• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisishukum Pidana Hak Imunitas Advokat Dalam Melaksanakan Profesinya Sebagai Penegak Hukum Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisishukum Pidana Hak Imunitas Advokat Dalam Melaksanakan Profesinya Sebagai Penegak Hukum Di Indonesia"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di

dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan

ketentuan undang-undang. Peran dan fungsi advokat meliputi pekerjaan baik yang

dilakukan dipengadilan tentang masalah hukum pidana atau perdata, seperti

mendampingi klien dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan (di kejaksaan atau

kepolisian) atau beracara dimuka pengadilan. Advokat mempunyai kualifikasi dan

otorisasi untuk berpraktek di pengadilan dalam memberikan nasihat hukum dan

mendampingi serta membela kliennya dalam persoalan hukum, sehingga

kebebasan profesi advokat sangat penting manfaatnya bagi masyarakat yang

memerlukan jasa hukum (legal services) dan pembelaan (litigation) dari seorang

advokat. Sehingga seorang anggota masyarakat yang perlu dibela akan mendapat

jasa hukum dari seorang advokat independen, yang dapat membela semua

kepentingan kliennya tanpa ragu-ragu.1

Setiap advokat memiliki kekebalan (hak imunitas) dalam menjalankan

tugasnya. Yang dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan dari advokat

untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan

pendapat, keterangan atau dokumen kepada siapapun dalam menjalankan tugas

profesinya, sehingga dia tidak dapat dihukum sebagai konsekuensi dari

pelaksanaan tugas profesinya. Yang dimaksud dengan kebebasan adalah terhadap

dan karena tindakannya tersebut, terhadap para advokat dan kliennya tidak

1

(2)

2

dilakukan tekanan, ancaman, hambatan, ketakutan, atau perlakuan yang

merendahkan harkat dan martabat profesi advokat.2 Dalam pasal 16

undang-undang No 18 Tahun 2003 dikatakan bahwa “advokat tidak dapat dituntut, baik

secara perdata maupun pidana didalam menjalankan tugas profesinya dengan

itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien”. Artinya bahwa advokat itu

mempunyai hak imunitas untuk tidak dapat dituntut, dan arti etikad baik adalah

menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk

membela kepentingan kliennya.

Untuk itu hak imunitas ini perlu dipahami tidak hanya oleh advokat,

tujuannya agar semua pihak mengerti kedudukan advokat. Hal ini perlu karena

beberapa advokat pernah dipanggil polisi untuk menjadi saksi, dengan istilah

“terlapor”. Bahkan, polisi pernah memperlakukan advokat secara kasar di

pengadilan. Asas hukum equality before the law berarti bahwa kesetaraan

dihadapan hukum tetap dijunjung dan dipertahankan sebagai patokan umum

dalam penegakan hukum (law enforcement). Namun perlu diperhatikan juga

bahwa asas equality before the law tetap harus mengindahkan hak imunitas. Hak

imunitas dan asas hukum tersebut perlu mendapat perhatian, berkaitan dengan

status advokat sebagai penegak hukum yang sejajar dengan hakim, jaksa dan

polisi, dengan tugas masing-masing pihak yang berbeda-berbeda sesuai dengan

fungsi utama masing-masing. Tugas-tugas advokat dijabarkan dalam

Undang-undang advokat. Namun dalam kenyataannya, dapat terjadi bahwa perlakuan

terhadap advokat terbukti tidak sesuai dengan undang-undang tersebut karena

2

(3)

3

suatu masalah semata-mata dilihat dari hukum acara pidana. Hal tersebut dapat

saja terjadi karena ketidaktahuan polisi atau karena arogansi status.3

Seperti halnya dalam kasus korupsi pada proyek pembangunan jalan di

Mentawai dengan tersangka A.Ambarita (Kejaksaan Negeri Tuat Pejat) ex pasal

21 Undang-Undang No.31 tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi jo undang-undang No.22 tahun 2001. Dalam kasus tersebut, advokat

Manatap Ambarita, S.H. telah bertindak sebagai kuasa tersangka yang sebelum

perkara pokok berjalan, pihak Kejaksaan Negeri Padang, Kejaksaan Tinggi

Sumatera Barat telah memperlakukan advokat Manatap Ambarita,S.H. sebagai

tersangka yang diikuti penahanan secara langsung dengan tuduhan menghalangi

proses penyidikan kasus tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan jalan di

Mentawai. Hal ini menunjukkan adanya proses penegakan hukum korupsi yang

cenderung menyingkirkan immunity right telah terjadi di Pengadilan Negeri

Padang.4

Advokat tidak bisa diidentifikasikan dengan kliennya karena advokat pada

prinsipnya hanyalah pemegang kuasa/agen dari kliennya, ketak identikan antara

advokat dan kliennya tersebut sesuai dengan hukum keagenan, bahwa agen hanya

bertindak untuk dan atas nama prinsipalnya. Selama agen menjalankan tugas

sesuai dengan tugas yang didelegasikan kepadanya dan dilakukan secara

professional, advokat tersebut tidak dapat menjadi tanggung gugat, tetapai

principal lah yang harus bertanggung jawab secara hukum. Seperti halnya pada

pasal 18 ayat (2) dari undang-undang Advokat menentukan dengan gamblang

sebagai berikut: “advokat tidak dapat diidentikan dengan kliennya dalam

3

V.Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga,2011), hlm. 120. 4

(4)

4

membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan atau masyarakat”.

Advokat berhak untuk membela siapapun kliennya, termasuk penjahat kelas

kakap yang telah dihujat oleh banyak orang dan tetap melaksanakan prinsip yakni

setiap orang berhak untuk mendapatkan pembelaan hukum secara wajar, yang

memang diakui oleh setiap hukum yang modern di dunia ini, termasuk hukum

Indonesia. Jika advokat membela kliennya yang merupakan penjahat besar

misalnya, advokat tersebut tidak boleh dikucilkan atau dihujat seperti

mengucilkan dan menghujat kliennya. Seperti telah disebutkan bahwa sekali

advokat memegang suatu perkara, meskipun kliennya tidak popular dan penjahat

yang dicaci maki oleh masyarakat, advokat tetap harus memberikan jasa hukum

sebaik mungkin sesuai prinsip-prinsip professional, intelektualitas, dan emosional.

