan dari Allah.

Karena ketidakjelasan ini, praktik sistem kenegaraan dalam sejarah Islam selanjutnya selalu berubah-ubah. Dalam masa empat Khalifah al-Rasyidun saja kita lihat kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi, terutama sekali dalam masalah suksesi. Misalnya Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah nabi wafat. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan dan wasiat pendahulunya, Abu Bakar, kendatipun Abu Bakar pernah mendiskusikan dengan sahabat-sahabat lain sebelumnya secara tertutup. Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok

orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum ia wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan yang

penyelenggaraannya jauh dari sempurna (Sjadzali,1993:28-29).

Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah jauh dari ajaran yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Saat itu, hampir tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan, terutama dalam rangka suksesi. Tradisi suksesi berubah dari sistem musyawarah menjadi sistem penunjukan terhadap anak atau keturunannnya. Tidak jarang terjadi perebutan kekuasaan melalui kekerasan senjata. Demikian juga praktek sistem kenegaraan di masa Bani Abbasiah tidak banyak perbedaannya dengan masa Umayyah.

Di masa kemunduran Islam, umat Islam hampir mempunyai negara, karena kebanyakan bangsa muslim ketika itu berada di bawah penjajahan Barat baik Inggris, Prancis, Portugis, Spanyol, Italia, dan Belanda. Tetapi keinginan untuk mendirikan negara sendiri tetap ada, karena

(5)

Islam menghadapi masalah baru yaitu bagaimanakah sebenarnya negara Islam itu?

Berdasarkan pengalaman ini, sejumlah ilmuwan muslim telah tampil dan berusaha merumuskan konsep-konsep dasar mengenai negara Islam. Tokoh dan ilmuwan yang pernah memberi gagasan dalam masalah ini, antara lain Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abd Razik, Thaha Husein, Husein Haikal, Hassan al-Banna, Iqbal, Maududi, dan Fazlurrahman. Sesuai dengan zamannya dan latar belakang sosial politik di masa dan di mana mereka hidup ditambah dengan latar belakang pendidikan yang berbeda mereka telah mengemukakan pendapat-pendapatnya yang saling berbeda pula.

Salah seorang tokoh yang mengkaji tentang negara Islam adalah Jamal Banna, adik kandung Hassan al-Banna, tokoh pendiri gerakan Ikhwānul-Muslimīn.Jamal

al-Banna berpendapat bahwa tidak ada satu pun contoh pemerintahan Islam yang ideal selain pada masa Madinah al-Munawarah, yang berlangsung hanya dalam waktu 23 tahun. Sepuluh tahun pada masa kenabian, sementara tiga

belas tahun setelahnya adalah di bawah khalifah Abu Bakar dan Umar. Setelah itu, yang ada tidak lebih dari bentuk pemerintahan yang ekspansif dan rakus, sampai berakhirnya masa kekhalifahan Turki, termasuk pada masa khalifah Usman dan Ali karena keduanya tidak mengikuti cara kedua khalifah pendahulunya (al-Banna, 2003:1).

II. BIOGRAFI JAMAL AL-BANNA

Jamal al-Banna mempunyai nama lengkap, Ahmad Jamaluddin Ahmad „Abd al-Rahman, lahir pada tanggal 15 Desember 1920. Akrab dengan dunia tulis-menulis dan jurnalistik sejak usia muda. Pada tahun 1946 menulis "Neo-Demokrasi" yang salah satu idenya adalah pemahaman baru terhadap agama (fahm jadîd li al-dîn) menjadi salah satu pilar neo-demokrasi. Jamal juga adik kandung pendiri jamaah Ikhwan Muslimun, Imam al-Syahid Hasan

(6)

Sebagai seorang tokoh pemikir, ia sangat produktif menulis buku. Dalam konteks fikih, dia menulis Nahwa Fiqh Jadīd (Manifesto Fikih Baru) dalam tiga jilid. Dalam kajian al-Qur‟an dia menggagas Tashwīrul-Qur’an (Revolusi al-Qur‟an). Dalam bidang tafsir dia menggagas Tafsir al-Qur’ānul-Karīm Bainal-Qudamā’ wal -Muhadditsīn (Tafsir al-Qur‟an; antara Ahli Tafsir Lama dengan Pembaharu). Dalam bidang Hadis, Jamal menggagas Al-Ashlāni al-‘Adzīmāni; Ru’yah Jadīdah (Dua Pondasi Agung; Al-Qur‟an dan as-Sunnah, Sebuah Pandangan Baru). Isu-isu kontemporer pun tak lepas dari perhatian adik kandung pendiri gerakan Ikhwānul-Muslimīn ini. Dalam bidang kebebasan, Jamal menggagas buku berjudul Mathlabunā al-Awwal Huwa al-Hurriyyah (Kebebasan adalah pertama dan utama). Dalam wacana pluralitas dia menggagas At-Ta’addudiyah fil-Mujtama’ al-Islāmī

