• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA KDRT DI DAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA KDRT DI DAL"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DI DALAM SASTRA INDONESIA

Resti Nurfaidah, S.S. Balai Bahasa Bandung

Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung, 40113 Pos-el: goresan_penaku@yahoo.com

Abstract:

The violence on the household cannot be said as a new phenomenon. Some part of the people in the country said that it is an old culture as the man with his bad attitude doing criminalities to his family or other people that stay together in the same place. The violence has been so long chosen by the writers as their topic. Trough some characters on the source of the data, we can find that there are so many things behind the bad attitudes. So many things that makes someone throw her/his morality away to do the violence to other people.

Keywords: kekerasan, KDRT

1. Pendahuluan

Kasus kekerasan dalam rumah tangga atau lebih dikenal dengan singkatan KDRT tersebut pada beberapa tahun ini banyak yang mencuat ke permukaan dan menelan korban yang jumlahnya tidak sedikit. Sebenarnya, KDRT bukan merupakan kasus baru di dalam kehidupan manusia, melainkan merupakan kasus klasik yang hampir terjadi dalam setiap generasi manusia. Firaun sang penguasa Mesir tidak segan-segan menghukum dan mengeksekusi istrinya, Asiah, dan pelayan setia istrinya, Maesaroh, hanya karena kedua wanita itu teguh menjaga keimanannya terhadap Allah swt. Beberapa penguasa Romawi juga melakukan kekerasan terhadap keluarganya demi mewujudkan ambisinya itu. Salah seorang pangeran di negara Eropa Timur tega menyingkirkan istrinya yang sedang hamil tua, mendorongnya ke jurang, agar ia bebas melakukan kebiasaan buruk seksualnya. Salah seorang pemikir Prancis terkenal tega membuang kelima anak-anaknya hanya karena tidak menginginkan keributan di rumahnya.

Di Indonesia, kekerasan dalam rumah tangga, terutama terhadap kaum perempuan, bukan lagi hal baru. Bahkan, perlakuan kasar kaum lelaki di suatu daerah tertentu, sudah menjadi semacam “budaya” dalam lingkungan keluarga. Sejumlah media pun menyajikan berbagai kasus penganiayaan dan perkosaan dalam keluarga. Ironisnya, tindakan kekerasan tersebut kebanyakan masih ditutupi-tutupi, karena selain dianggap sebagai wilayah pribadi yang tak boleh dicampuri orang lain, juga lebih dipandang sebagai aib, sehingga dinilai tabu untuk dibuka ke umum (Rustam, 2005:16).

(2)

tega membunuh istrinya yang berpangkat lebih tinggi hanya karena ia merasa dilecehkan oleh sang istri. Padahal, istrinya selama ini sempat mengeluh bahwa suaminya kerapkali cemburu dan menyiksa dirinya, serta menaruh tuduhan yang tidak benar. Masih banyak pula kisah selebritis tragis yang mendapat perlakuan keras dari pasangannya, misalnya, salah seorang artis senior yang juga berprofesi sebagai seorang rohaniwan mendapat perilaku buruk dari suaminya. Peristiwa itu terjadi di depan orang banyak dan juga anak-anaknya dari perkawinan mereka terdahulu. Akhirnya, perkawinan itu pun terpaksa diakhiri.

KDRT akan berbuntut panjang pada segala hal. Selain menimbulkan korban luka, hal itu juga tidak jarang menelan korban jiwa. Kasus Arie Hanggara yang tewas di tangan ibu tirinya merupakan salah satu contoh korban KDRT. Kasus itu merupakan kunci dari kasus serupa yang satu per satu terungkap ke permukaan. Sejak kasus Arie Hanggara itu, semakin banyak kasus KDRT yang terungkap dan para pelaku telah mendapatkan ganjarannya.

Kasus KDRT tersebut banyak memberikan inspirasi kepada para sastrawan untuk mengangkat tema serupa ke dalam karya sastranya dan menampilkan peristiwa mengerikan tersebut melalui perilaku sejumlah tokoh. Karya sastra merupakan suatu produk dari refleksi atau mirror image dari kehidupan manusia yang mengalami peristiwa-peristiwa serupa (Adi, 2001:88). KDRT dalam sastra Indonesia menunjukkan bahwa peristiwa tersebut juga hamper senantiasa hadir di dalam kehidupan manusia.

Tulisan ini akan memaparkan KDRT yang terdapat di dalam beberapa karya sastra Indonesia, di antaranya (1) novel Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan, Keluarga Permana, dan Adam Hawa, (2) cerpen Keping Kasih Terakhir dan Bahagia Mutiara, dan (3) cerbung 2 x 24 Jam. Selain paparan tadi, penulis juga ingin mendeskripsikan latar belakang terjadinya KDRT tersebut berikut hal-hal yang terjadi akibat peristiwa itu.

2. Kekerasan dalam Rumah Tangga di dalam Sastra Indonesia

Analisis tentang KDRT di dalam sastra Indonesia tersebut penulis awali dengan KDRT dalam novel Nyai Dasima. Setelah itu, secara berturut-turut, analisis dilakukan terhadap KDRT dalam novel Keluarga Permana, dan Adam Hawa, cerpen Keping Kasih Terakhir dan Bahagia Mutiara, serta (3) cerbung 2 x 24 Jam.

2.1 KDRT dalam Novel Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan

KDRT dalam Novel Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan terdapat pada segmen kehidupan Dasima bersama Bang Samiun. Setelah memutuskan berpisah dengan Edward William, Dasima menikah dengan Bang Samiun dan ditempatkan dalam satu rumah bersama istri tuanya, Hayati, dan ibu kandungnya, Wak Saleha.

(3)

“Lalu ame siape nyang Nyai bosenin.”

“Saya bosen kepada kehidupan ini.” (ND, 2000:72)

Dasima merasa tidak nyaman hidup di samping suami Inggrisnya itu, terutama jika harus mendampingi pasangannya itu dalam pesta jamuan relasi suaminya. Sindiran dan gunjingan ia dengar sendiri terutama dari bibir para nyonya asing itu. Semula ia masih dapat menahan diri, tetapi lama-kelamaan ia tidak mampu juga. Hal itu diungkapkannya kepada Williams.

“Mula-mula saya kuat menghadapi tertawaan atau sindiran mereka. Setelah lama, saya tidak kuat. Maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri saya adalah saya minta lepas dari tangan Tuan Williams. […]” (ND, 2000:84)

Pada saat yang bersamaan, ia sudah tertarik kepada juragan kusir delman yang sudah beristri tetapi tidak beranak, Bang Samiun. Mak Buyung yang sudah kaya pengalaman hidup itu dapat dengan mudah mendeteksi hal itu seperti yang terungkap dalam kutipan berikut.

Mak Buyung bernapas panjang. “Nyai makin ketarik ame Miun, ye?” “Entahlah, Mak Buyung.” (ND, 2000:76)

Bang Samiun yang cowok matre itu juga sangat mendambakan Dasima dan ia ingin mendapatkan wanita itu dengan segala cara, termasuk menempuh jalur mistis. Melalui bantuan Mak Buyung, Bang Samiun seakan mendapatkan jalan yang lebar untuk mendekati dan menarik Dasima dari rumah itu. Berbagai informasi tentang Dasima selalu ia dapatkan dengan mudah dari mulut nenek tua itu. Ia memerintahkan kepada Mak Buyung untuk menabur pelet sang dukun pada makanan dan minuman sang pujaan. Terlebih setelah mantra dari dukun itu ternyata mujarab ketika tidak lama kemudian setelah makan makanan itu, terjadi pertengkaran sengit antara Dasima dan suami Eropanya itu. Dasima yang telah tertutup mata dan hatinya itu bersikeras untuk meninggalkan kehidupan mewah di rumah itu dan kembali ke asalnya, “dunia slam” (dunia orang pribumi).

Sayangnya hati Nyai Dasima sudah bulat. Tidak perlu lagi dibicarakan, katanya. Keputusannya mau hidup kembali dengan sesame orang Slam yang sebangsa. Yang tidak membeda-bedakan. Yang tidak pernah menggunjingkan sambil menghina. Dia akan puas hidup di tengah orang-orang yang tinggal di kampung padat tepi Sungai Ciliwung itu.(ND, 2000:98)

Tidak lama setelah hengkangnya dia dari rumahnya itu, Dasima menikah dengan Bang Samiun. Ia tinggal serumah dengan istri tuanya, Hayati, dan mertuanya, Wak Saleha. Hanya sekejap keramahan yang ia terima dari penghuni rumah itu. Selebihnya merupakan neraka bagi Dasima. Ia tidak ubahnya sebagai pelayan dan sapi perahan yang bekerja selama hampir 24 jam dalam sehari.

Bahkan, Nyai Dasima merasa seperti diuji dengan teramat berat. Dia belum sempat mandi sudah harus menyelesaikan pakaian-pakaian kotor suaminya yang menumpuk untuk dicuci di sumur.

(4)

sekali, dia harus mulai menyalakan tungku dapur. Sementara itu, orang-orang serumah, termasuk Hayati, masih tidur pulas.

Dia menimba pula berkali-kali. Ketika pertama kalinya dilakukan tangannya kelu. Jari-jarinya lecet. Ketika malam tiba, seluruh persendiannya sakit-sakit. Toh diteruskan lagi esok harinya. Biarpun sakit dipaksakannya juga. Suara timba berderit-derit. Pekerjaan itu dikerjakan oleh jongos atau tukang kebunnya dulu ketika masih berada di Pejambon. Kini ia sendiri yang melakukannya. (ND, 2000:103—104)

Cacian dan makian setiap saat ia terima terutama dari madu dan ibu mertuanya yang tidak pernah merasa puas dengan hasil kerja sang nyai.

