• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman markisa (P. edulis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Tanaman markisa (P. edulis)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman markisa (P. edulis)

Tanaman Markisa (Gambar 1) termasuk tanaman subtropis. Jika ditanam

di Indonesia harus di daerah yang mempunyai ketinggian antara 700-2.000 meter

di atas permukaan laut dengan curah hujan minimal 2.000-3.000 mm per tahun,

suhu lingkungan antara 18-25o C, dan tidak banyak angin. Markisa dapat tumbuh

di berbagai jenis tanah. Markisa tumbuh subur pada tanah gembur, mengandung

banyak humus, mempunyai pH antara 5,5-7,5 berdrainase dan aerasi yang baik.

Sebaliknya jika tanah tersebut masam, maka perlu ditambahkan kapur pertanian

yaitu dolomit. Jika lahan mempunyai kemiringan lebih dari 15%, harus dibuat

terasering (Karsinah et al. 2010; Jayaputra, 2008).

Gambar 1. Buah markisa jenis markisa ungu

Jarak tanam yang digunakan untuk tanaman Markisa adalah 3x4 sampai

4x5 meter. Dengan demikian jumlah tanaman adalah 500-833 pohon/ha. Jika satu

pohon Markisa menghasilkan 20 kilogram buah dalam sekali panen, maka petani

(2)

Fusarium oxysporum f.sp. passiflora

Genus Fusarium (Gambar 2) adalah salah satu genus jamur yang sangat

penting secara ekonomi dan merupakan spesies patogen yang menyebabkan

penyakit layu pada berbagai tanaman (Saragih & Silalahi, 2006). Menurut Agrios

(2005) klasifikasi jamur ini adalah sebagai berikut:

Kingdom : Mycetae

Divisio : Mycota

Sub Divisi : Deuteromycotina

Class : Hyphomycetes

Ordo : Hyphales (Moniliales)

Family : Tuberculariaceae

Genus : Fusarium

Species : F. oxysporum f.sp. pasiflora

Gambar 2. Fotomikrograf F. oxysporum (a) spora, (b) konidofor perbesaran 1000 x

Koloni F. oxysporum f.sp. passiflora tumbuh dengan cepat, mencapai

diameter 4,5-6,5 cm dalam waktu empat hari pada suhu 25°C pada inkubator.

Permukaan miselium jarang sampai berlimpah. Pada Media Potato Dextrose Agar

(PDA) mula-mula miselium berwarna putih, semakin tua warna menjadi semakin

a

(3)

krem atau kuning pucat. Dalam keadaan tertentu berwarna merah muda atau ungu.

Beberapa isolat mempunyai aroma seperti bunga bungur. Beberapa isolat lainnya

menghasilkan sporodokium dengan lendir orange dari makrokonidiumnya

(Soesanto, 2008; Djaenuddin, 2011).

Jumlah mikrokonidium pada Fusarium umumnya berlimpah dan tidak

bersekat, berbentuk bulat panjang atau silinder, lurus atau sering lengkung dan

berukuran (5-12) x (2,3-3,5) μm. Makrokonidium agak lengkung, runcing di

kedua ujungnya, mempunyai 3-5 sekat, berukuran (20-60) x (3,0-5,0) μm.

Klamidospora terbentuk di ujung atau tengah hifa serta pada konidia, berwarna

hialin, berdinding halus atau kasar dan berdiameter 5-15 μm, berbentuk semi

bulat, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal

(Soesanto, 2008).

Daur hidup F. oxysporum f.sp. passiflora mengalami fase patogenesis dan

saprogenesis. Pada fase patogenesis jamur hidup sebagai parasit pada tanaman

inang. Apabila tidak ada tanaman inang, patogen hidup di dalam tanah sebagai

saprofit pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi

sumber inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran

propagul dapat terjadi melalui angin, air tanah, tanah terinfeksi, terbawa oleh alat

pertanian dan manusia. Jamur dapat bertahan lama di dalam tanah hingga

beberapa tahun sebagai klamidospora yang banyak terdapat di dalam akar yang

sakit, bermacam-macam rumput, dan pada tanaman jenis Heliconia

(Djaenuddin, 2011).

Fusarium oxysporum f.sp. passiflora dapat berkembangbiak secara seksual

(4)

kawin (mating type) yang berbeda bersentuhan, kemudian melebur membentuk

zigot. Hifa jantan atau betina dari Fusarium tidak dapat dibedakan secara visual

maupun morfologis, hanya dapat dibedakan menjadi tipe kawin berdasarkan

struktur genetiknya. Sedangkan perkembangbiakan secara aseksual terjadi dengan

cara membelah diri (terbelahnya hifa) atau dengan pertumbuhan spora haploid

(Schooley, 1997)

Gejala serangan

Gejala awal yang ditimbulkan penyakit ini adalah daun tua layu diikuti

oleh daun yang lebih muda. Kadang-kadang kelayuan didahului dengan

menguningnya daun terutama daun bawah. Gejala lebih lanjut adalah daun

tiba-tiba jatuh dan akhirnya menggantung pada batang pohon, dan tangkai daun patah

(Semangun, 2000; Djaenuddin, 2011).

