• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENUMBUHKAN KESADARAN SOSIAL UMAT ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENUMBUHKAN KESADARAN SOSIAL UMAT ISLAM"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

COVER...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...1

BAB I PENDAHULUAN...2

A. Latar Belakang...2

B. Rumusan Masalah...3

C. Tujuan Penulisan...3

Bab II PEMBAHASAN...4

A. Universalisme dan Kosmopolitanisme Islam...4

B. Pemikiran Para Ahli Indonesia Mengenai Universalisme Islam...8

1. Abdurrahman Wahid...8

2. Nurcholish Madjid...10

3. Kuntowijoyo...18

C. Tahap – tahap Kesadaran Sosial umat Islam Indonesia...21

BAB III PENUTUP...28

A. Kesimpulan...28

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama rahmatan li al-Alamin memanifestasikan keuniversalannya dalam bidang kehidupan manusia. Universal dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat . Bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa bangsanya yang terpilih , dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Universalisme Islam menampakkan diri dari berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari’ah dan akhlak ( yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup ) . Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum syari’ah yaitu : menjamin keselamatan agama, badan, akal, keterunan, harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan ( social values ) yang luhur, yang bisa dikatakan sebagai tujuan dasar syari’ah yaitu: keadilan, ukhuwah, kebebasan dan kehormatan. Semuanya ini akhirnya bermuara pada keadilan social dalam arti yang sebenarnya.

Di Indonesia misalnya, sebagai suatu bangsa yang mempunyai tingkat hiterogenitas tertinggi secara fisik ( negara kepulauan ) maupun dalam soal keragaman suku, bahasa, daerah, agama dan adat istiadat, maka dengan sendirinya manifestasi dan ekspresi keberagamannya bervariasi sejalan dengan kondisi keberagamannya budaya yang ada. Muncul antara yang kebarat-baratan, kearab-araban dan ketradisian-ketradisian sebagai sesuatu yang sulit dihindari . Persoalannya adalah bagaimana kita bisa menghadapinya kemudian menumbuhkan kesadaran sosial umat islam akan risalah islam ini.

(3)

menumbuhkan betapa pentingnya kesadaran sosial umat islam di Indonesia mengenai universalisme islam.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang menjadi pokok permasalahan menumbuhkan kesadaran sosial umat islam melalui universalisme islam.

1. Apa itu Universalisme dan kosmpolitanisme islam?

2. Bagaimana pemikiran para ahli Indonesia mengenai Universalisme

islam?

3. Bagaimana tahap – tahap kesadaran sosial umat islam Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan Penulisan makalah ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui universalisme sebagai kerangka.

2. Untuk mengetahui pemikiran para ahli Indonesia mengenai

Universalisme islam.

3. Untuk mengetahui tahap – tahap kesadaran sosial umat islam

(4)

Bab II PEMBAHASAN

A. Universalisme dan Kosmopolitanisme Islam

Universalisme islam adalah salah satu karakteristik Islam yang sebagian besar berkarakteristikkan: 1) Rabbaniyah, 2) Insaniyyah (Humanistik), 3) Syumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian dan menyentuh semua aspek manusia seperti ruh, akal, hati, dan badan, 4) Wasathiyah atau moderat dan seimbang, 5) Waqi’yah (realitas), 6) Jelas dan gambling, 7) Integrasi antara al-Tsabat wa al-Murunah (permanen dan elastis). (Yusuf Qardhawi, 1993 : 3)

Universalisme Islam yang dimaksudkan adalah risalah islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras maupun bangsa. Ia bukanlah sebuah risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah bangsa yang terpilih, karena semua manusia pada hakikatnya harus tunduk kepada – Nya.

Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat – Nya untuk semua hamba – Nya (QS. Al-Anbiya: 107). Pernyataan ini tertera dalam firman – Nya: “Dan tidak kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam” (QS Al-A'raf : 158). "Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru sekalian alam.

(5)

Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspekakidah, syari'ah dan akhlak sering dianggap oleh sebagian masyarakat menjadi aturan kesusilaan dan sikap hidup dan terfokus dengan masalah kemanusiaan . Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umumsyari'ahyaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar syari'ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takaful, kebebasan dan kehormatan (Yusuf Qardhawi, 1993 : 61). Pada kesimpulannya semua bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya.

Selain itu, universalitas ajaran Islam atau universalisme Islam lebih jauh mewujudkan kosmopolitanisme dalam budaya islam, yang menjadikan umat muslim selama beberapa abad dapat menyerap segala macam wujud budaya dan wawasan – wawasan keilmuan yang datang dari berbagai bangsa dan negara di sekitarnya, baik yang bersinggungan langsung dengan Islam maupun yang telah mengalami penyusutan.