Kalau pulang mereka lalu marah-marah. Ada saja pekerjaan saingannya yang dicela, dicerca, dan dimaki Hayati. Emaknya tidak mau ketinggalan menunjukkan kenyinyirannya. (ND, 2000:109)

Bukan hanya penderitaan fisik yang ia terima dari penghuni rumah itu, melainkan pula penderitaan psikis. Dasima tidak diperbolehkan untuk keluar dari rumah itu karena pintu-pintunya terkunci rapat jika seisi rumah pergi. Ia dibiarkan dalam keadaan lapar dan pekerjaan rumah yang setumpuk nyaris tanpa jeda.

Lumrahlah Nyai Dasima bertambah kecewa dan sedih menghadapi kenyataan yang bertolak belakang. Dia amat kelelahan. Laparnya juga menjadi-jadi. Sering perutnya berbunyi dan tidak seorang pun di rumah kampung Kwitang itu yang mendengar. Pernah juga terniat pada diri Nyai Dasima untuk lari dan pergi jauh dari rumah terkutuk milik Bang Samiun itu. Tetapi apa dayanya. Pintu depan dan pintu belakang rumah itu dikunci dari luar. Nyai Dasima yang di dalam tidak bisa berbuat apa-apa kecuali memberesi persiapan makanan di dapur atau mengisi bak mandi dengan menimba air dari ember. (ND, 2000:109)

Tekanan demi tekanan mendorong Dasima untuk memutuskan keinginan bercerai dari juragan delman itu. Ia pun menuntut harta yang telah diambil darinya.

“Jangan berpura-pura lagi kepadaku. Sebelum pergi, aku minta cerai dulu. Kembalikan barang dan uangku. Yang sudah terlanjur Abang belanjakan tidak apa-apa. Tetapi sisanya yang masih sangat banyak, serahkan kembali kepadaku. Aku tidak main-main. Aku bisa melaporkan kepada opas. Sebelumnya aku menghubungi Tuan Williams. Aku yakin dia akan menolongku. (ND, 2000:116)

Bang Samiun yang merasa kebingungan akhirnya menempuh jalan yang keji. Ia meminta bantuan Bang Puase untuk menghabisi nyawa Dasima. Rencana pembunuhan itu sangat rapi hingga Dasima tidak menaruh curiga kepada suaminya. Namun, kian lama hatinya bertanya-tanya setelah melihat perbedaan sikap Hayati dan Wak Saleha malam itu.

Lama-lama, dia jadi curiga. Dia bisa menembak tingkah emaknya dan Hayati yang agak aneh. Sikap mereka tidak seramah seperti saat pergi ke laut dua hari yang lalu. Ada apa sebenarnya? Dijebakkah Nyai Dasima? (ND, 2000:131)

(5)

Bang Samiun, terpaku diam. Kejadian itu begitu cepat, secepat Bang Puase melempar jenazah Dasima ke Sungai Ciliwung. Pelaku pembunuhan sadis itu menyangka bahwa mayat Dasima tidak akan pernah ditemukan karena habis dimakan binatang-binatang yang ada di sungai itu.

Seluruh tubuh Mak Buyung gemetaran melihat adegan berikutnya. Begitu cepat. Bang Puase melemparkan korbannya ke Sungai Ciliwung yang sedang deras-derasnya, setelah terlebih dulu mencopoti barang-barang perhiasannya satu per satu, termasuk juga kunci-kunci yang tergantung pada setagennya. Barang-barang itu dimasukkan ke dalam saku celana dan buntelan sarungnya. Sambil menceburkan korban dia mengharapkan agar kura-kura, biawak, ular, dan buaya dan binatang-binatang buas lainnya di sungai itu melumat-lumat tubuh Nyai Dasima. (ND, 2000:132)

Namun, ibarat pepatah yang berbunyi sedalam-dalamnya dosa dikubur lama kelamaan ia akan muncul ke permukaan. Mayat Dasima tidak hancur, tetapi utuh tersangkut akar pohon di rumah Pejambon dan diketemukan oleh tukang kebun di rumah itu. Meskipun begitu kasus itu masih tertutup misteri selama beberapa waktu hingga akhirnya pasukan opas mendapat laporan dari dua saksi mata. Dalam waktu singkat para pelaku pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam bui.

Seperti Bang Puase, kedua tangan Bang Samiun diborgol. Habislah riwaytnya sebagai juragan delman. Dia terlibat langsung dalam pembunuhan Nyai Dasima dan dikenai hukuman sepuluh tahun.

Wak Saleha dan Hayati juga tersangkut perkara kriminal yang menghebohkan itu. Karena perempuan, tidak bisa melarikan diri dan bersembunyi seperti kebanyakan lelaki. Mereka pun mendapatkan ganjaran setimpal dengan perbuatannya. Masing-masing mendapatkan ganjaran tiga tahun penjara. […] Lantaran Mak buyung pula maka Nyai Dasima kahirnya pergi meninggalkan rumahnya di Pejambon dan kawin dengan lelaki yang tidak bertanggung jawab. Secara tidak langsung, Mak Buyung juga punya hubungan criminal dengan Bang Puase. Atas perbuatannya itu, Mak Buyung tidak luput dikurung di dalam bui enam bulan. (ND, 2000:141-142)

KDRT dalam novel tersebut merupakan kekerasan dalam bentuk fisik, yang selain menimbulkan penderitaan fisik korban juga mengakibatkan penderitaan psikis. Korban kekerasan dalam novel tersebut adalah Dasima sedangkan para pelaku tindak kekerasannya adalah orang yang tinggal di dalam rumah itu, termasuk suaminya.

(6)

Akhirnya, Dasima pun harus kehilangan nyawanya dan menjadi korban dari konspirasi tragis itu.

2.2 KDRT dalam Novel Keluarga Permana

KDRT dalam Novel Keluarga Permana diawali dengan pemecatan Permana dari kantornya yang berbuntut panjang. Pemecatan itu mengakibatkan perubahan drastis pada diri Permana. Ia merasa hina dengan keadaannya sekarang, tidak bekerja dan hanya menjadi penunggu rumah. Ia merasa malu jika berhadapan dengan tetangga dan keluarga dari kedua belah pihak karena ia kini tidak memiliki jabatan apa pun. Ia merasa malu kepada Saleha, istrinya, yang kini harus menanggung beban keluarga seorang diri.

Rasa malu, kecewa, dan gengsi yang berlebihan akhirnya bertumpuk tanpa dicari jalan keluarnya. Persoalan demi persoalan yang kian menumpuk itu membuat Permana mengalami depresi akut. Ia tidak mampu lagi melihat kenyataan yang ada. Rasa takut kehilangan dan gengsi yang berlebihan kepada Saleha membuatnya menaruh rasa cemburu kepada wanita itu. Sebagai seorang sekretaris perusahaan, tentu Saleha kerapkali bersama dengan atasannya. Kedekatan mereka memicu rasa cemburu di dalam diri Permana. Terlebih pada suatu hari, Permana menyaksikan istrinya menumpang mobil atasannya itu. Permana tidak mengetahui bahwa atasan istrinya hanya ingin mengajaknya pulang bersama, tidak lebih dari itu, dan ia tidak memiliki maksud lain. Saleha yang masih diselimuti kelelahan yang luar biasa itu didampratnya. Pertengkaran pun tidak terelakkan. Bukan sekali dua kali jika Permana melakukan tindak kekerasan kepada istrinya. Caci maki dan tamparan menjadi makanan Saleha sehari-hari.

Selain kepada istrinya, masih ada korban lainnya yang juga tidak berdaya di tangan Permana, yaitu Ida, anaknya sendiri. Ida kerapkali menerima perilaku buruk sang ayah, tendangan, pukulan cambuk, tamparan, laksana budak yang lemah.

Plang! Tangan bapak Ida menyambar pipi Ida. Gadis itu menangis.mengaduh. tak tahu lagi Ida berapa keras ia menyuarakan kesedihannya. Ia lari ke kamar. Tak dikiranya ayahnya akan mengikutinya. Tahu-tahu ayahnya sudah ada di pintu kamar dengan rotan di tangan. […]

Rotan melayang dengan seketika, mencambuk tangan ida. Lalu, mencambuk kakinya. Sebelah kiri. Lalu yang sebelah kanan. Dengan tak ada belas kasihan sedikit pun. Ida lari dari kamarnya. Dan masih terngiang di telinganya kata-kata ayahnya yang mengancam, “Ayo, laporkan semua ini pada ibumu! Dan awas kalau kau tak segera melaporkan kepadaku di mana ibumu. Cari sepat di mana dia. Cari!” (KP, 1978:25)

Sejak perubahan perilaku sang ayah, Ida tidak pernah mencicipi nikmatnya hidup di usia remaja. Kehidupannya lebih sebagai burung di dalam sangkar emas. Ia tidak diizinkan keluar rumah kecuali pada jam sekolah! Selebihnya, tidak sama sekali!

Benar, rumah ini adalah penjara baginya. Cuma waktu sekolah saja Ida bisa meninggalkan tempat itu. Sesudah itu pintu di depan itu seperti dikunci mati. (KP, 1978:53)

(7)

sebagai keluarga muslim turunan. Tiada pernah ada upaya untuk mendalami agama demi memperkuat fondasi rumah itu. Keimanan yang rapuh dan masalah yang kian bertumpuk membuat setiap anggota keluarga itu saling membuat jarak yang lebar. Kebersamaan mereka tinggal cangkang telurnya saja, sementara isinya lenyap entah ke mana.

