• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN HERMENEUTIKA INTERPRETASI TERBUKA docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN HERMENEUTIKA INTERPRETASI TERBUKA docx"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HERMENEUTIKA: INTERPRETASI TERBUKA TERHADAP AYAT BIAS GENDER DALAM AL-QUR'AN

M A K A L A H

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam pada Program Studi Agama dan Filsafat

Konsentrasi SKI Semester I

Dosen Pengampu: Dr. Siti Syamsiyatun, Ph. D

Disusun Oleh: Lisa Aisyiah Rasyid, S.H.I

NIM: 1420510072

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antar laki-laki dan wanita maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Perbedaan, yang digarisbawahi dan yang kemudian

meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Banyak ayat al-Qur'an seperti Q.S.

at-Taubah/9: 112 dan at-Tahrim/66: 5 yang telah menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita adalah semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual.

Namun demikian, meskipun al-Qur'an adalah kitab suci yang kebenarannya abadi, penafsirannya tidak bisa dihindari sebagai suatu yang relative. Perkembangan historis berbagai mazhab kalam, fiqih, dan tasawuf merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan keagamaan umat Islam. Oleh karena itu, dalam memahami makna dan kandungan al-Qur'an sudah barang tentu tidak bisa hanya terfokus kepada pendekatan tekstual semata, karena bahasa Arab yang digunakan dalam al-Qur'an adalah bahasa yang mempunyai hubungan dialektis dengan kondisi obyektif ketika dan di mana al-Qur'an diturunkan. Hal ini sangat jelas dapat dilihat melalui riwayat-riwayat asbabun-nuzul sejumlah ayat.

Seorang mufassir harus mampu masuk ke lorong masa silam, seolah-olah sezaman dan akrab dengan sang penerima teks, memahami kondisi obyektif geografis dan latar belakang sosial budayanya, karena setiap penafsir teks adalah anak zamannya. Si pembaca diharapkan sudah mampu melakukan apa yang disebut W. Dilthey sebagai verstehen, yaitu memahami dengan penuh

penghayatan terhadap teks, ibarat sang pembaca keluar kembali dari lorong waktu masa silam, lalu mengambil kesimpulan.

(3)

kiranya dapat diterapkan untuk menafsirkan ulang ayat-ayat al-Qur'an yang bias gender, tentunya pendekatan tersebut dilakukan berdasarkan tradisi Islam.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan suatu masalah yang menjadi permasalahan dalam makalah ini, yaitu tentang Kajian

Hermeneutika: Interpretasi Terbuka Terhadap Ayat-ayat Gender dalam al-Qur'an.

Untuk lebih memperjelas pokok pembahasan dalam makalah ini maka penulis perlu mengemukakan beberapa batasan permasalahan yang nantinya akan menjadi inti pembahasan, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengertian gender sebagai konstruksi sosial? 2. Bagaimanakah kajian hermeneutika dalam tradisi Islam?

3. Bagaimanakah kajian kritis terhadap ayat-ayat bias gender dengan pendekatan hermeneutik dan feminis Islam?

C. Metode Pendekatan

Penelitian dalam makalah ini terkait dengan ayat-ayat gender dalam al-Qur'an yang telah ditafsirkan oleh para mufassir, namun mengalami bias gender. Karenanya dalam aktualisasinya mengalami ketimpangan gender sehingga terkesan memihak. Akibatnya, pesan-pesan Tuhan tidak tersampaikan dan termanifestasi secara proporsional sesuai dengan tujuan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Penelitian dalam makalah ini menggunakan dua model pendekatan, yaitu pendekatan hermeneutika dan pendekatan feminis (Islam). Pendekatan

hermeneutika digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an khususnya tentang gender secara lebih terbuka dari berbagai perspektif ilmu sosial dan humaniora dengan jalan interpretasi kembali ayat-ayat tentang gender yang telah ditafsirkan oleh para mufassir, namun mengalami bias gender.

(4)

yang membicarakan soal hubungan laki-laki dan perempuan maupun dengan pencarian model-model yang ada dalam tradisi awal Islam.