Artinya jika kita membicarakan universalisme maka tidak lepas juga dari kosmpolitanisme. Universalisme merupakan landasan konseptual untuk mewujudkan kosmpolitanisme budaya. Karena itu kedua persoalan tersebut akan lebih baik jika dibahas dalam satu kesatuan yang utuh, mengingat yang satu merupakan dataran konsep ideal sedangkan yang satunya lagi merupakan perwujudan nyata dari konsep ideal dalam kehidupan bermasyarakat (kosmopolitanisme), berbangsa, dan bernegara dalam keragaman budaya islam termasuk seni.

(6)

menjelaskan mengenai perbedaan tersebut. Kosmopolitan menjelaskan bahwa setiap manusia merupakan komunitas dunia meskipun batas teritori negara tidak dapat dihilangkan.

Selain itu Kosmopolitanisme didalam islam merupakan pancaran makna Islam itu sendiri serta pandangan tentang kesatuan kenabian (wahdat al-nabawiyah; the unity of prophet) berdasarkan makna Islam itu, serta konsisten dengan semangat prinsip prinsip itu semua, kosmopolitanisme budaya Islam juga mendapat pengesahan-pengesahan langsung dari kitab suci seperti suatu pengesahan berdasarkan konsep-konsep kesatuan kemanusiaan (wihdat al-insaniyah; the unity of humanity) yang merupakan kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan (wahdaniyat atau tauhid; the unity of god). Kesatuan asasi umat manusia dan kemanusiaan itu ditegaskan dalam firman-firman: "Ummat manusia itu tak lain adalah umat yang tunggal, tapi kemudian mereka berselisih (sesama mereka) jika

seandainya tidak ada keputusan (kalimah) yang telah terdahulu dari

Tuhanmu, maka tentulah segala perkara yang merekaperselisihkan itu akan diselesaikan (sekarang juga)"( QS. Yunus: 19).

"Ummat manusia itu dulunya adalah ummat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi untuk membawa kabar gembira dan memberi peringatan dan bersama para nabi itu diturunkannya kitab suci dengan membawa kebenaran, agar kitab suci itu dapat memberi keputusan tentang hal-hal yang mereka perselisihkan (QS Al-Baqarah: 213)”.

Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan untuk selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan itu dan berdasarkan kesadaran itu mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari dari seluruh budaya ummat manusia. (Nurkholis Madjid, 1992 : 442).

(7)

dalam format non material seperti konsep-konsep pemikiran,maupun yang material seperti seni arsitektur bangunan dan sebagainya.Pada masa awal Islam, Rasulullah Saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah pelepah kurma.Kemudian, tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi.Ia membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk khutbah Jumat dan munasabah - munasabah lainnya. Kemudian dalam perang Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy untuk membuat parit (khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode pertahanan ala Persi.Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau tidak mengatakan:"Ini metode Majusi, kita tidak memakainya!". Para sahabat juga meniru manajemen administrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak ! keberatan dengan hal itu selama menciptakan kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan nas. Sistem pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran (diwan) berasal dari Romawi (Qardhawi, 1993 : 253).

Pengaruh filsafat Yunani dan budaya Yunani (hellenisme) pada umumnya dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam sudah bukan merupakan hal baru lagi. Seperti halnya budaya Yunani, budaya Persia

juga amat besar sahamnya dalam pengembangan budayaIslam. Jika

(8)

B. Pemikiran Para Ahli Indonesia Mengenai Universalisme Islam

1. Abdurrahman Wahid

Sebagai seseorang yang memiliki intelektual terkemuka di Indonesia, pemikiran Abdurrahman Wahid sangatlah kaya. Pemikirannya banyak dikaji, diteliti, diapresiasi dan dikembangkan dalam berbagai bidang kehidupan. Berbagai karya sudah dia tulis dan dihasilkan. Namun daya tarik dari pemikirannya masih terus terasa sampe sekarang. Realitas ini menunjukkan bahwa pemikiran Abdurahman Wahid memiliki relevansi untuk direkonstruksi kembali. Salah satu aspeknya adalah membangun kehidupan sosial yang harmonis.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah kaum Muslim terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan berkaitan dengan dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan. Kuantitas umat Islam yang banyak bukan berarti Islam telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Secara kritis Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa Indonesia yang umat Islamnya terbanyak di dunia ternyata juga negara yang banyak melakukan pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi manusia (HAM) (Wahid, 2006 : 23)

Dengan adanya realitas ini dapat dijadikan bahan refleksi bersama. Pelanggaran terhadap HAM merupakan kejahatan manusia yang bertentangan dengan nilai – nilai. Tugas generasi sekarang adalah bagaiamana cara menerapkan keadaban itu dalam praktik kehidupan sehari – hari.

(9)

kemanusiaan. Salah satu pemikiran penting terkait persoalan ini adalah pemikiran Abdurrahman Wahid yaitu universalisme islam merupakan nilai – nilai yang ada dalam islam. Dikatakan universal karena menjadi bagian dari tujuan syariat islam. Nilai ini terdapat dalam perlindungan terhadap lima hak dasar manusia yaitu perlindungan atas hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak kepemilikan dan berkeluarga.