Situasi rumah yang sudah tidak sehat aspek lahir dan batin menjadikan penghuninya yang mendapatkan masalah merasa sumpek. Rumah yang seharusnya menjadi baiti jannati atau surga bagi pemiliknya tidak mampu dijadikan sebagai tempat pemecahan masalah dan musyawarah. Yang tinggal di rumah itu kini hanyalah intimidasi, kecemburuan, sikap emosional, pasrah tanpa ada usaha, terutama pada diri sang kepala keluarga (Permana). Permana sebagai kepala keluarga seharusnya dapat menjadi sandaran bagi anggota keluarganya. Saleha, istrinya, memerlukan tempat untuk mencurahkan isi hati, sedangkan Ida memerlukan tempat untuk berlindung. Namun, mereka tidak menemukan pelabuhan hati yang damai pada diri Permana. Bagi ibu dan anak itu, Permana tidak ubahnya menjadi sosok yang paling menakutkan dan mengerikan. Musyawarah yang mereka lakukan hampir selalu berakhir dengan makian dan siksaan.

Permana telah melakukan kesalahan fatal dalam mengelola rumah tangganya. Ia memilih jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah rumah tangganya. Ia laksana seorang algojo yang selalu siap siaga dengan berbagai senjata di tangannya. Setiap saat anak atau istrinya dapat menjadi korban kekejamannya, meskipun hanya untuk soal sepele.

Kekejaman Permana berawal dari rasa frustasinya yang berlebihan akibat pemecatan yang dilakukan bosnya. Permana yang merasa kecewa karena kesalahannya hanya sedikit bila dibandingkan dengan kesalahan pihak lain yang terlibat dalam kasus suap di perusahaannya. Ia merasa kecewa karena orang yang seharusnya dijadikan sebagai tersangka kasus itu justru bebas berkeliaran. Rasa kecewa, malu, dan gengsi berbaur menjadi satu. Hal itulah yang membuat Permana menjadi gelap mata. Persoalan sedikit saja dapat menyinggung perasaannya dan meninggikan emosinya. Mental dan keimanan yang rapuh sangat mendukung perubahan perilaku yang drastis itu.

Kekejaman Permana semakin menjadi-jadi ketika ia bersama Saleha sepakat untuk menggugurkan janin di dalam kandungan Ida. Kehamilan Ida terjadi di luar pernikahan. Hal itu menjadi aib besar bagi keluarga Permana. Permana tidak menginginkan tetangga atau kerabatnya menggunjingkan keluarganya hanya karena kehamilan yang tidak diharapkannya itu. Ida sebenarnya tidak menghendaki keputusan kedua orang tuanya itu. Ia memimpikan bayi yang dikandungnya lahir dan dibesarkan dengan tangannya sendiri. Namun, Ida tetap pada peranannya sebagai makhluk yang lemah. Ia tidak berdaya ketika menghadapi vonis yang dijatuhkan oleh kedua orang tuanya. Janin Ida hancur karena obat yang ia minum. Obat dari dukun aborsi itu rupanya selain menghancurkan janin juga merusak organ reproduksinya. Ida mengalami infeksi hebat.

(8)

Ida yang telah berada di puncak kejenuhannya tinggal di dalam sangkar besi, bersikeras untuk menikahi pemuda itu meskipun harus meninggalkan keyakinannya.

Keperkasaan Permana tampaknya telah layu ketika ia menghadapi upacara perkawinan dan pemakaman anaknya yang mengundang pro dan kontra itu. Meskipun para kerabat merasa gemas dan kecewa melihat sikap Permana dan Saleha yang membiarkan anaknya murtad, tetapi Permana tidak menunjukkan sikap emosionalnya itu. Ia dan Saleha hanya pasrah dan mengalah.

2.3 KDRT dalam Novel Adam Hawa

KDRT yang terdapat di dalam novel Adam Hawa tampak pada (1) perilaku Adam kepada Maia, (2) perilaku Maia kepada Idris, (3) perilaku Adam kepada Khabil, (4) perilaku Adam kepada Munah, dan (5) perilaku Marfu’ah kepada Adam.

2.3.1 Perilaku Adam kepada Maia

Perilaku Adam kepada Maia lebih pada pemaksaan kehendak dirinya dan tidak membebaskan Maia untuk menikmati kehidupan di Taman Eden, termasuk dalam hal bercinta. Adam yang selalu tergila-gila kepada Maia, perempuan yang pertama kali ditemuinya di taman itu, hingga ia tidak merelakan tubuh makhluk yang sangat menggoda itu rusak diterpa sinar matahari dan debu. Selain itu, Adam merasa takut jika pada suatu hari ia kehilangan Maia. Oleh karena itu, Adam memutuskan untuk mengurung Maia di dalam Rumah Batu.

Karena ingin memelihara kulit itu, Maia si Perempuan dilarang Adam untuk keluar dari pintu seditiga Rumah BAtu yang selalu ditutupnya rapat ketika ia akan keluar. Adam sadar betul, tubuh halus itu bisa hangus dan kasar seperti ini tak lain karena ulah matahati. Maka jadilah hari-hari Maia si Perempuan hanya di rumah. Ia telah menjadi perempuan pertama yang hidup di belakang matahari lelaki Adam (AH, 2005:43)

Dikurung sekian lama di dalam Rumah Batu membuat Maia dilanda rasa bosan yang luar biasa, meskipun Adam selalu bersedia memenuhi segala kebutuhannya.

Walau wajahnya sangat pucat karena selalu berada di balik tudung matahari, matanya masih tampak tegas dan bersitkan suatu rencana akibat desakan kebosanan berada terus-menerus dalam sekapan di Rumah Batu. Adam memang memenuhi segala kebutuhan makanan Maia. (AH, 2005:43)

Ditambah lagi dengan penolakan terhadap keinginan Maia untuk melakukan variasi dalam bercinta dengan sang Adam. Seraya menunjukkan otoritasnya, Adam menolak dengan keras keinginan Maia itu. Di dalam kesehariannya, Maia tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat atau keinginannya. Maia harus menurut perintah Adam karena Adam merasa dirinya sebagai Putera Tuhan yang memiliki otoritas di tempat itu. Hal itu membuat ambisi Maia untuk melarikan diri dari Adam semakin kencang. Ia pun nekad melawan sang pejantan itu dan melarikan diri dari Rumah Batu itu.

(9)

2.3.2 Perilaku Maia Kepada Idris

Selama beberapa lama Maia terus berjalan hingga ia bertemu dengan Idris di yang sedang duduk di bawah sebuah pohon rindang. Sejak pertemuan dengan lelaki penggembala itu, Maia telah menaruh harapan agar lelaki itu mau menanamkan benihnya di dalam rahimnya. Ia berdoa kepada Tuhan agar harapannya itu dapat dikabulkan seperti yang terungkap dalam kutipan doa Maia berikut.

“Tuhan dengarkan doaku. Semoga lelaki ini mau menanamkan benihnya kepadaku. Demi dendam ini maulah kau, lelaki. Demi dendam ini, setubuhi aku sepuasmu hingga bunting dan kelak akan kunamai anak itu Ijajil. Ia yang akan membelah dada Adam dan membawakanku empedu perutnya untuk gantikan empeduku yang luka nanah bertahun-tahun karena perbuatannya. Ijajil, anakku, akan mengoyaknya. Lunasi dendam ibunya. (AH, 2005:80)

Wanita itu berambisi agar pembunuhan sang Adam terjadi secara “manis”. Ia telah merencanakan agar yang membalaskan dendam bukan dirinya, melainkan keturunannya. Ia akan mendidik keturunannya itu sebagai seorang pembunuh berdarah dingin dan hanya membenci satu nama, yaitu Adam.

Idris merupakan “adik” Adam yang terusir dari Rumah Batu sang kakak. Lalu, ia mendirikan rumah yang serupa itu. Maia sempat bertanya-tanya dalam hatinya apakah ada hubungan tertentu antara Idris dan Adam setelah melihat bentuk rumah yang hampir sama itu. Kelak ia pun mengetahui hal itu.

Mengapa rumah hunian Idris ini sama persis dengan rumah Batu Adam? Punya hubungan apakah kedua lelaki ini? Ataukah lelaki ini didikan Adam juga? (AH, 2005:81)

Keinginan Maia untuk mendapatkan keturunan dari Idris pun terpenuhi. Hanya saja, ia sempat merasa kecewa dengan jenis kelamin bayi yang dilahirkannya itu. Semula ia mengharapkan kehadiran seorang anak lelaki. Namun, Maia harus menerima kenyataan bahwa bayinya berkelamin perempuan.

“Tak apa. Tak mengapa bila kau bukan lelaki yang akan pecundangi banyak permpuan dan lelaki, yang sekaligus habisi riwayat Adam. Tak mengapa, Anakku.” (AH, 2005:88)

Maia pun mengubah strategi pembalasan dendamnya. Dibuatnya sebuah perjanjian yang kelak merugikan sebelah pihak, yaitu Idris. Setelah kelahiran anaknya itu, Maia tidak lagi membutuhkan Idris dan lebih berkonsentrasi pada pelaksanaan rencananya itu. Maia tidak menginginkan Idris merusak rencananya itu. Selain itu, ia merasa khawatir jika Idris akan tergoda oleh anaknya, Marfu’ah, yang tumbuh sangat sempurna itu. Disodorkannya sebuah perjanjian yang mengerikan kepada lelaki penurut itu. Demi Maia, Idris menyanggupi perjanjian itu. Isi dari perjanjian itu terungkap dalam kutipan berikut ini.