Dengan demikian, makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang konsep gender yang dikaji dan dinterpretasikan kembali melalui pendekatan hermeneutika dan feminis (Islam) agar ayat-ayat tentang gender dalam al-Qur'an, dapat terlepas dari pemahaman yang bias gender.

(5)

PEMBAHASAN

A. Gender sebagai Konstruksi Sosial 1. Pengertian Gender

Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia pertama kali dipergunakan di Kantor Menteri Negara Peranan Wanita dengan ejaan “jender”, diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan perempuan.1

Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis.2 Ann

Oakley (1972) dalam Sex, Gender and Society menuturkan bahwa gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan maka secara permanen berbeda dengan pengertian gender. Gender merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.3

Dengan demikian, gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan, oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang

terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata lain, gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara ideologi, politik, hukum, dan ekonomi.

1Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Edisi Revisi), Cet. Ke- 3 (Malang: UIN Maliki Press, 2013), hlm. 1

2Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia, Cet. Ke- 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 3

(6)

2. Ragam Pemaknaan Gender sebagai Konstruksi Sosial

Ragam pemaknaan gender sebagaimana yang dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsha putra dapat dikategorikan sebagai berikut: Pertama, gender sebagai istilah konseptual. Kedua, gender sebagai fenomena sosial. Peran gender (gender role) dalam pemaknaan ini, diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh masyarakat diyakini sebagai kodrat. Karenanya oleh masyarakat, konstruk

pembagian peran (kerja) laki-laki dan perempuan didasarkan atas perbedaan jenis kelamin. Ketiga, gender sebagai kesadaran sosial, di mana peran gender disadari bukan bersifat kodrati tetapi akibat konstruk sosial di masyarakat. Sehingga jika masyarakat mengalami perubahan maka peran gender dapat berubah dan

beradaptasi dengan perubahan tersebut.4

Keempat, gender sebagai masalah sosial. Pembagian dan pembakuan gender pada dasarnya tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Dalam banyak kajian terbukti bahwa pembakuan peran dan pandangan yang bias gender yang bersumber dari budaya patriarkhi dan matriarkhi sangat berpotensi menimbulkan ketidakadilan baik pada perempuan maupun pada laki-laki. Manifestasi dari ketidakadilan gender yang bersumber dari budaya tersebut, yaitu: stereotype (pelebelan terhadap jenis kelamin), subordinasi (pandangan yang menempatkan salah satu jenis kelamin pada status, peran, dan relasi yang tidak setara dan tidak adil), marginalisasi (proses peminggiran sengaja atau tidak terhadap laki-laki maupun perempuan secara sistemik sehingga salah satu di antaranya menjadi tertinggal), beban kerja yang tidak proporsional, dan kekerasan berbasis gender.5

Kelima, gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, di mana pemahaman gender dalam ilmu sosial tidak lepas dari asumsi-asumsi dasar yang ada pada sebuah paradigma, dengan konsep analisis sebagai salah satu komponennya. Keenam, gender sebagai gerakan sosial. Gender dalam hal ini digunakan sebagai

(7)

upaya kongkrit untuk mengatasi dan merubah kesenjangangan dalam berbagai hal yang terjadi di antara laki-laki dan perempuan.6

3. Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kesetaraan gender adalah posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam aktifitas

kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat maupun berbangsa dan bernegara. Sedangkan keadilan gender adalah suatu proses menuju setara, selaras, seimbang, serasi, tanpa diskrimanasi. Dalam Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, disebutkan kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondidi yang adil dan setara dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki.7

Kesetaraan yang berkeadilan gender merupakan kondisi yang dinamis, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan, kewajiban, peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati dan menghargai serta membantu di berbagai sektor kehidupan. Untuk mengetahui apakah laki-laki dan perempuan telah berkesetaraan dan berkeadilan sebagaimana capaian pembangunan berwawasan gender adalah seberapa besar akses dan partisipasi atau keterlibatan perempuan terhadap peran-peran sosial dalam kehidupan baik dalam keluarga masyarakat, dan dalam pembangunan, dan seberapa besar kontrol serta penguasaan perempuan dalam berbagai sumber daya manusia maupun sumber daya alam dan peran pengambilan keputusan dan memperoleh manfaat dalam kehidupan.

