• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Berkomunikasi Masyarakat dalam rangka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perilaku Berkomunikasi Masyarakat dalam rangka "

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Pola Komunikasi Masyarakat dalam Konflik

(Studi Perilaku Komunikasi Masyarakat dalam Konflik Rencana

Penambangan di Pesisir Kulon Progo, Yogyakarta)

1

Nella A. P.2

ABSTRACT

This study aims to know about the information behavior in society with conflict situations. In such situations maze of information is very possible that people become victims of information. In the maze of information, people have choices to select the information they would. As happened in the Kulon Progo coastal mining side-plan. Based on the field research conducted in December 2011 to March 2012, it is known that the majority of farmers in Kulon Progo coastal mining side-plan,, particularly in Garongan and Bugel, resistance to information. They selected the information that comes and took channel into account of information. They will tend to absorbed information from their social environment. It makes social media as the dominant medium of the information in conflict society. Nevertheless, the social role in the community also takes shape the information behavior of inform.

Key word : masyarakat, konflik, perilaku berinformasi, media sosial

Pendahuluan

Masyarakat dalam situasi konflik seringkali mengalami ketidakpastian. Pengambilan berbagai kebijakan yang berujung pada keputusan kondisi atas mereka pun selalu menemui kealotan. Tarik menarik kepentingan membuat mereka berada dalam kondisi tersebut. Ketidakpastian tidak berhenti pada situasi yang harus mereka lalui, namun juga informasi yang mereka terima. Bukan mustahil jika masyarakat dalam situasi konflik juga mengalami kesimpangsiuran informasi.

Konflik yang sarat akan kepentingan menuntut aktor (gatekeeper) melempar informasi yang bertindak sebagai bentuk pertahanan kepentingan. Benarlah yang dikatakan oleh Nathalie E. Williams (2009:32) bahwa masyarakat dalam kondisi konflik mengalami beberapa hal seperti perasaan takut, tidak pasti, dan mudah diserang. Ketidakpastian yang berangkat dari meluapnya informasi pada akhirnya membawa masyarakat dalam situasi konflik sebagai korban informasi.

Bagi masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo, informasi yang menerpa mereka bisa jadi justru menciptakan kekecewaan

1Tulisan ini merupakan versi singkat dari Skripsi penulis berjudul Kepentingan dalam Seleksi

Informasi Masyarakat Kawasan Rencana Penambangan Pasir Besi Pesisir Kulon Progo

(2)

yang berujung pada penajaman eskalasi konflik. Bagi sebagian yang lain, informasi yang patut dipercaya tergantung pada medium penyampai guna mereduksi ketajaman konflik. Melalui tulisan ini, hendak dipaparkan perilaku berinformasi masyarakat yang sedang berada dalam kondisi konflik. Tulisan berfokus pada bagaimana kemudian mereka melakukan seleksi terhadap informasi yang tidak tidak jarang berwujud desas-desus, isu, yang termanifestasi dalam kata ‘kabarnya’.

Konflik di Pesisir Kulonprogo: Paparan Wilayah Riset

Situasi konflik di kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo bermula dari perebutan lahan yang berujung pada persengketaan. Di kawasan pesisir Kulon Progo sendiri, persengketaan terjadi antara masyarakat sekitar dan pihak pemerintah yang berkolaborasi dengan beberapa perusahaan—menginisiasi perusahaan bernama Jogja Magasa Iron (JMI).

Terjadinya konflik vertikal bermula dari perbedaan pemaknaan terhadap lahan pesisir yang 30 tahun silam tandus. Bagi masyarakat asli kawasan pesisir Kulon Progo, lahan yang kini subur tidak lain merupakan bentuk perjuangan atas kondisi miskin dan diskriminasi sosial yang pernah mereka alami. Mereka menyebutnya sebagai lahan perjuangan. Sementara itu, perusahaan memaknai lahan pesisir sebagai aset bernilai ekonomi tinggi. Kemudian pemerintahan setempat melihat lahan kawasan pesisir Kulon Progo sebagai penyumbang pendapatan daerah yang akan menjadikan APBD naik secara signifikan.

Konflik vertikal yang terjadi sejak 2006 silam perlahan menggerogoti kultur kekeluargaan di kawasan pesisir Kulon Progo. Sekalipun bersifat sporadis, terdapat beberapa pihak yang kemudian menyepakati rencana penambangan. Konflik horizontal termanifestasi sebagai aksi bungkam antar warga yang berbeda pendapat. Hal tersebut sering disebut sebagai hukum sosial.

Dalam masyarakat yang sedang berada dalam konflik, beredar informasi beragam. Beberapa informasi mengarah pada dukungan akan keberadaan kegiatan penambangan. Beberapa yang lain menguatkan penolakan atas kegiatan pertambangan. Belum lagi ketika berbicara media dan kepentingan yang diusung atas isu penambangan pasir besi. Media pun turut membawa keberagaman informasi. Media melakukan wawancara terhadap warga, tetapi tidak dapat dipastikan bahwa berita yang keluar sesuai dengan perkiraan warga.

Tidak tertutup kemungkinan masuknya berbagai informasi justru menjadikan masyarakat setempat gamang akan kondisi konflik yang sebenarnya mereka alami. Masyarakat menjadi kabur akan substansi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Oleh karenanya bukan tidak mungkin beberapa dari mereka justru bersikap apatis. Beberapa yang idealis tetap pada pendirian menolak dan beberapa yang pragmatis akan terpengaruh dan menjadi sepakat akan aktivitas penambangan. Adanya dua jenis kepentingan besar dalam rencana penambangan pasir besi Kulon Progo menjadikan adanya dua sudut pandang peredaran informasi, dari sisi pro dan kontra.

(3)

menghadapi berbagai pilihan. Dalam hal ini, mereka bisa saja memilih informasi yang hendak diakses untuk dipercaya, dan sebaliknya. Tulisan ini hendak membahas berbagai pilihan dan alasan atas pengaksesan informasi oleh masyarakat yang sedang berada dalam situasi konflik tersebut. Tulisan yang berangkat dari pendekatan etnografi ini mencoba mengumpulkan data dari 24 informan dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan geografis yang berbeda. Ke-24 informan tersebut tersebar dalam kelurahan yang berbeda, namun masih dalam satu kecamatan, Panjatan.

Seperti yang terlihat dalam Gambar 1. Kawasan rencana penambangan pasir besi seluas 22 km x 1,8 km terdiri dari 3 kecamatan, Galur, Panjatan dan Wates yang mencakup 6 desa dengan luas 22km x 1,8km. Kecamatan Panjatan yang merupakan lokasi penelitian berada di antara dua kecamatan lainnya sehingga iklim perlawanan juga lebih terasa.