(Pluralitas dalam Masyarakat Islam). Untuk merespons perdebatan Islam dan terorisme, Jamal menggagas al-Jihād. Dalam konteks Islam dan kekuasaan Jamal menggagas al-Islām Dīn wa Ummah, Wa Laisa Dīn wa Daulah (Islam

adalah agama dan umat, bukan agama dan negara), Mauqifunā Minal-'Almāniyah, al-Qaumiyyah, al-Istirākiyah, al-Ushul al-Fikriyah lid-Daulah Islāmiyah, Mas'ūliyyah Fasyalid-Daulah al-Islāmiyyah (Tanggungjawab Kegagalan Negara Islam), al-Daulah al-‘Ashriyyah, Khamsatu Ma’āyir Li Mishdaqiyyatil-Hukmi al-Islāmī.

Di indonesia, Jamal al-Banna bisa dikatakan kurang dikenal. Bahkan seorang Syafi‟i Maarif pun mengungkapkan bahwa tokoh ini luput dari perhatiannya selama ini (Ma‟arif, Republika 13 Mei 2008). Padahal, Hashim Sholeh, spesialis penerjemah karya-karya Arkoun dan kritikus pemikiran Islam kontemporer menulis dalam kolomnya di harian paling terkemuka di Timur Tengah Sharqal Awsat (24 Mei 2004), posisi Jamal Al-Banna sebagai pionir revivalisme Islam (râ‟id da‟wah al-ihyâ‟ al -Islâmî). Seperti posisi Martin Luther dalam agama Kristen

(7)

III. PANDANGAN JAMAL AL-BANNA TENTANG NEGARA ISLAM

Salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, adalah kejayaan di bidang politik. Penuturan sejarah Islam dipenuhi oleh kisah kejayaan itu sejak Nabi Muhammad SAW (periode Madinah) sampai masa-masa jauh setelah beliau wafat. Terjalin dengan kejayaan politik itu ialah sukses yang spektakuler ekspansi militer kaum Muslim, khususnya yang terjadi di bawah pimpinan pada sahabat Nabi.

Kenyataan historis tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang terkait erat dengan kenegaraan. Setelah kaum Muslim berkenalan dengan Aryanisme Persia, muncul ungkapan bahwa “Islam adalah agama dan negara” (al-Islām Dīn wa Da’wah), yang mengisyaratkan keterkaitan yang erat antara keduanya. Sebaliknya, sejarah juga

mencatat bahwa perpecahan, pertentangan, dan bahkan penumpahan darah dalam tubuh umat Islam terjadi justru karena persoalan politik. Dimulai dengan peristiwa pembunuhan Khalifah Ketiga, „Ustman ibn Affan‟ yang

kemudian diikuti oleh pembunuhan pemimpin-pemimpin Islam lain dan pertentangan yang tiada hentinya di kalangan umat sehingga melahirkan berbagai aliran dan golongan.

Usaha memahami masalah politik dalam Islam memang bukan perkara sederhana. Hal itu, menurut Nurcholish Madjid, karena ada dua alasan. Pertama, bahwa Islam membuat sejarah selama lebih dari 14 abad sehingga akan merupakan suatu kenaifan jika dianggap bahwa selama kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stasioner dan berhenti. Sementara hanya sedikit sekali di kalangan kaum Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka ragamnya bahan-bahan kesejarahan yang harus dikaji dan diteliti, dalam sejarah Islam juga terdapat perbendaharaan teoritis yang amat luas tentang politik yang hampir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa

sejarah (Syadzali, 1993:vi-vii).