B. Hermeneutika Tradisi Islam

Perdebatan hermeneutika di dunia Islam tidak terlepas dari perkembangan metodologi ilmu pengetahuan di dunia Barat. Dalam perkembangan sejarah metodologi ilmu pengetahuan di Barat, terdapat mitos bahwa metode ilmiah yang benar adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan alam, yaitu

(8)

berdasarkan filsafat positivisme yang dikemukakan Auguste Comte (1758-1850). Pandangan filsafat positivisme yang dianggap sebagai satu-satunya metodologi untuk ilmu pengetahuan ini mendapatkan tantangan dan penolakan dari kelompok filsuf Neo-Kantian, seperti Wilhem Dilthey (1833-1911) dan Schleimacher (1768-1834) yang mengusulkan sekaligus mengembangkan sebuah metode pemahaman atau interpretasi yang dikenal dengan istilah hermeneutika.

1. Pengertian Hermeneutik

Hermeneutika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menafsirkan. Hermeneutika menurut bahasa, berasal dari kata kerja hermeneuein (Yunani) yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia “interpretasi”. Kedua kata ini, diidentikkan dengan kata hermeios (Yunani) mengacu pada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal. Tepatnya Hermes diasosiakan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses menggiring sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia, menjadi dipahami.8 Nampak, bahwa dari asosiasi etimologis ini tugas hermeneutika adalah

membuat pesan supaya dapat dipahami secara baik oleh audiens.

Pemahaman dari kata “hermeneutics” yang paling tua mengacu pada prinsip-prinsip interpretasi yang berhubungan dengan injil, yaitu exgesis teks suci.9 Sehingga masalah penafsiran dapat dikatakan berkembang terutama pada

kelompok agamawan dalam upaya mereka memahami dan menafsirkan ajaran-ajaran yang ada pada agama mereka masing-masing khususnya yang mempunyai kitab agama tertulis.

Hermeneutika dalam arti luas, yakni bidang ilmu yang membahas praktik penafsiran, metode-metode, prinsip-prinsip, dan filsafat penafsiran, adalah bidang ilmu yang sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat di

8Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, Cet. Ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 14-15

(9)

dunia Barat. Banyak karya-karya yang telah diterbitkan dalam bidang ini dalam berbagai bahasa, khususnya Jerman, Perancis, dan Inggris. Bidang ilmu ini secara logis berkaitan erat dengan Ilmu Tafsir al-Qur'an dan Syarah Hadits. Dengan demikian, kedua cabang ilmu keislaman ini dapat dikembangkan melalui upaya integrasi-interkoneksi dengan hermeneutika.

2. Bentuk-bentuk Hermeneutika

Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks yang punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang penafsir dalam memahami teks keagamaan.10

Selanjutnya, sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah bentuk yang tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian. Paling tidak ada tiga bentuk atau model hermeneutika yang dapat penulis jelaskan dalam makalah ini, yaitu:

Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh hermeneutika, khsususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhem Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya. Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh Paul Ricoeur. Menurut hermeneutika subyektif, hermeneutika bukan usaha menemukan makna obyektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika obyektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Penekanannya adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Ketiga, hermeneutika objektif-cum-subjektif, tokoh hermeneutika yang tergolong dalam pemikiran model ini adalah Hans Georg Gadamer dan Jorge J.E. Gracia. Model pemikiran hermeneutika obyektif-cum-subyektif sedkit lebih maju, karena model ketiga ini berusaha memperluas maksud yang terkandung dari makna sebuah teks

(10)

tanpa mengabaikan makna asalnya (makna awal yang dikehendaki oleh pengarang teks).11

Di antara ketiga kelompok tersebut, tentu tak bisa menghindar dari perdebatan yang tak kunjung usai dalam usaha mentransfer, menangkap dan memahami makna teks tersebut, terutama tentang apakah kemudian makna dapat ditangkap secara utuh, atau makna itu sebenarnya adalah hasil pertemuan

cakrawala dari pembaca sebagai interpretator terhadap teks. Lantas, bagaimana jika keilmuan ini dikaitkan dengan kajian keislaman (al-dirasah al-islamiyah) yang oleh beberapa pemikir masih juga dihubungkan dengan interpretasi terhadap teks.

