BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama 21 tahun pertama Indonesia merdeka, perekonomian bangsa
menghadapi tantangan dan ujian berat, termasuk adanya rongrongan dari dalam
dan luar negeri, yang nyaris membuat sendi – sendi perekonomian nasional mati.
Pada 1959, trend paham kapitalisme liberalisme secara konstitusional ditolak,
sehingga sistem ekonomi nasional lebih condong ke sistem ekonomi etatistik
(segalanya negara) yang otomatis mematikan segala daya kreasi masyarakat.
Ekonomi Komando yang berlangsung selama tujuh tahun dari tahun 1959 sampai
dengan tahun 1966 dan mencapai titik paling kritis dengan hiperinflasi 650% pada
1966, hampir melumpuhkan seluruh sistem produksi dan distribusi nasional.1
Ekonomi Orde Baru yang dimulai sejak tahun 1966 secara radikal
membalikkan arah sistem ekonomi Indonesia. Pembangunan diarahkan pada
demokrasi ekonomi, dan politik ekonomi diarahkan pada upaya untuk
menggerakkan kembali roda ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Kegiatan pencetakan uang yang telah berlangsung hampir tanpa kendali
dihentikan, anggaran belanja pemerintah dibuat berimbang, dan produksi dalam
negeri khususnya bidang pangan ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi penduduk yang terus bertambah. Sistem ekonomi pasar bebas mulai
berjalan normal, pembangunan ekonomi dibangun berdasarkan Rencana
1
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Rencana Pembangunan Lima Tahun ini
diarahkan dari tahun 1969 sampai dengan tahun 1994.2
Ditandai dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia
Tenggara, dimulai dari negara yang sudah siap menghadapi krisis ekonomi
tersebut seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Brunei sampai pada negara –
negara berkembang seperti Indonesia, salah satu negara yang mengalami tahun –
tahun ledakan kemajuan yang dirasakan kawasan Asia Tenggara sampai pada
Filipina, negara yang tidak mengalami tahun – tahun ledakan, tetapi mengalami
perubahan drastis Produk Nasional Bruto Riil dari tahun 1980 sampai tahun
2000.3 Indonesia sendiri mengalami krisis hebat yang mengakibatkan terjadinya
tingkat pertumbuhan ekonomi minus 14 persen pada 1998.4
Krisis ekonomi itu sudah mulai berlalu, tetapi kita baru menyadari bahwa
pembangunan di bidang ekonomi lebih diutamakan namun dengan mengabaikan
pembangunan hukumnya. Akibatnya, dalam pembangunan bidang ekonomi
tersebut munculah berbagai isu dan persoalan hukum berskala nasional.. Oleh
karena itu, sewajarnya pemerintah berbenah diri dalam menghadapi pertumbuhan
dan perkembangan pembangunan ekonomi yang sedemikian pesatnya. Salah satu
caranya adalah dengan mengadakan penyesuaian dan perubahan seperlunya
terhadap berbagai perangkat hukum dan perundang - undangan nasional yang
2
Asyakuri ibn Chamim, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004), hal 143.
3
Vedi R Hadiz, Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara, hal 16. 4Ibid
mengatur bidang ekonomi.5
Untuk memberdayakan perekonomian rakyat, kedaulatan harus
dikembalikan pada rakyat, karena hanya dengan kedaulatan rakyat itulah ekonomi
kerakyatan dapat terwujud. Pemberdayaan ekonomi rakyat juga merupakan bagian
integral dalam mewujudkan ketahanan nasional dalam bidang ekonomi. Arus Banyak sekali produk undang-undang yang membahas masalah di atas,
tetapi dalam penelitian ini penulis lebih cenderung menggunakan UU no 20 tahun
2008 karena, UU ini baru dan sangat relevan pada masa sekarang. Juga didalam
TAP MPR NO. XVI/1998 ditegaskan tentang perlunya penerapan sistem ekonomi
kerakyatan yang berpihak pada upaya-upaya pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pemberdayaan ekonomi rakyat ini dianggap penting karena ketertinggalan sektor
ekonomi rakyat dari sektor ekonomi menengah dan besar, sehingga menimbulkan
kecemburuan dan kesenjangan sosial. Hal ini menjadi masalah yang serius bagi
bangsa Indonesia di masa sekarang. Sistem ekonomi Indonesia adalah sistem
ekonomi kerakyatan yang mampu mewujudkan demokrasi dalam tatanan ekonomi
nasional. Sistem ideologi suatu bangsa akan menentukan sistem ekonomi seperti
apa yang tercantum dalam Pancasila sila ke-4. Penggunaan istilah ’’kerakyatan’’
dipastikan mengandung unsur demokrasi yang kental. Bila istilah ’’kerakyatan’’
dalam ungkapan ’’ekonomi kerakyatan’’ itu dicari maknanya sesuai kedudukanya
sebagai kata sifat, kata lain dari ’’ekonomi kerakyatan’’ sesungguhnya adalah
’’ekonomi yang demokratis’’ atau ’’demokrasi ekonomi’’. Artinya, kemakmuran
masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran perorangan.