(8)

ragam bentuk pemerintahan dalam dunia Islam pada masa silam. Sekalipun tahap masa al-Khulafā’ur-Rāsyidun dipandang pihak muslim Sunni sebagai suri teladan ideal sepanjang sejarah Islam, yang di dalamnya agama dan kekuasaan bersatu dalam pemerintahan berdasarkan hukum Islam. Akan tetapi, realitas sepanjang pemerintahan Bani Umayyah (661-750) dan Bani „Abbas (750-1258) amat berbeda dengan tahap masa normatif itu. Realitas sepanjang sejarah Islam berbentuk fragmentasi de facto dalam imperium Islam sejak 850 M, watak dan kepentingan yang tidak bercirikan Islam dari para penguasa Islam, sudah tidak memperlihatkan eksistensi negara Islam ideal (Esposito, 1990:307).

Harun Nasution (1986:92) menyebutkan bahwa di Madinah umat Islam mempunyai posisi yang baik dan segera berkembang menjadi suatu komunitas kiat dan

mampu berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi pemimpin masyarakat yang baru dibentuk itu, dan akhirnya menjadi suatu negara. Suatu negara yang wilayah kekuasaannya ketika ia wafat meliputi seluruh kawasan Semenanjung

Arab. Posisi nabi di Madinah adalah sebagai pemimpin sekaligus pemimpin kepala Negara (Arnold dalam Mulia, 2001:3). Pendapat ini juga disampaikan oleh Fazlur Rahman, tokoh modernisme Islam. Masyarakat Madinah yang dipimpin nabi itu merupakan suatu Negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim (Mulia, 2001:4). Menurut Jamal al-Banna (2003:23), pada periode Madinah merupakan model pemerintahan Islami. Nabi bersentuhan langsung dengan persoalan kepemimpinan dan kenegaraan.

Al-Banna (2003:7) berpendapat, negara Madinah hanya berjalan sekitar 23 tahun. Sepuluh tahun di bawah kepemimpinan Rasul, dan tiga belas tahun di bawah kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Bagi Jamal al-Banna, era al-Khulafā’ur-Rāsyidun telah terhenti dengan

(9)

dermawan, serta berasal dari puak Umayyah yang awal masuk Islam. Namun di mata Jamal al-Banna, Utsman tidak mencerminkan seorang khalifah. Pada masanya mulai dikenal praktek nepotisme. Dia tidak memahami dampak dari kebajikannya yang memberikan jabatan kepada sanak keluarga dan kawan-kawannya (al-Banna, 1997:181).

Prinsip-prinsip Dasar Negara Islam

Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dasar dalam uraian ini adalah dasar-dasar atau asas-asas kebenaran fundamental, petunjuk peraturan moral yang terkandung dalam suatau ajaran yang dijadikan sebagai landasan berpikir, bertindak, dan bertingkah laku manusia dalam mengelola suatu negara.

Jamal al-Banna mengemukakan bahwa ada empat prinsip dasar yang dijadikan acuan dalam pengelolaan

negara Islam, yaitu prinsip keimanan, keadilan, prinsip Syar’iyyah dan prinsip individualis-universalis (al-Far Syumūliyyah (al-Banna, 1979:9).

Pertama, Keimanan, menurutnya, iman adalah prinsip dasar Islam yang pertama dan utama bagi pengelolaan hidup bermasyarakat dan bernegara (al-Banna, 1979:10). Pendapat senada juga disampaikan oleh Husain Haikal, dengan istilah yang berbeda, yaitu tauhid (Mulia, 2001:65).

Al-Banna (1979:13), menjelaskan bahwa iman membawa seseorang mengenali jati dirinya dan mengakui kelemahan dirinya. Apabila tertanam kuat dalam diri seseorang, iman dapat membuat orang yang bersangkutan memandang kecil segala makhluk sehingga dengan segala senang hati akan mengorbankan harta benda, kesenangan, dan kebebesan, bahkan seluruh hidupnya demi mencapai keridhaan-Nya. Ungkapan tersebut menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki iman yang kuat, ia akan menyadari eksistensi dirinya sebagai hamba Allah, yang harus dipatuhi

(10)

hawa nafsu yang menjadi sumber kesombongan, kecongkakan, dan tiranik.

Karena itu, Jamal al-Banna berpendapat bahwa iman merupakan landasan bagi pembinaan masyarakat muslim dan pengelolaan negara Islam. Ajaran tauhid sarat dengan berbagai nilai dan norma-norma luhur yang harus dijadikan pedoman oleh umat Islam dalam mewujudkan masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis. Dengan menjadikan keimanan sebagai poros kehidupan, umat Islam dapat menarik sejumlah tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat, yang akan mengantarkan umat Islam menjadi manusia bermoral dan memiliki integritas ruhani yang kukuh (al-Banna, 1979:33).