Gambar 1. Peta Lokasi Wilayah KK PT. JMM Indomines. Ltd (Yunianto,2009)

Perilaku Berinformasi : Tealaah Teoritis

Informasi yang beragam disertai dengan keberagaman latar belakang sosial dan geografis memungkinkan terjadinya keberagaman perilaku dalam mengakses informasi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan dalam konsep Information

Behavior. Konsep ini merangkum keseluruhan perilaku individu terhadap informasi. Information Behavior meliputi Information Seeking maupun keseluruhan dari

(4)

keseluruhan dari perilaku manusia dalam hubungannya dengan sumber dan medium dari informasi, termasuk juga dalam pencarian informasi secara aktif dan pasif, serta perihal penggunaan informasi (Wilson, 2000:49).

Gambar 2. Wilson’s 1996 Model of Information Behavior

Aspek penting dari model Wilson (1996) adalah pengakuan adanya perbedan jenis kebiasaan mencari: passive attention, passive search, active search, dan

ongoing search (Wilson, 1997:562). Ragam jenis mencari informasi tersebut

sebelumnya dikemukakan oleh Bates (1985). Dalam membuat klasifikasi, Bates (2002:4) berangkat dari Active-Passive dan Directed-Undirected. Actived-Directed atau Searching adalah ketika mereka mengetahui informasi yang mereka inginkan, secara umum mereka juga akan aktif mencari segala informasi terkait. Sementara itu,

Passive-Directed atau Monitoring cenderung memantau lingkungan untuk memperoleh informasi yang mereka inginkan.

(5)

Di saat mereka tidak mengetahui apa yang mereka inginkan, mereka akan melihat-lihat, atau disebut juga Active-undirected atau Browsing. Terakhir, adalah mereka yang terkategori ke dalam orang-orang yang tetap peduli secara pasif, atau

Being Aware atau Passive-undirected (Bates, 2002:8).

Selain terjadinya berbagai jenis perilaku mencari informasi, dalam konsep Information Behavior terdapat konteks lingkungan dan personal yang juga dapat membentuk perilaku seseorang dalam mengakses informasi. Hal demikian telah diungkapkan oleh Wilson (1981) pada model sebelumnya. Dalam model ini, Wilson (1981) memasukkan konteks munculnya kebutuhan terhadap informasi dalam suatu situasi. Di dalamnya terdapat berbagai konteks kebutuhan informasi yang di dalamnya berupa lingkungan, peran sosial dan personal (Godbold, 2006 : np). Sementara Johnson (1997) menambahkan adanya aspek demografi dan pengalaman langsung sebagai pembentuk tindakan dalam mencari informasi (dalam Case, 2007:133).

Berdasarkan pemaparan teoritis mengenai Perilaku Berinformasi, untuk melihat pola komunikasi masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi Pesisir Kulon Progo yang sedang berada dalam konflik, setidaknya terdapat empat elemen yang harus dijawab. Pertama, kebutuhan informasi masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo. Kedua, aspek sosial dan personal yang melingkupinya. Ketiga, jenis perilaku mencari informasi. Keempat, pilihan penggunaan saluran komunikasi.

Realita Kebutuhan Informasi Masyarakat dalam Kondisi Konflik

Keberagaman orientasi akan informasi terkait rencana penambangan pasir besi begitu terlihat. Berdasarkan temuan lapangan terhadap 27 informan, warga kawasan pesisir Kulon Progo cenderung tidak memiliki keinginan untuk mencari informasi terkait rencana penambangan pasir besi di kawasannya. Sekalipun demikian, mereka mengetahui beberapa informasi permukaan seperti istilah Paku

Alaman Ground (PAG) dan Jogja Magasa Iron (JMI). Kedua nama tersebut dan

istilah tambang pasir besi seringkali diucapkan dalam perbincangan, meskipun mereka tidak mengetahui lebih jauh. Seperti yang diceritakan oleh beberapa informan beikut:

Saya tidak pernah mencari-cari tau. Saya juga tidak pernah tanya-tanya karena sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. (BR, warga Garongan 3. 6 Maret 2012. Di Acara Tanam Perdana Garongan)

Kalau orang tua seperti saya ini cuma mendukung masyarakat sini, mbak. Ya tanah Paku Alam katanya ada di sini. Tapi saya tidak percaya, wong dari dulu yang ngruwat (merawat) nenek moyang kok diaku-aku.”(SR, warga Bugel 1. 9 Maret 2012. Merumput di ladang)

(6)

melalui demonstrasi dan pemasangan papan menolak rencana penambangan. Seperti yang diceritakan oleh NR, seorang Janda warga Garongan 3 berikut:

Waktu jaman masih rusuh-rusuh dulu, ya, saya sering baca-baca berita di koran dan ikut perkumpulan PPLP. Di perkumpulan itu kita jadi tau. Ya pengen tau, mbak, makanya baca koran. Sekarang sudah malas. (NR, janda Garongan 3. 6 Maret 2012. Di Acara Tanam Perdana Garongan)

Secara umum, masyarakat kecamatan Panjatan apatis terhadap informasi terkait rencana penambangan pasir besi di kawasannya. Mereka tidak ingin mendengarkan berbagai desas-desus kabar, kecuali dari PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pantai):

Nek kulo ngertose naming nani. Yo mung manut, Mbak. Pokokke ra entuk ditambang, Mbak. Yo wes pokokke aku ora arep ngrungokke kono-kono. (Kalau saya taunya cuma bertani. Jadi cuma manut, Mbak. Pokoknya tidak boleh kalau ditambang, Mbak. Ya sudah pokoknya aku tidak akan mendengarkan orang luar—kecuali PPLP.) (IS, warga Bugel 1. 9 Maret 2012. .membuat benih cabai di ladang)

Sementara itu, beberapa informan mengetahui kebutuhannya terhadap informasi terkait rencana penambangan di kawasan pesisir Kulon Progo. Mereka selalu melakukan pemantauan untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat.

Ya saya dan teman-teman pengurus selalu memantau perkembangan dari media dan kawan-kawan dari luar juga. (SM, tokoh kaum laki-laki dan kader PPLP. 4 Maret 2012. Gotong Royong membuat PAUD di Bugel 1)

Saya harus selalu memantau perkembangan yang ada karena tugas saya menyampaikan informasi kepada ibu-ibu di sini. untuk menghindari konflik antar warga karena hasutan dari pihak-pihak tidak bertanggung-jawab. (IM, tokoh kaum perempuan dan pengurus inti PPLP. 4 Maret 2012. Di rumah, Bugel 2)

Selain perkembangan informasi terkait rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo, IM dan beberapa informan lain juga menghendaki informasi yang dapat memberikan solusi. Keinginan atas informasi tersebut biasanya karena informan ingin melengkapi informasi yang telah ia dapatkan sebelumnya. Seperti simpang siur informasi kandungan pasir pesisir Kulon Progo yang dialami IM.