5
ekonomi global harus diimbangi dengan penguatan pondasi ekonomi dalam
negeri. Oleh karenanya, sistem ekonomi kerakyatan harus didukung dengan
keberpihakan pemerintah dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Karena dengan
ekonomi rakyat yang tangguh, ketahanan nasional di bidang ekonomi dapat
terwujud.
Para pengamat acapkali melakukan kritik terhadap pelaksanaan
pembangunan ekonomi Indonesia yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan,
karena dengan otomatis perekonomian rakyat akan cenderung terabaikan.
Padahal, GBHN sendiri sudah lama menempatkan aspek pemerataan pada urutan
pertama dalam Trilogi Pembangunan Indonesia.6
Upaya untuk memberdayakan ekonomi rakyat, khususnya koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah (UKM), dimaksudkan agar mampu berkembang
menjadi usaha yang mandiri dan kokoh dalam struktur perekonomian nasional.
Melalui paradigma baru, diharapkan tidak lagi terjadi pemusatan aset ekonomi
produktif pada segelintir orang atau golongan. Sebaliknya paradigma baru ini
dimaksudkan untuk memperluas aset ekonomi produktif di tangan rakyat,
meningkatkan partisipasi dan advokasi rakyat dalam proses pembangunan,
berkembangnya basis ekonomi wilayah di tingkat kabupaten dan pedesaan, Dengan ditempatkannya
pemerataan sebagai logi pertama, dalam rencana masa depan perekonomian
Indonesia, seharusnya perhatian lebih diarahkan pada prospek perekonomian
rakyat, bukan pada pertumbuhan ekonomi besar.
6
meluasnya kesempatan usaha bagi koperasi dan UKM, dan pemerataan serta
keadilan bagi rakyat dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.
Dalam ekonomi kerakyatan yang diharapkan mampu mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta harus ada upaya keras untuk
memberdayakan ekonomi rakyat. Pola pemberdayaan yang dilakukan yaitu
menciptakan kemandirian bagi ekonomi rakyat, melalui koperasi dan UKM agar
memiliki nilai tambah.
Upaya tersebut memerlukan peran aktif dari pemerintah yang tidak hanya
memberikan bantuan dengan belas kasihan, tetapi sekaligus mengupayakan
fasilitas dan program – program yang menjadikan ekonomi rakyat lebih produktif.
Hal ini sejalan dengan apa yang telah disampaikan Kementerian Negara Koperasi
dan UKM, Suryadharma Ali dan tiga wakil bank peserta penyalur, bank BRI,
bank BNI, dan bank Mandiri dalam Raker dengan Komisi VI DPR pada tanggal
22 Agustus 2008 lalu, yang menghasilkan kesepakatan bahwa komisi VI
menyetujui penambahan dana sebesar Rp.1 triliun untuk program Kredit Usaha
Rakyat (KUR). Dengan asumsi gearing ratio 10 kali, dan tambahan KUR untuk
periode tahun ini akan meningkat menjadi Rp.10 milyar. Ditambah dengan dana
sebelumnya sebesar Rp.14,5 triliun, total dana KUR yang disalurkan menjadi Rp.
24,5 triliun. Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengajukan penambahan
dana KUR kepada Departemen Keungan setelah serapan dari Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) hingga awal Agustus hampir mencapai Rp 9 triliun.7
7Rapat Kerja Bersama antara Komisi VI DPR dengan Kenenterian Negara Koperasi dan
Pelaksanaan program kredit usaha rakyat ini tidak terlepas dari lembaga
perbankan selaku instrumen penyalur yang telah baku. Dalam pelaksanaan
pembiayaan kredit usaha rakyat ini, harus diupayakan agar pembiayaan yang
diberikan tepat sasaran sehingga peningkatan ekonomi kerakyaan yang menjadi
tujuan program kredit usaha rakyat ini dapat dicapai. Oleh karena hal tersebut,
sebagaimana pembiayaan perbankan pada umumnya, pada kredit usaha rakyat,
eksistensi prinsip kehati-hatian (Prudent Banking Principle) dalam penyaluran
kredit juga mutlak diperlukan oleh perbankan agar penyaluran kredit dapat
berjalan efektif dan berkesinambungan serta tepat sasaran.