Pernyataan itu kemudian dipertegas, Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa dimensi universalisme Islam bukan sekadar sebagai jargon semata. Ajaran universalisme Islam telah teruji sejarah dan berkontribusi dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan yang bermartabat. Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa, ―Universalisme tercermin pada ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian terhadap unsur-unsur kemanusiaan yang diimbangi dengan kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri (Wahid dalam Nurcholis Madjid, 2007 : 1-2)

Universalisme Islam memiliki konsekuensi terhadap budaya partikular yang ada di sekitarnya. Hal ini bermakna bahwa Islam adalah agama yang memiliki pemahaman baik terhadap budaya lokal, bukan agama yang memusuhi dan menghilangkan budaya lokal. Upaya ini kemudian diformulasikan secara baik oleh Abdurrahman Wahid dalam istilah yang unik, yaitu ―pribumisasi Islam.

Menurut Abdurrahman Wahid, pribumisasi islam perlu dipahami secara tepat agar tidak menimbulkan salah persepsi. Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa ; Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain termasuk Indonesia. Dalam prosesnya kenyataan sejarah tidaklah mengubah islam, melainkan hanya manifestasi.

(10)

keduanya selalu saja menimbulkan perdebatan tak berujung. Apalagi didalam era globalisasi ini dimana banyak pengaruh dari budaya barat.

Menurut Abdurrahman Wahid, agama dan budaya adalah dua entitas yang berbeda. Agama berasal dari wahyu, bersifat normatif dan cenderung permanen, sementara bdudaya merupakan kreasi manusia yang besifat dinamis. Namun demikian bidang garapan sesungguhnya tumpang tindih satu sama lain. Perbedaan ini bukan berarti harus memisahkan mereka dari level manifestasi kehidupan (Wahid, 2001 : 117)

Pemikiran tentang universalisme Islam Abdurrahman Wahid digali dari khazanah pemikiran Islam klasik. Menurut Abdurrahman Wahid, universalisme Islam tampil sebagai sebuah ajaran yang sempurna dalam lima buah jaminan dasar. Adapun kelima jaminan tersebut mencakup jaminan dasar atas (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Kelima jaminan dasar tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat (Wahid, 2001 : 117).

Pemikiran tentang universalisme Islam ini penting dipahami secara baik karena dapat menjadi dasar untuk memahami perbedaan yang ada. Perbedaan merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindari. Sikap yang bijak adalah bagaimana memahami perbedaan sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan. Pada perspektif inilah pemikiran Abdurrahman Wahid tentang universalisme Islam penting untuk ditelaah dan direkonstruksi agar sesuai dengan dinamika perkembangan zaman.

(11)

Nurcholish adalah salah seorang pemikir Islam Indonesia. Ia berusaha menafsirkan kembali makna tauhid sebagai dasar terpenting dalam tatanan kehidupan” keagamaan umat manusia. Menurut Nurcholish, pesan dasar semua agama yang benar adalah sarna,yaitu mengesakan Allah (at- Tauhid) dan bersikap pasrah terhadap-Nya (al-Islam). Karena itu beragama tanpa sikap pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dengan sendirinya, adalah palsu. Maka beriman kepada Allah dan bersikap pasrah kepada-Nya adalah sebagai titik temu, common flatform, atau “kalimah sawa'” antar agama. Allah adalah sumber kebenaran mutlak, maka cara beragama yang baik adalah dengan dilandasi oleh semangat pencarian kebenaran (al-Hanafiyyah al-Samhah) yang lapang, terbuka dan non sektarian. Setiap orang berarti bersikap mempunyai caranya optimis kepada manusia. Begitu juga dengan prinsip universalisme Islam, dengan memberi makna al-islam secara generik yaitu pasrah terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan landasan teologi baru yang kukuh terhadap pluralism bagi kehidupan keagamaan di Indonesia. Dari pemahaman makna Tauhid konsep universalisme Islam akan membawa pada pengertian bahwa pluralisme agama adalah Sunnatullah yang telah ditetapkan kepada manusia. Begitu juga akan membawa pada pemahaman kita terhadap konsep ahli kitab. Dimana yang termasuk ahli kitab tidak hanya untuk Yahudi dan Nasrani, tetapi juga agama-agama yang lain. Selain itu, Nurcholish juga menganjurkan terhadap umat Islam di era modern ini untuk melihat kembali sejarah Islam dan mengambil inti sari dari sejarah itu sendiri. (Dhillah, Fihif,2003)

Dalam karya ini Nurcholish Madjid membahas universalitas Islam. Telaahan Nurcholish Madjid dalam penelitian karya ini adalah: “Pertama-tama yang menjadi sumber universalitas Islam ialah pengertian perkataan “Islam” itu sendiri. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,

1992 : 426). Sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan

(12)

“kepatuhan” atau “ketaatan” yang sah yang tidak bisa lain daripada sikap pasrah kepada Tuhan (al Islam). Maka tidak ada agama tanpa sikap itu, yakni, keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah merumuskan nilai-nilai universal selalu ada pada inti ajaran agama yang mempertemukan seluruh umat manusia. Menurutnya, nilai-nilai universal itu harus dikaitkan kepada kondisi nyata ruang dan waktu agar memiliki kekuatan efektif dalam masyarakat, sebagai dasar etika sosial.

