• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan perkembangan tarekat. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah dan perkembangan tarekat. docx"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sejarah membuktika bahwa agama islam di berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa para ulama yang kemudian dikenal sebagai Wali Allah, seperti di India, Afrika Utara Dan Afrika Selatan bahkan di indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Mekkah, suatu gelar yang diberikan untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan ilmu-ilmu Islam di daerah itu.

Demikian pula di Jawa, terkenal dengan sebutan Walisongo sebagai ulama yang berjasa dalam pengembangan Islam. Karena dimanapun tempat mereka berada, walaupun berbeda adat, budaya dan bahasa, mereka dapat berbaur dengan hati dan jiwa yang suci sehingga dengan mudahlah ajaran Allah dan Rasulnya untuk dipahami. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa nilai-nilai sritual selama ini semakin mendapat tempat pada masyarakat modern.

Tarekat, tasawuf, dan dunia sufi barang kali bisa diibaratkan tempat pencucian batin dan rohani. Seseorang yang masuk ke wilayah tarekat, tasawuf dan sufi, biasanya mengalami pengembaraan spiritual yang seringkali menakjubkan dan menggetarkan. Keindahan dan kelezatannya hanya bisa dikecap dengan mata batin. Relung-relung tarekat, tasawuf dan dunia sufi, terutama ketika seseorang telah “tenggelam” dalam pusaran ritualnya tak sepenuhnya bisa dianalisis dengan rasio semata.

Lebih dari itu, secara luas, tarekat, tasawuf, dunia sufi mempunyai makna yang dalam dan kompleks. Tarekat yang bisa dipahami sebagai “jalan” menuju spiritualitas, sebenarnya bukan sekadar berisi ritual-ritual semata, tetapi juga menyangkut sikap dan penghayatan manusia pada kehidupan yang kompleks dan fana ini. Seseorang yang masuk ke dunia tarekat yang tentu saja otomatis bersentuhan dengan alam sufi dan tasawuf, akan menyelam secara tuntas kepada Allah beserta nilai-nilai-Nya yang sarat misteri.

Seseorang yang masuk ke dunia tarekat akan terus menerus memperdalam ajaran Islam dan mempergunakannya sebagai energi kehidupan yang tak pernah lekang dan kering. Tarekat-tasawuf-sufi sebagai representasi dunia batin, rohani, dan spiritual, akan mengajak sang manusia untuk mengatasi dan melampaui benda dan materi, bukan sebaliknya, dikendalikan dan diperbudak oleh benda-benda dan materi. Bagi seseorang yang “tenggelam” ke dunia tarekat-tasawuf-sufi, ruang batinnya dipenuhi oleh Allah semata, sehingga benda dan materi yang fana, tidak perlu (terlalu) penting, bahkan bisa jadi menjadi halangan dan penyakit.

Namun, bukan berarti seorang yang masuk ke dunia tarekat hanya akan menjalani ritual-ritual semata seringnya dalam bentuk zikir-zikir tanpa punya kepedulian terhadap realitas sosial dan gerak sejarah umat manusia. Seorang penganut tarekat biasanya memang menggarisbawahi “kehiduan akherat” sebagai capaian yang paling penting, tapi bukan berarti “lari” dari realitas (sosial) kehidupan dan dunia yang riil ini. Seorang penganut tarekat yang baik dan tercerahkan akan menggabungkan “ibadah ritual” dan “ibadah sosial”, dua hal yang tak terpisahkan dalam hidup manusia untuk menuju Keindahan dan Keabadian-Nya.

(2)

seluas-luasnya. Ini adalah salah satu tesis penting dari buku Gerakan Politik Kaum Tarekat yang sedang saya telaah ini. Untuk itu, bisa dimaklumi, sebagaimana dideskripsikan buku ini, kaum tarekat mampu menggalang gerakan politik yang radikal dan revolusioner untuk melawan kolonialisme dan imperialisme.

B. Rumusah Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Thariqat ?

2. Bagaimana sejarah lahirnya Thariqat ?

3. Bagaimana perkembangan Thariqat?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf tentang Thariqat

2. Agar mengetahui pengertian Thariqat

3. Agar mengetahui sejarah dan perkembangan Thariqat

(3)

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Thariqat

“Thariqat” ةققييررطق menurut bahasa artinya “jalan”, “cara”, “garis”, “kedudukan”, “keyakinan” dan “agama”.

Kamus “Modern Dictionary Arabic – English “ oleh Elias Anthon dan Edward Elias, edisi IX, Kairo tahun 1954 menyatakan bahwa “thariqat” ialah “way” (cara atau jalan), “method” dan “system of belief” (metode dan suatu sistem kepercayaan).1

“Tarekat” berarti jalan, yaitu jalan menuju Tuhan. Secara kuhus, terekat di artikan sebagai metode praktis untuk membimbing seseorang dengan jalan berpikir, merasa dan bertindak melalui tahap – tahap kesinambungan ke arah pengalaman tertinggu yaitu hakikat (Trimingham, 1973). Dalam tarekat terdapat seorang guru yang disebut mursyid, yang berfungsi sebagai pembimbing, pimpinan sekaligus menjadi tokoh sentral bagi para penganutnya yang disebut murid. Para mursyid itu memiliki kedudukan bertingkat – tingkat dalam suatu susunan hierarkis piramidal wasilah yang berpuncak pada mursyid terbesar yang biasanya sebagai pendiri aliran tarekat, dan namanya menjadi nama aliran tersebut. Semua aliran tarekat dalam susunan wasilah hierarkis itu selalu berakhir pada diri Rasullullah Muhammad saw.2

Kata “thariqat” disebutkan Allah dalam Al-Qur’an sebanyak 9 kali dalam 5 surat, dengan mengandung beberapa arti sebagai berikut:

1. Surat An-Nisa’ : 168

اققييررطق ميههيق درهييقلر القوق ميههلقرقفرغييقلر ههللا نركهيق ميلقاويمهلقظقوق اويرهفقكق نقيي ذرللق ا نلقار

”Sesungguhnya orang – orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali – kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) aka menunjukkan jalan kepada mereka.”

2. Surat An-Nisa’ : 169

ادقبقاق آهقييفر نقيي درلر اخق مقنلقهقجق ققييررطق اللق ار ىلق

ارقييسريق هرللا ىلقعق كقلر اذق نق اكق وق

“Melainkan jalan ke Neraka Jahannam, mereka ekal di dalamnya selama – lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

3. Surat Thoha :63

القثيمهليا مهكهترققيي ررطقبر ابقهق ذييق وق امقهر ررحيسربر ميكهضر رياق نيملر ميكه اجق ررخييه نياق نرادقييرريه نرارقحراسقلق نر اذق اهق نيار آويله اقق

(4)

“Mereka berkata:”Sesungguhnya dua orang ini adalah benar – benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan “kedudukan” kamu yang utama.”

Ayat itu menerangkan kedatangan Nabi Musa as. dan Harun ke Mesir, akan menggantikan Bani Israil sebagai penguasa di Mesir. Sebahagian ahli tafsir mengartikan “thariqat” dalam ayat ini dengan “keyakinan” (Agama). Menurut Ibnu Manzhur (630 – 711 H) dalam kitabnya “Lisanul Arab” jilid 12 halaman 91, arti “thariqat” dalam ayat itu adalah “ar – rijalul asyraf” bermakna “tokoh – tokoh terkemuka”. Jadi ayat itu berarti, kedatangan Nabi Musa dan Harun ke Mesir adalah untuk mengusir kaum dengan sihirnya dan hendak menlenyapkan jamaah atau tokoh – tokoh terkemuka kamu.”

- Lebih jauh Ibnu Manzhur menyatakan “hadza thariqatu qaumihi” artinya “inilah tokoh – tokoh pilihan kaumnya.”

- Al – Akhfasi menyatakan “bithariqatikumul mutsla” artinya “dengan sunnah dan agama kamu yang tinggi.” “Thariqat” berarti juga “al – khaththu fis – syai – i” artinya “garis pada sesuatu.” “Thariqatul baidhi” artinya “garis – garis yang terdapat pada telur.” “Thariqatul romal” artinya “sesuatu yang memanjang dari pasir”, “ma imtadda minhu”.

- Al – Laits menyatakan “thariqat” ialah “tiap garis di atas tanah, atau jenis pakaian yang koyak – koyak. Itulah “thariqatnya”. Thariqat jamaknya “tharaiq” berarti “tenunan dari bulu”, berukuran 4 sampai 8 hasta kali satu hasta, dipertautkan sehelai demi sehelai.

- Menurut tafsir “Al – Jamal” juz 3 halaman 99, “bithariqatikumul mutsla” dalam surat Thoha : 63 itu, artinya biasyrafikum bermakna “dengan orang terkemuka kamu”. Kata “Thariqat” itu dipergunakan untuk tokoh – tokoh terkemuka, karena mereka itu menjadi ikutan dan panutan orang banyak, sebagaiman diartikan juga sedemikian oleh Abu As – Su’ud.

- Dalam “Mukhtarus Shihah”, disebutkan “wathariqatul qaumi” ialah “amatsiluhum dan jiaduhum” artinya “orang – orang besar dan terbaik diantara mereka”. “At – Tariqatu” juga diartikan “syariful qaumi” bermakna “tokoh terhormat suatu kaum”.

- Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 157 menyatakan “bi thariqatikumul mutsa” itu dengan ‘wa hia assihru, artinya “sihir”.

- Ibnu Abbas mengartikannya dengan “kerajaan yang mereka berdomisili dan mencari kehidupan didalamnya”.

- As – Sya’bi menafsirkannya dengan “harun dan Musa memalingkan perhatian orang banyak kepada mereka”.