Disamping itu setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum, meskipun

orang tersebut merupakan penjahat besar, berdasarkan prinsip hak setiap orang

untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut tidak dapat dipersalahkan.

Bagaimana jika advokat diperiksa oleh polisi? Sepanjang pemeriksaan itu

terkait dengan pekerjaan atau profesinya, maka polisi baru bisa bertindak jika

sebelumnya telah meminta keterangan dari organisasi advokat tentang sah atau

tidaknya pekerjaan seorang advokat. Misalnya advokat diadukan menipu kliennya

sehingga kliennya kalah. Yang pertama sebelum polisi memeriksa advokat ia

mesti meminta organisasi advokat tersebut menjelaskan apakah yang dilakukan

seorang advokat tersebut sesuai standar profesi atau tidak. Sehingga perbuatan

tersebut termasuk kategori penipuan atau pelanggaran etika profesi. Misalnya

advokat diadukan karena memberikan janji bahwa perkara yang ditangani sudah

(5)

5

dewan kehormatan advokat dan ditemukan kesalahannya maka hukumannya dua.

Oleh organisasi advokat bisa dijatuhi sanksi administrasi bahkan dipecat dan

memperoleh sanksi pidana dari penegak hukum. Namun jika tidak ditemukan

bukti dalam pemeriksaan dewan kehormatan tentang apa yang diadukan, maka ia

tidak bisa diproses pidana. Terkecuali pada hal-hal yang jelas dalam kesalahannya

yang telah diatur dalam UU yang sudah ada seperti advokat mabuk, nyabu,

menggelapkan uang klient dengan dalih untuk menyogok hakim atau advokat

melakukan tindak pidana di luar profesinya. Terlibat pencurian, transaksi

barang-barang haram, jelas itu semua bukan pelanggaran etika tetapi pidana biasa. Tetapi

advokat yang menjadi penasihat hukum koruptor atau teroris kemudian laptopnya

ikut disita karena dianggap bersekongkol jelas itu pelecehan terhadap profesi

advokat. Karena perbuatan kliennya bukanlah tanggungjawab advokat.5

Kewajiban Advokat membela kliennya dengan semaksimal mungkin

dimaksudkan agar advokat mencari semua jalan dan jalur hukum yang tersedia

yang memberi keuntungan bagi kliennya dengan segala kerugikan kliennya

meskipun upaya, mencurahkan segenap tenaga, intelegensi, kemampuan, keahlian

dan komitmen pribadi dan komitmen pribadi dan komitmen profesinya. Dalam hal

ini seorang advokat memikul kewajiban untuk tidak merugikan kliennya

meskipun hal tersebut tidak menyenangkan atau bertentangan dengan suara hati

advokat itu sendiri atau membuat advoak itu sendiri menjadi tidak populer malah

bahkan dibenci oleh masyarakat, sama dengan masyarakat memebensi kliennya

itu yang mungkin saja memang benar kliennya itu adalah seorang bajingan

(penjahat sadis). Untuk itu advokat harus memberikan komitmen yang penuh

5Ibid

(6)

6

dengan dedikasi yang tinggi dan mengambil seluruh langkah apapun yang tersedi

yang menguntungan kepeentingan kliennya. Ketika kepentingan kliennya

bertentangan dengan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan advokat

pribadi, kepentingan klien lah yang harus dimnangkan tentunya sepanjang tidak

bertentangan dengan aturan hukum yang lebih didahulukan berlakunya6.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik

menulis skripsi dengan judul “Analisis hukum pidana hak imunitas advokat

dalam melaksanakan profesinya sebagai penegak hukum di Indonesia”

B. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka dirumuskanlah masalah sebagai

berikut:

a. Bagaimana pengaturan hukum tentang pelaksanaan hak imunitas advokat

di Indonesia?

b. Bagaimana hambatan dalam melaksanakan hak imunitas advokat di

Indonesia?

c. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan hak imunitas

advokat di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

6Ibid

(7)

7

1. Untuk mengetahui pengaturan dan perlindungan mengenai hak imunitas

profesi advokat di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kedudukan dan kekuatan seorang advokat dalam

menggunakan hak imunitas profesinya.

3. Untuk mengetahui batasan-batasan profesi advokat dalam menggunakan

hak imunitasnya.

4. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan hak

imunitas advokat di Indonesia.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini terbagi atas dua yaitu secara teoritis dan

secara praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis

Penulisan ini bermanfaat untuk memeberikan informasi, kontribusi

pemikiran dan menambah pengetahuan pembaca dalam bidang pengetahuan ilmu

hukum profesi advokat pada umumnya dan tentang hak imunitas advokat dalam

melindungi kepentingan klien dalam lingkup hukum pidana. Sehingga skripsi ini

dapat memperkaya perbendaharaan dan menjadi kajian ilmiah bagi para

mahasiswa hukum maupun praktisi hukum di Indonesia.

2. Secara praktis

Secara praktis penulisan ini ditujukan kepada semua kalangan penegak

hukum lainnya, baik polisi, jaksa, dan hakim supaya mengerti kedudukan serta

hak imunitas advokat dalam memberikan perlidungan terhadap klien, sehingga

advokat dapat memberikan bantuan hukum yang maksimal kepada setiap

masyarakat pencari keadilan, dan juga dapat memberikan jasa hukum serta

(8)