(10)

Perjanjian terakhir itu adalah bahwa daging tunjang Idris yang terbiasa menegak bila melihat Maia ngangkang itu harus dirubuhkan kalau ternyata anak yang lahir adalah perempuan (AH, 2005:93)

Sejak perjanjian itu disanggupi, posisi Idris tidak lebih sebagai seorang pelayan yang selalu bersedia untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sang majikan. Ia hanya diperbolehkan memasuki rumah batu itu pada waktu makan dan hanya beberapa saat saja. Selebihnya ia banyak berdiam di bangunan lain yang didirikannya.

Satu-satunya jatah untuk masuk Rumah Batu hanyalah saat makan, dan itu pun hanya sebentar. Selain itu, Idris bertugas menjadi pelayan ibu dan anak itu kelak, dan sediakan segala makanan buat mereka setiap harinya. (AH, 2005:93)

Idris menepati janjinya untuk memenuhi perjanjian yang terakhir itu, yaitu bersedia dikebiri oleh Maia. Pelaksanaan eksekusi pengebirian terhadap Idris terungkap secara gamblang dalam kutipan berikut ini.

Dua pukulan pertama Maia menumbuk bagian ujung daging itu. Ini membuat dunia sekitar Idris berguncang hebat. Seluruh sarafnya menegang, seluruh ototnya menyembul seperti pahatan lukisan di dinding Rumah Batu. Empat patok kayu yang mengekang tangan dan kakinya bisa tercabut jika saja tak ditanam dalam-dalam akibat tarikan kekuatan Idris yang tiba-tiba saja melimpah. Tapi itu hanya sekejap sebab setelah itu Idris merasa darahnya tiba-tiba berhenti. Dirasainya semua pergelangan tulang kaki, terutama sekali kakinya, seperti diperosotkan begitu saja, dan seketika rasa sakit itu bergerak cepat hingga ke ubun-ubun. Bila saja matanya tak dibebat, mungkin mata itu akan meloncat keluar. Bila saja mulutnya tak disumpal, mungkin mulut itu akan robek. Maia butuh enam pukulan untuk remukkan kejantanan Idris. Hanya pukulan pertama Maia sajalah yang dirasakan Idris, sebab setelah itu ia sudah tak sadarkan diri. (AH, 2005:96)

Usai pelaksanaan eksekusi tersebut, Maia semakin leluasa melakukan rencananya untuk membalaskan dendam kepada lelaki jantan yang menyekapnya dan memerkosanya itu.

2.3.3 Perilaku Adam kepada Khabil

Sejak kelahiran kedua anak kembarnya, Khabil dan Munah, hubungan Adam dengan mereka sudah renggang. Entah mengapa Adam merasa kesulitan untuk merasa dekat dengan kedua anaknya itu.

Adam merasa sulit membina hubungan dengan keduanya, sementara mereka akan mencium kaki Hawa dengan syahdunya, dengan sangat khidmatnya. (AH, 2005:109)

(11)

Dengan penuh ancaman ia katakan kepada ketiganya bahwa Khabil telah dewasa, dan ia tak mungkin bisa disebut dewasa bila tak berjalan enam purnama lamanya pulang balik. (AH, 2005:110)

Khabil berang mendengar perintah sang ayah, demikian pula dengan Munah. Perintah tolol itu dianggap si kembar sebagai sarana untuk perpisahan mereka. Perang tatapan mata pun terjadi di antara ketiganya, Adam, Khabil, dan Munah. Melihat tatapan anaknya yang begitu menusuk ke dalam hatinya, Adam menegur dengan keras agar Khabil tidak menatap dirinya seperti itu. Namun, Khabil tidak mau mengalah. Ia semakin menunjukkan keberaniannya, hingga akhirnya mendorong anaknya untuk bertarung di luar rumah.

Adam menunjuk dengan tegas ke muka Khabil dan berkata dengan penuh murka, “ bila kau tak sepakat dengan perintahku, mari keluar. Kita bertarung. Bila kau menang, aku akan keluar dari rumah ini untuk selama-lamanya. Tapi bila kau kalah, kau harus mengikuti semua perintahku dan tunduk!” (AH, 2005:111)

Munah yang ingin membantu Khabil terpaksa mengurungkan niatnya karena ditahan oleh sang ibu. Pertarungan yang tidak seimbang itu dimenangkan oleh Adam. Khabil akhirnya hengkang dari tempat itu.

Dan memang hanya dalam beberapa gerakan saja, delapan kali kepalan tangan Adam menghancurkan muka Khabil. Tak hanya bonyok, Khabil pun bersimbah darah sebelum ambruk menyerah. (AH, 2005:112)

2.3.4 Perilaku Adam Kepada Munah

Adam bukan hanya membenci dan mengutuk Khabil, melainkan pula Munah. Ia sangat membenci anak perempuan satu-satunya itu, terutama setelah Munah mematahkan salah satu sayap enggan kesayangan ayahnya. Dendam di dalam diri Adam sudah tidak tertahankan lagi. Siksaan demi siksaan dilayangkan ayah yang sudah gelap mata itu kepada putri semata wayangnya itu.

Tangan kanan Adam langsung menjambak rambut Munah. Anak itu tersungkur dan melolong keras, sementara adam berdiri berkacak di depannya. Belum sempat Munah bangun, kaki kiri Adam sudah bersarang di perutnya. Serta merta tangisnya melolong. Kalap, tangan Adam tak sudah-sudah menjambak rambut Munah dan menamparnya berkali-kali. Saat Munah tergeletak, kaki Adam sangat terlatih menghajar brutal tubuh anak malang itu. “Rasakan ini, anak terkutuk! Kau rusak enggang kesayanganku, anak gila!” (AH, 2005:120)

Kebencian Munah kepada sang ayah semakin menjadi-jadi, ditambah lagi dengan kerinduannya kepada sang kekasih yang tidak lain adalah saudara kembarnya sendiri, Khabil, yang tidak kunjung menemuinya. Gadis yang malang itu akhirnya menderita hilang ingatan dalam penantiannya. Adam semakin tidak memedulikan anaknya yang malang itu.

(12)

Kekejaman Adam tidak berhenti sampai di situ. Kepergian Khabil membuka peluang baginya untuk membunuh Munah. Diincarnya anaknya itu yang pada saat itu sedang berjalan di bawah pohon Khuldi. Lalu, ia menyergapnya dan berhasil menyingkirkan Munah dengan cara membunuhnya.

Di siang hari yang panas, dua hari sebelum bertemu dengan Marfu’ah, Adam melihat Munah berjalan sendirian menuju pohon khuldi. Dengan keahlian pemburu tak terkalahkan, di rimbunan perdu, Adam menyergap Munah dari belakang yang menurutnya telah kehilangan ingatan lantaran tujuh purnama ditinggalkan kembarannya, Khabail. Hanya sekali banting, Munah terpelanting dan saat itulah dua tangan kekar adam menggenggam penuh leher Munah. Hanya beberapa saat Munah menggelepar tahankan maut sebelum terdiam dengan mata membelalak dan lidah menjulur dan air ludah menetes-netes. (AH, 2005:157—158)

2.3.5 Perilaku Marfu’ah Kepada Adam

Marfu’ah yang telah tumbuh menjadi gadis matang itu tiba pada hari yang telah ditentukan oleh sang ibu untuk melaksanakan rencanannya. Dibekalinya Marfu’ah dengan sebilah batu tajam yang terselip di balik bajunya. Marfu’ah berjalan terus hingga tiba di bawah rimbunan sebuah pohon Khuldi menanti Adam.

Rencana pun berjalan lancar. Marfu’ah berhasil menaklukan sang Adam. Ketika sedang bercinta itu, Marfu’ah menggunakan senjata itu dan mengoyak luka yang menganga tepat di ulu hati sang pejantan. Adam yang tidak pernah menduga akan terjadinya peristiwa itu, merasa terkejut melihat luka dan darah yang memuncrat dari dadanya itu.

Bersegeralah Adam bangun begitu melihat aliran darah itu makin lama makin deras serupa anak sungai, hingga disaksikannya sendiri lambungnya sudah berlubang. (AH, 2005:162)

Menjelang ajal menjemput Adam, Marfu’ah membuka kedoknya. Ia mengatakan siapa dirinya sebenarnya dan siapa dalang dari peristiwa itu.

“Akulah putrinya. Putri Maia, si Perempuan. Dan diajarkannya kepadaku sejak aku dalam rahimnya siapa engkau ini, dan seperti apa rupa keberengsekanmu serta bagaimana cara terbaik menyelesaikanmu. Kau tahu kenapa ibuku melakukan ini semua? Ha ha ha ha, disebabkan karena kau putera Tuhan; karena putra Tuhan sepertimu tak lain adalah lelaki pemerkosa. Karena putera Tuhan itu pemerkosa, maka putera Tuhan itu harus dihabisi. Di tanganku, dendam itu diselipkannya. Dan aku sudah jalankan semua itu dengan baik. Ha ha ha ha ha ha.” (AH, 2005:164)

(13)

Sejak janin kembarnya masih bersemayam di dalam rahim istrinya, Adam telah dapat merasakan bahwa bakal anaknya itu akan membawa bencana karena Hawa telah memakan buah terlarang, buah khuldi, saat kehamilannya itu. Ketika kedua anaknya itu tumbuh semakin besar, sikap antipati Adam kepada mereka tidak berubah bahkan semakin menjadi-jadi. Perlakuan sang ayah semakin kasar hingga akhirnya kedua buah hatinya itu menaruh dendam yang tiada tertahankan di dalam kalbunya. Khabil dan Munah berani membalas tatapan tajam dan hardikkan sang ayah dengan balasan yang serupa. Pada suatu kesempatan hal itu mendorong Adam melontarkan tantangan kepada Khabil untuk bertarung. Khabil tidak menolak tawaran itu. Keduanya bertarung dengan sengit. Lawan yang tidak seimbang bagi Khabil membuahkan kekalahan baginya.