Oleh karena hal tersebut di atas, maka skripsi ini diberi judul: Prinsip Kehati-hatian dalam Program Kredit Usaha Rakyat.
B. Permasalahan
1. Mengapa prinsip kehati-hatian wajib diterapkan dalam pemberian kredit?
2. Bagaimana pengaturan terhadap program kredit usaha rakyat di Indonesia?
3. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit usaha
rakyat?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan
a. Untuk mengetahui alasan prinsip kehati-hatian wajib diterapkan dalam
b. Untuk mengetahui pengaturan terhadap program kredit usaha rakyat di
Indonesia
c. Untuk mengetahui penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian
kredit usaha rakyat
2. Manfaat
Setiap penelitian pasti mendatangkan manfaat sebagai tindak lanjut dari
apa yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian. Penulis mengharapkan
dengan adanya penelitian ini membawa manfaat positif bagi penulis atau
pembaca secara langsung maupun secara tidak langsung. Penelitian ini
juga sangat berpengaruh bagi perkembangan individu atau objek dari
penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini merupakan hasil dari studi ilmiah yang dapat
memberikan masukan pemikiran dan ilmu pengetahuan baru terhadap
ilmu hukum pada umumnya dan ilmu Hukum Lembaga Keuangan
pada khususnya.
b. Manfaat praktis
Sebagai suatu informasi dan referensi bagi individu atau instansi yang
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai “Prinsip Kehati-hatian dalam Program Kredit Usaha Rakyat”
belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun sendiri dan bukan plagiat atau diambil
dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses
menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama,
maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian kredit dan perjanjian kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Latin credere (credo atau creditum), yang
berarti kepercayaan, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan faith atau trust.
Dapat dikatakan bahwa kreditur sebagai yang memberi kredit (lazimnya bank)
dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah, penerima kredit)
mempunyai kepercayaan bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat
yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit.8
Credere (percaya) maksudnya adalah si pemberi kredit percaya kepada si
penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai
perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan,
8
sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut
sesuai dengan jangka waktunya.9
Muchdarsyah Sinungan mengatakan bahwa kredit adalah suatu pemberian
prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi
pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontrak prestasi
berupa bunga.
10
Pada dunia bisnis pada umumnya kata kredit diartikan sebagai
kesanggupan akan meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi
dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan
membayar kelak.11
Berdasarkan pengertian ini, segala bentuk penyaluran dana dapat
dikategorikan sebagai pemberian kredit.
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang tentang Perbankan memberi
difinisi; ”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga”.
12
9
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 101. 10
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar Teknik Manajemen Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.11
11
Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, (Jakarta: Pradya Paramita, 1995), hal 279
Secara yuridis, unsur-unsur kredit yang
12
diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 11 UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan
dapat dirinci, yakni sebagai berikut:
a. penyediaan uang sebagai utang oleh pihak bank; atau
b. tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang sebagai
pembiayaan, misalnya pembiayaan pembuatan rumah, pembelian
kendaraan;
c. kewajiban pihak peminjam (debitur) melunasi utangnya menurut jangka
waktu disertai pembayaran bunga; dan
d. berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam uang antara bank dan
peminjam (debitur) dengan persyaratan yang disepakati bersama.
Adapun secara konseptual, Kasmir, dalam bukunya Dasar-dasar
Perbankan, menyebutkan unsur-unsur esensial yang terkandung dalam kredit
adalah sebagai berikut: 13
a. Kepercayaan
kredit disebutkan pada Pasal 1 angka (11), sementara istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah disebutkan pada Pasal 12 Undang-undang Perbankan yang Diubah, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Adapun pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Dari rumusan kedua istilah tersebut, maka perbedaannya terletak pada bentuk kontra-prestasi yang akan diberikan nasabah peminjam dana (debitur) kepada pihak bank (kreditur) atas pemberian kredit atau pembiayaannya. Pada bank konvensional, kontra prestasinya berupa bunga. Sedangkan bank syari’ah, kontra prestasinya dapat berupa imbalan atau bagi hasil sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan bersama. Baik kredit maupun pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah, sama-sama menyediakan uang tagihan atas dasar persetujuan atau kesepakatan bersama antara pihak bank dan pihak lain dengan kewajiban pihak peminjam atau pihak yang dibiayai untuk melunasi utangnya atau mengembalikannya beserta bunga, imbalan, ataupun bagi hasil dalam tenggang waktu yang telah disepakati bersama. Lihat Rachmadi Usman,
Op. cit., hal. 236-237. 13
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bagi si pemberi kredit bahwa
kredit yang diberikan (baik berupa uang, barang, atau jasa) benar-benar diterima
kembali di masa yang akan datang sesuai jangka waktu kredit yang disepakati.