Kedua, prinsip keadilan. Salah satu ciri khas kehidupan Islami dan masyarakat muslim adalah ditegakkannya keadilan. Keadilan tersebut tidak mungkin

terealisasi jika tidak ada suatu sistem atau lembaga yang menegakkannya (al-Banna, 1979:7). Keadilan merupakan simbol Islam. Oleh karena itu, semestinya umat Islam harus menjadi penyeru pertama tentang keadilan. Bahwasanya

Islam masa pertama mengalami kebangkitan adalah tidak lain karena keimanan orang-orang yang tertindas. Tidak ada alasan lagi bagi negara Islam untuk tidak menerapkan keadilan dalam sebuah negara (al-Banna, 1994:35). Keadilan yang dimaksud adalah keadilan ekonomi dan keadilan dalam hukum (al-Banna, 1997:74).

Ketika sebuah negara mampu menciptakan keadilan dalam ekonomi, kebebasan pemikiran, menjadikan keimanan kepada Allah sebagai landasan utama dalam menentukan tindakan dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mengetahui hakikat, maka hubungan antara penguasa dengan rakyat adalah seperti hubungan antara seorang pegawai dengan perusahaan tempat ia bekerja. Karena itu, tidak akan ada penindasan dan eksploitasi, sehingga rakyat merasa mulia dan terhormat (al-Banna, 1984:41).

(11)

Undang-undang atau hukum yang diberlakukan tidak berlandaskan atas suatu keinginan pribadi, penguasa, kehendak sewenang-wenang dari lembaga yudikatif, atau hanya menguntungkan salah satu kelompok masyarakat. Undang-undang dikeluarkan harus berdasarkan al-Qur‟an dan Sunah Nabi yang shahih atau yang mengandung atau sejalan dengan nilai-nilai dari keduanya. Kedua, dalam syariat Islam, suatu undang-undang tidak hanya diilhami dari al-Qur‟an dan Sunah nabi, namun juga didasari oleh realita dan prinsip-prinsip keadilan seperti apa yang difirmankan Allah dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul -Nya. Sejarah mencatat kitab-kitab tersebut adalah buku petunjuk yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Ketiga, Syar’iyyah adalah hukum tertinggi dalam suatu masyarakat. Penerapan undang-undang diberlakukan kepada seluruh masyarakat tanpa pandang bulu

atau pilih kasih kepada siapapun, bahkan kepada seorang nabi sekalipun yang diperintahkan untuk menjalankan hukum seperti apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt (al-Banna, 1979:59).

Keempat, Al-Farsyumuliyyah (Individualis-Universalis). Menurut Jamal al-Banna (1979:83), negara yang harus didirikan adalah Al-Farsyumuliyyah (gabungan dari dua kata Al-Fardu dan Asy-Syumūliyyah), (Individualis-Universalis) yaitu bentuk negara yang bukan berdiri atas individualis atau universalis.

Negara Islam, bagi Jamal al-Banna (1979:83), bukanlah sistem individualis (kapitalis) ataupun sistem sosialis. Akan tetapi Islam adalah negara kapitalis sekaligus sosialis. Islam menjunjung tinggi hak-hak pribadi, karena iman sebagai pijakan utama negara Islam timbul dari hati masing-masing individu. Oleh karena itu, melanggar hak-hak individu lain berarti telah menginjak-injak prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kebebasan berpikir juga dijamin oleh Islam. Pada saat yang sama, Islam juga sosialis. Prinsip zakat adalah bukti nyata bahwa Islam menganjurkan agar

seseorang peduli terhadap kehidupan orang lain.

(12)

ataupun meningkatkan taraf ekonominya. Walaupun demikian, mereka tidak boleh lupa akan hak-hak orang-orang lain maupun masyarakat secara umum.

IV. KARAKTERISTIK NEGARA ISLAM

Menurut Jamal al-Banna ada beberapa kriteria atau karakteristik sebuah negara disebut dengan negara Islam. Beberapa kriteria tersebut adalah;

1. Sistem Pemerintahan a. Syūra

Pendapat Jamal al-Banna mengenai pemerintahan negara Islam dibangun di atas teori bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku. Islam hanya meletakkan seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya.

Islam hanya memberikan ukuran dan dasar-dasar bagaimana menjadikan sebuah negara bisa adil dan sentosa. Hal ini dibuktikan karena tidak ada satu pun indikasi al-Qur‟an ataupun dari nabi, dan dua al-Khulafā’ur-Rāsyidun pertama

tentang perincian dan model ideal sebuah pemerintahan, yang ada hanya konsepsi Syūra untuk sebuah kebijakan menuju kebaikan dan keluar dari kezaliman.

Dalam buku ad-Daulah al-‘Ashriyyah (Negara Modern), (al-Banna, 1982:86-87), menegaskan bahwa negara Islam adalah negara konstitusional dengan undang-undang tertinggi adalah al-Qur‟an dan Sunah. Supremasi hukum harus ditegakkan tanpa pilih kasih. Anggota masyarakat mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Tidak boleh ada eksploitasi suatu kelompok terhadap kelompok lain. Oleh karena itu, pemerintahan yang bercorak teokratis, absolut, dan tiranik tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Umat Islam bebas mengambil sistem pemerintahan yang menjamin persamaan di antara para warganya, baik dalam hak maupun kewajiban dan juga persamaan di muka

(13)

diajarkan Islam bagi pengelolaan hidup bermasyarakat (al-Banna 1986:88).

Oleh karena itu, menurut al-Banna (2004:144), Syūra merupakan elemen penting dalam terciptanya kemaslahatan umat dan menegakkan keadilan, maka seorang penguasa (lembaga eksekutif) tidak boleh diberi kekuasaan mutlak untuk menentukan suatu keputusan atau kebijakan tanpa melalui konsultasi ataupun bermusyawarah kepada lembaga terkait (legislatif).

b. Proses Pemilihan Kepala Negara

Al-Banna menyatakan, setidaknya ada tiga syarat dalam menentukan seorang pemimpin, pertama, pemilihan berdasarkan kapabilitas. Kedua, berlandaskan Syūra. Ketiga, tujuan utama adalah menegakkan apa yang telah diturunkan oleh Allah. Ibn Taimiyah (Jindan, 1994:85-86) setiap

muslim dapat dipilih untuk menduduki posisi tertinggi bila ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, pertama, memperoleh dukungan mayoritas umat yang dalam Islam ditentukan dengan konsultasi dan Mubāya’ah. Kedua,

Memenangkan dukungan Ahlus-Syaukah atau unsur-unsur pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Terakhir, memiliki syarat-syarat kekuatan pribadi dan dapat dipercaya.

c. Oposisi dan Sistem Kepartaian

Oposisi dalam suatu pemerintahan adalah suatu keharusan untuk mengontrol rezim berkuasa agar tidak muncul rezim diktator yang otoriter (al-Banna, 2000:39). Allah telah mewajibkan masyarakat muslim untuk membentuk komunitas atau gerakan yang bertugas untuk mengawasi para pemimpin dan pejabat serta individu dan bekerja untuk mengamalkan syariat Allah Swt: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran 104).

(14)

dalam sebuah negara akan lebih memberikan jaminan keamanan dari tindakan kezaliman seseorang atau kelompok tertentu dalam menjalankan roda pemerintahan serta kesewenang-wenangan terhadap seluruh rakyat.

2. Sumber Hukum a. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an sebagai rujukan akhir hukum Islam tidak saja berperan sebagai undang-undang perilaku keagamaan, tetapi yang lebih tinggi lagi, kitab suci itu merupakan dasar dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argumen serius tentang konstitusi negara Islam (Jindan, 1994:52). Al-Qur‟an mengandung nilai-nilai yang universal, seperti kemanusiaan, rasionalisme, kebebasan, keadilan, dan pengetahuan yang objektif (al-Banna, 1986:91).

Al-Banna berpendapat (2004:69), al-Qur‟an

setidaknya mengandung 3 pokok utama: akidah, syariah dan kedamaian manusia secara spiritual. Ia menegaskan bahwa mengikuti al-Qur‟an bukan berarti mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh para ahli Tafsir, ahli Hadis, atau

bahkan ahli Fikih sekalipun. Akan tetapi harus mengikuti aturan yang terpercaya dari al-Qur‟an dan tidak menyimpang dari kandungan al-Qur‟an yang sebenar -benarnya (al-Banna, 2004:144).

b. Sunah

Sumber hukum konstitusi Islam kedua yang tidak kalah penting adalah Sunnah atau segala perkataan dan praktek kehidupan Nabi Muhammad Saw, manusia yang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada semua manusia.

