• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENCERMATI AKAR KULTURAL KEKERASAN DALAM (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENCERMATI AKAR KULTURAL KEKERASAN DALAM (1)"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

MENCERMATI AKAR KULTURAL KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA

Oleh Agus Afifuddin *)

Abstraksi

Tulisan ini bermaksud untuk memahami dan mencermati akar kultural kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu juga untuk mengindetifikasi dan melacak faktor-faktor apa saja yang kerap menjadi pemicu munculnya kekerasan rumah tangga tersebut. Disamping itu juga untuk menemukan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga serta dampak-dampaknya, serta antisipasi dan alternatif pemikiran untuk memperkuat posisi istri dalam rumah tangga sebagai pikiran banding memecahkan masalah kekerasan dalam rumah tangga.

Beberapa faktor yang teridentifikasi dalam artikel ini bahwa sebagian besar kekerasan rumah tangga berakar dari kultur dan cara pandang budaya yang dominan di masyarakat. Tampak dalam artikel ini budaya patriarkhi turut berkontribusi dalam melanggengkan tradisi kekerasan keluarga. Selain itu artikel ini juga menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga bisa dipicu oleh rendahnya kepercayaan, adanya PIL, WIL, ekonomi suami sulit, gaya hidup berbeda, dan suami atau istri berselingkuh. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh istri adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan emosional (*)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Adalah tidak terbantahkan, setiap individu atau masyarakat menginginkan kehidupan yang bahagia, sejahtera lahir batin dan memiliki keturunan. Tidak seorang pun di dunia ini yang menghendaki kehidupan yang kering dan kesepian. Terlepas dari kelas sosial dan strata ekonomi dan ideologi apapaun mereka, semua menghendaki kehidupan yang harmonis.

(2)

Menurut Undang-undang Pencegahan KDRT No. 23 Tahun 2004, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Adapun bentuk-bentuk KDRT seperti disebut di atas, dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk: (1) Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat, (2) Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll, (3). Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu, dan (4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut

Berbagai bentuk kekerasan rumah tangga demikian itu pada urutannya kerap menimbulkan berbagai dampak negatif bagi korban dan keluarga. Kekerasan fisik umumnya berakibat langsung dan dapat dilihat mata seperti cidera, luka, cacat pada tubuh dan atau kematian. Kekerasan emosional atau psikologis umumnya sulit terlihat dan jarang diperhatikan tetapi membawa dampak yang jauh lebih serius dibanding bentuk kekerasan yang lain. Akibat psikis ringan yang dialami antara lain ketakutan, perasaan malu, terhina dan terasing. Sedangkan akibat psikis yang lain yang dialami antara lain perasaan rendah diri dan kehilangan rasa percaya terhadap nilai-nilai keluarga (family values). Muaranya adalah kerap terganggunya perkembangan mental para korban dan anak-anak dalam keluarga yang akan menghambat potensi-potensi diri selanjutnya. Karena itu, kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah bersama, yang harus segera ditangani dan dicari solusinya. Jika masalah KDRT berlarut-larut, lambat dipecahkan dan ditangani serius, maka akan menimbulkan dampak berkepanjangan. Disamping itu, kekerasan rumah tangga yang dibiarkan berlarut, akan semakin rumit sehingga membutuhkan penanganan yang lebih kompleks.

Akar Kultural

Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi fenomena sosial yang sering terjadi di semua lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi menengah atas maupun kelas bawah. Secara umum kekerasan dalam rumah tangga bisa dialami oleh siapa saja baik itu perempuan maupun laki-laki. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa korban terbesar kekerasan dalam rumah tangga lebih kerap menimpa pada pihak perempuan.

(3)

tangga), sedangkan suami adalah pemimpin. Dapat juga karena faktor individual, dimana dalam masyarakat, pihak laki-laki cendurang indentik dengan kekuasaan, laki-laki ditakdirkan untuk berkuasa atas diri dan orang sekelilingnya.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat dipicu akibat multifaktor. Kalau dicermati, ada beberapa hal yang dapat menyebabkannya. Antara lain bisa karena masalah ekonomi, kurangnya komunikasi, adanya WIL atau PIL, tidak ada kecococokan dengan mertua, rasa ego yang tinggi terhadap istri yang bekerja, kurang harmonis hubungan seksual, umur perkawinan yang masih muda, suami istri yang relatif masih muda, dan lainnya.

Komunikasi yang terganggu antara suami istri, pada urutannya juga dapat menjadi benih yang akan menggerus kepercayaan antar mereka. Demikian pula masalah kedudukan dari suami dan istri yang timpang, tidak jarang merupakan salah satu faktor memicu ketidak sepahaman antar pasangan. Lalu timbulah benih-benih konflik keluarga.

Begitu juga masalah ekonomi, kerap dapat menjadi akar penyebab. Ketika sebuah keluarga terhimpit masalah keuangan, sangat mungkin akan berujuang pada tindakan-tindakan kekerasan. Demikin juga ketika sedang berkelebihan, tidak menutup kemungkinan akan memicu sikap ego sektoral dalam rumah tangga.