Saya pernah benar-benar ingin mencari informasi mengenai unsur yang terkandung di pasir sini. Saya penasaran dan ingin membuktikan bahwa hasil tambang di sini malah bisa digunakan untuk perang. Nanti kan malah bisa dipake untuk ngebom sini. Ketika itu saya sampai Tanya ke Seno, orang JMI dan orang ESDM Kulon Progo. (IM, tokoh kaum perempuan dan pengurus inti PPLP. 4 Maret 2012. Di rumah, Bugel 2)

(7)

mempertahankan lahan pertanian mereka. Peran tersebut membentuk kelas sosial yang selanjutnya menciptakan kebutuhan akan informasi. Artinya, kebutuhan informasi terkait rencana penambangan di pesisir Kulon Progo dapat dipengaruhi oleh peran informan dalam perjuangan mempertahankan lahan.

Pemimpin Baru dalam Kondisi Konflik

Sekitar 30 tahun silam, lahan pesisir Kulon Progo adalah lahan kritis. Kondisi yang serba kurang, membuat tetangga desa memanggil mereka Wong Cubung. Tidak banyak warga yang mampu menjangkau pendidikan hingga SMP karena penghasilan utama mereka hasil dari menanam kentang dan ketela. Akan tetapi, kondisi sulit membuat masyarakat pesisir Kulon Progo tidak malas. Mereka mencari tambahan penghasilan dari membuat garam dan mencari daun pandan di desa tetangga. Seperti yang diceritakan IM, tokoh kaum perempuan, “Saya masih ingat, Mbak, dulu saya dibiayaisekolah orang tua saya dari nyari daun pandan di sana. Di tetangga desa.”

Kebiasaan para kaum bapak berkumpul setiap malam untuk menemukan jalan keluar dari kemiskinan menemui hasil. Semenjak penemuan tanaman cabai yang bisa tumbuh di lahan tersebut, para kaum bapak semakin rajin rapat dan membuat rencana tentang lahan pertanian. Para pemuda yang mulanya kerja sebagai TKI lantas pulang kampung untuk mengolah lahan mereka. Rumah-rumah bambu berubah menjadi tembok dengan ketersediaan Mandi Cuci Kakus (MCK) di masing-masing rumah.

Kebahagiaan warga pesisir lantaran keberhasilan atas perjuangan mengolah lahan selama puluhan tahun tidak bertahan terlalu lama. Warga mulai terusik dengan adanya kabar rencana penambangan pasir besi di daerahnya. Terlebih rencana lokasi penambangan sepanjang 22 kilometer dengan lebar 1,8 kilometer. Bukan hanya lahan yang tergusur, melainkan juga rumah-rumah mereka.

Pembentukan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) sebagai reaksi awal untuk memperjuangkan tanah bebas dari pengerukan oleh alat-alat berat. Kepengurusan pun dibentuk secara spontan. Keterdesakan waktu membuat orang-orang yang memahami persoalan rencana penambangan dan berani untuk mengambil posisi di depan menjadi pengurus inti PPLP.

Salah satu informan yang menjadi pengurus inti PPLP adalah WD, warga Garongan 2. Selain muda, ia juga memiliki jaringan yang luas. Pergaulan yang dijalinnya tidak sekadar dengan wartawan dan akademisi, namun juga gerakan massa dan individu-individu tertentu dengan ketertarikan isu pada HAM. Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi warga untuk memilih individu-individu tersebut sebagai pemimpin pergerakan mereka.

(8)

Biasanya kami ada informasi apa, kami diskusikan dengan kawan-kawan. Biasanya dengan WD yang punya jaringan banyak di luar. Enak diajak diskusi. Ditambah teman-teman akademik yang sering main ke sini. (KR, tokoh masyarakat dan ketua PPLP. 4 Maret 2012)

Semenjak isu rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo mengemuka, kepemimpinan masyarakat kawasan tersebut seolah beralih pada pengurus inti PPLP. Masyarakat menyerahkan semua persoalan terkait rencana penambangan pada PPLP. Dengan kata lain, muncul pemimpin baru untuk perjuangan mempertahankan tanah. Bahkan, salah satu desa di kawasan rencana penambangan tersebut memutuskan untuk tidak memiliki Lurah sebagai pemimpin desanya.

Ketiadaan Lurah membuat opini dari PPLP menguat. Tidak ada rasa khawatir dari masyarakat setempat untuk bersikap tegas menolak rencana penambangan. Opini yang kuat beredar di tengah masyarakat tidak lepas dari peran para kader PPLP. Sebagai kader, beberapa informan mengaku bertugas menyampaikan informasi mendesak pada masyarakat luas. Selain itu, mereka juga kerap menjadi teman diskusi Ketua dan Koordinator Lapangan PPLP untuk mendapatkan solusi atas perkembangan yang ada.

Saya kan termasuk perintis. Selain itu ada kader-kader untuk melanjutkan perjuangan kita. Mereka bertugas menyampaikan informasi dari saya. Kalau nanti saya dibel sama wartawan, pak besok konsultasi publik, gitu, nanti saya terus ngubungin kader-kader untuk ngomongin, gimana sikap kita yang diambil selanjutnya. Ya, koordinasi juga dengan desa-desa lainnya.

Seorang informan yang merupakan salah satu kader PPLP mengaku bahwa dirinya juga beberapa kali menjadi narasumber dalam diskusi akademis. Selain itu, intensitasnya mengakses informasi terkait rencana penambangan juga cukup tinggi sehingga membuatnya mampu berwacana lebih luas. Seperti penuturan SM, tokoh kaum laki-laki yang juga kader PPLP:

…. Sultan Ground itu tanah-tanah yang dikuasai swapraya swapraja yang dikuasai Sultan. JMI itu investor lokal yang di dalamnya terdiri dari orag-orang Kraton dan mau menambang pasir di kawasan pesisir ini. Tambang pasir yang terbuka akan memakan tanah seluas 2985 hektar. Selain kawasan sumber kehidupan sebagai petani hilang, pemukiman kami dimungkinkan akan tergusur. Penggusuran itu menyebabkan pengangguran meningkat. Padahal, berdasarkan penelitian dosen Sosiologi UGM itu, pertanian lahan pesisir telah mampu menekan arus urbanisasi. (SM, tokoh kaum laki-laki dan kader PPLP. 4 Maret 2012)

(9)

pengurus PPLP, pihak yang dianggap memahami pengambilan langkah untuk penggagalan rencana penambangan.

Kalau orang sekolah itu, kan, sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. Ya,kalau saya itu murid dan murid kan cuma manut gurunya. Ya, kalau di sini gurunya PPLP itu. (GN, warga Garongan 1. 6 Maret 2012, di acara Tanam Perdana)

Di PPLP cuma jadi suruhan paling bawah. Tinggal nunggu komando. Misal mau perang, serbu, ya tinggal serbu. Saya tidak pernah nanya-nanya. Nanti kalau ada apa-apa pasti dikasih tau sama pengurus PPLP. (SW, warga Garongan 2. 6 Maret 2012)

Dalam kondisi konflik, pergeseran letak geografis dapat memengaruhi mobilitas sosial seseorang dalam masyarakat yang dapat membentuk sikapnya. Seperti yang diceritakan oleh YD pada 12 Februari 2012, warga Garongan 2. Informan tersebut sebelum tahun 2008 tinggal di Garongan Utara. Di dusun tersebut, sikap menolak terhadap rencana penambangan tidak begitu mengemuka. YD yang merasa memiliki lahan di kawasan pesisir pun berpindah tempat tinggal di Garongan 2. Lingkungan tersebut turut membentuk sikap YD untuk ikut mempertahankan lahan.

Dulu saya tinggal di Garongan Utara, tapi pindah ke sini karena mau ikut berjuang. Di sana agak sepi, mbak. Ya kan saya juga punya lahan di sini meskipun hanya kecil. Saya selalu ikut aksi, mbak. Dulu pernah ikut yang sampai bertrek-trek itu. (YD, warga Garongan 2. 12 Febuari 2012. Memancing di pantai)

Lain halnya dengan pengakuan NS, warga Bugel Trans. Ia tidak mengetahui berbagai kabar tentang rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Bahkan, ia tidak keberatan jika rencana penambangan positif dilaksanakan. Hanya saja, ia mensyaratkan uang ganti rugi. Ia pun masih bingung dengan kabar mengenai rencana penambangan tersebut. berikut penuturannya:

Ya dengar dengar mau ditambang. Ya ada yang bilang mau ditambang. Ada yang bilang tidak. Katanya cuma sampai depan situ. Yang sini—daerah trans—enggak. Saya juga tidak pengen mencari tahu lagi. Ngapain, mbak. Suami saya juga gitu kok. Ya bertani, jualan gini, kalau ditambang ya terserah, nanti kami pulang ke rumah orang tua, Bugel yang sana. (NS. Warga Bugel Trans. 9 Maret 2012, di warung milik informan)

Secara geografis, lokasi daerah trans cukup jauh dengan perkampungan. Masyarakat kawasan trans pun menjadi jauh dari tersentuh informasi terkait rencana penambangan. Bahkan, tidak banyak masyarakat sekitar yang mengetahui adanya PPLP. Dalam kasus ini memperlihatkan bahwa sekat geografis dapat membentuk sekat mobilitas sosial.

(10)

baru berdasarkan pada porsi keterlibatan di PPLP. Berdasarkan 24 informan, setidaknya terdapat tiga bagian masyarakat. Pertama, Opinion Leader yang berperan sebagai pemuka informasi. Kedua, Follower Aktif yang selalu melakukan pembaruan informasi terkait rencana penambangan. Ketiga, Follower yang merupakan bagian terbesar di kawasan rencana penambangan.

Perbedaan kelas sosial di tengah masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo berdasarkan pada peran mempertahankan lahan. Munculnya berbagai peran tidak lepas dari pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh warga setempat. Minimnya pendidikan menjadikan tingkat pendidikan kurang berperan dalam membentuk sikap. Rata-rata pendidikan terakhir yang dimiliki para petani pesisir adalah SMA. Pada akhirnya, pengalaman yang dimiliki setiap petani pesisir sebagai dasar pembagian tugas.

Perilaku Berinformasi dan Kelompok Sosial

Berdasarkan temuan lapangan atas 24 informan, masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo memiliki keberagaman sikap terhadap informasi terkait rencana penambangan. Beberapa informan mengaku sudah tidak peduli dengan berbagai berita yang beredar sehingga memilih diam dan menunggu sikap serentak dari masyarakat sekitar. Beberapa informan lain mengaku kadangkala mencari informasi terbaru terkait perkembangan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo. Kemudian tiga informan lain mengaku harus selalu memperbarui informasi terkait perkembangan rencana penambangan.

Bagi para informan yang mengaku tidak lagi peduli dengan berbagai kabar rencana penambangan pasir besi, yang terpenting adalah tetap bertani. Apa pun yang terjadi dan kabar macam apa pun yang beredar, bagi mereka, tetap bertani adalah kepentingan utama. Bahkan SR, seorang kaum ibu warga Bugel 1 mengaku acap tidak mengacuhkan kabar perihal pertambangan lantaran ia hanya ingin terus bertani. Meskipun adik dari informan tersebut termasuk ke dalam pihak yang sepakat dengan rencana penambangan, dominasi sikap penolakan atas rencana penambangan di tempat tinggalnya membuat SR tidak mau menerima informasi dari luar.

Pokoknya saya tidak akan dengar sana-sana, Mbak. Saya hanya ingin tetap bertani di sini. Saya hidup dari ladang ini. Saya bisa menyekolahkan anak, ya, dari bertani seperti ini. (SR. Warga Bugel 3. 9 Maret 2012, panen sawi di ladang)

(11)

Ya saya ngikuti gimana warga sini, Mbak. Pokoknya membantu warga sini mempertahankan lahan ini. (SY, warga Bugel 2. 9 Maret 2012 ketika merumput di ladang)

Tentang perkembangan pertambangan. Kalau menurut saya yang penting dari PPLP, persatuan kelompok tani. Karena pergerakan kelompok tani jelas menolak tambang. (ST, warga Garongan 2. 6 Maret 2012, duduk bersantai dengan beberapa warga lainnya)

Meskipun kelompok masyarakat dalam kelas sosial Follower terlihat tidak terlalu peduli dengan berbagai kabar terkait rencana penambangan, mereka tetap mengikuti perkembangan informasi. Perasaan senasib membuat mereka merasa saling terikat. Adanya public engagement dengan world engagement isu rencana penambangan pasir besi yang disertai dengan sikap untuk bersama menolak, membuat individu-individu yang ada dalam masyarakat konflik tersebut harus saling terhubung. Salah satunya adalah dengan mengikuti perkembangan isu sekalipun hanya sekadar memantau.

Ya, saya mengikuti perkembangan kondisi di sini dari acara seperti ini. Terus nanti kalau habis ronda, biasanya pada membicarakan, terus saya ikut mendengarkan saja. Tapi tidak pernah nanya-nanya, wong sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. Ya saya Cuma bisa manthuk-manhtuk—mengiyakan—saja. Wong saya tidak tau apa-apa. Tau saya lahan mau direbut, aku ra iso nyambut gawe eneh—aku tidak bisa bekerja lagi. Pokoknya kalau disuruh kumpul, ya kumpul. (GN, warga Garongan 3. 6 Maret 2012 di Acara Tanam Perdana Garongan)

Namanya juga bermasyarakat, mbak, jadi ya mengikuti. Saya mengikuti cuma dari tetangga. Kalau lagi mencangkul di lahan, ya terus ngobrol. Kalau tidak ya kalau pas ada pengajian gini. Tapi saya tidak pernah ikut kumpul-kumpul. Saya taunya cuma bertani.” (BR, warga Garongan 1. 6 Maret 2012 di Acara Tanam Perdana Garongan)

Beberapa informan lain merasa perlu memperbarui informasi terkait rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Sebagai pengurus paguyuban yang diikuti oleh hampir seluruh petani kawasan pesisir Kulon Progo, mereka merasa harus aktif mencari perkembangan informasi. Meskipun demikian, informan tersebut mencari informasi secara berkala dan tidak menentu, bahkan tidak memiliki sasaran informasi spesifik.