Sunah terdiri dari tiga ruang lingkup. Pertama, Sunnah Hayātiyah (Kehidupan), yaitu yang menyangkut interaksi sosial rasul sebagai bapak, suami, dan sebagai manusia seperti lainnya yang memerlukan sandang pangan. Dalam hal ini Rasulullah memberi contoh suri tauladan

(15)

Siyāsiyah (Politik), yang meliputi keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan beliau sebagai seorang pemimpin negara ataupun sebagai komandan dalam peperangan, atau kebijakan-kebijakannya dalam perekonomian. Para sahabat nabi seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Zaid bin Haritsah, dan yang lainnya, serta mereka pada gilirannya menjadi seorang pemimpin yang memimpin penaklukkan-penaklukkan, maka kita dapat memahami bahwa nabi juga mengajarkan cara kepemimpinan (al-Banna, 1997:170-176).

c. Hikmah

Hikmah adalah akal yang baik, nilai-nilai yang tinggi dan ilmu pengetahuan yang benar yang dapat memberi petunjuk kepada umat (Banna, 2001:42). Dalam al-Qur‟an terdapat beberapa ayat yang membahas tentang hikmah, bahkan disandingkan dengan al-Quran,

sebagaimana dalam ayat-ayat berikut;

.)ةرقبلا( ةمكلحاو باتكلا مكملعيو _

“Mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah” (QS. Al-Baqarah 152).

Ada dua alasan utama yang mengapa hikmah sebagai sumber ketiga. Pertama, karena al-Qur‟an tidak pernah menyebutkan hal-hal yang bersifat terperinci. Oleh karenanya, banyak lahan yang harus digarap dan dilestarikan oleh manusia. Dalam dunia sastra kita mengenal penulisan gaya sya‟ir, narasi dan pengisahan. Sebagaimana dalam dunia seni kita mengenal musik, drama dan lainnya. Semua hal di atas sangat penting untuk mempengaruhi dan menguasai perasaan. Di sana juga ada filsafat dengan gaya pencarian dan pembongkarannya yang khas. Semua itu telah menentukan bagi terciptanya berbagai perubahan dalam kehidupan, hingga akhirnya hikmah pun terungkap (al-Banna, 2004:108).

Seandainya Allah hanya menyebutkan al-Qur‟an, tanpa hikmah, hal ini membuka terjadinya penafsiran secara fanatis atau hegemonik oleh dan terhadap pihak-pihak

(16)

Kedua, karena Islam merupakan agama terakhir dan diturunkan untuk semua manusia. Itu berarti Islam harus memperhatikan dan berdampingan dengan maslahat kemanusiaan. Hal ini tak akan terjadi tanpa adanya “pintu” yang terbuka untuk berbagai macam perkembangan, kebudayaan, dan lain sebagainya. Hingga Islam sangat akrab dengan semua bentuk perkembangan. Bila tidak, maka Islam akan menjelma sebagai sel tahanan, baku, dan tidak mampu mengikuti perkembangan yang ada (al-Banna, 2004:108).

3. Sistem Ekonomi

Menurut al-Banna (1984:90), salah satu prinsip ekonomi yang harus dianut adalah mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan masyarakat. Ekonomi yang harus dianut harus menjamin terwujudnya pemuasan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu secara

menyeluruh, dan pemberian peluang kepada individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap menurut kemampuannya, dengan memandangnya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara

hidup yang khas. Dalam hal ini, Islam hampir mirip dengan sistem kapitalis, yaitu mengakui kepemilikan pribadi, mengambil keuntungan, dan kebebasan dalam bekerja. Namun demikian, Islam juga berbeda dengan kapitalisme. Sebab kapitalisme adalah suatu aliran ekonomi yang menjadikan ekonomi digunakan sebagai alat hegemoni kelas pemodal terhadap kelas pekerja (al-Banna, 1984:102).

Sistem ekonomi Islam merupakan sistem yang adil, serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul hanya pada kepada satu kelompok saja, tetapi tersebar ke seluruh masyarakat. Ciri-ciri penting sistem ekonomi Islam tersebut digambarkan dalam ayat al-Qur‟an:“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara golongan kaya saja di kalangan kamu” (QS. Al-Hasyr:7).