Kepercayaan diberikan oleh bank sebagai dasar utama yang melandasi suatu
kredit berani dikucurkan. Oleh karena itu, sebelum kredit dikucurkan harus
dilakukan penelitian dan penyelidikan lebih dulu secara mendalam tentang kondisi
nasabah, baik secara interen maupun eksteren. Penelitian dan penyelidikan tentang
kondisi pemohon kredit sekarang dan masa lalu dilakukan untuk menilai
kesungguhan dan etiket baik nasabah terhadap bank.
b. Kesepakatan
Adanya kesepakatan dituangkan dalam suatu perjanjian atau akad kredit.
Kesepakatan tersebut berisikan tanda tangan dari masing-masing pihak yang
mengatur hak dan kewajibannya. Penandatanganan ini dilakukan sebelum kredit
dikucurkan. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Muniarti, dalam bukunya
Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, menambahkan bahwa semua persyaratan
pemberian kredit dan prosedur pengembalian kredit serta akibat hukumnya adalah
hasil dari kesepakatan, dituangkan dalam akta perjanjian yang disebut sebagai
kontrak kredit.14
c. Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu. Jangka waktu
ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati, yakni jangka
pendek, menegah, dan panjang. Adapun jangka pendek (di bawah 1 tahun), jangka
14
menengah (1 sampai 3 tahun), atau jangka panjang (di atas 3 tahun). Jangka waktu
merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati
kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu, jangka waktu ini dapat diperpanjang
sesuai kebutuhan.
d. Risiko
Akibat dari adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit akan
memungkinkan terjadinya suatu risiko, yakni tidak tertagihnya atau macetnya
pemberian kredit. Semakin panjang jangka waktu kredit, maka semakin besar
risikonya, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik
risiko yang disengaja oleh nasabah maupun risiko yang tidak disengaja, misalnya
karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur
kesengajaan lainnya sehingga nasabah tidak mampu melunasi kredit yang
diperolehnya.
e. Balas jasa
Bagi bank balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan atas pemberian
suatu kredit. Dalam bank jenis konvensional balas jasa dikenal dengan bunga
bank. Di samping balas jasa dalam bentuk bunga, bank juga membebankan
kepada nasabah biaya administrasi kredit yang juga merupakan keuntungan bank.
Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah, balas jasanya ditentukan dengan
sistem bagi hasil.
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, memakai istilah bunga bank
untuk menyebutkan balas jasa sebagai salah satu unsur yang terkandung dalam
berupa bunga yang wajib dibayar oleh calon debitur, dan ini merupakan
keuntungan yang diterima oleh bank.15
Perjanjian adalah suatu persetujuan, yakni perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.16 Suatu
perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam pasal
1320 KUH Perdata sebagai berikut:17
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dari macam-macam perjanjian yang ada di dalam KUH Perdata, salah
satunya adalah perjanjian pinjam pengganti. Perjanjian itu daitur dalam bab ketiga
belas buku ketiga KUH Perdata.
Adapun yang disebut perjanjian pinjam pengganti dari ketentuan pasal
1754 KUH Perdata menetapkan:
Pinjam pengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Undang-undang perbankan sendiri dalam hal ini tidak mengatur secara
khusus tentang perjanjian kredit. Untuk mengetahui bagaimana bentuk
15
Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Log. Cit. 16
Subekti, R, & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pranya Paramita, 1975, hal. 304.
17
perjanjiannya, perlu melihat apa yang dimaksud dengan kredit dalam pasal 1 butir
12 undang-undang tersebut, yakni:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa perjanjian kredit
merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara bank (pemberi kredit)
dengan pihak lain (nasabah). Melihat bentuk perjanjiannya dan kewajiban debitur
seperti di atas, maka perjanjian kredit tergolong sebagai perjanjian pinjam
meminjam. Meskipun perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus, karena di
dalamnya terdapat kekhususan dimana pihak kreditur selalu bank, dan objek
perjanjiannya berupa uang.
Karena itu peraturan-peraturan yang berlaku bagi perjanjian kredit adalah
KUH Perdata sebagai peraturan umumya, dan undang-undang perbankan beserta
pelaksanaannya sebagai peraturan khusus.
2. Prinsip kehati-hatian perbankan
Sulit sekali menemukan pengertian prinsip kehati-hatian di dalam literatur,
karena prinsip ini lebih banyak dipraktekkan daripada digali secara teoritis.