Gejala yang paling khas akibat serangan Fusarium adalah gejala yang

terjadi pada pangkal batang. Jika tanaman yang sakit itu dipotong membujur

dengan pisau dekat pangkal batang akan terlihat suatu cincin coklat atau merah

dari berkas pembuluh. Pada serangan berat gejala demikian juga terdapat pada

bagian tanaman sebelah atas. Pada tanaman yang masih muda penyakit dapat

menyebabkan matinya tanaman secara mendadak, karena pada pangkal batang

terjadi kerusakan. Sedangkan tanaman dewasa yang terinfeksi sering dapat

bertahan terus dan membentuk buah, tetapi produksi sangat sedikit dengan buah

yang kecil. Disamping itu F. oxysporum f.sp. lycopersici membentuk senyawa

yang lebih sederhana, yaitu asam fusarat (fusaric acid). Jika toksin-toksin ini

diberikan kepada potongan ranting dan daun maka akan layu, tetapi kelayuan

(5)

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit

Suhu optimum untuk pertumbuhan jamur Fusarium adalah 20-30oC,

maksimum pada 37oC dan minimum sekitar 5o

Jamur F. oxysporum f.sp. passiflora tumbuh baik pada media biakan

dengan kisaran pH 3,6-8,4. Dan akan tumbuh baik pada tanah dengan kisaran

pH 4,5-6,0. Sedangkan untuk pensporaan pH optimum sekitar 5,0. Pensporaan

yang terjadi dengan pH di bawah 7,0 adalah 5-20 kali lebih besar dan terjadi

secara melimpah pada semua jenis tanah, tetapi tidak akan terjadi pada pH di

bawah 3,6 atau di atas 8,8 (Djaenuddin, 2011).

C (Djaenuddin, 2011). Suhu titik

kematian jamur F. oxysporum f.sp. passiflora antara 57,5-60°C selama 30 menit

dalam tanah (Soesanto, 2008).

Pengendalian penyakit

Strategi manajeman pengendalian penyakit layu telah banyak digunakan,

misalnya perlakuan benih (seed treatment) dengan menggunakan pestisida, teknik

budidaya tanaman seperti rotasi tanaman, pemilihan benih yang berkualitas tinggi,

dan pemanfaatan lahan dengan pemupukan yang baik (Nelson, 1999).

Perlindungan tanaman terhadap patogen penyakit tanah F. oxysporum f.sp.

passiflora dengan fungisida harus dihindari karena banyak menimbulkan masalah

berupa bioakumulasi residu bahan kimia pada organisme bukan sasaran,

meningkatkan ketahanan patogen terhadap fungisida serta pencemaran lingkungan

yang berakibat pada kesehatan manusia (De Weger et al. 1995; Haas et al. 2000;

(6)

Di era globalisasi sekarang ini, konsumen menghendaki produk pertanian

yang bebas residu bahan kimia berbahaya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan

teknologi ramah lingkungan dengan komponen berupa benih sehat dan tahan

terhadap penyakit layu (Tombe, 2010; Beckman, 1987). Pengendalian hayati

patogen tanaman dapat dilakukan dengan pemanfaatan mikroorganisme antagonis

yang dapat menekan atau menghambat perkembangan patogen tanaman

(Riswanto et al.

Salah satu mikroorganisme yang masuk dalam komponen pengendalian

hayati yang ramah lingkungan atau golongan Plant Growth Promotion

Microorganism (PGPM) yaitu F. oxysporum non-patogenik. Kelompok

F. oxysporum non-patogenik dilaporkan dapat menginduksi ketahanan tanaman

terhadap penyakit layu Fusarium, busuk Phytophthora, dan layu Verticilium

(Mariano et al. 1997; Yamaguchi et al. 1992; Hyakumamachi, 1997 dalam

Tombe, 2010). Efektivitas F. oxysporum non-patogenik sama dengan benomil

untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium pada ubi jalar (Tombe, 2010).

Strain F. oxysporum non-patogenik ketika diterapkan pada beberapa perakaran

tanaman dapat menunda gejala penyakit yang diakibatkan oleh patogen

(Soesanto, 2008). 2010).

Mutasi genetik mikroorganisme

Mutasi genetik adalah perubahan mendadak material genetik dari sel,

dimana terjadi perubahan turun temurun dalam keturunannya. Mutasi dapat terjadi

secara spontan atau secara alami di seluruh kehidupan organisme, dapat

bereproduksi hanya secara seksual atau aseksual. Mutasi dapat juga terjadi pada

(7)

seperti sinar UV, X-rays, γ-rays, temperatur ekstrim, atau reaksi bahan kimia yang

tinggi seperti nitrogen dan sulfur bubuk, epoksida, peroksida, penol dan alkaloid

(Agrios, 2005).