Sistem ekonomi Islam menyediakan menyediakan peluang-peluang yang sama dan memberikan hak-hak alami

(17)

4. Prinsip Kebebasan

Kebebasan merupakan salah satau hak dasar hidup setiap orang dan merupakan pengakuan seseorang atau kelompok atau persamaan. Kemuliaan harkat kemanusiaan orang lain. Kebebasan semakin dibutuhkan oleh setiap orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari golongan yang beraneka ragam baik dari segi etnis, kultur, agama, keyakinan maupun ekonomi. Bila kebebasan dibelenggu, maka yang akan terjadi adalah penindasan satu golongan terhadap golongan lain. Kebebasan membuat setiap orang atau golongan merasa terangkat eksistensinya dan dihargai harkat kemanusiaannya di tengah-tengah kemajemukan umat. Karena itu, prinsip kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna terjaminnya masyarakat pluralistik. Kebebasan-kebebasan

yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan beragama, kebebasan dari perbudakan, kebebasan dari kekurangaan, kebebasan dari rasa takut, kebebasan menyatakan pendapat,

kebebasan bergerak, kebebasan dari penganiayaan, dan lain-lain.

Dalam era kini kebebasan-kebebasan tersebut mencakup berbagam macam dimensi. Tidak hanya berbeda pendapat atau berkeyakinan, akan tetapi juga meliputi hal-hal seperti, kebebasan pers, kebebasan mendirikan organisasi masyarakat atau asosiasi buruh, profesi maupun partai (al-Banna, 2000:16-20).

Dalam catatan sejarah Islam permulaan dapat ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Nabi memberikan kebebasan kepada para sahabatnya untuk berbicara dan mengemukakan pendapat. Hal ini tampak dalam musyawarah-musyawarah atau konsultasi yang ia laksanakan untuk membicarakan berbagai masalah. Ia mengembangkan budaya kebebasan berpendapat atau berbeda pendapat di kalangan para sahabatnya (al-Banna,

(18)

V. PENUTUP

Jamal al-Banna menginginkan suatu negara atau pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip Islam. Tidak hanya menjadikan Islam sebagai slogan untuk melanggengkan kekuasaan. Pemikirannya berdasarkan realita pengalaman-pengalaman negara yang mentahbiskan sebagai negara Islam, namun tidak menjalankan prinsip Islam. Ia memberikan contoh, Saudi Arabia. Walaupun menyatakan sebagai negara Islam, namun dalam prakteknya negara tersebut tidak selalu menerapkan nilai-nilai Islam.

Menurut hemat penulis, konsep pemerintahan yang diajukan oleh Jamal al-Banna, tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh yang mengajukan konsep negara Islam semisal Husain Haykal. Rumusan yang diajukan bersifat idealis dan teoritis. Kemungkinan, sangat sulit diterapkan dalam masyarakat yang sangat plural di era modern kini dengan

problematika yang sangat komplek.

Hal baru yang dapat diambil dari pemikiran Jamal al-Banna adalah Hikmah sebagai sumber hukum. Hikmah mencakup nilai-nilai, ilmu pengetahuan, dan budaya

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. A. Ali Mukti. 1991. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta:Bulan Bintang.

Al-Banna, Jamal. 1979. Al-Ushūl al-Fikriyyah lid- Daulah al-Islāmiya. Kairo: Dār Thabā‟ah al-Hadītsah.

_____________. 1982. Al-Daulah al-‘Ashriyyah. Kairo. Kairo:Al-Ittichād al-Dauli al-Islāmī.

_____________. 1984. Wujūhul-I'tilāf wal-Ikhtilāf baina Ra'samāliyah wa Syuyū'iyyah wa al-Islām. Kairo: Ittichād al-Islāmī ad-Dauli lil-Amal.

_____________. 1986. Al-Hukm Bil-Qur’ān wa Qadhiyyatu Tathbīq asy-Syariah. Kairo, Dārul-Fikri al-Islāmī.

_____________. 1994. Mas’ūliyyatu Fasyalid-Daulah Al-Islāmiyah Fil-‘ Ashri Hadīts. Kairo: Dārul-Fikri al-Islāmī.

_____________. 1997. Nachwa Fiqh Jadīd 2.Kairo: Dārul -Fikri al-Islāmī.

_____________. 1997. Khamsatu Ma’āyir Li Mishdaqiyyatil-Hukmi al-Islāmī. Kairo: Dārul -Fikri al-Islāmī.

_____________. 1999. Nahwa Fiqh Jadid 3. Kairo:Dārul -Fikri al-Islāmī.

_____________. 1999 Al-Islām wa Hurriyatul-Fikri, Haddur-Riddah Shinā’ah Fiqhiyyah Tunāqidhu Sharikhul-Qur’ān. Kairo:Dārul-Fikri al-Islāmī.