Sebagai kader PPLP harus tau berbagai informasi menyangkut tambang. Ya, kadang baca-baca koran atau ngomong-ngomong sama KR. Tapi saya tidak pernah menargetkan. (SM, tokoh kaum laki-laki dan Kader PPLP. 4 Maret 2012, gotong royong membuat PAUD di dusun Bugel 1)

(12)

Ya kadang berdiskusi dan nanya-nanya tentang perkembangan dan pergerakan selanjutnya, nanti terus disampaikan kepada masyarakat luas. Ya kalau masalah menyikapi dan perkembangan tambang kita melalui forum-forum di masyarakat ini ada arisan RT ada Yasinan dan segala macam kegiatan. (SM, tokoh kaum laki-laki dan Kader PPLP. 4 Maret 2012, gotong royong membuat PAUD di dusun Bugel 1)

Kecenderungan informan mencari informasi ketika eskalasi konflik sedang meningkat, seperti ketika pada tahun 2008 hingga 2010. Mereka mengaku secara rutin membaca koran untuk melihat perang pendapat yang sedang terjadi. Mereka juga mengamati pemberitaan media mengenai warga sekitar rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo.

Kalau dulu, setiap pagi saya beli koran, sekalian ke pasar. Dulu kan masih sering diberitakan sama media. ya cuma baca-baca aja. Kalau akhir-akhir ini aku jarang beli koran. paling cuma buka-buka internet atau ikut ngobrol begini sama tamu. (AR, tokoh pemuda, warga Garongan 2. 4 Maret 2012, di Gerbong Revolusi, Garongan 2)

Kalau dulu waktu masih ribut-ribut itu setiap pagi saya ke rumahnya Kang WD, baca-baca koran. Saya sukanya baca Pidana itu, lho. Kalau sekarang sudah malas. (NR, warga Garongan 3. 6 Maret 2012, di Acara Tanam Perdana Garongan)

Ketika konflik mulai menurun, yakni pada akhir 2011 hingga 2012, mereka mengaku telah lelah. Mereka kemudian memilih untuk menunggu kabar dari para pengurus yang memang telah mereka percayai sebagai panutan dalam perjuangan mempertahankan lahan. Meskipun demikian, mereka mengaku akan selalu siap jika harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pertahanan lahan pesisir sebagai lahan pertanian. Demikian yang diungkapkan oleh GN, warga Garongan 1,

Ya, saya lebih banyak di lahan jadi tidak sempat kemana-mana. Tapi, kalau suatu waktu saya dibutuhkan, saya akan selalu siap karena saya tetap tidak setuju kalau daerah ini jadi ditambang. (GN, warga Garongan 1. 6 Maret 2012, di Acara Tanam Perdana Garongan)

Meskipun terdapat kecenderungan bahwa informan secara umum sekadar memantau secara pasif, tetapi terdapat informan yang mengaku pernah mencari informasi secara aktif dan spesifik. Mereka secara konsisten—hingga penelitian ini usai—memperbarui informasi. Ketika konflik sedang menguat, mereka akan melakukan pencarian informasi secara intens terkait suatu isu. Seperti yang dilakukan IM saat hendak perang pendapat dengan Pemda Kulon Progo. Ia merasa harus mengetahui terlebih dahulu kandungan bijih besi tersebut. Untuk itu, ia mengumpulkan beberapa informasi dari koran, pamflet yang diberikan oleh JMI, hingga mengingat mata pelajaran ketika SMA. Informan ini memiliki pendidikan yang cukup tinggi, yakni Diploma 2. Selain IM, yang merupakan pengurus inti PPLP sekaligus tokoh kaum perempuan, WD juga melakukan hal yang sama.

(13)

masing-masing individu dan bergerak sesuai pembagian peran tersebut. Kultur sosial tentang gotong-royong merupakan salah satu elemen utama terciptanya pola kerja yang sistemik tersebut. Pun, usaha ini didukung dengan kepercayaan yang kuat satu sama lain, yang terpenting dari kedua hal tersebut adalah adanya kesamaan kepentingan atas lahan pesisir sebagai pertanian sebagai modal utama kerja mereka.

Media Sosial sebagai Medium Utama

Berdasarkan hasil temuan lapangan, 27 informan dalam penelitian ini menyatakan jarang mengakses media massa. Terlebih, menggunakan media massa sebagai sumber informasi berkaitan dengan rencana penambangan pasir besi yang tengah menemui sengketa. Bagi sebagian dari mereka, keterbatasan waktu untuk membaca koran merupakan salah satu alasan utama. Bagi sebagian yang lain, mereka terhalang keterbatasan daya beli. Akan tetapi, tidak jarang informan yang mengungkapkan bahwa pemberitaan di media seringkali membuat mereka semakin bingung dengan kondisi konflik yang sedang mereka lalui. Oleh karena itu, seringkali saluran komunikasi interpersonal menjadi pilihan utama masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo dalam memperbarui informasi mereka.

Sebagian besar masyarakat kawasan pesisir Kulon Progo bermata pencaharian sebagai petani. Keseharian mereka pun tidak lepas dari ladang. Para informan mengaku acap bertukar informasi terkait perkembangan rencana penambangan pasir besi ketika sedang berladang. Seperti yang diceritakan SW berikut:

Biasanya kalau semalam habis ada rapat, nanti terus pada ngomong-ngomong di ladang. Kalau enggak, bisa saja pas leyeh-leyeh—istirahat seusai berladang—begini. (SW, warga Garongan 2. 6 Maret 2012 ketika duduk-duduk bersama warga lain)

Ketika peneliti berbincang dengan SW, beberapa warga ikut menimpali pembicaraan kami mengenai rencana penambangan. Mereka saling berpendapat mengenai keresahan masing-masing akan terjadinya perang besar. Perbincangan pun menyentuh pada kekecewaan dan ketidakpedulian mereka terhadap pemberitaan di media massa terkait konflik yang sedang mereka hadapi.

Wah pokokke nek baca koran lihat berita itu, Mbak, marai mangkel. Kan, sering dibilang kita sudah sepakat untuk ditambang. Kalau media kadang membesar-besarkan. Media itu kadang g dapat dipercaya. (ST, warga Garongan 2. 6 Maret 2012, duduk bersantai dengan beberapa warga lain)

(14)

Perbincangan terkait rencana penambangan tidak hanya dilakukan oleh para informan ketika berladang maupun bersosialisasi dengan tetangga. Di ruang itulah, mereka merasa bebas menanyakan perkembangan informasi terkait rencana penambangan. Di ruang tersebut, KR, tokoh masyarakat setempat, mengaku dapat terjadi diskusi untuk melakukan aksi. Bahkan, beberapa pihak menyatakan, informasi mengenai konflik horizontal bisa mereka dapatkan di forum tersebut. Melalui forum-forum itu, mereka justru dapat menemukan solusi karena terjadi pertukaran pendapat antar kelas sosial. Salah satu ruang yang pernah cukup aktif membicarakan berbagai informasi terkait rencana penambangan adalah poskamling. Akan tetapi, belakangan ini, perbincangan di malam hari seusai ronda mulai menurun.