Demikian juga dengan masalah seksual, kerap pula menjadi benih awal konflik keluarga. Apalagi di sebagian masayarakat masih hidup pandangan sepihak dan sempit yang menempatkan pihak istri adalah pihak yang subordinat, terbatas dalam hal urusan kasur dan dapur. Perempuan, dalam konteks seksual, akibatnya kerap diminimalisir perannya secara sempit.

Namun demikian, pandangan umum yang mendalilkan bahwa pelaku kekerasan rumah tangga selalu adalah pihak suami, agaknya juga perlu diluruskan. Karena realitasnya tidaklah demikian. Pada satu sisi memang tidak dapat dipungkiri bahwa kerapkali pihak perempuan yang menjadi korban. Namun pada sisi yang lain tidak mustahil juga perempuan justru menjadi pelaku kekerasan, meskipun kuantitasnya lebih rendah.

Gunung Es

Sejak diberlakukannya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, kekerasan rumah tangga bukan lagi dipandang sebagai masalah domestik rumah tangga, melainkan telah memasuki ranah hukum. Konsekwensinya, kini pelaku kekerasan keluarga dapat dijerat hukum dan dipidanakan. Dari liputan media kita juga kerap membaca, sejumlah kasus kekerasan rumah tangga berakhir dibalik jeruji penjara. Dengan penegakan hukum demikian, pemberlakuan UU KDRT tentu saja diharapkan dapat menekan kemungkinan merebaknya kasus kekerasan rumah tangga. Pertanyaannya, semenjak pemberlakuan UU KDRT ini, apakah berdampak terhadap kecenderungan (trend) meningkatnya kasus kekerasan atau justru sebaliknya. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu perlu dilakukan penelitian yang lebih detail dan obyektif sehingga didapatkan data yang aktual menyangkut angka statistik kekerasan rumah tangga.

(4)

munculnya ketakutan korban terhadap pelaku (suami) terutama faktor ekonomi karena jika suami ditangkap maka akan mengancam kehidupan perekonomian keluarga. Selain itu juga masih hidupnya pola pikir masyarakat yang menganggap hal tersebut sebagai urusan internal keluarga yang mesti dipendam dan tabu untuk dibawa ke ranah publik.

Pada titik demikian, setidaknya terdapat dua perspektif besar untuk mengantisipasi dan menekan kecenderungan merebaknya kasus kekerasan rumah tangga. Pertama, perspekti law enforcement, yakni penegakan hukum terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban. Pada poin ini pemberlakuan UU KDRT agaknya mesti diimbangi dengan sosialisasi intensif ke masyarakat. Selama ini sebagian kalangan masih belum tersentuh oleh informasi ihwal UU KDRT. Mereka masih mengangap sebagai urusan domestik keluarga. Padahal dengan pengetahuan bahwa kekerasan rumah tangga merupakan ranah publik dan hukum, posisi tawar korban akan lebih kuat; dan kedua, perspektif pemberdayaan ekonomi rumah tangga perempuan. Dengan langkah ini maka posisi istri menjadi relatif lebih memiliki resitensi terhadap kemungkinan tindak kekerasan karena posisinya yang kuat dalam institusi perkawinan, baik secara ekonomi, sosial maupun emosional. Apalagi sebagian kasus yang muncul akarnya adalah karena ketergantungan ekonomi perempuan terhadap suami.

Dengan dua langkah ini, setidaknya selain ancaman efek jera dan hukum, pencegahan kekerasan juga dapat diantisipasi dengan aspek pencerahan terhadap paradigma yang keliru di masyakarat tentang kepemimpinan dalam keluarga. Tentu tidaklah mudah merubah aspek paradigma berfikir masyarakat semudah membalik telapak tangan. Apalagi ketika paradigma tentang kekuasaan laki-laki yang dominan dalam rumah tangga tersebut sudah lama hidup dalam masyarakat. Setidaknya, pada pihak suami, aspek pencerahan demikian menjadi penting, bahwa posisinya sebagai kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga haruslah bisa bertindak adil dan bijaksana. Kekuasaan suami haruslah ditempatkan secara proporsional tanpa harus bersifat sewenang-wenang dengan istri, apalagi melakukan kekerasan terhadap istri. Karena hubungan suami dan istri pada dasarnya adalah dibentuk untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, tanpa ada kekerasan***

wallahu a’lam bisshowab.

Referensi

Dokumen terkait

Turbin angin sumbu vertikal merupakan turbin angin yang sumbu rotasi rotor tegak lurus terhadap permukaan tanah. Jika dilihat dari efisiensi turbin, turbin angin

Muhammad Munir, Da’i dan Toleransi Antarumat Beragama ( Studi Fenomenologi Da’i Aktivis Kerukunan Antarumat Beragama ). Surabaya: Prodi Komunikasi Penyiaran Islam

Pada tugas akhir ini, sistem yang dibangun untuk melakukan penelitian terhadap data ayat Al-Qur’an terjemahan Bahasa inggris yang diklasifikasikan dengan

Berdasarkan analisa keragaman, perbedaan rasio penambahan tepung terigu dan tepung kentang hitam memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa ( hedonic )

Food bar adalah campuran bahan pangan (blended food) yang diperkaya dengan nutrisi, kemudian dibentuk menjadi bentuk padat dan kompak (a food bar form). Tujuan

1. Kawasan rawan bencana alam meliputi kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, kawasan rawan banjir, kawasan rawan angin topan dan kawasan rawan