- Mujahid mengartikannya dengan “orang – orang terkemuka, cerdas dan lanjut usia di antara mereka”.

- Abu Shaleh mengartikannya dengan “orang – orang mulia di antara kamu”.

- Ikrimah mengartikannya dengan “orang – orang terbaik di antara kamu”.

- Qatadah menyatakannya “bithariqatikumulmutsla” mereka pada masa itu adalah Bani Israil”.

(5)

- Tafsir Al – Kahzin juz 3 halaman 273, menafsirkan ayat itu dengan “yudzhiba bi sunnatikum wa bi dinikum alladzi antum ‘alaihi”.

هرييلقعق ميتهنياق ىذرللقا مهكهنريي دربروق ميكهترنلقسهبر ابقهر ذييه

“Keduanya, yakni Musa dan Harun akan menlenyapkan sunnah dan agama kamu yang kamu anut”.

- Tafsir Al – Baghawi juz 4 halaman 273, orang Arab menyatakan “fulanun alat thariqatil mutsla”.

ىلقثيمهليا ةرققيي ررطلقلا ىلقعق نن القفه

Maksudnya ialah “ala shirathin mustaqim”, berarti si Anu berada atas jalan yang lurus”.

4. Surat Thoha :77

ىشقخيتقالق ولق اكقرقدق فه اخقتق اللق اسقبقيق ررحيبقليا ىفر اققييررطق ميههلق بيررضي افق ييدر ابقعربر ررسياق نياق ىسقويمه القار آنقييحق وياق ديققلقوق

“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa : “Pergilah kamu dengan hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).

Kata – kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “jalan” di laut dan terbelahnya Lautan Merah untuk jalan bagi Nabi Musa dan pengikut – pengikutnya. Peristiwa itu terjadi setelah ia memukulkan tongkatnya.

5. Surat Thoha : 104

امقوييق اللقار ميتهثيبرلق نيار ةقققييررطق ميههلقثقمياق لهويقهيق ذيار نق ويله ويقهيق امقبر مهلقعياق نهحينق

”Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka : “Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja.”

Adapun yang dimaksud dengan “lurus jalannya” dalam ayat itu ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalannya di antara orang – orang berdoa itu.

6. Surat Al – Ahqaf : 30

ممييقرتقسيمله قمييررطق ىلقاروق قلرحقليا ىلقار ييدرهييق هرييدقيق نرييبق امقلر اققدلرصقمه ىسقاويمهدرعيبق نيمر لقزرنياه ابقاتقكر انقعيمرسق انلقار آنقمقويققايق اويلهاقق

“Mereka berkata :”Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al – Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab – kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”

7. Surat Al – Mukminin : 17

ققئر آرقطق عقبيسق ميكهققويفق انققيلقخق ديققلقوق ىلص

نقييفرلر اغق قرليخقليا نرعق انلقكه امقوق

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).”

8. Surat Al – Jin : 11

كقلر اذق نروي ده انلقمروق نقويحهلر اصلقلا انلقمر انلقاروق ىلق

ادق دققر ققئرآرقطق انلقكه

(6)

Al – farra’ mengartikan “kunna thariqa qidada” dalam ayat itu dengan “kunna firaqan mukhtalifa” bermakna “adalah kami beberapa kelompok yang berbeda – beda”.

9. Surat Al – Jin :16

اقق دقغق ءق آمق ميههانقييققسيأقلق ةرققييررطلقلا ىلقعق اويمهاققتقسياورللق نياقوق

“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar – benar Kami akan memberi minuman kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”

Kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “agama Islam”.

Demikian beberapa makna “thariqat” dari segi bahasa.

Thariqat Menurut Kalangan Sufi

Adapun “thariqat” menurut istilah ulama tasawuf :

1. “Jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih, dan Tasawuf.”

2. “Cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai sesuatu tujuan.”

Berdasarkan beberapa definisi yang tersebut di atas, jelaslah bahwa thariqat adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih, dan Tasawuf.3

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.

1. Tarekat wajib , yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.

2. Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.4

Hubungan Tarekat Denagan Tasawuf

Didalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditunjukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap klompok yang menjadi pengikut

3 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 1-6

(7)

salah seorang syekh tarekat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkat tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada allah.5

Tujuan Thariqat

Pada waktu kita berbicara tentang ilmu pengetahuan sufi dan tasawuf, sudah kita singgung bahwa mereka membagikan ilmu dan amal itu empat tingkat sesuai dengan fitrah dan perkembangan keyakinan manusia yatit syari’at, tarekat, hakekat dan ma’rifat. Meskipun ada golongan yang membagikan ilmu bathin itu atas pembagian lain, misalnya atas hidayat dan nihayat, sperti yang kita dapati pada penganut – penganut tasawuf Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al – Jauziyah, tetapi pembagian yang kita jumpai adalah pembagian yang empat macam tersebut.

Dalam kehidupan sehari – hari kita dapati Sufi – sufi yang mengemukakan kepada murid – muridnya mengambil misalnya thariqat atau hakekat saja, disamping ahli – alhi fiqh yang hanya menekankan pelaksanaan Islam itu kepada melakukan syari’at saja.

Syeikh Najmuddin Al – Kubra, sebagai tersebut dalam kitab “Jami’ul Auliya” (Mesir, 1331M) mengatakan syari’at itu merupakan uraian, thariqat itu merupakan pelaksanaan, hakikat itu merupakan keadaan, dan ma’rifat itu merupakan tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan sebenar – benarnya. Diberinya teladan seperti bersuci thaharah, pada syari’at dari air atau tanah, pada hakikatnya bersih dari hawa nafsu, pada hakikatnya bersih hati dari selain Allah, semuanya itu untuk mencapai ma’rifat terhadap Allah. Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syri’at saja, mengambil thariqat atau hakekat saja. Ia memperbandingkan syari’at itu dengan sampan, thariqat itu itu lautan, dan hakekat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak melalui kapan dan laut.

Oleh karena itu Syeikh Ahmad Al – Khamsyakhanuwi An – Naksyabandi, pengarang kitab yang tersebut di atas, menyimpilkan bahwa syari’at itu apa yang diperintahkan, dan hakekat itu apa yang dipahami, syari’at itu terpilih menjadi satu dengan hakekat, dan hakekat menjadi satu dengan syari’at.

Kedua ucapan orang suci itu sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan oleh Anas bin Malik : “Barang siapa berfiqh saja, tidak bertasawuf, ia termasuk golongan fasiq, barang siapa bertasawuf saja meninggalkan fiqh ia termasuk golongan zindiq, tetapi barang siapa mengerjakan kedua – duanya dialah yang dapat dinamakan mutahaqqiq yaitu ahli hakekat.

Seorang ahli thariqat terbesar menerangkan bahwa sebenarnya thariqat itu tidak terbatas banyaknya, karena thariqat atau jalan kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya tidak terbilang pula, karena ada yang akan melalui jalan dzikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadat (sepeti sembahyang, puasa, haji dan jihad), jalan melalui kekayaan (seperti mengeluarkan zakat, dan membiayai amal kebajikan), jalan membersihkan jiwa dari kebimbangan dunia akan ketamakan hawa nafsu (seperti khalwat, dan mengurangi tidur, mengurangi makan minum), semuanya itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syari’at dan sunnah Nabi. Dalam hal ini Al – Junaid memperingatkan “semua thariqat itu tidak berfaedah bagi hamba Allah jika tidak menurut Sunnah Rasulnya”.

Maka oleh karena itu, tiap – tiap thariqat yang diakui sah oleh ulama harus mempunyai lima dasar:

(8)

- Pertama, menuntut ilmu untuk dilaksanak sebagai perintah Tuhan

- Kedua, mendampingi guru dan teman setarekat untuk meneladaninya

- Ketiga, meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk kesungguhan

- Keempat, mengisi semua waktu dengan doa dan wirid

- Kelima, mengekangi hawa nafsu dari pada berniat slah dan untuk keselamatan.6

Perkataan “tarikat” berasal dari bahasa Arab (ةفرطلا) jamaknya (قىأرطلا) yang berarti jalan, keadaan, aliran, dalam garis pada sesuatu. Dan kata “tarikat” ini telah dibakukan menjadi bahasa Indonesia dengan arti: (1). Jalan, (2). Jalan menuju kebenaran (dalam tasawuf), ilmu tarikat, ilmu tasawuf, (3). Cara atau aturan hidup (dalam keagamaan atau dalam ilmu kebathinan), (4). Sebagai persekutuan para penuntut ilmu tasawuf.

Para ilmuan muslim memberikan defenisi “tarekat” dengan berbagai redaksi, antara lain seperti dikemukakan berikut ini:

a. H. Abu Bakar Atjeh mengatakan: Tarekat itu artinya jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun menurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai. Atau suatu cara mengajar atau mendidik, lama-lama meluas menjadi kumpulan kekeluargaan, yang mengikat penganut-penganut sufi yang sepaham dan sealiran, guna memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpinnya dalam suatu ikatan.

b. Harun Nasution, mengatakan bahwa Tarikat berasal dari kata Tariqah (ةقرطلا – jalan) yaitu jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Tarikat kemudian mengandung arti organisasi (tarikat), tiap tarikat mempunyai syekh, upacara ritual dan bentuk zikir sendiri.

c. Hamka, mengatakan: maka diantara makhluk dan Khalik itu ada perjalanan hidup yang harus kita tempuh. Ini lah yang kita katakan tarekat.

d. Syekh Al-Jurjani mengaatakan tarikat adalah jalan atau tingkah laku tertentu bagi orang-orang yang berjalan (beribadat) kepada Allah dengan melalui pos (manazil) dan meningkat ketingkat yang lebih tinggi yaitu stasiun-stasiun (maqomat).7

e. W. J. S. Poerwodarminto, memberikan definisi sebagai berikut: Tarekat (tarikat) (1) jalan, (2) jalan menuju kebenaran (dalam tasawuf); ilmu tarekat, ilmu tasawuf, (3) cara atau aturan hidup (dalam keagamaan atau dalam ilmu kebathinan), (4) sebagai persekutuan para penuntut ilmu tasawuf.

f. E. St. Harahap, mengemukakan tarikat ialah jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.8

Kaum Orientalist juga ada yang tertarik mempelajari “tarekat”, dan memberikan defenisi “tarekat” itu sebagai berikut:

a. J. Spencer Trimingham, mengemukakan: Tarikat adalah suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan,

6 Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo, Ramadhani : 1996) hlm. 70-72

7 Drs. H. Mizwar, MA., H. Pangulu Abd. Karim Nasution, Lc., MA. Akhlak Tasawuf, (Medan:Cita Pustaka Media Perintis,2013), hlm. 107-112.