Ya dulu waktu masih awal-awal itu Poskamling udah seperti tempat rapat. Kita bisa diskusi dengan sesama teman ronda juga. Kalau sekarang agak jarang. Ya karena sekarang ini sedang baik-baik saja, jadi hanya pertemuan internal yang tetap harus berjalan (KR, tokoh masyarakat. 9 Maret 2012, di rumah, Bugel 2)

Karakter saluran interpersonal yang dialogis menjadikan masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi dapat menjangkaunya. Ketika datang informasi yang tidak dikehendaki, informan dapat menyangkalnya segera. Saling sangkal pun seringkali terjadi. Pada akhirnya mereka hanya mengembalikan isu tersebut pada keputusan yang diambil PPLP. Berdasarkan pengalamannya, perbincangan antarkaum ibu seringkali lelucon belaka. Seperti yang diceritakan oleh BK, berikut:

Kalau ibu-ibu biasanya cuma katanya katanya, Mbak. Ada yang bilang katanya mau ditambang tahun sekian tapi ya enggak percaya wong pengurusnya (PPLP) masih tenang-tenang saja, kok. Ya cuma pada ketawa, mbak. Daripada stress mikirin omongan-omongan yang tidak jelas. (BK, warga Bugel 2. 4 Maret 2012, di rumah, Bugel 2)

Perbincangan antarwarga sembari beraktivitas sehari-hari sudah menjadi rutinitas. Himpitan konflik vertikal maupun horizontal membuat mereka semakin merapatkan diri dengan sesama tetangga. Mereka mengakses informasi di perkumpulan nonformal hanya sekadar untuk saling melengkapi meski tanpa kesengajaan dan sistem baku yang mengatur. Melalui berbagai perkumpulan non-formal tersebut, suatu informasi akan mendapat respon relatif cepat. Masyarakat akan relatif merespon berbagai informasi yang disampaikan dari dalam lingkungan kawasan pesisir Kulon Progo. Bagi masyarakat setempat, isu yang tengah beredar di tengah masyarakat patut diikuti.

(15)

Kalau warga sini memang tahunya cuma bertani. Makanya, kalau sampai ada yang berani mengusik pertanian kami, kami akan bersatu untuk melawan siapapun itu. (WD, tokoh masyarakat. 28 Febuari 2012, di rumah, Garongan 2)

Informasi yang diterima oleh warga sekitar seringkali berdifat komando dan klarifikasi atas isu mengenai pelaksanaan rencana penambangan. Masyarakat sekitar minim informasi mengenai duduk perkara rencana penambangan. Mereka sekadar mengetahui bahwa lahannya hendak direbut, dan karena itu harus mempertahankannya. Tidak jarang informan yang kebingungan ketika peneliti mengajaknya berbincang mengenai JMI dan Tanah Paku Alaman. Namun, ketika perbincangan mengarah pada lahan pesisir, dengan cepat dan tegas jawaban mereka

bernada hampir sama, “Sumber kehidupan”.

Ya kabar e mau ditambang. Ya semoga tidak jadi. Katanya Tanah Paku Alam itu ada di sini, tapi tidak tau yang mana. Saya taunya cuma pathok-pathok—penanda batas tanah. Dulu cuma pernah tau ada orang-orang berseragam bikin pathok. Ya.., lahan ini untuk bertani untuk menghidupi keluarga, mbak. (IS, warga Bugel 1. 9 Maret 2012, membuat benih cabai) Wah, saya tidak tahu kalau soal Tanah Paku Alaman. Saya tidak mau tahu, mbak. Ya, setau saya di sini mau ditambang, tapi tetep tidak boleh. Kalau saya tetap hanya membantu warga sini, mbak. Tetap tidak boleh kalau ada tambang.

Berdasarkan pengamatan lapangan, terjadi fluktuasi pengaksesan informasi oleh masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo. Masyarakat akan mengakses informasi ketika terjadi sebuah forum pelontaran opini. Ketika eskalasi konflik sedang menurun, intensitas forum ikut mereda. Sama halnya, ketika eskalasi konflik sedang meningkat, frekuensi turut meningkat karena semakin banyak informasi yang bertebaran dan banyak hal yang ingin mereka perjelas. Artinya, peredaran opini sedikit banyak bergantung pada eskalasi konflik yang terjadi.

Begitu juga dengan penggunaan media massa. Sekalipun media massa jarang dikonsumsi oleh masayrakat sekitar untuk memperbarui informasi terkait rencana penambangan, YD mengaku bahwa ia pernah menggunakan koran untuk memperbarui informasi ketika konflik rencana penambangan masih memanas, yakni pada tahun 2008 hingga 2010.

Dulu waktu masih ribut-ribut saya baca koran ke rumah WD. Tapi sekarang sudah jarang. Media ya cuma gitu-gitu aja. Jadi sok—kadang—tertawa aja kalau liat berita-berita tentang sini yang tidak bener. Mosok 40 trek dibilang 3 trek. Rak yo lucu, mbak.

(16)

Secara umum masyarakat tidak menggunakan media massa sebagai sumber informasi. Seringkali media massa justru membuat informasi semakin simpang-siur. Seleksi pun terjadi tidak hanya pada informasi yang datang, tetapi juga pada penggunaan medium. Bagi mereka, kesimpang-siuran informasi yang terjadi di media massa tidak layak dipusingkan. Berbagai informasi yang beredar di tengah masyarakat acap menjadi bahan pembicaraan yang justru tanpa sengaja memperbarui informasi mereka. Padahal, belum tentu informasi tersebut dapat mengurangi ketidakpastian.

Komunikasi Sosial dalam Masyarakat konflik

Masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo relatif jarang menggunakan media massa sebagai sumber informasi. Waktu yang singkat selama mereka bertemu di ladang menuntut mereka untuk saling berbagi informasi di berbagai tempat. Hal ini diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah aspirasi. Jika ditilik dari terminologi saluran komunikasi Rogers, medium yang digunakan para informan adalah saluran interpersonal. Rogers (1971:252) menerangkan bahwa interpersonal channels merupakan saluran komunikasi yang melibatkan tatap muka antara dua atau lebih individu. Bagi masyarakat pesisir Kulon Progo, penggunaan saluran interpersonal tersebut dapat membantu mereka dalam memperkuat keterikatan publik. Dengan kata lain, para pemuka informasi setempat mengikat masyarakat setempat dengan satu opini melalui informasi darinya.