8 D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Analisis hukum pidana hak imunitas advokat

dalam melaksanakan profesinya sebagai penegak hukum di Indonesia” adalah hasil buah pikir penulis sendiri juga ditambah literatur-literatur lain baik

buku milik penulis sendiri maupun buku- buku dari perpustakaan serta

sumber-sumber lain yang menunjang penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini murni penulis sendiri yang mengerjakannya dimana

topik yang penulis bahas dalam skripsi ini belum pernah dibahas oleh orang lain

yang dapat dibuktikan berdasarkan data yang ada di perpustakaan fakultas hukum

USU. Bila ternyata terdapat judul yang sama sebelum skripsi ini dibuat maka

penulis bertanggungjawab sepenuhmya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengaturan Bantuan Hukum dan Hak Imunitas Advokat

a. Pengaturan Bantuan Hukum

Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat,

advokat memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum untuk kaum

miskin dan buta huruf. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum

merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat, oleh sebab itu Advokat dituntut

agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk

membantu orang miskin yang membutuhkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma

atau probono. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat tidak hanya dipandang

(9)

9

kontribusi dan tanggung jawab sosial (social kontribution and social liability)

dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi advokat,

undang-undang No.18 tahun 2003 tentang advokat telah mengatur secara tegas mengenai

kewajiban suatu advokat untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma

sebagai bagai dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan

kewajiban profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi. Untuk mendukung

pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma oleh

advokat maka dibutuhkan peran yang optimal dari organisasi profesi.

Bantuan hukum merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia

(HAM) terutama pada lapisan termiskin rakyat kita. Orang kaya sering tidak

butuh bantuan hukum sebetulnya pada dasarnya hukum itu dekat dengan orang

kaya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering

juga tidak melestarikan ketidak adilan hukum antara sikaya dan simiskin.

Kesalahan gerakan bantuan hukum di Indonesia selama ini adalah karena gerakan

bantuan hukum kita terlalu individual dan urban. pelanggaran HAM adalah

masyarakat miskin dari struktural bawah yang hidup di rural. Pada bagian lain

sudah diungkapkan banyakanya insiden perlakuan yang tidak manusiawi,

penyiksaan dan perlakuan yang yang merendahkan martabat manusia terutama

orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang

advokat (penasehaet hukum) profesional. Dalam keadaan seperti inilah bantuan

hukum diperlukan untuk membela orang miskin agar tidak menjadi korban

penyiksaan, perlakuan manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang

dilakukan oleh penegak hukum. Lembaga bantuan hukum sebagai salah satu sub

(10)

10

membela dan melindungi hak-hak tersangka. Untuk itu diperlukan suatu proses

hukum yang adil (due process of law) melalui suatu acara hukum nasional yang

lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.7

Sama halnya bentuk kebijakan bantuan hukum gratis yang diberikan oleh

pemerintah Provinsi Sumatera Selatan diatur dalam keputusan Gubernur Provinsi

Sumatera Selatan Nomor 10/KPTS/III/2009 tentang pedoman Penyelenggaraan

Pemberian Bantuan Hukum gratis kepada masyarakat miskin Sumatera selatan.

Bantuan hukum gratis hanya diberikan kepadapemerintah setempat serta

masyarakat miskin tersebut betul-betul mempertahankan hak atau kepentingan

hukumnya.8

Ada beberapa aturan hukum yang mengatur tentang bantuan hukum di

Indonesia, diantaranya:

1. Pengaturan bantuan hukum berdasarkan UUD 1945

Dalam UUD 1945 pasal 28 D ayat (1) telah memberikan pengakuan,

jaminan, perlidungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang tanpa

membedakan suku, agama atau kedudukan derajat hidupnya. Pengakuan dan

jaminan ini dipertegas lagi dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan

bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Hal itu dapat diartikan

bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagai bagian dari hak asasi

manusia harus dianggap sebgai hak konstitusional warga negara. Kendatipun tidak

secara eksplisit diatur dan dinyatakan dalam UUD 1945, namun negara wajib

untuk memenuhinya karena akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak

7

Frans Hendra Winarta, Suatu Hak Asasi Manusia Belas Kasihan Manusia, (Jakarta: gramedia), hlm.63-64

8

(11)

11

untuk diadili secara adil merupakan salah satu ciri Negara hukum. Artinya Negara

berkewajiban menjamin segala hak masyarakat yang berhubungan dengan

hukum, termasuk jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum ini bukan tanpa

dasar.

Selain itu dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan segala warga

Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya,

setiap warga Negara mempunyai hak untuk dibela (access to legal counsel), hak

diperlakukan sama dimuka hukum (equality before of the law) dan hak untuk

mendapatkan keadilan (access to justice)

2. Pengaturan bantuan hukum berdasarkan UU No.18 Tahun 2003 dan

PP No.83 Tahun 2008

Pada tanggal 31 Desember 2008, pemerintah telah mensahkan peraturan

pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara

Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma. Peraturan pemerintah ini

merupakan pelaksanaan pasal 22 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat yang

isinya sebagai berikut:

Ayat (1)”Advokat wajib memberikan bantun hukum secar Cuma-Cuma

kepada para pencari keadilan yang tidak mampu”, ayat (2) “ketentuan persyaratan

dan tata cara pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma sebagaimana disebut pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah yang menginsyaratkan Advokat wajib membemberikan bntuan hukum secara Cuma-Cuma kepada

pencari keadilan yang tidak mampu.”9

Kewajiban bagi para Advokat untuk memberikan bantuan hukum secara

Cuma-Cuma kepada pencari keadilan di dalam Peraturan Pemerintah No.83

Tahun 2008 terdapat dalam pasal-pasal yang isinya adalah “Advokat wajib

9

(12)

12

memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pecari keadilan”. Serta

mengenai pelarangan bagi advokat untuk menolak permohonan bantuan secara

Cuma-Cuma bagi pencari keadilan terdapat pada pasal 12 ayat (1) yang isinya:

“advokat dilarang menolak permohonan bantuan hukum secara

Cuma-Cuma”, ayat (2) dalam hal terjadi penolakan permohonan pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) permohonan dapat mengajukan keberatan organisasi advokat atau lrmbaga bantuan hukum yang bersangkutan.

a. Pengertian hak imunitas

Istilah imunitas berasal dari bahasa latin yaitu immuniteit yang memiliki

arti kekebalan atau hal atau keadaan yang tidak dapat diganggu gugat. Istilah

imunitas tersebut apabila dikaitkan dengan hak imunitas advokat maka dapat

diartikan sebagai hak atas kekebalan yang dimiliki oleh advokat dalam melakukan

profesinya dalam rangka membela kepentingan kliennya. Hal ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Advokat yang pada pokoknya menjelaskan

bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam

menjalankan tugasprofesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan

Klien.