(9)

terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqomat) untuk dapat merasakan Haqiqat yang sebenarnya.

b. Hargibb, mengemukakan: Pada abad ke IX dan X sesudah masehi. Tarikat adalah suatu cara psykologi moral untuk mengendalikan secara praktis dari individu-individu yang mempunyai suatu sebutan mistik. Setelah abad ke XI, tarikat menjadi sekumpulan sistem tentang upacara-upacara latihan kejiwaan yang tergabung untuk kehidupan bersama dalam keanekaragaman keagamaan orang Islam yang mulai dijumpai pada waktu ini.

Dari beberapa ungkapan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian “tarikat” adalah hasil pengalaman dari seorang sufi yang diikuti oleh para murid, yang dilakukan dengan aturan/cara tertentu, dan bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dalam perkembangannya tarikat itu kemudian digunakan sebagai nama sekelompok mereka yang menjadi pengikut bagi seorang Syekh yang mempunyai pengalaman tertentu dalam cara mendekatkan diri kepada Allah dan cara memberikan tuntutan dan bimbingan pada muridnya. Dalam memberi nama suatu kelompok yang terikat dengan suatu ajaran tertentu dalam mendekatkan diri kepada Tuhan itu dan dalam cara memberikan latihan-latihan selalu dinisbahkan kepada nama seorang Syekh yang dianggap mempunyai metode tertentu (

ةقيرط) dan pengalaman yang khusus (ةربخ).

Maka di dalam prakteknya dalam suatu tarikat ditemuilah adanya guru yang digelari dengan Mursyid atau Syekh. Wakilnya digelari Khalifah dan sejumlah pengikutnya disebut murid. Sedangkan tempat untuk latihan disebut kibath atau zawiyah atau taqiyah dan dalam bahasa Persia disebut Khanaqah. Dalam hal ini peranan Syekh (Mursyid) sangat menentukan terhadap muridnya.

Dari unsur-unsur pokok di atas terlihat bahwa tujuan yang sebenarnya dari “tarikat” adalah agar para pengikut yang tergabung di dalamnya dapat berada sedekat mungkin dengan Allah sesuai bimbingan guru atau mursyid.9

Secara harfiah, tariqah berarti jalan, mempunyai arti sama dengan syari’ah. Banyak kosa kata yang dapat diartikan dengan jalan, seperti sabil, sirat, manhaj, atau minhaj, suluk, atau maslak, nusuk

atau mansak. Jadi tarekat yang berasal dari bahasa Arab, yaitu “tariqah” memiliki banyak pengertian, satu diantaranyaseperti dikemukakan di atas yakni jalan, sedangkan dalam bahasa Indonesia bermakna jalan menuju kebenaran.

Dari segi terminologi, pengertian tarekat dapat dilihat dari ungkapan Zamakhsyari Dhofier yang mengartikannya sebagai suatu kelompok organisasi (dalam lingkungan islam tradisional) yang melakukan amalan-amalan zikir tertentu dan menyampaikan sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut. Sementara itu, Trimingham mendefinisikan tarekat sebagai suatu metode praktis untuk menuntun membimbing seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran dan tindakan, yang terkendali secara terus menerus kepada suatu rangkaian tingkatan (maqamat) untuk dapat merasakan hakekat yang sebenarnya.

Pengertian yang hampir sama dikemukakan Al-Jurjani yaitu jalan atau tingkah laku tertentu bagi orang-orang yang berjalan (beribadah) kepada Allah melalui pos (manazil), hingga sampai kepada tingkat lebih tinggi yang disebut stasiun (maqamat). Harun Nasution mendefenisikan tarekat sebagai jalan yang harus ditempuh sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan, yang kemudian mengandung arti organisasi, Syekh, upacar ritual dan bentuk zikir sendiri.

(10)

Pengertian lain tentang tarekat dikemukakan Abbas Husayn Basri, yaitu sebuah jalan yang ditempuh berdasarkan syariat Allah dan peraturannya, mengikuti perintah Rasul saw yang datang dengan segala petunjuk dan cahaya kebenaran.10

Ath-Tharieq (jalan) adalah mengutamakan perjuangan, menghapuskan sifat-sifat yang tercela, memutuskan segala hubungan duniawi serta maju dengan kemauan yang besar pada Allah. Dan berhasilnya yang demikian itu karena Allah. Dan hasilnya yang demikian itu karena Allah telah memimpin dan memelihara hati hambaNya dengan memberinya cahaya ilmu.

Jika Allah telah memberi petunjuk pada sanubari seseorang, niscaya akan berlimpah atasnya rahmat, bersinarlah cahaya didalamnya, akan lapanglah dadanya, akan terungkap baginya rahasia kerajaan langit dan tersingkaplah dari hatinya tabir kelengahan dengan kelembutan rahmat dan berkilauan baginy ahakikat-hakikat masalah illahi.

Maka tiada hal lain baginya kecuali bersiap sedia untuk mensucikan diri secara mutlak, menghadirkan semangat disertai kemauan yang benar, keimanan yang sempurna, dan senantiasa bersabar menanti rahmat yang akan diberikan Allah Ta’ala kepadanya.

Telah terungkap persoalan itu bagi para nabi, dan para wali. Dimana dad mereka diliputi cahay abukan dengan belajar atau mengkaji maupun menulis berdasarkan kitab-kitab tetapi dengan zuhud kepada dunia dan membersihkan diri dari hawa nafsunya dan dari segala yang bisa membuatnya lalai, dan mengkonsentrasikan diri kepada Allah. Maka barang siapa yang berbuat sesuatu untuk Allah niscaya Allah menjadi untuknya.

Mereka telah menganggap bahwa jalan dalam hal itu pertama-tama adalah memutuskan hubungan yang bersifat duniawi, mengosongkan hati dengan menyirnakan kemauan terhadap keluarga, harta, anak, tanah air, dan dari imu, kekuasaan, kedudukan, bahkan hati sanubari beralih menjadi satu keadaan dimana ada dan tidaknya akan merasa sama.11

Dalam tasawuf jalan menuju Tuhan mereka namakan thariqah, kata inggrisnya the path.

Para mistikus dalam setiap suku bangsa ataupun agama umumnya menyimbolkan pengembaraan spiritual mereka sebagai suatu perjalanan. Wlaupun adapula simbol-simbol lain namun perjalanan merupakan simbol yang lebih umum. Para sufi yang sedang rindu mengembara ,mencari tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (salik, musafir). Mereka melangkah maju dari satu tingkat ke tingkat diatasnya. Tingkat-tingkat pendakian rohani atau kejiwaan ini mereka namakan maqamat atau stasiun. Jalan yang mereka tempuh mereka namakan thariqah. Sedang tujuan akhirnya adalah mencapai penghayatan fana fi’llah. Yaitu kesadaran leburnya diri mereka dalam samudera illahi. Tarekat atau jalan tasawuf itu begitu penting hingga ilmu tasawuf sering dinamakan ilmu suluk. Dalam kepustakaan jawa ajaran mistik yang diungkapkan dalam bentuk tembang (puisi) dinamakan sastra suluk.

Tarekat (thariqah) itu pada dasarnya takterbatas jumlahnya, karena setiap manusia semestinya harus mencari dan merintis jalannya sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuan ataupun taraf kebersihan hati mereka masing-masing.12

10 Dr. H. L. Hidayat Siregar, MA., Tarekat Doktrin dan Sejarah, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), hlm. 14-16. 11 Dr. Abdul Halim Mahmud., Ihwal Tasawuf Analisa almunqidz Minadhdhalai Selamat Dari Kesesatan, (jakarta: Daarul Ihya Indonesia, 2004), hlm. 81.

(11)

Thariqah dan Haqiqah yang menjadi bagian pengetahuan sufi, merupakan bagian dari Syariah, karena akan membantu mewujudkan bagian ketiga, yakni ketulusan. Oleh sebab itu hal hal tersebut dikaji karena ingin mengutuhkan Syariah dan bukan untuk mencapai sesuatu diluar syariah. Tergiur dan ektase yang biasa dialami oleh sufi, dan gagasan-gagasan tentang kebenaran yang datang ketika mereka mengarungi perjalanan rohaniyahnya, bukanlah tujuan sufi. Hal hal tersebut tak lain hanyalah mitos dan kegembiraan bagi “anak-anak” sufi. Apabila seseorang telah melampauinya kemudian mencapai tahap kepuassan (ridha), yang merupakan tujuan terakhir dari suluk dan jadzbah. Tujuan melewati seluruh lintasan thariqah dan haqiqah tiada lain hanyalah untuk mewujudkan ikhlas yang memang muncul dalam pencapaian ridha. Hanya satu dari antara ribuan sufi yang dikaruniai dengan tiga iluminasi, dan penglihatan makrifat, mencapai ikhlas dan kemudian naik menuju ridha.13

Para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam stasiun-stasiun (maqamat) dan keadaan-keadaan (ahwal). Perbedaan anatara keduanya adalah maqamat dicapai melalui usaha yang sadar dan sistematis, sedangkan ahwal adalah keadaan-keadaan jiwa yang datang secara spontan, sebagai hadiah dar Tuhan, dan umumnya berlangsung relatif cepat dan tidak bertahan lama.

Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang sufi dalam tarekatnya, intensitas dan kecepatan perjalananpun bisa berbeda-beda. Ali nadwi misalnya menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti burung Rajawali yang bisa dengan cepat tiba di tangan si Raja, sedangkan perjalanan spiritual Farid al-Din digambarkan merayap seperti semut. Rumi sendiri misalnya mengatakan seorang sufi bermikraj ke Arsy dalam sekejap sang zahid memerlukan sebulan untuk sehari perjalanan.14

2. Sejarah lahirnya Tarikat

Lahirnya tarekat tidak terlepas dari keberadaan tasawuf secara umum, terutama peralihan tasawuf yang bersifat personal kepada tarekat sebagai suatu organisasi, yang merupakan perkembangan, pengamalan serta perluasan ajaran tasawuf. Kajian tentang tarekat sendiri tidak mungkin dilakukan tanpa kajian tasawuf. Dalam perspektif tertentu tarekat dapat dilihat sebagai perkembangan lanjutan dari tasawuf. Dari perspektif lain, tarekat adalah praktek yang terstruktur dari prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin tasawuf; atau ringkasnya tasawuf adalah aspek teoritis sementara tarekat adalah aspek praktisnya.

Dalam konteks ini, Trimingham berpendapat bahwa perkembangan tasawuf menjadi tarekat mengalami proses panjang yang dapat dibagi kedalam tiga tahapan:

Tahapan pertama (khanaqah). Abad kencana mistisme. Guru dan majelis muridnya, yang sering kali berpindah-pindah tempat, mempunyai aturan yang minimum untuk menempuh kehidupan biasa, menjurus pada abad ke-10 ke arah pembentukan pondok-pondok yang seragam dan tidak khusus. Bimbingan dibawah seorang guru menjadi prinsip yang diterima.

Tahapan kedua, (tariqah). Abad ke-13, zaman seljud. Periode formatif 1100-1400M. Transmisi doktrin, aturan dan metode. Perkembangan-perkembangan mazhab mistisme yang bersinambung.

Silsilah-tariqah, yang berasal dari seseorang yang tercerahkan. Meyesuaikan dan menjinakkan semangat mistikal dalam sufisme yang terorganisasi kepada standar tradisi dan legalisme. Perkembangan tipe-tipe baru metode kolektif untuk menumbuhkan ektase.

Tahapan ketiga (ta’ifah). Abad ke-15, zaman pembentukan kemaharajaan Ottoman. Transmisi baiat bersama-sama doktrin dan aturan. Sufisme menjadi suatu gerakan yang popular.

Karakteristik-karakteristik terpenting untuk tahapan perkembangan yang pertama adalah sebagai berikut:

13 Anshari, Muhammad Abdul Haq, Antara Sufsme dan Syariah, cetakan ke 2, (Jakarta:PT.Grafindo Persada, 1993), hlm. 271-272.

(12)

1. Perumusan ajaran masih bersifat individual. Dalam tahapan pertama ini ajaran-ajaran tasawuf masih merupakan gagasan-gagasan yang melekat pada seseorang individu. Dengan demikian belum dikenal adanya mazhab atau aliran dalam konteks ajaran tasawuf.

2. Pengikut menjalani kehidupan moral. Para pengikut tasawuf pada prinsipnya tidak terbedakan dari masyarakat pada umumnya, kecuali bahwa kebanyakan pengikutnya yang awal memang berasal dari kelompok elit masyarakat. Namun, mereka bukanlah kelompok yang tersendiri, apalagi eksklusif dari masyarakat umum. Pada tahapan ini tasawuf tidak membuat garis pembeda antara pengikutnya dengan yang bukan pengikut.

3. Aturan-aturan masih sederhana. Apa yang dikenal sekarang ini didunia tasawuf dalam bentuk aturan-aturan yang sangat banyak dan rumit, sama sekali belum muncul pada tahapan perkembangan pertama ini.dalam tahapan ini meskipun ada aturan, namun masih sangat sederhana. Aturan-aturan yang paling utama pada umumnya bersifat moral-etis dan tak menyentuh persoalan-persoalan teknis sebagaimana kemudian muncul belakangan hari.

4. Metode utama adalah kontemplasi individual. Metode yang paling menonjol pada awal perkembangan tasawuf adalah kontemplasi pribadi. Metode ini mengasumsikan pemahaman dan kemampuan individual yang relatif baik. Dengan demikian tasawuf dijalani sebagai suatu upaya pendakian personal menuju kedekatan kepada Allah swt. Seseorang dengan dirinya sendiri mencoba melakukan perenungan mendalam dan dengan itu dia mengalami transformasi dan pencerahan spiritual yang diharapkan.

Karakteristik-karakteristik terpenting untuk tahapan perkembangan yang kedua adalah sebagai berikut:

1. Mulai munculnya transmisi doktrin, metode, dan aturan secara sinambung, dengan menempatkan satu tokoh sebagai central figure. Mulai teridentifikasi secara nyata usaha yang sistematis untuk mewariskan doktrin, metode dan aturan-aturan, dan sebagai bagian dari itu muncul pula upaya pembakuan.

2. Popularisasi. Oleh karena adanya pewarisan yang terencana, maka muncullah fenomena popularisasi. Tasawuf/tarekat menjadi bagian dari kehidupan masyarakat grass root, bukan lagi beredar hanya dikalangan elite semata. Tasawuf menjadi sesuatu yang biasa diamalkan oleh siapa saja.

3. Standarisasi, mazhab. Sebagai akibat dari popularisasi maka kemampuan intelektual/spiritual dari kelompok penganut tasawuf/tarekat menjadi sangat bervariasi, mulai dari yang sangat tinggi sampai yang sangat rendah. Keadaan ini memunculkan kepentingan akan adanya standarisasi ajaran yang kemudian membentuk mazhab-mazhab tasawuf/tarekat.

4. Munculnya metode-metode komunal yang standarisasi.kemampuan yang bervariasi dan jumlah penganut yang semakin besar melatar belakangi perlunya metode-metode yang tidak hanya terstandarisasi, tetapi sekaligus dapat difungsikan secara berkelompok, secara komunal. Dengan demikian mulailah fenomena kelompok/jamaah dalam kegiatan tarekat.

Karakteristik-karakteristik terpenting untuk tahapan perkembangan yang ketiga adalah sebagai berikut:

1. Popularisasi berlanjut. Semakin hari tasawuf/tarekat semakin digandrungi oleh hampir semua lapisan masyarakat. Elitisme dalam tarekat menghilang sama sekali dan menjadi sebuah fenomena grass root. Dalam kenyataannya tarekat malah menjadi lebih lekat pada kehidupan keagamaan popular dan berbasis masyarakat bawah.

(13)

sangat banyak. Beberapa di antara cabang mazhab ini sesungguhnya sulit dibedakan dari induknya, kecuali sekedar formalitas atau pembeda-pembeda yang superfisial saja sifatnya. Ada juga cabang yang menggabungkan beberapa aspek dari dua atau lebih mazhab yang sudah ada dan popular lebih dahulu.

3. Bay’at komunal. Popularisasi juga semakin mendorong ‘pentingnya’ kesetiaan; dan pencabangan mazhab meniscahyakan kejelasan afiliasi. Dalam konteks inilah kemudian muncul perlunya bay’at. Jumlah pengikut yang besar memunculkan yang bay’at komunal, yaitu pernyataan kesetiaan kepada guru-mursyid secara bersama-sama.

4. Kultur individual. Pada tahapan ini juga muncul satu karakteristik yang nantinya menjadi salah satu topik kontoversial dalam diskursus tentang tarekat, yakni kultus individual. Penghormatan yang ‘berlebihan’ kepada pemimpin tarekat antaralain dimungkinkan karena semakin popularnya tarekat dan pengikutnya yang semakin banyak berasal dari kalangan

grass root tadi. Begitu pun terlepas dari kontoversi yang ada, kultur individual ini menjadi salah satu tema paling populae berkaitan dengan tarekat.15

Karena tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka orang yang menjalankan Syariat dan simurid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Syariat agama.

2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan melaksanakan perintah guru.

3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.

4. Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan serta kekhusukan dalam mencapai maqomat (stasion) yang lebih tinggi.

5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.

Dari unsur-unsur pokok di atas terlihat bahwa tujuan yang sebenarnya dari tarikat adalah agar para pengikut yang tergabung di dalamnya dapat berada sedekat mungkin sesuai dengan bimbingan seorang guru atau mursyid.

Pelaksanaan tarikat itu diantaranya melalui:

a. Zikir, yaitu ingatan yang terus menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan dengan namanya lisan. Zikir berfungsi sebagai alat kontrol bagi hati dan perbuatan agar jangan sampai menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah. Oleh sebahagian ada juga yang membedakan zikir itu dengan zikir lisan (lisan), zikir qalbu (hati), dan zikir sirr (rahasia). b. Ratib, yaitu mengucap (هللالا هلال) dengan gaya, gerak dan irama tertentu.

c. Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian,seperti memukul rebana.

d. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan sesuatu kekhidmatan.

e. Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.