Sesuai dengan perjanjian di antara ayah dan anak itu, pihak yang kalah harus meninggalkan Rumah Batu. Khabil yang kalah tarung itu akhirnya memutuskan untuk hengkang dari keluarganya. Munah merasa keberatan dengan kepergian saudara kembarnya sekaligus kekasihnya itu hingga ia terhanyut dalam penantian yang panjang dan penuh duka. Puncak dari penantiannya itu, ia didera hilang ingatan.

Kepergian Khabil merupakan rencana pertama Adam yang telah berhasil dilalui. Dengan kepergian anak lelakinya itu, peluang bagi Adam untuk menyingkirkan anak gadisnya semakin terbuka lebar. Eksekusi pun dilakukan pada waktu yang tepat ketika Munah sedang berjalan-jalan di bawah pohon khuldi. Munah pun menghembuskan napasnya di tangan sang ayah. Jasadnya digantung di salah satu dahan pohon khuldi sebagai peringatan bagi para pelanggar perintah putera Tuhan.

Selain Adam, masih ada pihak lain yang melakukan kekerasan terhadap orang terdekat dalam hidupnya, yaitu Maia. Melalui perjanjian kejam yang dibuatnya sebelum kelahiran hasil hubungannya dengan Idris, Maia menginginkan agar Idris bersedia dikebiri. Idris yang selalu menuruti semua kemauan Maia menyanggupi dan memenuhi janjinya itu. Eksekusi bagi Idris dilakukan sendiri oleh Maia. Ia berhasil menghancurkan kejantanan Idris dengan cara yang sangat keji.

Dari kelima butir uraian tentang KDRT dalam novel Adam Hawa merupakan tindak kekerasan fisik dan psikis. Dendam Maia terpupuk subur setelah ia mengalami pelecehan seksual dan penyekapan sekian lama oleh Adam, sedangkan lelaki pejantan perdana itu seolah tidak pernah mau memahami keinginan pasangannya itu. Dendam serupa juga terpupuk dalam hati Khabil, anak kandung Adam, sebagai akibat perlakuan buruk Adam kepada anaknya itu. Perilaku sadis Maia terhadap Idris lebih diakibatkan pada ketakutan wanita cantik itu terhadap pasangannya jika suatu saat lelaki itu akan tergoda kepada Marfu’ah, buah hati mereka. Sementara itu, kematian Munah lebih disebabkan dendam Adam kepada anak perempuan semata wayangnya karena telah mematahkan sayap hewan kesayangannya itu, sedangkan kematian Adam lebih disebabkan oleh buah pendidikan yang sesat (salah asuh) Maia terhadap Marfu’ah.

2.4 KDRT dalam Cerpen Keping-Keping Terakhir

(14)

Mungkin karena seperti kata Mbah Misrun, pembantu setiaku, saat mengandung aku, Bapak selingkuh. (KKKT, 2005:68)

Bukan hanya berselingkuh, kakek Saras ternyata mengawini selingkuhannya itu. Perselingkuhan sang kakek bermula dari kekecewaan terhadap takdir yang tidak memberikannya seorang anak laki-laki yang dapat ia banggakan. Perkawinannya dengan selingkuhan itu bersamaan dengan kehamilan neneknya Saras yang kelak melahirkan ibu Saras. Untuk melampiaskan kekesalannya, nenek Saras menaruh sasaran kebenciannya kepada janin yang ada di dalam kandungannya itu. Ia menuduh sang janin sebagai biang keladi dari peristiwa ini.

Sakit hati Ibu pada Bapak nyata pada lebam biru bekas cubitan Ibu di sekujur tubuhku. Kepedihan Ibu adalah umpatan, makian, jambakan, dan pukulan untukku. Hanya aku. (KKKT, 2005:68)

Sebenarnya, nenek Saras saat itu sedang membutuhkan perhatian lebih dari suaminya, tetapi ia sama sekali tidak mendapatkannya. Sementara itu, untuk menutupi kesalahannya, kakek Saras berbalik menuduh istrinya bahwa janin yang ada di dalam kandungannya bukan berasal dari benihnya. Jadilah penderitaan nenek Saras saat itu semakin bertumpuk. Hal itu semakin menambah kebenciannya kepada sang janin yang tidak berdosa itu.

Setelah lahir, nasib bayi itu tidak lebih baik. Ia selalu menjadi sasaran kemarahan dan kekesalan kedua orang tuanya. Terlebih, wajah sang bayi cenderung mirip selingkuhan sang ayah. Semakin kloplah penderitaannya. Sejak dilahirkan, bayi yang kelak menjadi ibunya Saras itu tidak pernah merasakan kasih sayang sang ibu, bahkan, sekedar sentuhan, pelukan, dan ciuman sayang. Hanya pengasuh setianyalah, Mbah Misrun, yang menjadi tempat perlindungannya. Anak yang tersingkir itu tidak pernah mengerti atas perbedaan perlakuan kedua orang tuanya. terlebih setelah kelahirannya disusul oleh kelahiran sang adik yang ternyata seorang laki-laki. Kelahiran sang adik itu ternyata luar biasa kuat medan magnetnya hingga sang ayah bersedia meninggalkan dan menceraikan istri mudanya yang ternyata mandul itu.

Tapi kemudian adikku lahir. Seorang lelaki, seperti dambaan Bapak. Kehadirannya membaut Bapak berubah. Bapak bahkan meninggalkan istri keduanya yang ternyata tidak bias memberi keturunan. (KKKT, 2005:68)

Setelah kelahiran itu, masih ada seorang adik bungsunya yang lahir, lagi-lagi perempuan. Meskipun demikian, kedua kakak dan kedua adiknya mendapat perhatian yang sangat luar biasa dari ayah dan ibunya, kecuali anak ketiga, ibunya Saras. Ia tidak ubahnya seperti seorang upik abu di tengah keluarga tirinya. Ia tidak luput dari sasaran kemarahan ayah dan ibunya. Bahkan, sang ayah tetap mempertahankan tuduhannya bahwa anak ketiga yang malang itu bukan darah dagingnya.

Bapak pun nampaknya masih menyangka aku bukan benihnya, entah kenapa. (KKKT, 2005:67)

Meskipun demikian, prestasi si anak malang itu tidak pupus begitu saja. Seperti saudara yang lainnya, ia juga dianugerahi kecerdasan yang luar biasa.

(15)

Hanya saja, prestasi yang diraihnya tidak pernah mendapatkan tempat di dalam kalbu ayah, ibu, adik, dan kakaknya. Hal ini membuatnya cukup tertekan, tetapi ia berusaha untuk menepisnya keras-keras. Bahkan, ia tumbuh menjadi seorang gadis yang tangguh.

Namun lihatlah, aku menjadi gadis yang tangguh. Aku tidak takut kritikan pun komentar orang. Aku sudah terbiasa disakiti. (KKKT, 2005:68)

Beruntung ia masih memiliki adik lelaki semata wayangnya yang selalu berbuat baik kepadanya. Bukan itu saja, sang adik bahkan pada jauh-jauh hari telah meramalkan bahwa sang kakak akan bersanding dengan seorang pangeran. Hal itu kelak terbukti.

Ia dinikahi seorang pemuda tampan dan berasal dari keluarga kaya raya. Pesta perkawinan pun diadakan di sebuah hotel berbintang lima. Keluarga yang semula selalu mencaci-maki dan mencibirnya kini berbalik 180 derajat. Pada pesta perkawinannya inilah untuk pertama kalinya sang ibu memeluknya dengan penuh kasih sayang dan linangan air mata.

Pesta pernikahanku digelar di sebuah hotel bintang lima. Seingatku, itu untuk pertama kalinya Ibu menciumku dengan air mata berlinang, berdoa untuk kebahagiaanku. (KKKT, 2005:68)

Namun, meskipun telah berubah, terutama setelah kelahiran Saras, jarak di antara ibu dan nenek Saras sudah sedemikian lebar. Dendam sudah terpatri dengan rapi di dalam benak dan kalbunya.

Gangguan psikis akibat penderitaan yang berkepanjangan itu timbul ke permukaan tepatnya setelah kelahiran Saras. Keluarga dari pihak ibu Saras tersedot perhatiannya kepada bayi mungil itu. Sang nenek dengan penuh kasih sayang menimang dan mengasuh cucunya. Demikian pula dengan kakek Saras. Sang ibu tidak pernah mengerti mengapa mereka melakukan hal itu kepada cucunya bukan kepada dia ketika masih kecil. Sifat iri hati di dalam hati sang ibu mulai mednampakkan ledakkannya. Ia merasa iri dengan perhatian yang sedemikian melimpah dari keluarganya termasuk sang suami yang sangat menyayangi Saras.

Entahlah, mungkin aku iri dengan perhatian yang diberikan untuknya. (KKKT, 2005:67)

Selain itu, ia menaruh rasa iri karena Saras tampak jauh lebih cantik daripada dirinya. Ia menaruh rasa benci kepada darah dagingnya sendiri. Jika hal itu terjadi, ia tidak segan-segan melampiaskan kebenciannya itu dengan berbagai siksaan yang bertubi-tubi kepada anak semata wayangnya.