Nurcholish Madjid banyak mengutip pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah, yang memang banyak memberikan penjelasan inklusivisme dan universalisme Islam, antara lain:

Al Islam ialah persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang mencakup (pengertian) ibadah kepada Allah saja dan meninggalkan ibadat kepada yang lain. Inilah ‘Islam Umum’ (al Islam al ‘amm) yang selain dari itu Allah tidak menerima sebagai agama dari umat terdahulu maupun umat kemudian, sebagaimana difirmankan Allah, ‘Allah bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Dia, begitu pula para malaikat-malaikat dan orang – orang yang berpengetahuan yang tegak dan jujur (adil). Tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama disisi Allah ialah al Islam (QS. Ali Imran/3 : 18-19).

(13)

sebagai sebuah agama dimanifestasikan oleh penganutnya, maka wujud keislaman menjadi berbeda-beda sesuai dengan budaya dan watak manusia pemeluknya.

Dalam kaitan ini, Nurcholish Madjid mengatakan harus

mengintegrasikan nilai-nilai universal tersebut dengan sinaran situasi nyata ruang dan waktu yang partikular. Baginya, keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang universal, termasuk menjadi inti dari agama-agama, membawa implikasi bahwa ia dapat diberlakukan kepada semua tempat dan waktu. Kebenaran dapat ditemukan kepada setiap bangsa dan masa, kapan saja dimana saja. (Madjid, 1995 : 17) .Memandang penting untuk meletakkan sisi-sisi keuniversalan ajaran dalam kerangka dialog kultural dengan situasi dimana ia termanifestasikan oleh pemeluknya. Suatu kenyataan akan muncul ekspresi dan manifestasi keberagaman seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat yang beragam atau bervariasi sejalan dengan budaya dan watak manusia yang menerimanya ( Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 38) . Di Indonesia misalnya, sebagai suatu bangsa yang mempunyai tingkat heterogenitas tertinggi secara fisik (negara kepulauan) maupun dalam soal keragaman suku, bahasa, daerah, agama, dan adat istiadat, maka dengan sendirinya manifestasi dan ekspresi keberagamannya bervariasi sejalan dengan kondisi beragamnya budaya yang ada. Muncul antara yang kebarat-baratan, kearab-araban dan ketradisian-tradisian sebagai sesuatu yang sulit dihindari. Persoalannya apakah ekspresi dan manifestasi keberagaman yang merupakan hasil dialog kultural antara keuniversalan Islam dengan kekhasan suatu kawasan itu absah atau tidak, dan seberapa jauh tingkat keberlakuannya. Haruskah dianggap sebagai ekspresi dan manifestasi keagamaan yang serta merta mesti bernilai mutlak sehingga mesti pula berlaku di semua tempat. (Madjid, 1995 : 36).

(14)

berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Agama merupakan sesuatu yang primer, sementara budaya menggambarkan yang sekunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan budaya. Maka, agama adalah absolut, berlaku untuk setiap ruang dan waktu, dan budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan waktu (Madjid, 1995 : 45). Persoalannya bukan terletak perkara apakah suatu hasil dialog antara keuniversalan Islam dengan kekhasan suatu kawasan dan zaman itu absah atau tidak, melainkan setiap hasil dialog kultural dari kedua aspek: universal-partikular atau kulli-juz’i, tidak absah, tetapi juga merupakan kreativitas kultural yang berharga. Dengan kreativitas itulah suatu sistem ajaran universal seperti agama menemukan relevansinya dengan tuntutan khusus yang nyata para pemeluknya, menurut ruang dan waktu, serta dengan begitu menemukan dinamika dan vitalitasnya (Madjid, 1995 : 39).

Nilai keberlakuan sebuah manifestasi atau ekspresi keagamaan

(15)

Madjid, mengklaim tentang suatu sistem ajaran seperti Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan cocok untuk segala zaman dan tempat (shahih li kulli zaman wa makan) (Madjid, 1995 : 41).

Pemikiran universalisme Islam berangkat dari isyarat Al-Qur’an,

misalnya Qs. Saba (34):28 dan al-Anbiya (21):107.Sehubungan dengan ini Nurcholis Madjid menegaskan bahwa yang pertama-tama menjadi sumber ide tentang universalisme Islam ialah pengertian perkataan “islam” itu sendiri. Term “Islam” di sini diartikan diartikan sebagai sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang dibawa para Rosul secara silih berganti dalam sejarah umat manusia untuk menyamppaikan pesan yang sama yaitu “Islam”.