Gambar 3. Lampu UV, (a) Lampu UV, (b) sinar UV panjang gelombang 254 nm Penggunaan sinar UV untuk mutasi strain patogenik (liar) menjadi strain

Sinar UV (Gambar 3) diketahui merupakan salah satu sinar dengan daya

radiasi yang dapat bersifat letal bagi mikroorganisme. Sinar UV mempunyai

panjang gelombang mulai 4 nm hingga 400 nm dengan efisiensi tertinggi untuk

pengendalian mikroorganisme adalah pada 365 nm. Karena bersifat letal maka

radiasi UV sering digunakan di tempat-tempat yang menuntut kondisi aseptik

seperti laboratorium, ruang operasi rumah sakit, ruang produksi industri makanan

dan minuman, farmasi (Suwahyono et al. 2005) serta vaksin dan air (Hart, 1960;

Ricks, at al. 1955; Collier et al. 1955 dalam Abshire & Dunton, 1981). Salah

satu sifat sinar UV adalah daya penetrasi yang sangat rendah. Selapis kaca tipis

pun sudah mampu menahan sebagian besar sinar UV. Oleh karena itu, sinar UV

hanya dapat efektif untuk mengendalikan mikroorganisme pada permukaan yang

terpapar langsung oleh sinar UV, atau mikroba berada di dekat permukaan

medium yang transparan (Atlas, 1981).

(8)

non-patogenik (mutan) sudah dipraktekkan sejak lama. Sinar UV diketahui

mampu menginduksi terjadinya mutasi pada mikroba, baik pada kondisi alamiah

maupun laboratorium (Pelczar & Chan, 1986). Absorbsi maksimal sinar UV di

dalam sel terjadi pada asam nukleat, maka diperkirakan mekanisme utama

perusakan sel oleh sinar UV pada ribosom dan membran sel, sehingga

mengakibatkan terjadinya mutasi atau kematian sel (Atlas, 1981;

Cahyonugroho, 2010). Snider et al. (1991) dalam Cahyonugroho (2010)

menyatakan bahwa absorbsi UV oleh DNA (atau RNA pada beberapa virus) dapat

menyebabkan mikroorganisme tersebut tidak mampu melakukan replikasi akibat

pembentukan ikatan rangkap dua pada molekul-molekul pirimidin.

Mekanisme yang menyebabkan patogen berubah menjadi non-patogenik

adalah karena adanya perubahan biokimia secara genetis pada strain patogenik.

Pada proses ini produksi enzim Pektik Lyase Ekstraseluler berkurang aktifitas

Polygalacturonase menurun, dan terjadinya defisiensi sekresi enzim Ekstraseluler

(Yamaguchi et al. 1992; Freeman et al. 2002). Perubahan pigmen hasil mutasi ada

yang bersifat genetis dan ada yang bersifat sementara, yang mungkin hanya

disebabkan oleh kerusakan pigmen karena adanya pengaruh dari radiasi sinar UV,

sehingga tidak diwariskan ke keturunannya (Susanti et al. 2009).

Mutasi dikatakan berhasil bila keturunan dari individu yang dimutasi

menunjukkan perbedaan karakter morfologi atau fisiologi dari individu

sebelumnya (turunannya). Mutasi lebih mudah untuk dilihat dari kebanyakan

reproduksi aseksualnya, karena ketika mereka melakukan reproduksi seksual

maka akan menunjukkan keragaman diluar kebiasaan sifat pada keturunannya

(9)

besar terhadap spesiesnya atau bahkan pada strin organisme tersebut. Perbedaan

yang besar juga ada pada frekuensi yang diberikannya kepada jenis karakteristik

(seperti warna, patogenesitas) dari yang telah dimutasi (Agrios, 2005). Pencirian

F. oxysporum non-patogenik mengacu kepada F. oxysporum patogen.

Referensi

Dokumen terkait

Tutkimukseni tarkastelee Väinö Tuomaalan kokoelmaa ja etsii syitä siihen, miksi kokoelma on sellainen kuin se on, miksi se ja koko venäläisten esineiden kokoelma syntyi ja mitkä

Pertama-tama, orang harus mengeluarkan uang yang banyak, termasuk pajak yang tinggi, untuk membeli mobil, memiliki surat ijin, membayar bensin, oli dan biaya perawatan pun

Dan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, perilaku yang dimunculkan akan berbeda dalam menghadapi sesuatu, untuk melakukan kebutuhan secara riligius membutuhkan niat

Dalam bukunya yang berjudul Pengembangan Kurikulum: Teori & Praktik (2011), Idi memaparkan mengenai beberapa model pengembangan kurikulum, diantaranya: 1) model Ralp Tyler;

Pada metode disc diffusion yang dilakukan oleh Omodamiro dan Amechi pada tahun 2013 terhadap bakteri Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus aureus, menunjukkan

Pendekatan yang menekankan pada prosedur adalah suatu sistem merupakan suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama untuk

(Prasetyo et al ., 2012) untuk keberlanjutan usaha ternak sapi potong. Keberlanjutan usaha dapat berlangsung kontinyu jika usaha ternak sapi potong menguntungkan melalui

Nilai kuartil 1 (Q1) memiliki bobot nilai 25% dari data terendah yang didapatkan, kuartil 2 (Q2) atau median merupakan nilai tengah dari keseluruhan data, dan