Dengan demikian yang dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan

dari advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan

mengeluarkan atau tidak mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen

kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak dapat di

hukum sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas profesinya. 10

Hak kekebalan (immuniteit) untuk tidak dapat dituntun baik secara perdata

maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan

10

(13)

13

pembelaan kilen dalam sidang pengadilan. Dengan penyandang status sebagai

penegak hukum, peran advokat memiliki kebebasan dan kemandirian yang

dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Artinya, eksistensi advokat bukan lagi hanya sekedar profesi memberikan

jasa hukum, tanpa jaminan kemandirian yang dilindungi undang-undang, tetapi

sudah menjadi salah satu perangkat keadilan dalam proses peradilan yang

mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan

hukum dan keadilan, bebas dari tekanan, ancaman, hambatan, dan rasa takut atau

perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesinya. 11

Dalam menjalankan profesinya, hak imunitas juga telah dijamin oleh

Undang-undang, yaitu dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang

Advokat, yang secara tegas menyatakan, bahwa Advokat bebas untuk

mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi

tanggung jawabnya di dalam Sidang Pengadilan. Maksud dari kata bebas dalam

hal ini adalah tanpa adanya tekanan, ancaman, hambatan, tanpa adanya rasa takut,

atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi advokat. Selain itu

pula Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara

yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada Kode Etik Profesi

dan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu seorang Advokat tidak dapat dituntut baik secara Perdata

maupun Pidana dalam menjalankan tugas profesinya yang didasarkan pada itikad

baik untuk kepentingan pembelaan Kliennya. Maksud Itikad baik disini adalah

menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk

11

(14)

14

membela kepentingan Kliennya dalam setiap tingkat peradilan di semua

lingkungan peradilan. Selain itu berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Advokat, bahwa Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam

membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang atau oleh masyarakat.

Advokat sebagai profesi mulia atau officium nobile memiliki kebebasan

dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada

hierarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara

sehingga advokat diharapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat

atau kepentingan publik.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat

yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat

yang bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak

sebagai pembela hak asasi manusia, khusunya yang berkaitan dengan hak-hak

publik.Akibat dari adanya tanggung jawab moral yang melekat pada pada status

profesinya maka advokat memiliki lima dimensi perjuangan ideal yaitu dimensi

kemanusiaan, dimensi pertanggungjawaban sosial, dimensi kebebasan, dimensi

pembangunan negara hukum dan dimensi pembangunan demokrasi. 12

3. Pengertian Advokat dan Etika Profesi Advokat Indonesia

a. Pengertian Advokat

Akar kata advokat, apabila didasarkan pada kamus latin-Indonesia, dapat

ditelusuri dari bahasa Latin, yaitu advocatus, yang berarti orang yang membantu

12

(15)

15

seseorang dalam perkara, saksi yang meringankan. Sedangkan, menurut Black’s

Law Dictionary, kata advokat juga berasal dari kata Latin, yaitu advocare suatu

kata kerja berarti to defend,to call one’s aid, to vouch to warrant. Kata tersebut

berarti:

“one who assits, defends, or pleads for another.one who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal. A person learned in the law and duly admitted to practice, who assits his client with advice, and pleads for him in open court. An assistant, advicer, plead for causes.”13

Artinya seorang yang membantu, mempertahankan, membela orang lain.

Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan berbicara untuk

orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang mempelajari hukum dan telah

diakui untuk berpraktek, yang memberikan nasihat kepada klien dan berbicara

untuk yang bersangkutan dihadapan pengadilan. Seseorang asisten, penasihat,

atau pembicara untuk kasus-kasus.14

Sedangkan menurut Assosiasi Advokat Indonesia (“AAI”), pada Bab I,

pasal 1(1) Anggaran Dasar AAI yang berbunyi:

Advokat adalah termasuk penasehat hukum, pengacara, pengacara praktek, dan para konsultan hukum”.

Tapi jika kita coba menganalisis pragraf berikutnya, yaitu ayat 2 pragraf kedua

yang berbunyi:

Profesi advokat, penasehat hukum, pengacara, pengacara praktek adalah profesi yang dijalankan para sarjana hukum lulusan Universitas negeri atau yang dipersamakan, bukan pegawai negeri / Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I. atau oleh Ketua Pengadilan Tinggi setempat yang menjalankan praktek profesinya diluar dan dimuka pengadilan.”15

(16)

16

Dalam kamus hukum, pengertian advokat diartikan sebagai pembela,

seorang (ahli hukum) yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di

dalam atau di luar sidang pengadilan. Sedangkan menurut UU Advokat Indonesia

pasal 1 ayat 1 menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi

jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan

berdasarkan undang-undang ini.

Pengertian advokat secara istilah, adalah seorang yang melaksanakan

kegiatan advokasi yaitu suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan seseorang atau

kelompok orang untuk memfasilitasi dan memperjuangkan hak-hak, maupun

kewajiban klien seseorang atau kelompok berdasarkan aturan yang berlaku.

Menurut undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat, dalam pasal

1 angka (1) dikatakan:

“advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”16

Berdasarkan uraian diatas, pengertian advokat memberikan penekanan

pada pekerjaan yang berkaitan dengan pengadilan. Sedangkan dalam

undang-undang No.8/2003, sudah ditegaskan bahwa advokat adalah orang yang

melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Sehingga cakupan

advokat meliputi mereka yang melakukan pekerjaan baik di pengadilan maupun

diluar pengadilan, sebagaimana diatur undang-undang advokat. Pendapat Purnadi

purbacaraka dan Soerjono Soekanto, dari sudut ilmu hukum, cakupan advokat

tersebut sebagai politik hukum(legal policy). Poitik hukum yang dimaksud disini

adalah mencari kegiatan untuk memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai-nilai.17

16

Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. 17

(17)

17

Pengertian-pengertian yang diberikan terhadap istilah advokat ini di Indonesia

terus berkembang secara cepat seiring dengan tuntutan demokrasi dan hak asasi

manusia. Akan tetapi penting untuk dipahami dengan baik bahwa pengertian

profesi (profession) advokat tersebut berbeda dari pengertian pekerjaan

(job/occupation). Menurut Milerson, yang membedakan kaum professional dari

pekerjaan yang lain adalah:

1. Keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoritis;

2. Penyediaan latihan dan pendidikan;

3. Pengujian kemampuan anggota;

4. Organisasi;

5. Kepatuhan kepada suatu aturan main professional; dan

6. Jasa/pelayanan yang sifatnya altruistik.

Advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan

penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun

sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini

berbeda satu sama lain. Nilai-nilai (value) di atas merupakan pencerminan dari

nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud disini

adalah pembentukan undang-undang (pemerintah dan dewan perwakilan rakyat)

yang mewujudkan aspirasi masyarakat, yang dalam hal ini antara sehukum yang

dulu terkotak-kotak (advokat/pengacara dan konsultan hukum) kiranya dapat

bersatu dan dihimpun dalam wadah (organisasi) yang diharapkan dapat

meningkatkan kualitas advokat dan menjadi profesional yang disegani pada masa

mendatang.

Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara,

maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan

(18)

18

mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah.

Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif,

legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan

fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan

tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).

b. Pengertian Etika Profesi Advokat

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”,

yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika berkaitan erat dengan

perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa latin yaitu”Mos” Dan dalam

bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup

seseorang dengan melakukan perbuatn yang baik (kesusilaan) dan menghindari

dari hal-hal tindakan yang buruk.18

Etika adalah suatu nilai-nilai positif yang menuntun perilaku atau tindak

tanduk manusia. Etika dapat diciptakan dan diberlakukan menurut luas dan

sempitnya. Etika diciptakan dan diberlakukan dalam arti luas adalah etika yang

nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila. Sedangkan etika yang

diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit adalah etika yang ditujukan untuk

suatu golongan atau kelompok manusia dalam masyarakat. Dengan demikian

etika yang diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit inilah yang disebut

dengan etika profesi.19

Menurut William Lilie, dalam bukunya An Intoduction to Ethics, Barnes

Noble, 1957, New York, USA yaitu

18 Rosady Ruslan, Etika kehumasan “Konsep dan Aplikasi”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 29.

19

(19)

19

The normative science of conduct of human beings living in societis is a science which judge this conduct tobe right or wrong, tobe good or bad, or in some similiar way. This definition says, first of all, that ethics is a science may be defined as a systematic and more or less complete body of knomledge about a particular set of related event or object”.

Pengertian dan defenisi etika daripada filsuf atau ahli tersebut di atas, yaitu

saling berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

a. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan

dan sifat dari hak.

b. Pedoman perilaku yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian

utama dari kegiatan manusia.

c. Ilmu watak yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual.

d. Merupakan ilmu suatu kewajiban.20

Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian/

keterampilan tertentu. Suatu profesi tidak akan mempunyai citra, wibawa, serta

harkat dan martabat jika tidak diletakkan dengan nillai-nilai etika. Etika profesi

adalah peraturan yang ditujukan kepada perseorangan yang menyandang

pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian atau keterampilan tertentu.21

Mengenai pengaturannya hanya ada satu kode etik profesi advokat yang

diberlakukan untuk seluruh advokat. Dalam pasal 33 Undang-undang No.18

Tahun 2003 diatur kode etik advokat sebagai berikut:

“kode etik dan ketentuan dewan kehormatan profesi advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia(AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan PasarModal (HKPM), pada tanggal 25 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undanng –Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang

(20)

20

Selain itu, pengaturan dalam pasal tersebut tampak sejalan dengan pasal 28

ayat (1) Undang-Undang Advokat yang menginginkan agar hanya ada suatu

organisasi advokat. Oleh karena itu apabila seorang advokat telah dinyatakan

bersalah, lalu dia melakukan banding diluar organisasi diluar Peradi, tindakan

tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum yang tidak memahami

Undang-undang Advokat.22

Jika ingin mempertajam pembahasan tentang etika profesi khususnya etika

profesi advokat maka kita akan menjumpai defenisinya menurut Mohamad

Sanusi, yaitu:

“Kode etik profesi advokat adalah ketentuan atau norma yang mengatur sikap, perilaku dan perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang advokat dalam menjalankan kegiatan profesinya, baik sewaktu berbicara di muka

pengadilan maupun diluar pengadilan”.23

Dari defenisi diatas, maka fungsi dari kode etika profesi advokat dapat

dikelompokkan :

1. Kode etik dalam hubungan dengan kepribadian advokat umumnya.

2. Kode etik dalam hubungan advokat dengan klien.

3. Kode etik dalam hubungan dengan sejawat.

4. Kode etik dalam bertindak menangani perkara.

5. Kode etik dalam hubungan advokat terhadap hukum atau undang-undang

kekuasaan umum, dan para pejabat pegadilan.24

Khusus pengembangan profesi advokat, sang advokat harus selalu

berpegang teguh kepada usaha untuk merealisasikan keterlibatan dan kepastian

(21)

21

dikutipkan dari tulisan Samuel S.Leibowitz, Quentin Reynolds ( seorang advokat

yang kemudian menjadi hakim ) dalam kata pengantar bukunya Court Romm

sebagai berikut: dalam cerita sandiwara ini, Kingsley menciptakan tokoh Endicott

Sims, seorang advokat yang mengkhususkan diri dalam bidang-bidang perkara

pidana. Seorang detektif yang sadis ( Letnan Kames McLeod ) yang telah

menganiaya seorang tersangka yang menjadi klien Sims. Tersangka yang dianiaya

itu hampir mati. Sims mengatakan kepada detektif itu bahwa dia beruntung karena

ia tidak menghadapi tuduhan pembunuhan berat.