3. Aplikasi Hermeneutika dalam Kajian al-Qur'an

Al-Qur'an sebagai kalam Allah diturunkan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai petunjuk. Di dalamnya, memuat ayat-ayat yang berbahasa Arab yang perlu diinterpretasikan dalam rangka beribadah kepada Allah. Berbagai upaya dan cara telah ditempuh oleh para ulama terdahulu dalam rangka menggali kandungan ayat-ayat dalam al-Qur'an, yang dilakukan dengan berbagai metode yang dipandang dapat menjangkau sisi-sisi yang dinilai belum terungkap oleh pendahulunya, atau yang dianggap belum sempurna. Upaya penggalian ini merupakan upaya hermeneutika (penafsiran) umat Islam terhadap al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam. Ada dua kelompok umat Islam yang secara khusus berusaha memahami dan menafsirkan al-Qur'an, yang menghasilkan wacana pengetahuan Islam yang berbeda walaupun obyek yang ditelitinya sama, yaitu al-Qur'an.

Pertama, kelompok ahli tafsir yang menghasilkan ilmu tafsir. Kedua, ahli ushul fiqh yang menghasilkan tradisi ilmu ushul fiqh.12 Metode yang

dikembangkan dalam ilmu-ilmu tafsir adalah metode untuk menyusun penafsiran, dan metode yang dikembangkan dalam ushul fiqh adalah metode untuk

11Ibid.

(11)

mengkonstruksi/ memproduksi pemahaman. Penafsiran merupakan proses lebih lanjut dari pemahaman.13

Salah seorang pengkaji al-Qur'an di era modern yang cukup produktif adalah Bint al-Syati’ yang memiliki nama lengkap Aisha Abdurrahman (w. 2000 M). Melalui karyanya yang berjudul al-Tafsir al-Bayani li al-Qur'an al-Karim, Bint al-Syati’ secara konsisten menerapkan metode al-Khuli yang di antaranya, membiarkan al-Qur'an berbicara tentang dirinya karena dalam teks al-Qur'an saling menjelaskan satu sama lain. Metode ini, sejalan dengan pemikiran hermeneutika Betty tentang Auslegungnya yang mengaskan bahwa tugas utama seorang penafsir adalah merekeonstruksi makna yang dimaksud pengarang teks. Karenanya seorang penafsir harus melakukan analisis terhadap teks, baik dari sisi kebahasaan maupun dari sisi konteks.

Demikian pula halnya dengan teori aplikasi (adwendung)-nya Gadamer yang menekankan adanya pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/

reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ (makna yang terlintas pertama kali di fikiran penafsir ketika teks tersebut muncul) ini dengan makna asal sebuah teks, sehingga pesan teks tersebut bisa diaplikasikan pada saat penafsiran. Teori ini kiranya dapat diterapkan dalam praktik penafsiran al-Qur'an, yang disebut dengan “intrepertasi ma’na-cum-maghza”, yakni stau bentuk interpretasi yang memperhatikan baik makna asal (makna historis dan tersurat) dari teks yang diinterpretasi maupun makna terdalam darinya

(signifikansi teks, makna inti dan biasanya tersirat).

C. Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Bias Gender (Pendekatan Hermeneutik) 1. Urgensi Pendekatan Hermeneutika

Diperlukan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan interdisipliner seperti hermeneutika, di dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an. Jumhur ulama yang melahirkan kitab-kitab tafsir Indonesia terlalu condong ke pendekatan tekstual, karena mereka pada umumnya berangkat dari kaedah “yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab”. Akibatnya, kultul

(12)

Timur-Tengah yang menjadi latar belakang kultur bahasa Arab menjadi referensi yang amat dominan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an.14

Sebagai contoh, Allah SWT seolah-olah sangat memihak kepada laki-laki. Hampir semua pesan-pesan (khithab) perintah dan larangan, Allah SWT

menggunakan bentuk mudzakkar. Perintah menjalankan rukun Islam, seperti sholat, puasa, zakat, dan haji, semuanya menggunakan khithab mudzkkar, seperti:

ةوكزلااوتاو ةولصلااوميقا

menggunakan jamak mudzakkar salim.15

Di sinilah maka adalah hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan upaya-upaya menginterpretasikan ulang teks-wahyu keagamaan yang selama ini telah “diperkosa” oleh penafsiran yang bias gender, sehingga berakibat munculnya masalah diskriminasi dalam produk tafsir teks-teks agama dan praktik keagamaan.16 Umat Islam khususnya para mufassir tidak bisa hanya berhenti di

sekitar teks, tetapi perlu dikaji secara mendalam dengan menggunakan analisa semantik, semiotik, dan hermeneutik. Pendekatan kontekstual akan tampil menggantikan peranan kitab-kitab tafsir klasik yang bercorak kebahasaan.

Dalam memahami sebuah teks, seorang pengkaji dituntut memiliki wawasan semantik dan hermeneutika yang memadai, karena jika tidak maka kekeliruan ganda akan menghadang. Makna sebuah vocab/mufradat yang diciptakan oleh penciptanya seringkali tidak persis sama dengan maksud sang pengguna.

2. Identifikasi Ayat-ayat Gender a. Kata ar-Rijal dan an-Nisa’

Dalam lisan Arab kata ar-rijal diartikan dengan laki-laki,lawan perempuan dari jenis manusia. Kata ini juga digunakan untuk laki-laki yang sudah dewasa, sesudah anak-anak. Kata ar-rijal misalnya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 282 “

مكلاجر نم نيديهشاودهشتشو

“ (dan persaksikanllah dengan dua orang sakasi

14Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 114

15Ibid.

(13)

dari laki-laki di antaramu). Kata

مكلاجر نم

dalam ayat ini ditafsirkan dalam tafsir al-Jalalin, sebagai laki-laki Muslim yang akil-balig dan merdeka. Jadi, semua orang yang masuk dalam kategori ar-rijal termasuk juga kategori al-zakar. Tetapi tidak semua al-zakar masuk dalam kategori ar-rijal.17

Al-Ashfahani mengesankan adanya perbedaan kata ar-rijal dan al-zakar. Yang pertama kali lebih berkonotasi gender (gender term) dengan menekankan aspek maskulinitas dan kejantananan seorang. Misalnya lihat Q.S. al-An’am/6: 9, kata “rajulan” dalam ayat tersebut menunjuk kepada jenis kelamin tetapi lebih menekankan aspek maskulinitas, karena keberadaan malaikat tidak pernah diisyaratkan jenis kelaminnya di dalam al-Qur'an. Adapun yang kedua al-zakar lebih berkonotasi biologis (sex term) dengan menekankan aspek jenis kelamin, misalnya lihat Q.S Al-‘Imran /3: 36.18

ar-rijal dan an-Nisaa’ digunakan untuk menggambarkan beban budaya dan kualitas moral seseorang. Kata ar-rijal dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 55 kali dalam al-Qur'an, dengan kecenderungan penegrtian dan maksud sebagai berikut:19

- ar-rijal dalam arti gender laki-laki, seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 282 dan 228, dan Q.S. an-Nisa/4: 32.

- ar-rijal dalam arti orang, baik laki-laki maupun perempuan: Q.S. al-A’raf/7: 46, dan Q.S. al-Ahzab/33: 23.

- ar-rijal dalam arti Nabi atau Rasul, seperti: Q.S. al-Anbiya’/21: 7 dan Q.S. Saba/34: 7.

- ar-rijal dalam arti tokoh masyarakat, seperti: Q.S. Yasin/36: 20 dan Q.S. al-A’raf/7: 48.

- ar-rijal dalam arti budak, seperti: Q.S. al-Zumar/39: 29

Berbagai contoh di atas menunjukkan bahwa kata ar-rijal dalam al-Qur'an tidak semata-mata berarti laki-laki dalam arti jenis kelamin pria tetapi ssorg yang dihubungkan dengan atribut sosial budaya tertentu. Ada pula beberapa kata ar-rijal digunakan dalam al-Qur'an yang seolah-olah menunjukkan arti “jenis

17Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, hlm. 118

(14)

kelamin laki-laki” (al-zakar) karena berbicara dalam konteks reproduksi dan hubungan seksual, tetapi setelah dikaji kontek (munasabah) dan asbabun nuzul ayatnya ternyata tetap lebih berat ditekankan kepada gender laki-laki. Contoh: Q.S. an-Nisa’/4: 1 dan Q.S. al-Naml/27: 55.

Selanjutnya, kata an-Nisa’ adalah bentuk jamak dari kata al-mar’ah berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa, berbeda dengan al-untsa berarti jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang sudah berusia lanjut. Kata an-Nisa’ berarti gender perempuan, sepadan dengan kata ar-rijal yang berarti gender laki-laki. Kata an-Nisa’ dalam berbagai bentuknya teulang sebanyak 59 kali dalam al-Qur'an dengan kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut:20

- Nisa’ dalam arti gender perempuan, seperti: Q.S. Nisa’/4: 7 dan Q.S. an-Nisa’/4: 32.

- an-Nisa’ dalam arti iste an-Nisa’ dalam arti isteri-isteri, seperti: Q.S. al-Baqarah/2: 222 dan 223.

Penggunaan kata an-Nisa’ lebih terbatas daripada penggunaan ar-rijal. Kata ar-rijal sebagaimana telah dijelaskan bisa berarti gender laki-laki, orang, menunjuk kepada pengertian Nabi atau Rasul, tokoh masyarakat, dan budak. Sedangkan kata an-Nisa’ hanya digunakan dalam arti gender perempuan dan isteri-isteri.

b. Kata al-Dzakar dan al-Untsa

Dalam kamus bahasa arab, kata al-zakar berasal dari akar kata zakara, yang berarti “mengisi, menuangkan”. Kata al-zakar lebih berkonotasi kepada persoalan biologis (sex), contohnya, lihat Q.S. al-‘Imran/3: 36. Oleh karena itu kata al-zakar sebagai lawan dari kata al-untsa juga digunakan untuk jenis

(species) lain selain bgs manusia, misalnya dalam Q.S. An’am/6: 143. Kata al-zakar dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 18 kali dalam al-Qur'an.21

Berbeda dengan kata ar-rijal dan an-Nisa’ yang umumnya digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender. Memang ada

(15)

ungkapan yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender menggunakan kata al-zakar dan al-untsa seperti Q.S. an-Nisa’/4:11 yang menerangkan tentang warisan. Namun, al-zakar dan al-untsa dalam ayat ini hendak menegaskan bahwa jenis kelamin apa pun, berhak mendapatkan berbagai hak asasinya, termasuk soal warisan dan hak-hak kebendaan lainnya.22

Adapun kata al-untsa berasal dari kata anatsa yang berarti “lemas, lembek (tidak keras), halus. Sebagaimana halnya kata al-zakar kata al-untsa pada

umumnya mengacu kepada faktor biologis. Dilihat dari segi derivasinya dalam kamus dan konteks penggunaannya dalam al-Qur'an, kata al-untsa lebih konsisten dibandingkan kata al-zakar. Derivasi yang lahir dari akar kata zakara ditemukan beberapa macam bentuk dan asti sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.

Demikian pula penggunaannya dalam al-Qur'an, kata untsa yang terulang

sebanyak 30 kali dalam berbagai bentuknya, tidak mempunyai makna lain selain (jenis kelamin) perempuan.

3. Menafsir Ulang Ayat-ayat Bias Gender

Umat Islam, khususnya dunia Arab yang menganut peradaban teks, di mana pesan Tuhan pertama kali diturunkan, sangat mepengaruhi para mufasir dalam mencari pesan Tuhan dari situ pula cara-cara atau metode mencari pesan Tuhan digali, seperti ushul fiqh, ilmu-ilmu al-Qur'an, dan balaghah. Pendekatan itu di kemudian hari menjadi pendekatan yang otoritatif dalam pencarian pesan Tuhan.23 Selain itu, pada suatu kurun, kadar intelektualitas menjadi dominan.

Namun pada kurun lainnya, kadar emosionalitas menjadi menonjol. Itulah sebabnya persepsi tentang wanita, misalnya di kalangan umat Islam khususnya mufassir juga berubah-ubah dari zaman ke zaman.