Pengikatan opini oleh para Opinion Leader merupakan bentuk penguatan hubungan kekeluargaan. Sekalipun demikian, pengikatan opini tidak mampu mengakomodir golongan masyarakat yang sepakat dengan rencana penambangan, terlebih bukan dari golongan petani. Bagi petani pesisir Kulon Progo, adanya rencana penambangan di kawasannya merupakan ancaman sosial. Mereka merasakan degradasi kekerabatan antar tetangga. Hal tersebut memunculkan perasaan tidak pasti dan tidak aman.

Menurut Williams (2009:22), masyarakat yang sedang berada dalam kondisi konflik membutuhkan perkembangan informasi dengan cepat. Demikian juga yang terjadi di kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo. Sebagai masyarakat pedesaan yang masih memegang erat kultur kebersamaan, informasi dari lingkungannya merupakan salah satu sumber informasi yang cepat beredar. Untuk menjaga perederan informasi, dibutuhkan keterikatan satu sama lain. keterikatan tersebut dapat dicapai dengan adanya integrasi sosial. Menurut Susanto (1980:18), integrasi sosial dapat memberikan rasa aman—khususnya dalam konteks masyarakat yang sedang berada dalam kondisi konflik.

(17)

Media sosial menggunakan komunikasi tatap muka dalam bentuk komunikasi antarpersonal maupun komunikasi kelompok. Di sini proses keterlibatan anggota menjadi sangat penting (Oepen, 1988:88). Upaya penyebaran informasi yang disampaikan melalui media yang ada bagi setiap masyarakat adalah berbeda-beda karena struktur dan sistem masyarakat juga berbeda. Bagi masyarakat yang memiliki struktur dan sistem sosial majemuk, penyebaran informasi melalui media massa masih memerlukan upaya dengan media tradisional yang ada dalam masyarakatnya (Rogers, 1992:165).

Media tradisional tersebut, yang dalam pembahasan Oepen (1988) disebut sebagai bentuk dari media sosial, dimaknai oleh Rogers (1971) sebagai saluran interpersonal. Menurut Rogers (1971:253), saluran interpersonal memiliki efektivitas yang lebih besar dalam menghadapi perlawanan. Melalui saluran interpersonal dapat terjadi pertukaran ide karena penerima bisa secara nyaman melakukan klarifikasi maupun menambahkan informasi. Karakter dari saluran interpersonal ini kadangkala memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengatasi rintangan sosial dan psikologi dari seleksi, tanggapan, dan ingatan atas kegamblangan media massa.

Bagi masyarakat kawasan pesisir Kulon Progo, kegamblangan media massa seringkali menimbulkan kekecewaan dan kebingungan. Menurut mereka, pemberitaan di media massa seringkali tidak sesuai dengan realitas yang mereka hadapi. Mereka pun bingung karena kabar dalam media massa belum beredar di tengah masyarakat sekitar. Dengan kata lain, kadangkala informasi dari media massa justru menjadikan persepsi masyrakat relatif kacau atas kejadian sekitar, terutama mengenai isu konflik rencana penambangan di kawasannya.

Dalam konteks masyarakat pedesaan yang sedang berada dalam situasi konflik, komunikasi sosial menjadi penting. Komunikasi sosial tersebut seringkali diakomodir melalui media sosial dan melibatkan individu lain dalam lingkup daerahnya. Dengan demikian, akan memperkuat ikatan dalam masyarakat. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan media massa turut berperan secara masif dalam penyebaran isu terkait rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo.

Bagi masyarakat kawasan pesisir Kulon Progo, media sosial memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai ruang aman. Masyarakat yang sedang berda dalam kondisi konflik membutuhkan rasa aman. Perasaan aman akan muncul ketika mereka mengetahui dan meyakini kebersamaan akan selalu membersamai dalam menghadapi segala kemungkinan buruh karena konflik yang sedang terjadi. Untuk merasakan keberadaan satu sama lain, forum nonformal merupakan salah satu pilihan. Mereka akan memiliki kebersamaan sikap yang berangkat dari opini yang sedang mengemuka. Kesamaan dan kebersamaan bagi mereka akan mengurangi rasa tidak aman.

Kedua, sebagai ruang klarifikasi terpaan media massa. Seperti yang

(18)

media massa seringkali menjadi bahan perbincangan, sekaligus kekhawatiran. Namun, segala risau akan pemberitaan tersebut dapat tereduksi dengan adanya forum nonformal yang mereka bentuk.

Peran Sosial dalam Perilaku Berinformasi

Petani kawasan pesisir Kulon Progo cenderung menggunakan saluran interpersonal dalam memperbarui informasi terkait rencana penambangan pasir besi. Penggunaan saluran tersebut melibatkan lingkungan sosial mereka sehingga menciptakan keterhubungan informasi untuk penguatan opini setempat. Dengan kata lain, petani pesisir Kulon Progo berada pada lingkaran komunikasi sosial jika akses informasi menyangkut rencana penambangan pasir besi. Meskipun demikian, mereka memiliki perbedaan perilaku dalam pengaksesan informasi pada level kelas sosial.

Berdasarkan pemaparan hasil temuan lapangan sebelumnya, terdapat tiga jenis perilaku dalam mencari informasi. Pertama, para informan yang sekadar secara pasif menunggu datangnya informasi karena mereka tidak mengetahui informasi yang dikehendaki. Mereka cenderung sebatas mengetahui di lahan mereka aka nada kegiatan penambangan. Bates (1985) dalam ‘Model Pencarian Informasi’-nya menyebut jenis perilaku tersebut dengan Being Aware, yakni peduli secara pasif dan tidak terarah. Kedua, informan yang mencari informasi secara acak. Perilaku tersebut disebut Bates (1985) dengan Browsing. Mereka aktif mencari tahu perkembangan rencana penambangan untuk memenuhi kebutuhannya terhadap informasi, akan tetapi tidak spesifik dan terarah. Ketiga, informan yang melakukan pencarian informasi secara terarah untuk melengkapi pengetahuan yang telah didapat sebelumnya. Perilaku ini disebut Bates (1985) dengan Searching, yakni mencari informasi secara aktif dan terarah atau spesifik.

Perbedaan perilaku para informan lantaran mereka berasal dari kelas sosial yang berbeda. Menilik kembali model ‘Perilaku Berinformasi’ Wilson (1999) bahwa keberagaman jenis perilaku mencari informasi dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan personal. Berdasarkan temuan lapangan, peran sosial turut membentuk perilaku informan dalam mencari informasi. Korelasi tersebut berangkat dari pengalaman dan pengetahuan informan terkait isu rencana penambangan pasir besi. Kelompok sosial Opinion Leader mampu berperilaku hingga pada tahapan searching karena mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai sebelumnya sehingga kadangkala mereka memerlukan informasi secara spesifik sebagai pelengkap. Meskipun, kadangkala mereka dapat saja berperilaku browsing, laiknya kelas sosial Follower aktif. Mereka secara aktif mencari informasi sekalipun tidak terarah dan tidak spesifik. Kemudian, hampir seluruh petani pesisir Kulon Progo yang tidak termasuk dalam pengurus PPLP berperilaku being aware dalam pencarian informasi terkait rencana penambangan pasir besi.