McLeod : Saya selalu dapat meminta anda untuk membela saya.

Sims : Dan saya mungkin akan melakukannya. Itu adalah pekerjaan saya.

McLeod : Selama anda memperoleh hononarium anda?

Sims : Saya telah sering membela orang atas biaya saya sendiri. Setiap

orang memiliki hak untuk didampingi advokat (memperoleh

bantuan hukum), betapapun ia tampak bersalah bagi anda atau bagi

saya. Setiap orang berhak untuk tidak dihakimi secara

sewenang-wenang, khususnya oleh orang-orang yang memiliki wewenang;

tidak oleh anda, tidak oleh kongres, bahkan tidak oleh presiden

Amerika Serikat.

McLeod : Ia bersalah! Anda pun mengetahui sama seperti saya.

Sims : Saya tidak mengetahui hal itu, saya bahkan tidak akan

mengijinkan saya sendiri berspekulasi tentang ketidak

bersalahannya atau kebersalahannya. Pada saat saya melakukan hai

(22)

22

untuk menghakimi. Tugas saya adalah untuk membela klien saya,

bukan untuk menghakiminya. Hal itu tugas dari pengadilan.

Dari sinopsis Detective story tersebut, terlihat bahwa advokat Smis

memiliki komitmen yang kokoh terhadap etika profesi, sebab dia tidak mau

berspekulasi tentang ketidak bersalahan dan kebersalahan seseorang

(menghakimi) kalaupun si terdakwa tersebut nyata bersalah. Sikap seperti ini

tentunya adalah merupakan gambaran seorang penasehat hukum yang memiliki

sikap etis dalam mengemban profesinya secara bermartabat.25

Oleh karena itu demi menjunjung kebenaran, keadilan, dan hati nurani penasehat

hukum dapat menjaga citra, wibawa, harkat serta martabat dalam menjalankan

profesinya.

4. Kebijakan Hukum Pidana

a. Kebijakan Penal

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy”. Istilah dalam

bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu

kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara

mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai

politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian

dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik

hukum.26

25

Suhrawardi K.Lubis, Etika Profesi Hukum, (Medan: Sinar grafika, 1993), hlm.28-29. 26

(23)

23

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “penal Policy” adalah suatu ilmu

sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.27 Selanjutnya dinyatakan

olehnya:

diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis, di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerjaya yang terikat dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat”.

Dengan kata pengantar diatas, ingin ditegaskan bahwa pada hakikatnya

masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik

perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif, kebijakan

hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa

pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula

pendekatan komprehensip dari berbagai disiplin sosisal lainnya dan pendekatan

integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.28

Selanjutnya Marc Ancel, Penal Policy (Politik Hukum Pidana) adalah

suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk

memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga

27 Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana “Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP

Baru”, (Jakarta:Fajar Interpratama Offset,2008), hlm. 19. 28

(24)

24

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.29

Ada suatu pertanyaan yang krusial yang dapat muncul yaitu, mungkinkah

pemidanaan dapat dijadikan sebagai instrumen pencegahan kejahatan? Persoalan

ini muncul karena selama ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan

mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi jutru menambah dan membuat kejahatan

semakin marak terjadi.

Upaya mencari jawaban atas persoalan diatas, maka pembahasan harus

diarahkan untuk mengungkap secara philosopis apa tujuan sesungguhnya

pemidanaan. Alasan philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah

kemana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan. Tanpa itu semua, maka

substansi hukum pidana dan penerapannya akan tercerabut dari akar nilai-nilai

philosopis dan akan menjadi hukum pidana yang kering serta tidak menyentuh

nilai rasa kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.

Usaha menemukan alas philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan

membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan

pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum

pidana saat ini. Pembabakan pada tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan

berdasarkan tujuan retributif, detterence, gabungan, treatment, social defence.30

A. Teori Retributif

Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri.

Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai

imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.

29

M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, ( Medan:Grafindo Persada, 1996), hlm. 20. 30

(25)

25 Para pakar penganut teori ini, antara lain:

a. Immanuel Kant

Immanuel Kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar hukum

pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri , yang telah

menimbulkan pederitaan pada orang lain, sedang hukuman merupakan

tuntutan yang mutlak dari hukum kesusilaan. Disini hukum itu merupakan

suatu pembalasan yang etis.

b. Hegel

Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan

kemerdekaan. Oleh karena itu, kejahatan merupakan tantangan terhadap

hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman

merupakan dialectische vrgelding.31

Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa

pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena

pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya.

Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon

terhadap pembenaran suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan

pelanggaran terhadap norma moral teretntu yang mendasari aturan hukum yang

dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari

tanggung jawab moral dan kesalahan hukum sipelaku.32

Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant

(1724-1804) dan Hegel (1770-1831) adalah keyakinan mutlak akan keniscahayaan

pidana, sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan di arahkan pada

31

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 105.

32

(26)

26

masa lalu dan bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan

menjalani penderitaan.

Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”,

yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan

kejahatan. Sedangkan hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari

pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya

sendiri. 33

B. Teori Detterence

Tujuan yang kedua dari pemidanaan adalah “deterrence”. Terminologi

deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada

penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut

membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. 34

Hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukum

itu, yakni memperbaiki ketidak puasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu.

Selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.35

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena

dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk

mengurangi frekuensi kejahatan (... the justification for penalazing offences is that

this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu

membujuk sipelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan

(27)

27

pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana

yang dijatuhkan;

2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential

imitators) dalam hal ini memnerikan rasa takut orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana

yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa

takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.

3. Perbaikan sipelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki

tingkah laku sipelaku sehingga muncul kesadaran sipelaku untuk

cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya

rasa ketakutan dari ancaman pidana.