Dari pengertian dasar “islam” sebagai hukum ketundukan makhluk kepada Khaliknya tidak dalam artian nama agama yang dibawac oleh nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rosul, maka “islam” tidak bersifat temporal yang berlaku untuk suatu zaman atau kawasan tertentu melainkan berlaku untuk seluruh zaman; lampau, sekarang dan nanti di semua kawasan tanpa terkecuali (Yasmadi, 2002 : 34 )

Sehubungan dengan universalisme Islam, Nurcholis Madjid

mengemukakan jika “islam” dipahami sebagai ajaran yang universal, maka hal ini tidak saja menghasilkan pandangan bahwa ia berlaku untuk semua tempat dan waktu, seperti yang telah dibuktikan oleh kaum muslim klasik.

Sebaliknya universalisme Islam juga menghasilkan pandangan dari

(16)

beradaptasi dengan lingkungan budaya di mana ia tumbuh dan berkembang.

Oleh karena itu, menyikapi kemajemukan dalam konteks Indonesia (seperti masyarakat Yastrib yang ditemui nabi Muhammad pertama kali), maka dituntut inklusivisme Islam. Inklusivisme Islam adalah sikap yang mesti dimilki umat Islam yang hidup di tengah masyarakat yang plural. Inklusivisme Islam adalah implementasi dari azas pluralisme dan toleransi, bersifat demokratis dan terbuka sehingga Islam itu secara substansial dimiliki oleh semua agama sebagaimana yang dibawa Rosul sebelum Muhammad. Oleh sebab itu, dalam pandangan Nurcholis Madjid, prinsip-prinip Islam dimiliki semua ajaran yang benar yakni, semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha

Esa.(Yasmadi, 2002 : 35)

Karena merupaka inti semua agama yang benar, maka al-Islam atau

pasrah kepada Tuhan adalah pangkal adanya hidayah Ilahi kepada seseorang. Hal ini menjadi landasan universal kehidupan manusia yang berlaku untuk setiap orang, disetiap tempat dan waktu. Al-Islam (sikap pasrah pada Tuhan) menjadi titik temu semua agama-agama yang ada. Artinya semua agama berkeyakinan dab memiliki prinsip yang sama yaitu kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Berkaitan dengan hal ini, Nurcholis Mdjid memperlihatkan bahwa

indikator sebagai wujud titik kesamaan semua agama pada al-Islam.Agama Yahudu misalnya (sevagai kelanjutandari ajaran nabi Musa), pada dasarnya mengajarkan al-Islam, seperti yang ditegaskan al-Qur’an mengenai prinsip kitab Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa untuk keturunan Isro’il dalam Qs. Ali Imron (3):52 dan Qs.al-Maidah (5):44.

Berangkat dari pemahaman Qs, Ali Imron (3):52 dan Qs.

(17)

akan ajaran itu pada prinsipnya harus dibina hubungan dan pergaulan yang sebaik-baiknya. Sebab, seluruh umat pemeluk agama adalah umat yang tunggal. Ini dikarenakan oleh inti ajaran agama yang disampaikan Alloh kepada nabi Muhammad adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan oleh-Nya kepada semua Nabi (Yasmadi, 2002) hal : 36).

Menurut Nurcholis Madjid, sejalan dengan pandangan dasar itu Nabi diperintahkan untuk mengajak kaum ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) menuju kepada “kalimat kesamaan” (kalimat unsawa) yang pada prinsipnya menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid. Ajakan kepada kalimat un sawa untuk membenamkan klaim-kliam eksklusivistik kaum ahli kitab bahwa merekalah sebagai satu-satunya pihak yang bakal selamat atau masuk surga, seperti ditemui dalam Qs. al-Baqoroh (2):113.

Islam yang dikatakan sebagai titik temu (commom platform),

sebagaimana dideskripsikan di atas, adalah dalam konteks ajaran-ajaran yang benar (agama-agama). Kemudian berkaitan dengan konteks keindonesiaan dilihat dari kemjemukan bangsa dan konndisi real Indonesia “Pancasila” dipandang sebagai titk temu (commom flatform) antara umat yang berbeda-beda. Pandangan ini juga berangkat dari pemahaman tentang Islam itu sendiri.

Cak Nur menilai Pancasila tidak bertentangan dengan Islam

(18)

Nilai-nilai Pancasila baik potensial maupun aktual, telah terkandung dalam ajaran semua agama yang ada. Nilai-nilai Pancasila adalah “titik temu” dari semua pandangan hidup yang ada di negara Indonesia termasuk pandangan yang dirangkum oleh agama-agama. Oleh karenanya, dengan sangat liberal Nurcholish Madjid mempertegas Pancasila dapat dipandang sepenuhnya sebagai “titik temu” antar umat yang berbeda-beda, hal itu merupakan perintah agama.

Pancasila dapat juga dikatakan sebuah ideologi modern. Hal itu tidak saja karena ia diwujudkan dalam zaman modern, tetapi ia juga memberi landasan filosofis bersama (common philosocopical ground) sebuah masyarakat plural yang modern yaitu masyarakat Indonesia. Maka di sini yang diperlukan adalah sikap untuk mengembangkan paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme sosial dalam realistas masyarakatnya.