Secara umum dasar-dasar dari semua tarikat dapat disimpulkan dalam lima hal:

1. Menuntut ilmu untuk menegakkan perintah.

2. Cinta kepada syekh dan persaudaraan untuk dapat mendapatkan penglihatan yang tajam. 3. Meninggalkan rukhsah dan takwil untuk memelihara keutamaan.

4. Mengisi waktu dengan wirid-wirid untuk selalu menghadirkan Tuhan dalam hati. 5. Mencurigai diri dari segala sesuatu agar dapat keluar dari hawa nafsu.

(14)

Syekh-syekh tarikat yang mempunyai murid-murid fan tarikatnya yang terus berkembang pada umumnya harus memenuhi lima syarat:

1. Perasaan yang tajam. 2. Ilmu yang betul. 3. Cita-cita yang tinggi.

4. Kepribadian yang disenangi.

5. Mempunyai pandangan yang menyelamatkan.

Selanjutnya seorang muridpun tidak hanya sekedar berguru, tetapi harus menjaga adab terhadap syekhnya agar ilmu yang didapat dari syekh itu dapat dihayati. Adab-adab tersebut adalah:

1. Mengikuti segala perintah Syekh meskipun bertentangan dengan pendapatnya. 2. Menjauhi larangan Syekh meskipun disenanginya.

3. Menjaga kehormatan Syekh baik dihadapan maupun dibelakang Syekh, diwaktu hidupnya atau sesudah matinya.

4. Menegakkan hak-hak nya sedapat mungkin dengan tidak bersia-sia.

5. Mengenyampingkan akalnya, ilmunya dan kepemimpinannya kecuali dalam hal-hal yang sesuai dengan perintah Syekhnya.

Disamping itu pula setiap murid mempunyai tugas-tugas yang tidak boleh dilupakannya, yaitu: 1. Tetap bertaqwa dengan meninggalkan yang dilarang dan memelihara kewajiban.

2. Beramal denga segala sesuatu yang dapat menyebabkan kesempurnaan jiwa dan taqwa. 3. Senantiasa hati-hati terhadap sesuatu dan sumber-sumbernya.

4. Berteman dengan orang-orang yang mempunyai ma’rifat dan ilmu.

5. Berusaha untuk menjauhi orang-orang yang mengejar kemewahan dan keduniawian. 6. Menjaga adab.

7. Menunaikan waktu sesuai dengan hak-haknya.

8. Bahwa engkau tidak melihat di alam ini kecuali dirimu dan tuhanmu, dengan sikap muraqabah..

9. Menjauhkan diri dari sikap terpaksa dalam segala gerakan.

10. Mengisi hati dengan sesuatu yang menghidupkannya dan menjauhkan lawan-lawannya: a. Senantiasa mengingat bahwa engkau adalah perantauan di dunia.

b. Senantiasa mengingat maut yang datangnya tiba-tiba. c. Senantiasa mengingat keliaran hati.

d. Senantiasa mengingat bahwa engkau berada di hadapan Allah SWT.16

3. Perkembangan Tarikat

Pada masa permulaan Islam, hanya terdapat dua macam thariqat, yaitu :

1. Thariqat Nabawiah, yaitu amalan yang berlaku di masa Rasulullah saw yang dilaksanakan secara murni. Dinamakan juga dengan “Thariqat Muhammadiah” atau “Syari’at”.

2. Thariqat Salafiah, yaitu cara beramal dan beribadah pada masa Sahabat dan Tabi’in dengan maksud memelihara dan membina Syari’at Rasulullah saw. Dinamakan juga dengan “Thariqat Salafus Saleh”.

Sesudah abad ke – 2 H, thariqat Salafiah mulai berkembang secara kurang murni. Ketidakmurniannya itu antara lain disebabkan pengaruh filsafat dan alam pikiran manusia telah

(15)

memasuki negara – negara Arab, seperti filsafat Yunani, India, dan Tiongkok, sehingga pengalaman thariqat Nabawiah dan Salafiah telah bercampur aduk dengan filsafat.

Sejumlah kitab – kitab filsafat asing di salin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sesudah abad ke – 2 H itu muncullah thariqat Sufiah yang diamalkan orang – orang sufi, dengan tujuan untuk kesucian melalui empat tingkat :

1. Syari’at, mengetahui dan mengamalkan ketentuan – ketentuan Syari’at, sepanjang yang menyangkut dengan lahiriah.

2. Thariqat, mengerjakan amalan hati dengan akidah yang teguh sepanjang yang menyangkut dengan batiniah.

3. Hakikat, cahaya musyahadah yang bersinar cemerlang dalam hati dan dengan cahaya itu dapat mengetahui hakikat Allah dan rahasia alam semesta,

4. Ma’rifat, tingkat tertinggi dimana orang telah mencapai kesucian hidup dalam rohani, memiliki pandangan tembus (kasyaf) dan mengetahui hakikat dan rahasia kebesaran Allah.

Orang Sufi menganggap bahwa Syari’at untuk memperbaiki sesuatu yang lahir (nyata), Thariqat untuk memperbaiki sesuatu yang tersembunyi (batin), dan Hakikat untuk memperbaiki segala rahasia yang ghaib – ghaib.

Tujuan terakhir dari ahli Sufi ialah ma’rifat, yakni mengenal hakikat Allah, zat, sifat, dan perbuatan – Nya. Orang yang telah sampai ke tingkat ma’rifat, dinamakan Wali, yang mempunyai kemampuan luar biasa (khariqul lil’adah), disebut “keramat” atau super natural. Terjadi pada dirinya hal – hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal menurut logika, baik di masa hayatnya maupun sesudah matinya.

Syekh Abdul Qadir Jailani (471 H – 561 H/1078 – 1168 M) menurut pandangan orang Sufi adalah Wali tetinggi, yang disebut “Quthubul Aulia” (Wali Wuthub). Gerakan thariqat baru menonjol dalam dunia Islam pada abad ke XII M sebagai lanjutan dari kegiatan kaum Sufi terdahulu.

Kenyataan ini dapat ditandai dengan setiap silsilah thariqat selalu duhubungkan dengan nama pendirinya dan tokoh – tokoh Sufi lainnya. Setiap thariqat mempunyai Syekh, kaifiat dzikir dan upacara rituil. Biasanya Syekh atau Mursyid mengajar murid – muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan “rumah suluk” atau “ribath”.

Mula –mula menonjol di Asia Tengah, Tibristan tempat kelahiran dan operasinya Syekh Abdul Qadir Jailani, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Sa’udi dan smapai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, dan Tiongkok.

Kemudian pada abad ke XII itu muncul pula thariqat Rifaiah di Maroko dan Aljazair, thariqat Sahrawadiah dan lainnya yang berkembang di Afrika Utara dan Afrika Tengah, seperti di Sudan dan Nigeria.

Perkembangan itu begitu cepat melalui murid – murid yang telah diangkat menjadi Khalifah, mengajarkannya dan menyebarluaskannya ke negeri – negeri Islam. Dan adapula melalui pedagang – pedagang.

(16)

oleh orang – orang Mongol pada tahun 1258 H, maka tugas untuk memelihara kesatuan masyarakat Islam beralih ke tangan kaum Sufi.

Peranan ahli thariqat dalam percaturan politik di Turki pada masa pemerintahan Ottoman I (1299 – 1326 M) cukup besar. Demikian pula di Sudan, Afrika Utara dan afrika Tengah, Tunisia, dan di negeri kita Indonesia, tempo dulu ahli thariqat memegang peranan penting dalam perjuangan melawan penjajahan Barat.

Dalam proses Islamisasi Indonesia, sebahagian adalah atas usaha dari kaum Sufi dan mistik Islam. Sehingga pada waktu itu pemimpin – pemimpin agama Islam di Indonesia bukanlah ahli –ahli Teology (Mutakallimin) dan ahli hukum (Fuqaha’), tetapi juga Syekh – syekh thariqat dan guru – guru suluk.

Salah seorang pemuka Thariqat Naqsabandiyah yang telah berjasa bagi perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan lahir dan batin, adalah Syekh Abdul Wahab Rokan Al – Khalidi Naqsabandi (1811 – 1926) yang terkenal dengan panggilan “Tuan Guru Babussalam Langkat”. Pusaranya di desa Babussalam Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara.

Ia adalah murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi dan belajar kepadanya selama 6 tahun di Mekkah. Sekembalinya ke tanah air, ia aktif mengajar agama dan thariqat di beberapa kerajaan, seperti di wilayah kerajaan Langkat, Deli Serdang, Asahan Kualuh, Panai di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Khalifah – khalifah beliau yang giat mengembangkan thariqat Naqsabandiyah di luar negeri, telah berhasil mendirikan rumah – rumah suluk dan peribadatan, di Batu Pahat, Johor, Pulau Pinang, Ipoh, Kelantan dan beberapa negeri di Thailand.

Besarnya pengaruh ahli thariqat itu, diakui oleh Massignon, sebagai berikut :

“Thariqat tidaklah bisa di kesampingkan begitu saja, dan meskipun nilai rata – rata dari moralitasnya berada jauh sekali di bawah contoh – contoh yang agung dari Sufiah yang pertama, sebahagian besar dari mereka tidak pernah berhenti dari memainkan peranan di dalam kehidupan sehari – hari dan meskipun mereka sangat sederhana, akan tetapi berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Islam.17

Perkembangan tarekat di Indonesia secara nyata baru terlihat pada abad XVII yaitu dimulai pertama kali oleh Hamzah fansuri (w.1610) dan muridnya syamsudin as sumatrani (m.1630) akan tetapi keduanya tidak meninggalkan organisasi tarekat yang berlangsung terus menerus. Baru kemudian setelah Abdur Rauf bin Ali Singkel memperkenalkan tarekat Syattariyah di Aceh pada 1679M, organisasi tarekat ini menjadi jelas dan dapat ditelusuri perkembangannya melalui hubungan silsilah guru murid sampai keberadaan daerah di Indonesia.18

Sikap zuhud dan kerohanian yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan hadist-hadist serta dicontohkan dalam perilaku oleh Rasulullah Muhammad SAW bersama-sama sahabat-sahabatnya, belakangan semakin dikembangkan oleh ulama-ulama Islam dalam bentuk tipe baru yang diberi nama tasawuf dan pengikutnya disebut mutashawwifun atau sufi. Dengan timbulnya gerakan zuhud dalam bentuk tipe baru ini, mengakibatkan tipe dan coraknya (sedikit banyaknya) menjadi berbeda satu sama lain antara masing-masing ulama yang mengembangkannya.

17 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 9-12

(17)

Selanjutnya para ulama yang mengembangkan tasawuf ini, disebabkan perilakunya yang zuhud (tidak mementingkan nasib materila mereka), maka dalam kehidupan masyarakat umumnya mereka merupakan orang-orang yang bijaksana, sehingga sudah barang tentu mereka selalu dikerumuni dan diikuti banyak orang yang menjadi muridnya.

Dalam perkembangannya yang mula-mula, terbentuklah organisasi-organisasi bersama selama kerelaan dalam kelompok-kelompok kecil untuk pembicaraan kesalehan yang tidak akrab, teratur dan bertingkat dengan metode tasawuf yang berbeda dengan yang lain-lain.

Setelah sekian lama belajar dibawah bimbingan gurunya, dan dianggap sudah mencapai derajat yang lebih tinggi, murid-murid ini diizinkan lagi untuk mengajarkan jalan (tarikat) gurunya kepada murid-murid baru ditempat lain. Keadaan seperti ini terjadi pula pada kelompok lain, sehingga perkembangan tarikat semakin pesat dalam dunia Islam.19

Taftazani dan Cesar E. Farah berpendapat bahwa perkembangan tasawuf menjadi suatu organisasi (tarekat) dan kemudian tersebar luas dimulai pada abad ke 6/12. Berkaitan dengan ini, perkembangan tarekat pada hakikatnya tidak bisa dilepas dari kemunculan tasawuf filosofis dan tasawuf sunni pada rentang waktu bersamaan pada abad ke 6-7/12-13. Hal ini karena tasawuf merupakan fondasi teoritis bagi tarekat sebagai komunitas dan organisasi.

Ada beberapa hal yang menyebabkan tarekat mempunyai daya tarik dan berkembang cepat:

Pertama, kecenderungan sebagian sufi untuk melakukan ibadah sebanyak-banyaknya. Para syekh sufi merasa bebas untuk untuk melakukan dan menciptakan zikir-zikir yang susunan dan tujuannya dianggap baik, pada gilirannya menambah perbedaan yang semakin jauh, baik isi maupun sistem tarekatnya. Keberagaman dan perbedaan ini berdampak tumbuhnya tarekat yang mempunyai sistematika dan ciri tersendiri. Para syekh mendakwahkan bahwa zikir-zikir yang mereka ajarkan dapat menuntun pengikut-pengikutnya menuju pertemuan langsung dengan Tuhan, meskipun pendapat ini dotolak oleh ulama-ulama ortodoks. Perbedaan pendapat yang cukup keras dalam hal penjumpaan langsung dengan tuhan ini tampaknya sama sekali tak menyurutkan animo umat islam terhadap tarekat.

Kedua, adanya pergolakan mental akibat tekanan dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa serta menganggap enteng terhadap persoalan-persoalan moral oleh pemerintah, akibatnya menumbuhkan sikap apatis bagi masyarakat, dan sebagai protes terhadap tirani politis, mereka memasuki tarekat. Dalam kaitan ini maka kecenderungan bertarekat dapat dilihat sebagai upaya untuk menghindari dekadensi moral yang semakin merajalela di tengah masyarakat. Di sisi lain ada pula kritik yang menempatkan fenomena bertarekat semacam ini sebagai pelarian yang tidak bertanggung jawab. Yang paling ekstrim adalah pendapat yang menuduh pengikut tarekat sebagai kelompok yang anti-sosial. Namun demikian, terlepas dari kritik orang luar terhadap komunitas tarekat, mereka mempunyai argumentasi yang menjadi landasan justifikasi pilihan-pilihan mereka dalam menjalankan agama Islam.

Ketiga, kharisma dan karamah syekh, memberi pengaruh dan memiliki daya tarik sangat kuat dalam pandangan masyarakat yang membutuhkan kedalaman spiritual. Fakta memang menunjukkan bahwa secara umum para syekh tarekat adalah orang-orang yang sangat konsisten dengan ajaran dan praktik keagamaannya. Konsisten inilah yang pada waktunya memberi mereka wibawa dan kharisma yang biasanya tidak dimiliki oleh sembarang orang. Para syekh tarekat juga kerap dilaporkan mampu melakonkan berbagai hal yang taak lazim dapat dikemukakan orang lain; dan kejadia-kejadian tersebut disebut sebagai karamah. Maka tidaklah mengherankan jika tarekat pada mulanya hanya dipraktikkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam dunia islam, tanpa ada ikatan satu sama lain berubah menjadi semacam filsafat hidup mayoritas masyarakat Islam.20

19 Drs. H. Mizwar, MA., H. Pangulu Abd. Karim Nasution, Lc., MA. Akhlak Tasawuf, (Medan:Cita Pustaka Media Perintis,2013), hlm. 111-112.

(18)

Adapun di antara contoh-contohnya adalah sebagai berikut:

1. Tarikat Qadiriyah dinisbatkan dengan nama pendirinya Syekh Abdul Qadir Jailani. Yang terkenal dengan sebutan Syaikh Abd al-qadir jailani al-ghawsts atau quthb al-awliya. Tarekat ini menempatkan posisi yangh amat penting dalam sejarah spiritualitas islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam. Syaikh Abd al-Qadir lahir didesa Naif kota Gilan tahn 470/1077, yaitu wilayah yang terletak 150 km timur laut Baghdad. Ibunya seorang yang saleh bernama Fathimah binti Abdullah al-shama al husayni ketika melahirkan Syekh Abdul Qadir Jailani ibunya berumur 60 tahun, suatu kelahiran yang tidak lazim terjadi bagi wanita yang seumurnya. Ayahnya bernama Abu Shalih yang jauh sebelum kelahirannya ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, yang diiringi para sahabat, imam mujahidin, dan wali. Nabi muhammad berkata,”wahai Abu Shalih, Allah akan memberikan anak Laki-laki, anak itu kelak akan mendapat pangkat yang tinggi dalam kewalian sebagaimana halnya aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan. Syeikh Abd Qadir meninggal di Baghdad pada tahun 561/1166. Dikalangan kaum sufi Syaikh Abd Al-Qadir diakui sebagai sosok yang menempati hirarki mistik yang tertinggi yang menduduki tingkat kewalian yang tertinggi.21

Manusia dibagi menjadi empat kategori demikian pendapat al jailani. Kategori pertama adalah orang-orang yang tidak punya hati dan lidah. Mereka mayoritas masyarakat yang tidak peduli tentang kebenaran dan keutamaan, hanya tunduk pada indra fisik. Kategori kedua adalah meraka yang punya lidah, tetapi tidak punya hati. Kelompok ini adalah orang yang terpelajar dan memiliki retorika yang bagus, yang selalu menganjurkan umat untuk berbuat baik dan benar. Namun mereka sendiri berbuat tidak sesuai dengan perkataan bahkan kebalikannya. Kategori ketiga adalah mereka yang punya hati tetapi tidak punya lidah. Mereka inilah mukmin sejati, yang selalu sadar akan kekurangan dan kelemahan, sehingga berusaha terus mensucikan diri dari hal-hal yang kotor. Bagi mereka diam lebih baik dibandingkan berbicara, tetapi membingungkan umat. Kategori keempat adalah mereka yang memiliki hati dan juga lidah. Mereka adalah orang yang mendapatkan pengetahuan yang sejati, dilengkapi dengan bimbingan dari Allah SWT. Kemudian menjadi penyambung kenabian. Mereka adalah kelompok yang tertinggi setelah kelompok para nabi.

Untuk mencapai kategori manusia yang tertinggi menurut Abd al Qadir Al jailani harus mengalami empat tahap perkembangan spiritual. Tahap pertama adalah orang yang meyakini tuhan dengan totalitas dan menjalankan ajaran agama dengan baik, tanpa pertolongan siapa pun. Tahap kedua adalah ketika seseorang sudah mendekati kesucian hati yang dapat dijelaskan dalam dua hal, yaitu orang yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi menahan diri dari kehidupan yang hedonistik, dan orang yang mengikuti suara hati yang selalu melintas dalam dirinya. Tahap ketiga adalah keadaan tawakal, yakni ketika seorang berserah diri secara total kepada Tuhan. Tahap keempat adalah keadaan fana, yakni keadaan seseorang yang amat dekat dengan Tuhan dan bahkan menyatu denganNya.22

21 Dr. Hj. Sri Mulyati, Mengenal dan MemahamiTarekat Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jakarta: kencana, 2005), cetakan 2, hlm. 26-27

(19)

Siapa yang tinggi cita-citanya naiklah martabatnya. Siapa yang memelihara kehormatan maka Allah memelihara Kehormatannya. Siapa yang baik khidmatnya kekallah ia dalam petunjuk. Siapa yang membesarkan Allah karena nikmatNya dia akan mendapat tambahan nikmat dari Tuhan.23

Pada tahun 488 H, ketika masih remaja melanjutkan pelajarannya ke Baghdad, belajar kepada beberapa guru Syekh dalam berbagai ragam disiplin ilmu, tetutama tasawuf. Ia menganut mazhab Hanbali, cerdas, budiman, lebih menonjol dalam ilmu fiqh dan komunikasi dan informasi, tekun mempelajari sastra dan hadist. Pada tahun 528 H, mengajar dan berfatwa di Baghdad, karangannya antara lain :

1. “Al – Ghaniatu Lithabili Thariqil Haqqi” قلرحقليا قرييررطق برلر اطقلر ةهيلقنرغقلياق

2. “Al – Fat – hur Robbani” ىنرابلق رلقلا حهتيفقلياق

3. “Futuhul Ghaibi” برييغقليا حهويتهفه

4. “Al – Fuyudhatur Robbaniatu” ةهيلقنر ابلق رلقلا ةهضق وييهفهلياق

Seorang orietalis Inggris Mary Gelliot, telah menerbitkan riwayat hidupnya. Dan Musa Al – Munaini telah menerbitkan buku yang sama dengan judul “Manaqib Syekh Abd. Qadir Al – Jailani. Pengikut Thariqat Qadiriyah memegang prinsip tasamuh (حنمه اسقتق ), toleransi, karena Syekh Abd. Qadir menegaskan kepada mereka : “Kita tidak hanya mengajak diri sendiri tetapi juga mengajak semua makhluk Allah supaya menjadi seperti kita”.

Diantara Syekh Tahariqat ini yang menonjol adalah Sayid Ahmad bin Idris Al – Fasi. Ia sejalan dengan Syrkh Sayid Muhammad bin Ali As – Sanusi, pendiri Thariqat Sanusiah. Pengikut Thariqat Qadiriyah terbagi tiga, yaitu :

1. Al – Qadiriyah Al – Bukaiyah, tersebar luas di wilayah Tombouctou, sebuah negeri di Sudan (Afrika Tengah) pusat perdagangan Sungai Nigeria.

2. Al – Qadiriyah, di wilayah padang pasir sebelah Barat, yang dinamakan dengan “Ad – Dirar”.

3. Al – Qadiriyah Al – Walatih, tersebar di wilayah Sudan bagian Barat.

Thariqat Qadiriyah adalah salah satu thariqat sufiah yang paling giat menyebarkan agama Islam di Barat Afrika. Pengikut – pengikutnya menyebarkan Islam itu melalui perdagangan dan pengajaran. Umumnya pedagang – pedagang di daerah itu adalah penganut Thariqat Qadiriyah.

Amir Syakib Arselan menyatakan bahwa mereka telah membuka sekolah dan madrasah di hampir setiap desa. Murid – muridnya sebagian besar terdiri dari anak – anak orang berkulit hitam. Murid – murid yang cerdas dikirim ke berbagai perguruan tinggi di Tripoli, Qairawan, dan Universitas Al – Azhar Kairo. Setelah menamatkan pelajaran di perguruan – perguruan tinggi itu, mereka kembali ke tanah air dan giat mengembangkan ajaran Islam.

Ditanya orang Syekh Abdul Qadir tentang dunia maka beliau menjawab : “Keluarkan dia dari lubuk hatimu ke tanganmu, niscaya dia tidak akan membahayakanmu”. Tentang akhlak yang

(20)

baik, Abdul Qadir menyatakan : “Kekerasan makhluk sedikitpun tidak berpengaruh kepadamu”. Diantar ucapannya yang bernas : “Jika terdapat dalam hatimu benci atau suka kepada seseorang, maka kembalikan amalnya kepada Al – Qur’an dan Sunnah. Jika amalnya disukai Al – Qur’an dan Sunnah, maka kasihilah dia. Sebaliknya jika dibenci Al – Qur’an dan Sunnah, maka bencilah dia, supaya anda tidak mengasihinya dengan hawa nafsu”. Firman Allah dalam Surat Shad : 26.

... هرللا لرييبرسق نيعق كقللهضريهفق ىاوقهقليا عربرتلقتقلقوق ...

“Dan janganlah kamu menurutkan hawa nafsu, nanti ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”.

Abdul Qadir adalah seorang Wali Allah yang banyak memiliki keramat.24

Menurut buku ini dunia tarekat bukanlah gambaran kepasifan dan kemujudan anti intelektualisme sebagaimana yang selama ini dipahami oleh banyak orang dan sebagian orientalis (yang berpikiran picik). Sufisme Islam seperti tarekat Qadariyyah Naqsyabandiyyah telah banyak memberikan pencerahan spiritual serta menggelar aktifitas intelektualisme maupun politik dalam arti kata yang sebenarnya.

Itulah sebabnya mengapa banyak sufi dan mursyid (pemimpin) tarekat yang menjadi guru dan sarjana, seniman dan ilmuwan, bahkan negarawan dan tokoh politik sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Ahmad Faruq Al-Sirhindi (1564-1624M) di India dari Tarekat Naqsyabandiyyah dan Muhyiddin dari tarekat Qadariyyah di Aljazair ketika melawan kolonial Perancis.25

2. Tarikat Syadziliyah dinisbatkan dengan nama pendirinya Abu al-Hasan al-Syadzili. Dia dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini., di utara Marokopada tahun 573H., pada saat ini dinasti al-Muwahhidun mencapai titik nadinya. Adapun mengenai tahun kelahiran al-syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda pendapat antara lain sebagai berikutSiradj al-Din Abu Hafsh menyebut tahun kelahiran nya pada 591H/1069M; Ibn Sabbagh menyebut tahun kelahirannya pada 583H/1187M; dan J. Spencer Trimingham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili pada 593H/1196M.26

Pokok ajarannya ada lima yaitu:

a. Bertaqwa kepada Allah ditempat sunyi dan ramai. b. Mengikut sunnah dalam segala perkataan dan perbuatan

c. Berpaling hati dari makhluk waktu berhadapan dan membelakang d. Ridha dengan pemberian Allah sedikit atau banyak

e. Kembali kepada Allah diwaktu senang dan susah.

Thariqat Syadziliyah didirikan pada pertengahan abad ke – 13 M, dianggap Thariqat Sufiah yang utama memasukkan tasawuf ke negeri Arab, pusatnya di Bobarit, Maroko. Pendirinya Syekh Abu Hasan bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Hormuz As – Syadzii Al – Maghribi Al – Husaini Al – Idrisi, keturunan Hasan bin Abi Thalib. Ia dilahirkan pada tahun 591 H (1195M) di Gahamarah sebuah desa dekat Sabtah, Afrika. Ia memperdalam ilmu figh dan tasawuf di Tunis. Karena bermukim di Sadzili, maka thariqat yang didirikannya itu dinamakan “Syadziliyah”.

Setelah mengadakan perjalanan ke negeri – negeri sebelah Timur, mengerjakan haji dan mengunjungi Irak, ia menetap di pasir ‘Aidzab dalam perjalanan haji. Abu Hasan bertalian darah dengan Penguasa Maghribi dan menjelang kewafatannya, matanya rabun. Beliau meninggalkan

24 A. Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyyah, Cetakan ke 2, (Jakarta:Al-Husna Zikra, 1996), hlm. 13-15.

25 Marzuki Wahid, Jejak-jejak Islam politik sinopsis sejumlah studi Islam Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2004), hlm. 162.

(21)

kenangan yang tak terlupakan di Afrika, yakni partai terkenal “Hizbus Syadzili”, dan beberapa kitab ternama tentang adab tasawuf dengan judul “Al – Amin” dan “Assirrul” Jalil fi Khawashi Hasbunallahi wani’mal wakik”.

Ahmad bin ‘Iyad telah menerbitkan kitab tentang Syadziliyah dengan judul “Al – Mufakaharul ‘Aliah Fil – Ma – atsril – Syadziliyah”. Ibnu Taimiyah (661 H – 728 H) mengutip banyak pendapat Abu Hasan Syadzili mengenai berbagai masalah. Ibnu Daqiqil ‘Id menegaskan : “Saya tidak pernah melihat orang yang paling mengenal Allah dari Syekh Abu Hasan As – Syadzili”.

Kata – kata mutiaranya yang amat bernas antara lain : “Apabila dzikir terasa berat atas lidahmu, anggota tubuh berkembang menrutkan hawa nafsumu, tertutup pintu berpikir untuk kemaslahatan hidupmu, maka ketahuilah bahwa semua itu adalah pertanda banyaknya dosamu atau karena sifat munafik tumbuh dalam hatimu. Tiada jalan bagimu selain dari berpegang teguh kepada jalan Allah dan ikhlas dalam pengamalannya”.27

Pokok – pokok dasar thariqat Syadziliyah diantara lain ialah : taqwa kepada Tuhan lahir bathin, mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan, mencegaha menggantungkan nasib kepada manusia, rela dengan pemberian Tuhan dalam sedikit dan banyak, berpegang kepada Tuhan pada waktu susah dan senang. Menurut thariqat ini pelaksanaan takwa dilakukan dengan wara’ dan istiqomah, pelaksanaan sunnah dengan penelitian amal dan perbaikan budi pekerti, pelaksanaan penggantungan nasib dengan sabar dan tawakkal, pelaksanaan rela terhadap Tuhan dengan hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada, dan pelaksanaan kembali dan berpegang kepada Allah dengan ucapan tahmid dan syukur.28

Maka untuk mencapai sikap taqwa dengan jalan wara’ dan istiqamah. Untuk mencapai sunnah dengan memelihara diri dan berakhlak yang baik. Mencapai sikap berpaling dari keduniaan dengan jalan mengambil i’tibar dan bertawakal. Mencapai sikap ridha kepada Allah dengan sifat qana’ah pasrah pada waktu senang dan susah. Mencapai sikap ruju’ (kembali) kepada Allah dengan memuji dan bersyukur dalam keadaan yang senang dan susah.29

3. Tarikat Naqsabandiyah dinisbatkan dengan nama pendirinya oleh Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhori Naqsyabandi (717H/1318M-791H-1389M) ia dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syah yang menunjukkan posisinya yang terpenting sebagai seorang pemimpin spiritual. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari(w.772H/1371M). Kulal adalah seorang khlaifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya.30

Syekh Bahauddin Syah Naqsabandiyah pendiri tahriqat Naqsabandiyah, seorang pemuka Tasawuf terkenal dilahirkan pada tahun 717 H di sebuah desa bernama Qashrul ‘Arifan, kurang

27 A. Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyyah, Cetakan ke 2, (Jakarta:Al-Husna Zikra, 1996), hlm. 15-16.

28 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat Kajian Historis Tentang Mistik, cetakan ke 13, (Solo:Ramadhani, 1996), hlm. 73. 29 Drs. H. Hasbi AR, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1983), hlm. 264-265.

(22)

lebih 4 mil dari Bukhara, Sovyet, Rusia, tempat lahir Imam Bukhari. Dia mengambil thariqat dari Syekh Muhammad Baba As – Samasi kemudian dari Sayid Amir Kulal.31

H. A. R. Gibb dalam kitab “Shorter Encyl of Islam” (Leidin 1953) menceritakan bahwa Muhammad Bahauddin dalam usia delapan belas tahun memang pernah dikirm untuk balajar ke Sammas, suatu desa yang letaknya kira – kira tiga mil dari Bukhara, untuk mempelajari ilmu tasawuf dari seorang guru yang sangat ternama ketika itu, yaitu Muhammad Baba As – Samasi. Meskipun demikian tidaklah seluruh thariqat Naqsabandiyah itu bersamaan dengan thariqat Baba As – Samasi, misalnya menurut thariqat Baba As – Samasi dzikir itu harus diucapkan dengan suara yang keras, tetapi Naqsabandiyah lebih menyukai dzikir secara thariqat Abdul Khalik Al – Khujdawani (seorang wali besar, mgl. 575 H), yang diucapkan dengan suara yang hampir tidak kedengaran dalam diri pribadi.

Dengan demikian, maka terjadilah perbedaan faham antara Naqsabandi dengan teman – teman sethariqat yang lain dari As – Samasi, yang akhirnya membenarkan pendirian Naqsabandi dan dalam sakitnya mengangkat dia menjadi khalifahnya.

Thariqat Naqsabandiyah ini kemudian pecah atas beberapa cabang, satu diantaranya dinamakan thariqat Naqsabandiyah Al – Aliyah, yang didasarkan atas amal perbuatan yang terdiri dari sebelas perkataan Persi, delapan berasal dari Syekh Abdul Ghalib Al – Khujdawani dan tiga dari SyekhBahauddin Naqsabandi sendiri.32

“Naqsabandiyah” menurut Syekh Najmuddin Amin Al – Kurdi dalam kitabnya “Tanwirul Qulub” berasal dari dua buah kata bahasa Arab, “naqsy” dan “band”. Naqsy artinya “ukiran” atau “gambar yang di cap pada sebatang lilin atau benda lainnya”. Dan band artinya “bendera atau layar besar”.

Jadi “Naqsabandi” artinya ukiran atau gambar yang terlukis pada suatu benda, melekat, tidak terpisah lagi, seperti tertera pada sebuah bendera atau spanduk besar”.

Dinamakan dengan “Naqsabandiyah”, karena Syekh Bahauddin pendiri thariqat ini senantiasa berzikir mengingat Allah berkepanjangan, sehingga lafaz “Allah” itu terukir melekat ketat dalam kalbunya.

Selanjutnya Najmuddin Amin Al – Kurdi menerangkan bahwa ia pernah mendengar keterangan dari beberapa orang Khalifah Naqsabandiyah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah meletakkan tangannya ke jantung hati Syekh Bahauddin, ketika beliau sedang muraqabah, sehingga berbekas terhunjam di lubuk hatinya.

Peristiwa itu terjadi tentu saja secara rohaniah, sebab masa hidup keduanya berbeda. Rasulullah saw hidup pada abad ke VI dan ke VII M (570 – 632 M), sednagkan Syekh Bahauddin hidup pada abad ke XIV M (1314 – 1388 M), jadi tidak mungkin keduanya bertemu, melainkan secara rohaniah.

Sebahagian ahli sejarah menyatakan bahwa “Naqsaband” itu nama sebuah negeri di Turkistan, tempat lahir Syekh Bahauddin. Dengan demikian nyatalah bahwa nama

31 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 23

(23)

Naqsabandiyah itu baru terkenal di dunia Islam pada abad ke VII H, atau kurang lebih 800 tahun sesudah Nabi Muhammad saw wafat.

Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif (1276 – 1334 H), dalam kitabnya “Al – Ayaatul Baiyinaat”, halaman 23 menyatakan bahwa thariqat Naqsabandiyah ialah thariqat Nabi saw yang diajarkan dan diasuh Bahaudin Syekh Naqsabandi, dan diamalkan oleh murid – muridnya. Dalam praktenya ia mengamalkan ilmu yang tiga, yakni Tauhid, Fikih, dan Tasawuf dan mengasuh murid – muridnya mengamalkannya. Berbeda nama thariqat itu karena berbeda nama orang yang mengajarkannya. Dan berbeda pula wirid yang datang dari Nabi kita yang dipakai mereka. Asal pekerjaan mereka satu dan berbeda – beda pada wirid dan nama.

Thariqat Nabi saw yang diikuti oleh Sahabat – sahabatnya dan diikuti pula oleh Ulama – ulama Syara’ dan Tasawuf, ialah mengamalkan hukum yang dibawa Rasul, yaitu yang sekalian yang wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah.

Maka kewajiban yang mula – mula ialah mengetahui i’tikad terhadap Tuhan dan Rasul yang diterangkan dalam ilmu Tauhid. Kemudian mengetahui peraturan amalan yang berhubungan dengan ibadat yang diterangkan dalam ilmu Fikih. Dan seterusnya mempelajari ilmu untuk menbersihkan hati yang diterangkan dalam ilmu Tasawuf.

Orang yang mengamalkan ilmu yang tiga itu, menurut Ahmad Khatib, ialah yang dinamakan “mengamalkan” thariqat Nabi saw, thariqat Sahabat, Ulama dan Wali – wali. Tetapi jika lain daripada itu, seperti dzikir lathifah – lathifah, muraqabah dan menghadirkan rupa guru, menurut Ahmad Khatib adalah bid’ah.33

Di Indonesia, tarekat Naqsyabandiyah sudah masuk sejak dua abad sebelum Belanda mengenalnya untuk yang pertama kali. Ulama dan sufi Indonesia yang pertama sekali menyebut tarekat Naqsyabandiyah dalam tulisan-tulisannya ialah Syekh Yusuf al-Makassari (w.1699). Tulisannya yang berjudul al-Naqsyabandiyyah memberi pengaruh besar dalam pengembangan tarekat ini terutama di Banten. Penyebaran tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia dapat dilihat dalam ungkapan Bruinessen berikut:

“Tarekat Naqsyabandiyyah mula-mula muncul di Indonesia dalam paroh kedua abad ketujuh belas dan orang pertama yang diketahui mengamalkan tarekat ini ialah Syekh Yusuf Makassar. Sejak Syekh Yusuf di Sulawesi Selatan tampaknya tarekat ini telah diamalkan orang walaupun mungkin hanya oleh sebahagian kecil penduduk.di banten tarekat ini diperkenalkan kurang lebih bersamaan waktunya dan tampaknya mendapat tempat terhormat dikalangan terpelajar. Seorang guru dari banten menyebarkan tarekat ini kedaerah bogor dan cianjur, kedua tempat ini mengangkat khalifah . agar belakangan tarekat ini di temukan di Jawa Tengah dalam semua kasus ini tampaknya tarekat Naqsyabandiyyah telah berpadu dengan satu atau lebih. Tarekat Naqsyabandiyyah juga mempunyai pengikut di Aceh, mungkin dalam hubungannya dengan Tarekat Syattariah”34.

Dasar- dasar pokok ajarannya:

a. Berpegang teguh dengan akidah ahli sunnah. b. Meningglakna rukhshah

c. Memilih hukum-hukum yang azimah

33 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 7-8

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa variabel kemimpinan, motivasi usaha, dan pemanfaatan informasi, secara bersama- sama memberikan pengaruh sebesar 17,1% terhadap

Tabel 3.. pukulan backhand; 2) Mempersiapkan tes materi pembelajaran materi pembelajaran tenis meja dengan sub materi pukulan backhand yang digunakan sebagai acuan

Dengan diajarkan menu modifikasi kudapatan sehat untuk balita stunting diharapkan ibu balita lebih mengerti tentang menu kudapan yang mengandung gizi sehat untuk anaknya,

Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan praktis remaja dalam pembuatan bibit jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) melalui penyuluhan

Berdasarkan hasil analisis penelitian, pembahasan dan juga simpulan yang telah di uraikan, terdapat beberapa saran yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan

Dengan demikian dapat diberikan penilaian dengan menggunakan kriteria kinerja keuangan maka tingkat efisiensi pengelolaan keuangan daerah Badan Pengelola Keuangan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Erwin Ridha Ardhi seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang pada tahun 2007 di Sekolah Dasar Negeri Kalirejo

Kemudian, ditemukan pula kritik sosial yang termuat ke dalam teks anekdot karya siswa, yaitu kritik sosial terhadap fenomena keagamaan, fenomena ekonomi, fenomena