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya

kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat

mengurangi frekuensi kejahatan;

5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana

penjara yang cukup lama.36

C. Teori Gabungan (Teleoligical retributivist)

Menurut teori teleological retributivist, tujuan pemidanaan adalah bersifat

plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis. Teori teological

retributivist ini dikenal dengan teori gabungan, teori gabungan ini lahir karena

adanya kelemahan yang terdapat baik pada teori absolut maupun teori relatif.37

36

Mahmud Mulyadi, op.cit., hlm.72. 37

(28)

28

Vos dalam Bambang Poernomo menyebutkan, bahwa dalam teori gabungan

terdapat tiga aliran, yaitu:

1. Teori gabungan yang menitik beratkan pembalasan tetapi dengan

maksud sifat pembalasan itu untuk melindungi ketertiban umum. Grotius di dalam Andi Hamza disebutkan telah mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat.

2. Teori gabungan yang menitik beratkan kepada perlindungan

ketertiban masyarakat. Teori ini dianut oleh Simons yang mempergunakan jalan pikiran, bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya, dan secara prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki dan membinasakan, serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus diseseuaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat.

3. Teori gabungan yang menitik beratkan sama antara pembalasan dan

perlindungan kepentingan masyarakat, penganutnya adalah De Pinto. Vos juga menerangkan, karena pada umumya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum pidana harus disusun

sedemikian rupa.38

D. Teori Treatment

Treatmen sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang

berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan,

bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksud oleh aliran ini

adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan

(rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

Argumen alasan ini dilandasi pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang

yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan perbaikan.39

Dalam kajian yang dibuat oleh Yong Ohoitimur, kejahatan dianggap

sebagai Simptom disharmony mental atau ketidak seimbangan personal yang

membutuhkan terapi psikiatris, conseling, latihan-latihan spritual dan sebagainya.

Lagi pula karena pemidanaan lebih dipandang sebagai proses terapai atas penyakit

38Ibid.,

hlm. 48-49. 39

(29)

29

yang ada, bukan lagi sebagai penjeraan atau penangkalan dalam proses detterence.

Dalam pandangan detterence pelaku adalah orang yang bersalah yang harus

dijerakan supaya tidak mngulangi lagi tindak pidananya, sementara rehabilitasi

memandang seorang pelaku tindak pidana justru merupakan orang yang perlu

ditolong.40

Hart berpendapat bahwa seseorang dapat dapat dikenakan pemidanaan jika

seseorang tersebut telah melakukan perbuatan yang secara moral bersalah.

Pemidanaan yang dijatuhkan harus sesuai dengan tingkat kejahatan dari perbuatan

tersebut. Pembenaran pemidanaan disandarkan pada argumen bahwa pembalasan

penderitaan kepada moral seseorang yang jahat dilakukan secara sukarela, yang

pada dasarnya pelaku tersebut mempunyai moral yang baik.41

Herbert L.Packer tidak seperti Hart yang mengusulkan pentingnya kembali

paham retributif dalam hal pemidanaan, Packer lebih cenderung untuk kembali

mengkaji aliran klasik dengan tujuan detterence karena menurutnya lebuh berguna

sebagai starting pointi untuk mengkaji secara kejahatan dan pemidanaan secara

rasional serta lebih integral.42

E. Teori Sosial Defence (perlindungan sosial)

Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II

dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo Gramatica. Pandangan social defence ini

terpecah menjadi dua aliran, aliran yang rdikal (ekstrim) dan aliran yang moderat

(reformis).

40

Eva Achjani Zulfa., op.cit., hlm. 57. 41

(30)

30

Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatdica,

yang berpendapat bahwa: hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum

pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlidungan sosial adalah

mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap

perbuatannya.

Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancle yang menamakan alirannya

sebgai defence social nouvelle. Menurut Marc Ancle tiap masyarakat

mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang

tidak hanya sesuai dengan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem

hukum.43

Velinka dan Ute menyatakan bahwa resosialisasi adalah proses yang

mengakomodasikan dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan

kebutuhan sosialnya. Kebutuhan sosial yang dmaksud pada dasarnya adalah

kebutuhan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat.44

Dalam dekade 30 tahun terakhir, teori telah mengusung pelaku masuk dalam

bentuk pemidanaan yang manusiawi dan lebih menghargai hak asasi manusia,

teori ini banyak memperoleh kritik karena teori ini hanya dapat dipakai dan jelas

terlihat sebagai sarana diakhir masa hukuman untuk mempersiapkan diri

memasuki masa kebebasan.45

b. Kebijakan Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau biasa dikenal dengan istilah

“politik Kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.P.

(31)

31

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application)

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime

and punishment/ mass media).46

Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela

menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai crime Trends and Crime

Prevention Strategis, antara lain:

1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian

kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang

2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada

penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan

kejahatan

3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejatahatan diberbagai

negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi

rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah,

pengangguran dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk.

Berdasarkan pertimbangan diatas, dihimbau kepada semua kongres ke-6

PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus

kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan

menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan,

kebutahurufan, deskriminasi rasial dan nasional serta berbagai macam bentuk

ketimpangan sosial.47

Kondisi sosial yang diterangi sebagai faktor penyebab timbulnya

kejahatan, seperti yang dikemukakan diatas adalah masalah-masalah yang sulit

46

Barda Nawawi Arif, op.cit., hlm. 39-40.

47

(32)

32

dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena

itulah pemecahan masalah diatas harus didukung oleh pendekatan non penal

berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan

kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without

punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat (community plaining mental healthy), social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerjaan sosial), serta penggunaan hukum civil dan

hukum administrasi.48

Upaya penanggulangan non-penal dapat dilakukan dengan cara:

1. Upaya yang bersifat preventif

Upaya preventif adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan

jauh sebelum terjadinya kejahatan itu. Karena mencegah kejahatan jauh lebih baik

daripada mendidik. Usaha melenyapkan seluruh kejahatan agaknya tidak mungkin

dilakukan, namun bukan berarti kita mendiamkan kejahatan itu terjadi, kita

dituntut untuk berupaya mengurangi kejahatan, baik dari kuantitas maupun

kualitas. Uapaya preventif dalam arti luas adalah pencegahan yang mungkin

timbul jauh sebelum kejahatan itu terjadi.49

2. Upaya bersifat Represif

Upaya represif merupakan tindakan yang dilakukan dalam menanggulangi

kejahatan. Uapaya ini diambil sesudah atau pada saat terjadinya kejahatan . usaha

ini dilakukan dengan tujuan agar kejahatan tidak terulang lagi atau paling tidak

dapat memperkecil angka kejahatan tersebut. Usaha menindak pelanggaran

48

Ibid., hlm. 57.