Di negara Indonesia kebebasan beragama sudah menjadi ketentuan

yang termuat dalam konstitusi Indonesia. Nurcholish Majid mempertegas kembali bahwa negara di dasarkan atas kepercayaan kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan yang Maha Esa dan menjamin kebebasan beragama. Sehingga, lima agama resmi kemudian diakui : Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha.

Kesadaran tentang Pancasila yang dapat mempersatukan antar

(19)

ke dalam masyarakat yang hendak dibangun bersama (Yasmadi, 2002 : 38).

3. Kuntowijoyo

Menurut Kuntowijoyo, di tengah-tengah umat Islam terdapat suatu golongan yang dipanggil Allah untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam konteks kekhalifahan bertingkat, mereka termasuk kaum cendekiawan yang merupakan golongan kecil yang harus kreatif mampu mencandra arah perjalanan sejarah, mengubahnya, dan menjadi ujung tombanknya (Kuntowijoyo, 1993 : 121).

Kaum cendekiawan Muslim sesungguhnya harus mengikuti tradisi profetik Nabi, bukan seperti obsesi kaum mistikus yang berusaha untuk menyatu dengan Tuhan. Iqbal menyatakan, betapa besar misi kreatif Nabi ketika ia memilih turun kembali ke bumi untuk terlibat dalam proses sejarah, meskipun ia sudah sampai ke puncak tertinggi bertemu dengan Allah swt dalam peristiwa Isra’ Mi’raj (Kuntowijoyo, 2001: 107).

Memang misi Nabi itu adalah missi profetik, misi kenabian. Itulah sebabnya mengapa ia memilih untuk turun kembali ke dunia, ke tengah kancah sejarah untuk melakukan perubahan. Kaum intelektual adalah para pewaris Nabi. Mereka tidak boleh berpangku tangan dan dunia membutuhkan kreatifitasnya. Al-Quran memerintahkan agar kaum

cendekiawan berpartisipasi untuk amar ma’ruf nahi munkar. Kaum

cendekiawan Muslim harus menghadapkan tauhid kepada sejarah. Mereka harus memiliki cita-cita ketuhanan yang dialektis, di mana tauhid akan ditempatkan sebagai pemberi arah di dalam proses sejarah (Kuntowijoyo, 1993:131).

(20)

industrial seperti sekarang ini, kaum cendekiawan Muslim mau tidak mau harus menghadapkan teologi Islam kepada masyarakat industri; demikian pula bila kaum cendekiawan Muslim hidup di tengah - tengah masyarakat teknokratik, maka ia harus menghadapkan Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masyarakat teknokratik. Mereka harus kreatif mengarahkan kekuatan-kekuatan sosio kultural sesuai dengan cita-cita tauhid (Kuntowijoyo, 1993: 132).

Kuntowijoyo adalah seorang pemikir yang dikenal kritis dan optimis akan masa depan Islam. Sosok ini oleh Fakhri Ali dan Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono (Ali & Effendi, 1986: 224). Perhatiannya yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam sangat berkaitan dengan bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Hal ini terlihat dalam disertasi Ph.Dnya dalam studi sejarah dari University of Columbia pada 1980 yang berjudul Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940 (Kuntowijoyo, 1991: v).

Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatarbelakangi kecendekiawanan Kuntowijoyo dalam menyusun gagasannya mengenai Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu oleh mitos dan kemudian berkembang sampai masuk pada tingkat ideologi. Selanjutnya, karena perkembangan ilmu pengetahuan, akhirnya melalui pengaruh tersebut, umat Islam memasuki periode ide (Kuntowijoyo, 1984: 58-63).

(21)

lokal. Bagi Kuntowijoyo, universalisme Islam tidak selalu berarti bahwa Islam akan menafikan dan menyingkirkan budaya-budaya lokal. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia harus menangkap kembali semangat kosmopolitan dari Islam--Islam sebagai budaya universal yang ada di mana-mana-- dan rasionalisme Islam (Kuntowijoyo, 1993: 42-43).

Untuk itu, Kuntowijoyo melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk mengemukakan dan menyampaikan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui reinterpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris (Kuntowijoyo, 1991: 39).

Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekulerisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan, dan kesamaan (Kuntowijoyo, 1993: 49). Ini mendorongnya melontarkan gagasannya reinterpretasi nilai-nilai Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.

C. Tahap – tahap Kesadaran Sosial umat Islam Indonesia

(22)

ada di golongan bawah. Pada periode pertama ini, demikian ditegaskan Kuntowijoyo, sampai akhir abad ke-19, umat Islam hanya sebagai kawula atau abdi. (Nasiwan, Yuyun . 2016 : 113)

Di dalam masyarakat dengan hirarki yang keras saat itu, antara priyagung dan wong cilik, umat Islam memiliki suatu kesadaran yang disebut sebagai kesadaran mistik-religius. Kesadaran ini tergambar dalam perlawanannya terhadap kekuatan kolonial dengan diperkuat oleh ideologi yang bersifat utopia. Disebut utopia, karena umat Islam tidak merumuskan pikiran-pikirannya berdasarkan aktualitas sejarah, melainkan berdasarlan kepada berbagai mitos, pandangan - pandangan mistik mengenai masyarakat yang dapat dirumusakan

misalnya dalam cita-cita Ratu Adil (Kuntowijoyo, 1993: 22).

Pada periode ini, umat Islam belum mampu mengatur diri. Mereka mengelompok diri dibalik pribadi yang berkharisma seperti Kyai dan Haji. Orang-orang berkharisma inilah yang kemudian menggerakkan umat Islam melakukan berbagai pemberontakan. Umat Islam terpecah dalam ikatan-ikatan yang sangat kecil, di lingkaran yang sangat lokal, dan tersebar di mana- mana. Islam yang sebenarnya merupakan tradisi besar, tradisi yang sanggup mengorganisir kekhalifahan yang besar, tetapi Islam di Indonesia yang berada di luar birokrasi hanya sanggup membentuk masyarakat-masyarakat kecil, sehingga tidak bisa menyatukan diri dalam kesatuan yang disebut umat.

Pada periode kedua (1900-1920), terjadi perubahan - perubahan sosial yang sangat besar. Sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, ada gejala munculnya kekuatan-kekuatan baru. Jika pada periode sebelumnya, umat Islam merasa sebagai kawula, pada periode kedua ini umat Islam merasa dirinya sebagai wong cilik. Konsep ‘wong cilik’

berbeda dengan konsep ‘kawula’. Kawula hubungannya dengan ‘Gusti’,

(23)

Pada periode ini, Indonesia telah berubah menjadi hirarki atau sistem yang berdasarkan status, sistem kelas. Saat itu di Indonesia telah muncul kelas baru yang bisa disebut sebagai kelas menengah, yang terdiri atas kelas pedagang, buruh, dan petani. Hal penting dari periode ini adalah munculnya kelas pedagang yang umumnya secara tradisional dimonopoli oleh umat Islam. Pada periode ini kesadaran umat Islam mulai berubah. Jika sebelumnya umat Islam mempunyai kesadaran mistis dan utopia, kini umat Islam mulai mencoba merumuskan ideologi.

Pada periode awal, Sarekat Islam (Syarekat Dagang Islam) merumuskan dari sebagai kelompok pedagang. Sejak itu, ideologi Islam mulai ditanamkan di dalam kesadaran umat yang pada periode ini masih dalam bentuknya yang sangat awal. Pengenalan ideologi Islam pada saat ini belum begitu jelas, sehingga pada masa selanjutnya tampak bahwa dalam konflik-konflik kelas, ideologi Islam muncul tidak terlalu puritan, sehingga misalnya timbul konflik apakah Islam akan berpihak kepada kaum buruh atau tidak (Kuntowijoyo, 1993: 24).

Berbeda dengan periode sebelumnya yang berkelompok di sekitar tokoh-tokoh kharismatik, sekarang umat Islam berkelompok di tengah-tengah pimpinan yang rasional. Tokoh-tokoh yang tampil dipilih karena kualifikasi-kualifikasi rasional, seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, dan lain-lain. Aksi-aksi yang dilakukannya

pun teorganisir dengan baik, misalnya didirikan koperasi untuk melawan

dominasi penjajah dan Cina.

(24)

ketiga. Pada periode ketiga ini (1920-1942) SI mendefinisikan dirinya sebagai umat. Pada saat itulah, demikian menurut Kuntowijoyo, konsep mengenai umat sebagai satu kesatuan sosial dan politis mulai muncul dalam masyarakat Indonesia. Munculnya kristalisasi umat ini antara lain dipicu oleh adanya Koran di Surakarta yang menghina Nabi Muhammad saw, maka pada tahun 1918 di Indonesia didirikan ‘Tentara Kanjeng Nabi Muhammad’.

(Nasiwan, Yuyun . 2016 : 115)

Pada periode ini pun umat Islam masih melakukan berbagai aksi dalam bentuk berbagai demontrasi. Tetapi yang terpenting pada periode ini, umat Islam lebih banyak mendirikan berbagai asosiasi. Selain Sarekat Islam (SI), lahir Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, dan organisasi lain baik di Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, dan di berbagai tempat lainya.

Setelah tahun 1942, yang terjadi adalah kelanjutan dari perjalanan umat. Jika sebelumnya umat Islam mendefinisikan diri sebagai umat, sejak tahun 1942 dan seterusnya, umat Islam dihadapkan pada tugas baru. Pada masa penjajahan Jepang, para Kyai dan tokoh-tokoh umat Islam mulai dilibatkan dalam kepemimpinan dan kenegaraan. KHA Wahid Hasyim misalnya, diangkat menjadi semacam Kementerian Agama di masa Jepang. Masih banyak tokohtokoh Islam yang diangkat menjadi pimpinan PETA, Hizbullah, Sabilillah, dan lain-lain.

(25)

sebagai warga negara Indonesia. Persoalan selanjutnya adalah persoalan antara negara dan warga negara.

