• Tidak ada hasil yang ditemukan

QUO VADIS INSTITUSI MORAL DI ERA IRELEVA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "QUO VADIS INSTITUSI MORAL DI ERA IRELEVA"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Pointers Diskusi [Tidak untuk dikutip]

QUO VADIS INSTITUSI MORAL DI ERA IRELEVANSINYA: Agama dan Tantangan di Era Pascamodernitas

1. Latar Belakang:

a. Karakter era pascamoderen

i. Runtuhnya tiang-tiang penyangga kehidupan (negara, pasar, ide-ide universal mulia [keadilan, kebaikan, cinta kasih, persahabatan, dst.], agama, pendidikan, dst.)

ii. Perayaan perbedaan; penolakan absolusitas/universalitas; mentalitas “semuanya berpulang ke diri masing-masing”

iii. Perayaan dan normalisasi banalitas, kedangkalan, permukaan,

penampakan, imaji, dan citra dalam seluruh aspek kehidupan. Bahkan otentisitas pun dicitrakan, disimulasikan, dan dibanalkan. (Contoh: reality show yang sebenarnya jelas-jelas tidak realistis)

iv. Penolakan terhadap batas-batas tradisional kehidupan (norma, moral, etika, nilai, dst.), dibarengi sinisme dan cemooh terhadap para

pemegang teguh nilai-nilai tradisional. b. Efek pascamoderen

i. Efek terparah dari pascamodernisme adalah melumpuhkan

rasionalitas umat manusia untuk bisa berbicara tegas mengenai suatu kebenaran tunggal

ii. Kepengecutan untuk mengklaim kebenaran dan bertanggung-jawab atasnya (dalam artian Robespierre)1, membuat masyarakat cenderung

permisif, relativis, penuh pembenaran-diri, malas berpikir dan bersembunyi di balik mentalitas kawanan (herd).

iii. Sinisme terhadap klaim kebenaran hakiki adalah bentuk rasionalitas baru yang diadopsi seluruh orang yang telah purna diselubungi idiologi pascamoderen.

2. Problem:

a. Agama di era pascamoderen, irelevan dalam tiga hal:

b. Pertama, agama justru turut hanyut dan ditransformasikan oleh pascamodernitas itu sendiri.

i. Agama membuat umatnya “berpulang ke diri masing-masing” dan menciptakan 2 jenis manusia individualis yang belum pernah ada di zaman-zaman sebelumnya:

1 Robespierre pernah suatu hari berkata bahwa rezim terornya (reign of terror) yang dilaksanakannya di masa-masa

(2)

1. Manusia yang mengurung diri dalam asketisme “hubungan pribadi dengan tuhan” seraya memutus diri dengan logika sosial masyarakat.

2. Manusia yang ekstrim dan violent dalam memperjuangkan keyakinan pribadinya dengan tuhan seraya memutus diri dengan logika sosial masyarakat.

ii. Agama pun terpaksa, disadari atau tidak, menandingi

pascamodernisme dengan iming-iming surga, berkat dan kelimpahan, dan akhirnya menciptakan manusia-manusia materialistis yang belum pernah ada di zaman-zaman sebelumnya yang memandang agama dalam kerangka transaksional jual-beli (jualan surga, dibeli dengan devosi).

iii. Persis seperti gempita sensasi konsumerisme pascamoderen, Agama hanyut dalam perayaan sensasional keilahian, “merasakan hadirat tuhan nyata,” impartasi ilahi, dst., yang sepenuhnya adalah fenomena psikis-kognitif yang sudah selesai terjelaskan oleh ilmu-ilmu

neurosains. Agama akhirnya tidak lebih dari sekedar sinyal sensori yang diantarkan saraf motorik ke otak.

c. Kedua, agama tidak mampu mengimbangi rayuan pascamodernisme ke masyarakat.

i. Seluruh ajaran agama ber-“nada” imperatif (suruhan, paksaan, pantangan, ancaman, dst.), berkebalikan dengan pascamodernitas yang ber-“nada” ajakan kenikmatan, rayuan, buaian.

1. Takut dengan ancaman namun belum rela melepaskan buaian pascamodernitas, kebanyakan orang beragama “berhasil”— baik secara konotatif maupun denotatif!—memelihara dua wajah, dua kepribadian, dua mentalitas.

ii. Alhasil, agama hari ini tak ubahnya seperti Gereja di abad pertengahan: dihormati dipermukaan saja; menjadi simbol kelas menengah/atas (aristokrat, plutokrat, royalis); berpongah gagah padahal ia secara persis tahu bahwa tidak ada yang benar-benar menseriusinya.

d. Ketiga, tradisi intelektualitas agama (di semua agama!) menjadi lumpuh karena tidak mampu mematahkan argumentasi logis dari pascamodernisme.

i. Yang bisa dilakukannya adalah secara membabi-buta mengutuk, mengutuk, dan mengutuk sembari terus secara narsistik merujuk ke keyakinan-keyakinan tekstualnya sendiri.

(3)

masyarakat untuk naïf bertahan “karena pencobaan yang kamu alami tidak akan melampaui kekuatanmu.”