Dan jika rasa benci itu datang aku akan menyakitinya; mencubit, memukul, mencengkeram, atau mengurungnya di kamar mandi. (KKKT, 2005:68)

(16)

yang menderita laksana setangkai mawar yang sedang mekar di tengah gurun pasir yang tidak bertepi. Ia mencari pelindung, tetapi pelindung itu jarang menhampirinya. Ia pun menderita di tengah badai kemarau. Kelopaknya hancur dan jatuh satu per satu. Saras hanya dapat mengungkapkan penderitaannya itu ke dalam karya-karyanya yang berupa puisi, cerpen, atau lukisan. Ia tidak pernah mengadukan perilaku ibunya kepada sang ayah. Kedua pembantunya juga tidak berani mengadukan hal itu kepada majikannya. Ayah Saras, Pak Fuad, tidak pernah mengetahui penderitaan anaknya itu.

Wali kelas dan guru konseling di sekolah Saraslah yang menangkap symbol penderitaan gadis kecil itu. Berkali-kali pihak sekolah mengirimkan surat panggilan kepada ibunya Saras. Namun, tanggapan dari ibu Saras sungguh di luar dugaan. Ia tidak peduli dengan surat panggilan itu. Telepon dari pihak sekolah pun kerapkali tidak dijawabnya. Sebaliknya, ia merasa terganggu dengan surat dan dering telepon itu.

Aku mengeluh dalam hati. Tidak hanya surat-surat itu yang membuatku sebal. Beberapa kali wali keras Saras menelpon ke rumah, atau HP. Tapi aku tak ingin mengangkatnya. Malas. Buang-buang waktu. (KKKT, 2005:64)

Wanita itu sangat angkuh. Lebih parah lagi, ia tidak membiarkan suaminya mengetahui pelik-pelik pendidikan sang anak. Berita dari tempat pendidikan sang anak ia tutup rapat bagi suaminya.

Kedatangan pihak sekolah pun ia sambut dengan reaksi yang tidak menyenangkan. Ia seakan tidak peduli dengan upaya pihak sekolah untuk memperbaiki kondisi Saras. Wanita pengelola kafe dan butik itu seakan menutup jalan keluar yang ditawarkan pihak sekolah, yaitu terapi bagi Saras dan sang ibu. Ia merasa tersinggung karena merasa digurui oleh guru konseling itu.

“Oke, terima kasih,” aku menerima kartu yang ia sodorkan. “Percayalah. Saya dan putri saya, tidak membutuhkan bantuan Anda. Saya biasa menangani masalah saya sendiri.” (KKKT, 2005:67)

Keangkuhan ibu yang pesakitan itu mencapai puncaknya ketika ia merasa jengkel dengan ulah putrinya yang membuat kamar tidur gadis itu berantakkan. Saras tidak sempat membereskan kamarnya karena pada saat ia sedang bermain kemah-kemahan dengan boneka kesayangannya, tiba-tiba terdengar bunyi dering telepon. Layaknya seorang polisi yang sedang menginterogasi pencuri ayam, sang ibu bertanya dan memaki anak semata wayangnya itu dengan kata-kata yang kasar. Saras berkali-kali memberikan penjelasan dengan sebenar-benarnya seraya menahan sakit akibat deraan dari sang ibu. Namun, ibu itu telah gelap mata. Ia seakan tidak mendengarkan penjelasan anaknya itu. Luapan kemarahan yang dahsyat membuat perilakunya tidak terkendali. Ditendangnya sang anak dengan sekuat tenaga hingga jatuh berguling-guling dan, akhirnya, gadis yang tidak berdosa itu terkapar tidak berdaya di lantai bawah.

(17)

Aku mau ke surga

Ketemu bidadari yang baik hati

Yang tidak suka memukuli (KKKT, 2005:66)

KDRT yang dilakukan oleh nenek kepada ibunya Saras semasa kecil dan yang dilakukan oleh sang ibu kepada Saras merupakan pelanggaran pasal 5 yang mengakibatkan cacat psikis dan fisik kepada korban. Ibu Saras mendapatkan kedua-duanya, tetapi yang tetap melekat hingga ia dewasa adalah gangguan psikis dalam dirinya. Hal itu terungkap dalam pertanyaan yang keluar dari kalbu Ibu Saras berikut.

Kenapa aku sering iri melihat kecantikannya, dan melihat betapa berlimpahnya materi yang diberikan Mas Fuad untuknya? Kenapa kadang aku suka melihat air mata yang mengalir di kedua pipi putihnya? Kenapa kadang keinginan untuk menyakitinya begitu kuat? Kenapa aku menikmati kepedihan di matanya tatkala kuhancurkan benda-benda kesayangannya? (KKKT, 2005:67)

Demikian pula dengan nasib Saras, gadis kecil yang menurut sang ibu juga harus dapat merasakan penderitaan dirinya semasa kecil dulu.

Satu yang terpatri di benakku, kalau dulu aku harus menderita, Saras juga harus merasakan apa yang pernah aku rasakan! (KKKT, 2005:68)

Bekas-bekas luka di tubuh Saras yang mencapai puncaknya dengan trauma hebat pada otaknya menjadi bukti tindak kekerasan yang dilakukan oleh sang ibu. Akibat luka parah yang dideritanya, Saras pun mengalami koma.

2.5 KDRT dalam Cerpen Bahagia Mutiara

KDRT dalam Cerpen Bahagia Mutiara tidak dalam bentuk kekerasan fisik melainkan kekerasan psikis. Hal itu menimpa salah seorang teman Mutia yang bernama Hetty. Semula Hetty menikah dengan Hari, teman seangkatannya di SMA Budi Utomo. Dari perkawinan itu Hetty mendapatkan dua orang anak. Namun, perkawinan itu tidak berjalan mulus karena perbedaan gaya hidup yang sangat drastis di antara mereka.

“Iyalah, mana bisa si Hari itu ngikutin gaya hidup Hetty? Kamu bener Ty pisah sama dia.” (BM, 2003:106)

Hetty yang terbiasa hidup borju tidak dapat menemukan kebahagiaannya di samping Hari karena penghasilan suaminya itu tidak pernah mampu mencukupi gaya hidupnya itu. Hal itu terungkap dalam kutipan pernyataan Weni berikut ini.

“Sampai kiamat kalau sama pegawai negeri itu, lu nggak bakalan bisa jalan-jalan ke luar negeri. Rumah kecil sumpek, garasi kosong, nggak ada handphone mahal, butik terkenal dan berlian seperti yang lo pakai sekarang…” Weni mencibir. (BM, 2003:106)

Akhirnya, Hetty memilih bercerai dengan Harry.

(18)

Selain kehilangan Hari, ia juga kehilangan kedua anaknya karena mereka lebih memilih ikut bersama ayahnya. Kedua anaknya itu memang lebih dekat kepada ayahnya.

“Anakku dua orang. Semua sama si Hari. Habis mereka memang deket sama papanya. […]”(BM, 2003:107)

Setelah perceraian itu, Hetty menikah lagi dengan Richard, seorang pengelola art gallery.

“Bagus. Lusa aku nememin dia ke Paris, buka cabang art gallery yang baru.” (BM, 2003:106)

Sejak perkawinan keduanya itu, Hetty memang bergelimang harta. Semua yang ia inginkan dapat terpenuhi. Namun, ada satu sisi duka di dalam kalbu Hetty.

Ia melihat mata Hetty berputar-putar sejenak menatap ke langit-langit ruangan, ia menangkap seberkas kesedihan. (BM, 2003:107)

Richard tidak menghendaki adanya keturunan di dalam perkawinan mereka. Bahkan, ia tidak menghendaki kedua anak bawaan Hetty dengan alasan agar Hetty tidak repot jika harus berpergian ke mana-mana.

“[…] Lagian kata Richard, aku nanti nggak bebas kemana-mana kalau bawa mereka.” (BM, 2003:107)

“Nggak ada. Richard nggak mau punya anak.” (BM, 2003:107)

Sikap Richard yang tidak menghendaki adanya keturunan dalam perkawinannya dengan Hetty merupakan pemaksaan kehendak yang berujung pada kekerasan psikis. Hetty dilanda duka dan sepi, tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa karena ia sangat bergantung kepada suaminya. Ia hanya dapat menuruti kehendak suaminya itu, meskipun hatinya menderita.

2.6 KDRT Dalam Cerbung “Dalam 2 X 24 Jam”

KDRT dalam cerbung yang berjudul “Dalam 2 X 24 Jam” tersebut terjadi dalam bentuk kekerasan fisik yang mengakibatkan kecacatan secara permanen pada Pinkan. KDRT tersebut bermula dari perilaku buruk Rahardi kepada Pinkan sebagai korban tetap kebrutalannya.

Jadi, korbannya itu selalu… Pinkan. (DJ I, 2004:108)

Rahardi sejak awal selalu berperilaku buruk kepada Pinkan. Berbagai jenis tindak kekerasan kerap diterima Pinkan dari suaminya.

Lalu berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa sambil selalu menutupi dengan baiknya bekas luka baret, bekas luka tusukan kecil, dan bercak-bercak kecokelatan bekas sundutan rokok. (DJ I, 2004:112)

(19)

Ya, sangat sering aku memulai pagi dengan menangis diam-diam di kamar mandi dengan tubuh berbalut seprai atau selimut penuh noda darah! Ketika itu, dengan keterbatasan pemahaman seorang anak kecil, aku tak pernah bisa menebak apa yang telah Rahardi lakukan terhadap Pinkan pada malam harinya hingga ia menangis dan berdarah-darah begitu! (DJ I, 2004:114)

Namun, Pinkan sang ibu bukan tergolong tipe perempuan yang berani melawan kepada suaminya. Ia selalu mengalah. Sikap dan diamnya Pinkan itulah yang membuat Alia menyimpan dendam sekian lama dalam hidupnya. Ia berbalik membenci ibunya.