Sebagai contoh, ketika Ibnu Arabi, tokoh sufi berbicara tentang wanita, dia mengatakan bahwa wanita lebih rendah dari laki-laki, karena Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Berikut keterangannya berdasarkan penggalan Q.S. al-Baqarah/2: 228: “… untuk laki-laki satu derajat lebih daripada wanita”. Padahal,

22Ibid., hlm. 140

(16)

kalau dilihat secara keseluruhan ayat ini, akan tampak bahwa hal ini tidak menyangkut hak laki-laki secara umum, tetapi hanya khusus dalam masalah perceraian.24

Demikian pula halnya bahwa ada sebagian ulama (Syafi’iyah) yang menjadi firman Allah dalam Q.S. an-Nisa/4: 34: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita…” sebagai bukti tidak bolehnya wanita terlibat dalam persoalan politik, karena laki-laki diberikan beberapa kelebihan oleh Allah SWT.25 Mereka menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan konkrit bahwa

laki-laki merupakan pemimpin bagi wanita, bukan hanya dalam rumah tangga, tapi juga dalam lingkup kehidupan yang lebih luas.26

Menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga bukan menunjukkan derajat wanita lebih rendah dibanding laki-laki, tapi karena kepemimpinan itu didasarkan kepada kelebihan yang dimiliki laki-laki surat tanggung jawab yang harus dipikulnya. Di samping itu, kepemimpinan laki-laki thd rumah tangga harus bersifat demokratis, bukan kepemimpinan absolute yang membatasi kebebasan wanita. Menurut Asghar, keunggulan laki-laki adalah keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin. Pada masa ayat itu diturunkan, laki-laki bertugas mencari nafkah dan wanita di rumah menjalankan tugas domestik. Karena kesadaran sosial wanita waktu itu masih rendah, maka tugas mencari nafkah dianggap sebagai

keunggulan.27

Menurut Sahiron Syamsuddin,28 hanya Q.S. al-Qashash/27: 29-35 yang

berkaitan dengan kepemimpinan publik. Ayat-ayat tersebut merupakan sebagian dari ayat-ayat al-Qur'an yang mengisahkan Nabi Sulaiman a.s. dan Ratu Balqis.

24Nurjanah Ismail, dkk., Gender dan Islam: Teks dan Konteks, Cet. Ke- 2 (Yogyakarta: PSW UIN Su-Ka, 2009), hlm. 38

25Ibid., hlm. 39 26Ibid., hlm. 77 27Ibid.

(17)

Meskipun ayat-ayat tersebut berisi tentang Ratu Balqis, namun sebagian ulama mencoba memahaminya secara implisist dan simbolik sebagai justifikasi Qur’ani tentang kebolehan seorang wanita memimpin suatu negeri, seperti yang dilakukan Ratu Balqis. Al-Qur'an sama sekali tidak mencela baik secara eksplisit dan implisit kepemimpinan. Sebaliknya al-Qur'an justru memaparkan betapa baiknya dan tepatnya keputusan dan kebijakan Ratu Balqis sebagai pemimpin komunitas di negeri Saba’. Secara implisit, al-Qur'an ingin menunjukkan bahwa seorang wanitapun bisa memimpin suatu negeri dengan sangat baik dan bijaksana. Adapun makna terdalam dari ayat-ayat tersebut terkait dengan karakteristik kepemimpinan Ratu balqis, antara lain: demokratis, mengutamakan ketentraman rakyat,

menyukai dilpomasi dan perdamaian, serta cerdas dan berhati-hati.

Selanjutnya, pemahaman para ulama terhadap Q.S. an-Nisa;/4: 11 tentang ketentuan hukum waris. Dalam menyikapi dalil ini para ulama menyimpulkan bahwa bagian 2:1 adalah mutlak (harus dan pasti), karena dalil tersebut qat’iy sifatnya, baik tsubut maupun dalalahnya.29 Karena sifatnya yang qat’iy, maka

tidak ada tawar menawar atau ruang ijtihad di dalam masalah ini. Demikian juga tidak dilihat secara historis-kontekstual bagaimana ayat ini diturunkan. Padahal ayat al-Qur'an turun tidak dalam masyarakat yang hampa budaya. Untuk itu kemudian dimunvulkan kaidah “Ibrah bi ‘Umumi Lafz la bi Khusus al-Sabab”.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Gender merupakan konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara ideologi, politik, hukum, dan ekonomi. Sejumlah ayat al-Qur'an mebahas tentang kesetaraan gender, dengan mengangkat isu-isu perempuan yang memang menjadi

(18)

agenda penting dalam Islam. Hak-hak perempuan dan laki-laki dalam al-Qur'an, sangat diperhatikan dan pada dasarnya besifat adil, hingga kemudian munculnya kembali budaya patriarkhi yang merugikan umat Islam khususnya perempuan.