1. Masyarakat akhirnya menjadi lumpuh intelektualitasnya untuk secara aktif berfikir: mencari akar penyebab permasalahan kongkritnya, memperjuangkan solusi ideal, dan mencari alternatif kongkrit bagi persoalan kehidupannya.

3. Problem dengan pascamodernisme

a. Jauh dari menjunjung tinggi kebebasan, pascamodernisme justru mengungkung masyarakat dalam kebebasan semu.

b. Pascamodernisme justru memanfaatkan kebebasan untuk terus memantapkan eksploitasi pasar bebas dan ketimpangan sosial yang disyaratkannya.

c. Pascamodernisme mengeksploitasi pluralisme dan multikulturalisme i. “apapun suku, agama dan ras anda, yang penting tetap anda

berbelanja di mal.”

ii. AS, misalnya, justru mengkampanyekan “Islam moderat” untuk memuluskan operasi kultural-intelijennya di Asia-Tenggara (termasuk Indonesia).2

iii. Memelihara perbedaan, tidak hanya SARA, melainkan cita-rasa, selera, hobi, bacaan, kendaraan, pola hidup, idola, dst.: supaya semuanya disediakan oleh pasar.

iv. Tapi apakah di dalam pasar ini para pekerja hidup sejahtera? Semua statistik organisasi internasional mengatakan tidak.3

4. Quo vadis Agama di era irelevansinya: jalan buntu kah?

5. Argumen

a. Urgensi merehabilitasi dan merekonseptualisasi peran sosial-politik Agama di masyarakat.

i. Sosial harus diartikan jauh lebih dari sekedar filantrofia dan

kedermaan yang sepenuhnya munafik dan khas borjuasi yang sekedar ingin menghilangkan rasa iba dan kasihannya semata.4

2 Angel Rabasa & Cheryl Benard, Building Moderate Muslim Networks, RAND (2007). Dokumen bisa diakses di:

http://www.rand.org/pubs/monographs/MG574.html

3 Lihat indikator-indikator mengenai Indeks GINI, indeks pengangguran, indeks pendapatan rumah tangga.

Bahkan di AS, semua indikator ini anjlok naudzubillah!

4 Teramat penting untuk diklarifikasi! Dikatakan munafik karena perasaan-perasaan ini menyembunyikan suatu

(4)

ii. Politik harus diartikan jauh lebih dari sekedar oportunisme politik praktis (perebutan kursi kepemerintahan) oleh orang-orang yang mencoba memanfaatkan kelembaman dan ketidak-berpikiran umat yang sudah terlumpuhkan oleh pascamodernitas.

1. Politik adalah utamanya persoalan perjuangan ide-ide tentang kebaikan bagi kehidupan masyarakat. Jadi ada dua hal yang harus bersamaan ada dalam politik: perjuangan dan ide. Berjuang saja tanpa ide adalah kenaïfan dungu; sementara ide saja tanpa perjuangan adalah snobbisme menjijikkan.

b. Terlebih dari itu, Agama harus merebut kembali tradisi intelektualitas dan pemikirannya. Menyuntikkan kembali ke seluruh umatnya.

c. Agama adalah institusi sosial unik yang berpotensi mengklaim suatu kebenaran yang absolut—lebih dari “kepentingan nasional” milik negara; lebih dari “keuntungan bersama” ala pasar; dst. Kebenaran absolut ini adalah kebenaran yang sama sekali tidak subyektif (bergantung sensasi, perasaan mentali-psikis) dan memiliki kedalaman yang mampu menerobos banalitas ritual keagamaan yang tertampakkan ke publik.

d. Tantangan terberat Agama hari ini: mengalahkan pascamodernisme tepat di medan permainan pascamoderen itu sendiri. (Tanpa perlu secara narsis membentengi diri dengan ayat-ayat suci dan mengalungkan “bawang putih” ke umat-umat anak bawangnya).

i. Hanya dengan ini Agama mampu membuktikan bahwa ialah sang

pembawa pesan, ide, dan kebenaran yang absolut.

ii. Mampukah?

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan takhrij dan i'tibar, langkah selanjutnya adalah kritik sanad. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian, dan penelusuran sanad hadis tentang

Bab ini menjelaskan secara detail mengenai skema aliran fluida di sekitar dua silinder side-by-side, penyelesaian persamaan Navier-Stokes menggunakan algoritma

Sedangkan terjadinya perubahan posisi pada subsektor perikanan dari non basis (LQ<1) menjadi basis (DLQ>1) sehingga kedepan subsektor perikanan dapat

Seperti disebutkan di atas bahwa penyakit ini adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun meskipun jumlah penderita penyakit ini mulai menurun, tapi tidak dapat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua faktor yang dipelajari seperti ukuran perusahaan, jenis sektor, tingkat risiko, ukuran dewan komisaris, dan

Proses curah hujan bergantung pada uap air yang masuk kedalam sistem awan dan efisiensi bagaimana uap air dapat diubah menjadi tetes hujan. Pemasukan uap air

Teknik dokumentasi merupakan salah satu teknik dalam pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen- dokumen baik tertulis, gambar, maupun elektronik

3.1. Logo Simbol, yaitu logo berupa ‘tanda’ yang sudah dikenal dan dipahami oleh banyak komunitas bahkan antara bangsa karena sudah menjadi kesepakatan bersama, dima- na