Selanjutnya, ideology umat Islam yang sudah dirumuskan sejak SI, masih berjalan terus. Pada tahun-tahun pertama, Islam sebagai ideologi cukup keras dikumandangkan dan merupakan cita-cita bersama umat Islam Indonesia. Permasalahan penting selanjutnya adalah munculnya konflik sepanjang rentang waktu antara tahun 1945 sampai tahun 1965. Pada masa ini, umat Islam memasuki babak baru, yaitu ikut serta dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, ikut dalam DPR/MPR, Badan-badan Pemerintahan, dan lain-lain. Umat Islam benar-benar aktif sebagai warga negara.

Kemudian dalam tahapan sekarang yang sudah memasuki ide, maka islam harus dirumuskan untuk menjadi ilmu. Kalau pada priode utopia, umat Islam masih berpikir dalam kerangka mistis, sementara pada zaman ideologi mereka hanya terlibat pada persoalan ideologi dan kekuasaan, maka pada periode sekarang ini, umat Islam perlu merumuskan konsep-konsep normatif (Kuntowijoyo, 1993: 11-12).

(26)

Dengan kata lain, sejarah kemanusiaan tidak ditentukan oleh kalangan atas yang kuat dan memiliki kekuasaan, melainkan oleh kaum dhu’afa, kelas bawah. Dengan tesis semacam itu, maka suatu bangsa atau Negara tidak dapat lagi mengabaikan peranan penting dari dhu’afa dalam menentukan perubahan politik dan ekonomi, bahkan dalam perkembangan sejarah. Dari tesis yang semacam itu maka akan dapat dilahairkan teori sosial mengenai revolusi atau mengenai perubahan sosial.

Contoh di atas menggambarkan bahwa konsep-konsep Islam sebenarnya perlu dipahami lebih mendalam. Setiap ayat dari al - Quran memang bisa dirumuskan menjadi ideologi, tapi pada saat yang bersamaan bisa dirumuskan menjadi teori-teori ilmu pengetahuan Islam. Dalam masa sekarang ini, tampaknya umat Islam harus beranjak ke sana.

Menurut Kuntowijoyo, ada dua metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektifikasi. Pertama, integralisasi adalah pengintegrasiam kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Quran beserta pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua, objektifikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan lil’alamin) (Kuntowijoyo, 2006: 49).

(27)
(28)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, F. & Efendy, B. (1986). Merambah jalan baru Islam:

rekonstruksi pemikiran Islam Indonesia masa Orde Baru.

Bandung: Mizan.

Dhillah, Fihif. 2003. “Pluralisme Agama Dalam Pandangan

Nurcholis Madjid”. Skripsi Tesis. UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

Kuntowijoyo. (1984). Islam sebagai Suatu Ide. Prisma Ekstra

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi.

Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (1993). Dinamika internal umat Islam di Indonesia.

Yogyakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan (LSIP).

Kuntowijoyo. (2001). Muslim tanpa masjid: esai-esai agama,

budaya, dan politik dalam bingkai strukturalisme

transcendental. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu: epistemologi,

metodologi, dan etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

(30)

Madjid, Nurcholis. 1995. “Islam Agama Kemanusiaan”, Jakarta :

Paramadina.

Naim, Ngainun. 2016

.

“Abdurrahman Wahid: Universalisme Islam

dan Toleransi”, Tulung Agung, Jawa Timur. IAIN. Vol 10

halaman 423 – 444

Nasiwan, Yuyun Sri Wahyuni. 2016. “Teori – teori Sosial

Indonesia”. Yogyakarta : Uny Press.

Qardhawi, Yusuf . 1993 . Al-khashaish al-'aamiyah al-Islam Beirut

cet. VIII, Lebanon

Wahid, Abdurrahman. 2001. “Pergulatan Negara, Agama, dan

Kebudayaan”, Depok: Koekoesan.

Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku, Islam Anda, Islam Kita,

Jakarta: The Wahid Institute.

Wahid, Abdurrahman. 2007. “Universalisme Islam dan

Kosmopolitanisme Peradaban Islam , dalam Nurcholish

Referensi

Dokumen terkait

Post-treatment testing began when all rats had recovered from any ill-effects of treatment and had resumed their normal consumption of SDS; G 7 days were allowed for this. Rats from

Namun demikian sebelum diterjunkan untuk PPL di SMK Muhammadiyah Pekalongan, praktikan telah melakukan tahapan-tahapan kegiatan PPL antara lain micro teaching yang

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,

Adam Malik Medan guru penulis yang tidak pernah bosan dan penuh kesabaran dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis

Jadi, dapat disimpulakan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat tentang apa

Pada penetapan kadar asam benzoat, sampel yang digunakan adalah minuman dalam. kemasan

Nilai F0 pada faktor interaksi sebesar 2.74 nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai F(0.05;2;126) sebesar 2,37 maka dapat disimpulkan bahwa interaksi antara

Sangat baik jika menunjukkan sudah ada usaha untuk bersikap toleran terhadap proses pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif secara terus menerus