Seperti misalnya kekeliruan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an: Q.S. al-Baqarah/2: 228 tentang tingginya derajat laki-laki yakni satu derajat melebihi kaum perempuan; Q.S. an-Nisa/4: 34 tentang laki-laki adalah pemimpin bagi wanita; dan Q.S. an-Nisa;/4: 11 tentang ketentuan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan, yakni 2:1. Semua tafsiran ayat-ayat al-Qur'an tersebut mengalami bias gender karena ada yang ditafsirkan secara umum saja tanpa melihat kekhususan turunnya, dan ada juga yang ditafsirkan secara khusus saja tanpa melihat keumuman lafaznya sehingga bisa termanifestasi dengan baik pada suatu masa tertentu.

Karena itu, perlu dilakukan peninjauan ulang atas penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an melalui pengkajian dengan menggunakan metode

hermeneutika, di antaranya dengan memperhatikan historisitas apa yang terjadi di seputar nash, kontekstual, dan mendengar suara perempuan yang memiliki

pengalaman dan kebutuhan yang berbeda akibat konstruksi sosial di masyarakat. Penafsiran ulang telah menjadi sebuah kebutuhan sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

DAFTAR PUSTAKA

Almirzanah, Syaf’atun & Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi

Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadits (Teori dan Aplikasi) Buku 1 Tradisi Islam, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

(19)

Dzuhayatin, Siti Ruhaini, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Cet. Ke- 4, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Hadi, Abdul, “Hermeneutika Obyektif dan Subyektif vs Tafsir Ma’tsur dan bil-Ra’yi”, dalam www.blogspot-abdulhadi.com. Akses tanggal 3 Februari 2014.

Hidayatullah, Syarif, Teologi Feminisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Ismail, Nurjanah, dkk., Gender dan Islam: Teks dan Konteks, Cet. Ke- 2, Yogyakarta: PSW UIN Su-Ka, 2009.

Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Edisi Revisi), Cet. Ke- 3, Malang: UIN Maliki Press, 2013.

Nugroho, Riant, Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia, Cet. Ke- 2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Palmer, Richard E., Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, Cet. Ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

(3) Model pembelajaran quantum teaching berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis untuk setiap aspek yang diteliti (kemampuan tata bahasa yaitu penggunaan

coli yang diisolasi dari air Sungai Code wilayah Sleman maupun dari air rumah tanggag sepanjang aliran air Sungai Code telah menunjukkan kecenderungan resisten terhadap

Pada beberapa decade, FDA, peneliti pada bidang biokompatibilitas, badan pemerintahan internasional lainnya, dan standar organisasi menganut pada pola stepwise yang

Kelemahan Youtube sebagai media pembelajaran PAI adalah besarnya transmisi data (bandwidth) yang dibutuhkan untuk mengaksesnya, juga interaksi satu arah antara pendidik dan

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur didorong utamanya oleh komponen Konsumsi yang pada triwulan III-2008 ini mampu tumbuh lebih tinggi.. Di sisi lain,

Sasaran dari kegiatan Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI ke Blok Migas Sijunjung PT Rizki Bukit Barisan Energi Provinsi Sumatera Barat adalah melihat langsung

(2) tingkat kesulitan belajar siswa pada mata pelajaran matematika soal cerita materi himpunan kelas VII-A di MTs Sultan Agung Jabalsari Tulungagung mencangkup tiga indikator

Hasil temuan diatas menyatakan bahwa sebagian besar dimensi sensation seeking yang dimiliki oleh siswa SMA di Kota Malang adalah boredom susceptibility, bagi penelitian