(19)

informasi secara terarah. Kedua informan memiliki pengalaman berelasi dengan berbagai pihak luar. Tingginya intensitas interaksi dengan pihak luar menjadikan mereka lebih berpengetahuan dibandingkan informan lain. Mereka pun menjadi lebih tahu mengenai apa yang hendak dicarinya. Seperti halnya yang diungkapkan Johnson (1997), tingkat pengetahuan dapat membawa seseorang pada suatu keputusan tindakan dalam mencari informasi. Oleh karena itu, dalam mencari informasi orang kerap kali mempertimbangkan dan dipengaruhi oleh pengalaman pribadi. Seseorang membutuhkan pengalaman dalam jaringan sosial untuk mendapatkan sebuah kebutuhan informasi.

Kesimpulan

Kondisi konflik di kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo membawa masyarakat dalam kondisi tidak pasti. Ketidakpastian tersebut hendaknya direduksi dengan informasi. Namun, masyarakat kawasan pesisir Kulon Progo acap menerima informasi dari berbagai saluran. Tidak jarang keberagaman saluran informasi tersebut, membawa keberagaman substansi informasi. Dalam lingkaran keberagaman informasi, masyarakat pesisir yang sedang berada dalam situasi konflik tersebut harus memilih. Kecenderungan yang terjadi ialah, mereka menyeleksi saluran yang membawa informasi. Informasi yang berasal dari lingkungan sosial mereka menjadi pilihan untuk diserap. Sementara, informasi yang berasal dari media massa, menjadi bahan perbincangan di lingkungan sosialnya.

Berdasarkan hasil penelitian di kawasan masyarakat rural yang sedang berkonflik, media sosial berperan menetralisir kesimpang-siuran informasi. Melalui media sosial, para petani pesisir Kulon Progo mengembalikan seluruh informasi yang ia terima. Sekalipun demikian, dalam lingkup komunikasi sosial, peran sosial turut membentuk perilaku berinformasi indivu di dalamnya. Perbedaan peran sosial muncul dari perbedaan pengalaman berikut pengetahuan yang dimiliki seseorang. Artinya, di dalam lingkungan sosial tersebut pun terjadi keberagaman perilaku berinformasi dalam kaitannya dengan pencarian informasi terkait rencana penambangan pasir besi

Dalam keberagaman perilaku mencari informasi tersebut, juga terjadi keberagaman pengetahuan mengenai duduk perkara situasi konflik yang sedang melingkupi masyarakat kawasan pesisir. Mayoritas masyarakat kawasan pesisir Kulon Progo jauh dari paham mengenai rencana penambangan pasir besi di kawasannya yang kini tengah menemui konflik. Mereka sebatas paham pada rencana penambangan yang akan merenggut aktivitas bertani. Pengambilan lahan tersebut kemudian dimaknai sebagai perenggut perjuangan masa lalu mereka. Sikap resistensi para petani pesisir Kulon Progo cukup kuat dengan mengandalkan keyakinan dan kepercayaan mereka.

.

(20)

Bates, Marcia J. 2002.Toward Of Intergrated Of Information Seeking And Searching.

New Review of Information Behaviour Research, (3), 2002, 1-15. Dept. of

Information Studies University of California, Los Angeles. Diunduh dari

http://ptarpp2.uitm.edu.my/ .

Case, Donald O. 2007. Looking for Information: A Survey of Research on

Information Seeking, Needs and Bahavior. Second edition. London: Academic

Press.

Godbold, Natalya. "Beyond information seeking: towards a general model of information behaviour" Information Research, 11(4) paper 269. Terdapat pada

http://InformationR.net/ir/.html

Oepen, Manfred. 1988. Media Rakyat Komunikasi Pengembangan Masyarakat.Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyaraka.

Rogers, Everett M. 1992. Komunikasi dan Pembangunan Perspektif Kritis.Jakarta:LP3ES.

Rogers, Everett with F. Floyd Shoemaker. 1971. Communication, A Cross-Cultural

Approach. Second Edition. Canada: Macmillan Publishers. Ltd.

Susanto, Astrid. 1980. Komunikasi Sosial di Indonesia. Penerbit Bina Cipta.

Whittaker, Steve. Personal Information Management: From Information Consumption to Curation. IBM Research Almaden. Diunduh dari http://people.ucsc.edu/.

Williams, Nathalie E. Armed Conflict, Mass Media and Migration. 2009. Postdoctoral Scholar Carolina Population Center University of North Carolina at Chapel Hill. Diunduh darihttp://paa2010.princeton.edu/.

Wilson, T.D. Human Information Behavior. Special Issue of Information on

Information Research. Vol (3) No. 2, 2000. Informing Science, University of

Sheffield. Diunduh darihttp://inform.nu/.

Wilson, T.D. Information Behaviour: An Interdisciplinary Perspective. Information

Processing & Management, Vol. 33, No. 4, pp. 551-572, 1997. Department of

Information Studies, University of Sheffield, Sheffield, U,K. diunduh dari

http://ptarpprack/silibus/.

Yunianto, Bambang. Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan dan Pengolahan Pasir Besi di Pantai Selatan Kulon Progo, Yogyakarta. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13,

Januari 2009:1-16. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara. Bandung.

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Wilayah KK PT. JMM Indomines. Ltd (Yunianto,2009)
Gambar 2. Wilson’s 1996 Model of Information Behavior

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Naskah Serat Mumulen menunjukkan bahwa pemaknaan yang dilakukan terhadap naskah Serat Mumulen mempresentasikan simbol-simbol sesaji berupa makanan, bunga

Dengan menggunakan permainan, murid tidak merasa sedang belajar sehingga proses belajar mengajar akan terasa menyenangkan.Konsep permainan yang digunakan adalah cultural toys

Berdasarkan studi pendahuluan pada industri barang konsumsi, juga diketahui terdapat beberapa perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi namun tingkat

Sedangkan hasil analisis Location Quontient (LQ), sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Kabupaten Jepara dengan hasil perhitungan koefisien LQ > 1 (sektor

Adapun jenis penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimen dengan pendekatan quasi eksperimen yaitu perlakuan uji kemampuan larutan bonggol nanas (Ananas

Sejauh ini, Nietzsche sendiri pesimis dapat menemukan sosok ubermansh, akan tetapi dalam puisi kedua "Dewa Telah Mati" peneliti menemukan sosok perempuan

Metode yang digunakan dalam metode ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang peningkatan kemampuan

Pada reaksi tahap pertama, yaitu alkalisasi merupakan reaksi antara selulosa dengan larutan soda (basa) menjadi alkali selulosa, selulosa bersifat larut dalam larutan sodaa.