Tapi, yang paling kubenci adalah Pinkan. Sebab, karena dialah semuanya jadi begini. Ia tak pernah berusaha melawan Rahardi! Andai ia berusaha untuk melawan sejak dulu, tentu tak akan begini jadinya! (DJ II, 2004:133)

Alia mendambakan agar ia memiliki seorang Pinkan yang berani. Ia berangan-angan bahwa jika ibunya berani melakukan perlawanan, peristiwa mengerikan itu tidak akan terjadi. Namun, Pinkan tetaplah Pinkan yang lemah. Ia tetap berdiam diri.

Puncak kebrutalan Rahardi terjadi pada saat Alia berusia sepuluh tahun. Saat itu terjadi pertengkaran hebat di antara kedua orang tuanya. Pinkan yang saat itu mulai menunjukkan perlawanannya berusaha membela diri atas tuduhan Rahardi yang tidak beralasan. Rahardi menuduh bahwa Pinkan telah berselingkuh dengan salah seorang stafnya di perusahaan tambang itu. Hal itu dipicu dengan masuknya pesan mesra yang salah sambung pada pewawat telepon di rumah itu. Pinkan yang tidak tahu menahu hal itu merasa disudutkan dan difitnah. Ia berusaha membela dengan kata-katanya. Mendengar perlawanan dari istrinya itu, Rahardi semakin kalap. Ia menyambar sebuah benda yang ada di dekatnya dan menghunuskan benda itu pada wajah sang istri dengan membabi buta. Peristiwa itu digambarkan secara gamblang dalam kutipan berikut.

Kesunyian yang lama ini agak tak biasa bagiku. Sepertinya Pinkan juga merasakan bahwa diamnya Rahardi yang cukup lama terasa aneh. Tapi, sebelum ia sempat benar-benar menyadari apa yang terjadi pada Rahardi, tiba-tiba sebuah kilatan logam berada begitu dengak dengan mata kanannya. Crap! Ada sesuatu yang menusuk langsung ke bola matanya. Pinkan lalu menjerit histeris dan secara spontan dengan cepat memegang matanya. Ada cairan berwarna merah pekat yang menyembur deras. Bau anyir darah mulai tercium oleh hidungnya. Juga hidungku. Pinkan melolong. Melengking.

[…]

Crap! Crap! Beberapa tusukan lainnya menyusul, masih pada mata yang sama, sebelum Pinkan sempat melihat dengan benar benda apa yang telah menusuk matanya itu. Begitu berulang-ulang. Hingga pada tusukan yang kesekian kulihat ia memegang sebuah benda bulat dan kenyal, sedemikian rupa dalam genggamannya. Ia menyangga benda itu dengan tangannya, persis di depan pipi kanannya. Itu adalah… sebuah bola mata! Ya, Tuhan! Itu adalah bola mata Pinkan!

[…]

(20)

kali ia bergerak. Pinkan menubruk benda-benda yang ada di ruangan itu seperti seekor banteng yang terluka! (DJ I, 2004:128)

Crap! Rahardi kembali mengayunkan garpu yang penuh darah itu ke kepala pinkan. Kulihat Pinkan limbung dan ambruk di dekat pintu. Mata kanan yang disangganya hati-hati, terlepas dari genggamannya. Dan kini, dengan jelas kulihat tergeletak di lantai, di dekat wajahnya yang penuh darah. (DJ I, 2004:129)

Setelah peristiwa itu disaksikannya, Alia tidak sadarkan diri selama beberapa waktu. Ketika sadar, ia tidak lagi melihat ibunya, Pinkan, melainkan seorang wanita lembut hati dan cantik bernama Refa. Ia seorang psikiater yang merawat Alia. Perilaku Alia sangat brutal karena pikirannya masih dibayangi dengan peristiwa yang mengerikan itu. Ia menolak pertolongan sang psikiater itu, bahkan pernah menggigitnya.

Memecahkan gelas baru sebuah permulaan. Siang dan sore harinya aku memecahkan sebuah gelas lagi dan sebuah mangkuk berisi sup daging. Di malam harinya aku menggigit lengan Dokter Refa yang masih saja ‘sok akrab’ mengajakku berbicara. (DJ II, 2004:132)

Pada awal masa perawatan, dua bulan, trauma berat yang dialami oleh Alia membuat gadis itu membisu.

Aku tak makan sama sekali dan tak bicara sama sekali. Aku hanya merasa sendirian dalam sebuah kubangan yang penuh darah. (DJ II, 2004:133)

Namun, berkat kesabaran Refa, akhirnya, Alia bersedia membuka mulutnya.

Oh, Tante Refa! Hampir enam tahun aku hidup bersamanya seperti layaknya anaknya sendiri. Ia dengan sabar menghadapi kelakuanku dan selalu mencoba mengarahkanku pada perilaku yang benar. Ia selalu tahu bagaimana cara menarik hatiku dan menghentikan semua kemarahan dan dendam yang menggelegak dalam diriku. (DJ III, 2004:131)

Untuk perawatan selanjutnya, Alia dititipkan sang ibu kepada psikiater itu. Sementara itu, sang ibu pergi meninggalkan anaknya dan bekerja di tempat lain. Semula sang ibu senantiasa mendatangi Alia di rumah sakit, tetapi penerimaan gadis semata wayangnya itu sangat buruk kepadanya. Alia masih menaruh rasa benci kepada ibunya itu. Setelah beberapa lama berselang, sang ibu memutuskan untuk pergi dari kehidupan Alia. Semasa sekolah, Alia kerapkali menjadi troublemaker. Emosinya kerapkali tidak terkendali. Ia membenci kekalahan dan tidak mau mengalah.

Semua itu kulakukan karena aku tak mau orang mengganguku atau meremehkanku. Aku tak pernah mau mengalah pada apa yang kuanggap sebagai upaya orang untuk menginjak harga diriku. Tak ada orang yang boleh mengalahkanku! (DJ III, 2004:105)

(21)

Aku pernah memukuli seorang anak di sekolahku dengan ikat pinggang hingga tubuhnya penuh bilur. Aku juga pernah menendang perut kakak kelasku, perempuan, hingga ia terpaksa dibawa ke UGD. Katany, tulang rusuknya sedikit bergeser karena kerasnya tendanganku! (DJ III, 2004:105)

Tidak sedikit orang tua atau guru-guru yang mengadukan tingkah Alia kepada Refa. Namun, wanita itu selalu menerima keluhan tersebut dengan penuh ketenangan. Setelah itu, ia akan menasihati Alia dengan lemah lembut. Puncaknya, ketika Alia berusia enam belas tahun, ia telah membuat dua jari tangan temannya patah. Ketika itu Refa menyadari bahwa ada sesuatu yang dirindukan oleh anak asuhnya itu. Refa mengetahui bahwa Alia sedang merindukan kehadiran sang ibu, yang ia sebut Pinkan. Alia yang telah reda emosinya lalu ditunjukkannya sebuah surat peninggalan Pinkan sebelum wanita malang itu pergi dari kehidupan anaknya. Isi surat itu, antara lain, penjelasan Pinkan tentang kepergiannya, penyakit yang diderita ayahnya, dan nasihat agar anak semata wayangnya itu tidak membencinya karena Rahardi tetaplah ayahnya, serta pemberitahuan bahwa bekal untuk hidupnya telah dititipkan kepada Refa. Penggalan surat tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

Ayahmu dipenjara. Kami tak lagi bersama. Ia menderita sakit yang sulit disembuhkan. Ia berbuat begitu semata-mata karena ia tak mampu melawan penyakitnya. Karena itu, jangan kau benci dia. Bagaimanapun di ayahmu. […]

Semua uang dan harta yang Ibu miliki, sudah ibu titipkan pada dokter refa untuk bekalmu di masa depan. Semoga bisa sedikit mengurangi bebanmu, alia. Hiduplah dengan tenang dan wajar. Kejarlah kebahagiaanmu. […] (DJ III, 2004:108)

Sejak saat itu Alia berubah menjadi tenang. Bahkan, Edwin yang sedari tadi mendengarkan cerita kekasihnya itu seakan tidak percaya.

Dalam hati ia bertanya-tanya tak yakin, benarkah ini Alia? Gadis yang selama lima tahun ini menjadi kekasihnya, bahkan calon istrinya? Benarkah cerita itu terjadi pada Alia yang sehari-hari terlihat berpembawaan tenang dan sangat terkendali? Rasanya Edwin ingin menolak semua cerita itu karena tak pernah terbayangkan semua itu sungguh-sungguh terjadi pada gadis terkasih di hadapannya. Alia, gadis periang dan maskulin, yang dalam kesehariannya seperti tak punya masalah; apalagi rasa takut! (DJ II, 2004:131)

Setelah itu, semalaman Edwin berupaya membantu kekasihnya mencari informasi tentang keberadaan Pinkan di internet. Pemuda yang setia itu akhirnya menemukan nama calon mertuanya. Terakhir kali nama Pinkan tercantum dalam sebuah perusahaan tambang raksasa di Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat.