49

(33)

33

norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan dengan mengadakan hukuman

bagi setiap perbuatan pelanggarannya. Kejahatan akan selalu ada selama manusia

itu ada. Akan tetapi walaupun demikian kita harus berusaha untuk mencegah

tindak pidana tersebut dan menanggulanginya.50

Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi-umum

dan prevensi-khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau

setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya. Serentetan pendapat dan

hasil penelitian berikut ini kiranya mendapat perhatian:

a. Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah

dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit

atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.

b. Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu negara

tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan didalam

hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam

putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau

berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam

kehidupan masyarakat.

c. Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana

selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada

saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang

membentuk sikap dan tindakan-tindakan kita.

50

(34)

34

d. Wolf Middendorft menyatakan, bahwa sangat sulit lah untuk

melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari “general detterence”

karena mekanisme pencegahan itu tidak diketahui.

e. Donald R. Taft dan Ralph W.England menyatakan, bahwa efektifitas

hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya

merupakan salah satu sarana kontrol sosial.

f. R. Hood dan R. Sparks menytakan, beberapa aspek lain dari

general prevention”, seperti “reinforcing social value”,

strenghening the common conscience”, “alleviating fear” dan

“providing a sense of communal security” sulit untuk diteliti.

Dari beberapa pendapat dan hasil penelitian diatas, cukup beralasan

kiranya untuk terus menerus menggali, memanfatkan dan mengembangkan

upaya-upaya non penal untuk mengimbangi kekurangan dan keterbatasan sarana penal.51

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang menggunakan metode

penelitian yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan terhadap peraturan

perundang-undangan dan norma-norma positif dan sistem perundang-undangan

yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

2. Data dan sumber data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data

sekunder adalah data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil

51

(35)

35

penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Penulisan hukum yang bersifat

normatif selalu menitik beratkan pada data sekunder.52

Dalam penelitian ini, bersumber pada data sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia,

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No.18

tahun 2003 tentang Advokat, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait

dengan hak imunitas advokat.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer,

seperti dokumen-dokumen yang merupakn informasi dan artikel-artikel yang

berkaitan dengan hak imunitas advokat dalam melaksanakan profesinya sebagai

penegak hukum di Indonesia melalui jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmah, dan

beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan Hukum Tertier

Yakni bahan yang memberikan petunjuk penjelasan terhadap hukum

primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa

inggris, kamus istilah komputer, kamus hukum, makalah, jurnal ilmiah, dan

52

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum normatifSuatu Tinjauan Singkat”,( Jakarta: PT

(36)

36

bahan-bahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data

yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang

digunakan dalam skripsi ini antara lain berasal dari sumber bacaan seperti

peraturan peraturan perundang-undangan, buku-buku baik dari koleksi pribadi

maupun dari perputakaan, makalah dan internet yang dinilai relevan dengan

permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya

yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak

maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan

perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan

masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data

Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif.53 Data sekunder diperoleh

dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

53

(37)

37 G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri

dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dari skrpsi ini

adalah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti

penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah,

perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian serta

Sistematika Penulisan.

BAB II: PENGATURAN HUKUM TENTANG PELAKSANAAN HAK

IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA

Bab ini akan membahas tentang pengaturan pelaksanaan hak

imunitas seorang advokat sebagai penegak hukum di Indonesia

yang ditinjau dari UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat, UU

No.4 tahun 1964 tentang Peraturan Hukum pidana, dan UU No.8

tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB III: HAMBATAN DALAM MELAKSANAKAN HAK IMUNITAS

ADVOKAT DI INDONESIA

Bab ini akan membahas tentang hambatan-hambatan seorang

advokat dalam menjalankan hak imunitasnya sebagai penegak

(38)

38

pengaturan tentang advokat, Kode Etik Advokat, arogansi para

penegak hukumnya, dan juga karena ketidakharmonisan antara

klien dengan Advokat yang telah dipercayakan.

BABIV : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM

MELAKASANAKAN HAK IMUNITAS DI INDONESIA

Bab ini akan membahas tentang kebijakan-kebijakan hukum pidana

dalam penaggulangan kejahatan, yakni kebijakan hukum pidana,

kebijakan non penal (pidana).

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah

dibahas sebelumnya dan bab ini memberikan saran-saran dari

Referensi

Dokumen terkait

Bugit masih belum memiliki sistem perekrutan, terutama dalam hal usulan perekrutan karyawan baru yang belum terintegrasi sehingga apabila terdapat karyawan yang keluar dari UMKM,

Dalam pengertian sehari-hari istilah kebutuhan sering disamakan dengan keinginan. Seringkali terjadi seseorang mengatakan kebutuhan padahal sebetulnya yang dimaksud adalah

Skripsi ini dibagi dalam 3 (tiga) bab yang diuraikan sebagai berikut; Bab I membahas mengenai pendahuluan dari skripsi ini yang menguraikan mengenai latar belakang

/ Saya/Kami faham dan bersetuju bahawa sebarang maklumat peribadi yang dikumpulkan atau dipegang oleh AIA PUBLIC (sama ada terkandung dalam permohonan ini atau diperolehi dengan

a) Bagi Pihak Akademisi, diharapkan dapat menambah studi literature mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap audit report lag, memberikan landasan bagi

13 Dalam hal ini pihak ekspedisi sudah dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi karena pihak ekspedisi tidak bisa merawat dan menjaga dengan baik barang dari pihak pengirim,

Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perlindungan anak berbasis sistem haruslah didasarkan pada data dan informasi yang sahih (valid) dan dapat di

a) Berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana ini dari faktor keamanan, aparat penegak hukum, Perundang-undangan yang berlaku hingga faktor kurangnya