_____________. 2000. Mathlabunal- Awwal Huwal-Hurriyyah. Kairo:Dārul-Fikri al-Islāmī.

_____________. 2001. At-Ta’addudiyah Fi Mujtama’il- Islāmī. Kairo: Dārul-Fikri al-Islāmī.

_____________. 2003. (1) Al-Islām Dīn Wa Ummah, Wa Laisa Dīn Wa Daulah. Kairo: Dārul-Fikri al-Islāmī.

_____________. 2003. (2) Mauqifunā Minal-'Almāniyyah, al-Qaumiyyah, wal-Istirākiyyah. Kairo: Dārul -Fikri al-Islamī.

_____________. 2004. Al-Islām; Kamā Tuqaddimuhu Da’watul-Ihyā’il-Islāmī. Kairo: Dārul-Fikri al-Islāmī.

(20)

Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta: UII Press.

Budiarjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia.

Departemen Agama RI. 1989. Al-Qu'an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putra

Esposito, John L dan O. Voll, John. 1994. Demokrasi di Negara-negara Muslim:Problem dan Prospek, Bandung, Mizan

______________. 1990. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan

Bintang.

Id, Abd Razak dan Jabbar. 2000. Al-Dimuqrātiyyah Bainal-'Almāniyyah Wal-Islām. Beirut: Dar al-Fikri al Mu'asir.

Jindan, Khalid Ibrahim. 1994. Teori Pemerintahan Islam menurut Ibn Taimiyah. Jakarta: Rineka Cipta.

Maududi. 1984. Khilafah dan Kerajaan. Bandung:Mizan.

Mudzhar, M. Atho. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberalisasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press

Mulia, Musdah. 2001. Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal. Jakarta: Paramadina.

Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta:UI Press.

Raziq, Ali Abd. 2001. Islam Dasar-Dasar Pemerintahan; Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam. Terj. M. Zaid Su‟di. (Al-Islam Wa Ushul al-Hukm) Yogyakarta: Jendela.

Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Syafiuddin, 2007. Negara Islam menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Gama Media.

(21)

Referensi dari Internet

Al-Banna, Jamal. Khitabah Hasan al-Banna al-Shab ila Abihi. www.islamiccall.org/alda awat. Diakses pada tanggal 5 april 2009.

Kadir, Ashraf Abdul. 2004. Hiwar al-Mutamaddin; Hadisun Ma'a Murabbi Al-Ajyal Jamal al-Banna: syaqiq Hasan al-Banna. www.ahewar.org/debat/14-02-2003. Diakses pada tanggal 5 April 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut anda apakah teknik(dengan menggunakan LKS dan lagu-lagu) yang digunakan dalam proses belajar mengajar dalam pelajaran mendengarkan sudah cukup membantu anda dalam

Setelah instrumen pengumpul data disetujui oleh kedua dosen pembimbing, maka peneliti mengajukan surat permohonan kepada FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak untuk

Memberikan layanan informasi dengan bentuk bimbingan pribadi, bimbingan kelompok, layanan klasikal, layanan pendekatan khusus/kolaboratif dan jarak jauh untuk

responden berdasarkan kategori risiko yaitu pada kelompok intervensi, dimana dari 18 responden yang termasuk dalam kategori berisiko mengalami luka tekan menurut skala Braden

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk menganalisis makna bahasa panca jiwa yang terdapat pada Pondok Modern Darussalam Gontor dengan analisis

Grove 2009 juga menambahkan bahwa pada babak 1 yang harus dilakukan adalah memperkenalkan tokoh, memberitahukan waktu dan pace cerita, menjelaskan cerita tersebut tentang apa

Pada saat ini sumber daya air yang umum dimanfaatkan untuk kebutuhan pelayanan air bersih bagi kebutuhan Kota Kupang diambil dari sumber mata air yang keluar pada

Hasil penelitian membuktikan bahwa (1) Persentase ketuntasan individual meningkat dari 17 siswa yang tuntas pada siklus I, 19 siswa tuntas di siklus II, dan 21