(22)

Kembali pada persoalan KDRT, tindakan brutal Rahardi dipicu oleh penyakit yang telah lama menggerogoti tubuhnya. Naman penyakit itu tidak disebutkan dalam cerita dan hal itu mengundang berbagai persepsi pada para pembacanya. Penyakit itu telah sedemikian menggerogoti Rahardi hingga ia sendiri tidak mampu melawannya. Hal itu memicu perubahan perilakunya menjadi sadis dan brutal yang hanya dapat ia lakukan kepada Pinkan, istrinya. Jika ia sedang melakukan hal itu, ia tidak pernah mendapatkan perlawanan dari sang korban. Semakin deras airmata dan rintihan yang ia lihat dan ia dengar dari diri Pinkan semakin puaslah ia.

Penulis berasumsi bahwa Rahardi juga seorang psikopat karena ia akan merasa puas dan senang jika melihat korbannya semakin menderita. Selain itu, pada saat peristiwa tragis itu terjadi, Rahardi justru mengembangkan senyum kemenangannya melihat Pinkan menderita luka parah bahkan cacat pada matanya. Hal itu terungkap dalam kutipan kesaksian Alia berikut ini.

Lalu kualihkan pandanganku pada Rahardi. Laki-laki itu terpaku di depan pintu, berusaha menghalangi Pinkan ke luar ruangan. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Bagiku, detik itu ia terlihat sangat mirip dengan tokoh Penguin yang diperankan Jack Nocholson dalam cerita Batman. Seringainya terlihat sangat licik dan jahat! (DJ I, 2004:112)

Puncak kebrutalan yang dilakukan oleh Rahardi menorehkan jejak yang dahsyat di dalam diri Alia yang saat itu telah berusi sepuluh tahun. Kenangan psikologis yang buruk itu menyebabkan gadis itu berbalik membenci sang ibu, selain sang ayah, hanya karena ia tidak pernah melihat ibunya melakukan perlawanan untuk membela diri, tetapi hanya bersikap pasrah dan menerima perilaku buruk ayahnya itu.

3. Simpulan

KDRT dalam rumah tangga bukan merupakan hal yang baru melainkan telah terjadi sejak generasi pertama manusia di muka bumi. Peristiwa pembunuhan pertama manusia di muka bumi yang dilakukan Qabil terhadap Khabil menandai bahwa di dalam diri manusia telah terselip nafsu hewani. Fir’aun sang penguasa tirani juga melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya yang bernama Asiah, seorang wanita yang teguh memegang akidahnya, karena wanita itu bertahan tidak menginginkan mengikuti kebiasaan Fir’aun. Selain kepada istrinya, simbol penguasa bejad itu juga melakukan penyiksaan terhadap pelayan setia istrinya, Maesaroh, yang bersikap sama dengan Asiah. Tindakan Fir’aun tersebut pada akhirnya menelan nyawa kedua wanita itu. Banyak para pemikir yang hidup pada abad pertengahan di Eropa yang bertindak sesuka hatinya kepada anggota keluarganya, di antaranya, ada yang tega membuang kelima anaknya yang ia anggap telah membuat keributan di rumahnya dan ada pula yang tega mendorong istrinya yang sedang hamil tua ke dalam jurang.

(23)

Berkaitan dengan judul tulisan ini, banyak karya sastra yang memuat tindakan kekerasan dalam rumah tangga, seperti novel (1) Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan, Keluarga Permana, Adam Hawa; (2) cerpen yang berjudul Keping-Keping Kasih Terakhir dan Bahagia Mutiara; dan (3) cerbung yang berjudul 2 X 24 Jam.

KDRT yang diterima oleh Nyai Dasima bermula dari keinginan Bang Samiun untuk mendapatkan harta wanita itu yang lumayan banyak. Padahal, kehidupan Bang Samiun sendiri sudah berkecukupan. Namun, hartanya habis untuk foya-foya istrinya, Hayati di meja judi serta pemerasan yang dilakukan oleh mantan centeng mertuanya, Bang Puase, yang setiap saat selalu datang kepadanya. Keluarga haus harta itu merasa mendapatkan angin segar sejak kedatangan Dasima. Sebagian harta Dasima yang melimpah itu habis dipakai foya-foya keluarga madunya itu. Dasima yang merasa bahwa dirinya hanya menjadi sapi perahan seisi rumah, menuntut cerai dan pengembalian hartanya kepada suami keduanya itu. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukan karena Bang Samiun tidak akan dapat mengembalikannya. Mereka berkonspirasi dengan centeng itu untuk menyingkirkan Dasima.

Selain Nyai Dasima, masih ada lagi KDRT yang disebabkan oleh aspek materi, seperti yang terdapat dalam Bahagia Mutiara. Terpenuhinya materi yang selama ini diimpikan oleh tokoh Hetty bersama suami keduanya harus dibayarnya dengan harga yang sangat mahal. Suaminya, Richard, tidak menghendaki kehadiran sang anak dalam perkawinan mereka. Ia harus merelakan dirinya hidup tanpa anak dari perkawinannya itu, sementara anak dari hasil pernikahannya yang pertama tidak mau turut bersamanya.

Selain karena faktor ekonomi, faktor psikologis juga dapat menjadi pemicu terjadinya tindakan KDRT, seperti perlakuan Adam yang sangat egoistis terhadap Maia, Munah, dan Khabil menyeret tindakan kriminal terhadap dirinya sendiri. Dengan memberdayakan anaknya, Marfu’ah, Maia membalaskan dendamnya dengan mulus. Demikian pula dengan kasus yang menimpa Saras. Sang ibu yang sejak kecil tidak pernah dilakukan dengan adil dan penuh cinta kasih, membalaskan dendamnya kepada sang anak dengan pertimbangan bahwa buah hatinya itu harus turut merasakan penderitaan yang sama seperti dirinya dulu. Sementara itu, tokoh Permana juga melampiaskan frustasinya kepada anak dan istrinya. Namun, sikap Permana yang buruk itu berakibat fatal bagi keluarganya. Ia harus kehilangan anak bungsunya, Ida, setelah mengalami peristiwa aborsi itu. Contoh lain adalah kebrutalan Rahardi yang psikopat terhadap Pinkan, istrinya. Hal itu ternyata membekaskan jejak luka psikis yang sangat dalam pada diri Alia, anak Rahardi dan Pinkan, hingga ia harus menjalani terapi pemulihan yang sangat lama.

Pemicu utama terjadinya KDRT adalah faktor ekonomi atau hal-hal yang berkaitan dengan materi dan faktor psikologis atau hal-hal yang tidak kasat mata. Akibat dari tindakan KDRT adalah penderitaan fisik, termasuk mengakibatkan cacat permanen, penderitaan psikis, bahkan kematian. Korban dari KDRT itu bukan hanya perempuan dan anak-anak, melainkan dapat pula menimpa kaum laki-laki, seperti dalam novel Adam Hawa. Sementara itu, dari karya sastra tersebut, para pengarang menyampaikan pesan kepada pembaca karyanya bahwa KDRT itu seperti ulah setan, siap mengintai mangsanya setiap saat dan kepada siapa saja.

4. DAFTAR PUSTAKA

Ali, Rahmat. 2000. Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan. Jakarta: PT Grasindo

(24)

As, Sumijati. 2001. Manusia dan Dinamika Budaya: dari Kekerasan sampai Bratayuda. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM bekerjasama dengan BIGRAF Publishing.

K.H., Ramadhan. 1978. Keluarga Permana. Jakarta: Pustaka Jaya.

Khaldi, Nadira. 2004. “Dalam 2 x 24 Jam”. Cerbung dalam Femina Nomor 34/XXXII. 19—25 Agustus 2004 (hlm. 108—114)—Nomor 37/XXXII. 9—15 September 2004 (hlm. 104—109). Jakarta: PT. Grafika Multi Warna.

M. Dahlan, Muhidin. 2005. Adam dan Hawa. Yogyakarta: ScriPtaManent.

Nurgiantoro, B. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rosalba, Asmarani. 2003. “Bahagia Mutiara”. Cerpen dalam Majalah NOOR edisi Nomor 02/TH. I/Juni 2003 (Rabiul Akhir 1424 H). Jakarta:PT Obor Sarana Utama.

Rustam. 2005. “Budaya Ilhami Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Artikel dalam harian Sriwijaya Post

edisi Minggu, 25 September 2005, halaman 16.

Sariah, et.al. 2003. “Citra Wanita Sunda dalam Novel Ramadhan K.H.”. Bandung: Balai Bahasa Bandung.

Tim Penyusun Nuansa Alia. 2005. Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Beserta Penjelasannya. Bandung: Nuansa Aulia.

Tri Damayanti, Yunita. “Keping Kasih Terakhir”. Cerpen dalam Majalah UMMI Nomor 9/XVI Januari-Februari 2005/1425 H. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji dan syukur penulis tujukan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “ Analisis Kadar Logam Merkuri

At Kumamoto University, she continued her research regarding sediment material properties of Bengawan Solo River in downstream and estuary which had been started

One approach that has seen a steady rise in popularity in recent years is the introduction of service virtualization as a means for development teams to regain control over

Sedangkan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: tenaga kerja; koperasi dan usaha kecil dan menengah;

PENGUKURAN DAN PEMETAAN BIDANG TANAH MARKAS BATALYON BEKANG 1 KOSTRAD CIBINONG BOGOR.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sistem Bursa Usaha Santri dan Alumni memilikitiga entitas luar yang berhubungan dengan sistem yaitu pengguna umum, anggota dan administrator.Rancangan kerja sistem

Intisari--- Bengkel bubut adalah salah satu unit usaha jasa yang bergerak dalam bidang otomotif dan berkembang dengan baik. Sebagian besar pengusaha bengkel bubut masih

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : “ Meningkatkan Kemampuan naturalis anak melalui pemanfaatan lingkungan alam sekitar “. B.