Namun apabila diartikan secara umum kehati-hatian adalah bersikap waspada.
Prinsip kehati-hatian adalah prinsip yang mutlak diterapkan oleh setiap bank,
dimana bank dalam menjalankan usahanya harus menggunakan prinsip
kehati-hatian terutama dalam hal pemberian kredit. Prinsip kehati-kehati-hatian ini harus
tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada
masyarakat, yaitu sebagai bagian dari sistem moneter yang menyangkut
kepentingan semua anggota masyarakat yang bukan hanya nasabah penyimpan
dana dari bank itu saja.18
Perbankan Indonesia dalam melaksanakan usahanya berdasarkan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Bank dalam
memberikan kredit atau pembiayaan, dan melakukan usaha lainnya, wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang Dengan demikian prinsip kehati-hatian ini bertujuan agar bank
manjalankan usahanya secara baik dan benar dengan memenuhi
ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku dalam dunia perbankan, agar
bank yang bersangkutan selalu dalam keadaan sehat, sehingga masyarakat
semakin mempercayainya, yang pada gilirannya akan mewujudkan sistem
perbankan yang sehat dan efisien, dalam arti sempit dapat memelihara
kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat
bagi perkembangan ekonomi nasional.
Peraturan atau norma hukum itu tidak lahir dengan sendirinya. Ia
dilatarbelakangi oleh dasar-dasar filosofi tertentu, yang disebut dengan asas
hukum, sehingga untuk mempelajari norma hukum, harus diketahui asas-asas
hukumnya. Hal ini disebabkan, asas hukum itu mengandung nilai-nilai dan
tuntutan etis yang merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dan
cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.
18
mempercayakan dananya kepada bank. Jadi jelaslah bahwa prinsip kehati-hatian
ini sangat penting untuk diterapkan dalam rangka melindungi dana masyarakat
yang dipercayakan adanya.19
F. Metode Penelitian
Adapun yang menjadi batasan prinsip kehati-hatian dalam pemberian
kredit adalah bahwa bank sebelum memberikan kredit, harus melakukan penilaian
yang seksama terhadap calon debitur meliputi apa yang disebut 5C of Credit, yaitu
character (watak), capacity (kemampuan), capital (modal), collateral (agunana),
dan condition of economy (kondisi ekonomi). Selain itu, bank juga harus menilai
seluruh aspek-aspek perkreditan yang ada. Tujuannya adalah untuk menghindari
kredit bermasalah yang berujung pada kredit macet. Apabila sudah terjadi kredit
macet, bukan hanya bank yang rugi, tapi juga nasabah penyimpan dana, karena
sumber dana bank dalam menyalurkan kredit sebagian besar adalah dana titipan
nasabah. Oleh karena itu, bank wajib mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha
untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode dan
teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang
digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan
menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
19Ibid
fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah
-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.20
1. Jenis penelitian
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang
merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.21
2. Sumber data
Logika keilmuan yang juga dalam
penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara
kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.
Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap
sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,
dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku tentang prinsip kehati-hatian dalam program
kredit usaha rakyat.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang.22
20
Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004), hal 1.
21
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hal. 57.
22
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 19.
Dalam penelitian ini bahan
hukum primer diperoleh melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM,
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang
berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal
hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan
beberapa sumber dari internet.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari
media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk
peraturan perundang-undangan.
4. Teknik analisa data
Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka
dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran
akan hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dalam penelitian ini
dengan menggunakan alat pengumpul data melalui studi dokumen, yaitu berupa
penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang
dari kepustakaan ataupun yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan
penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Bab ini akan membahas kewajiban menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam program kredit usaha rakyat, yang memuat tentang
Dasar hukum dan pengertian prinsip kehati-hatian, Kehati-hatian
sebagai prinsip utama bank dalam memberikan kredit, dan Sanksi
bagi pelanggaran prinsip kehati-hatian
BAB III: Bab ini akan membahas tentang pengaturan program kredit
usaha rakyat di Indonesia, yang mengulas tentang Pengertian dan
dasar hukum kredit usaha rakyat, Ruang lingkup kredit usaha
rakyat, Mekanisme pemberian kredit dalam program kredit usaha
rakyat,dan Pengawasan terhadap kredit usaha rakyat.
BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang penerapan prinsip kehati-hatian dalam
Penerapan prinsip mengenal nasabah dalam pemberian kredit usaha
rakyat, dan Implikasi tidak dilaksanakannya prinsip kehati-hatian
dalam program kredit usaha rakyat.
BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang
berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang