• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Toleransi social loafing 1. Definisi - Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social Loafing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "A. Toleransi social loafing 1. Definisi - Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social Loafing"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II LANDASAN TEORI

Penelitian ini akan membahas hubungan antara elemen faktor budaya individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing. Peneliti terlebih dahulu akan membahas tentang toleransi social loafing dan faktor penyebabnya. Kemudian peneliti lanjutkan dengan membahas tentang bagaimana individualisme kolektivisme dapat menjadi prediktor toleransi social loafing.

A.Toleransi social loafing 1. Definisi

Toleransi adalah kemampuan individu untuk bertahan, menderita, atau menerima sesuatu hal yang tidak disetujui atau tidak disukainya (Chong, 1994). Selanjutnya, toleransi dalam penelitian ini erat kaitannya dengan perilaku permissive. Permissive adalah sikap untuk membolehkan atau mengizinkan terjadinya sebuah perilaku (Kamus Oxford Learner's Pocket Dictionary). Sebagaimana telah peneliti jelaskan sebelumnya, social loafing

(2)

dalam kelompok, khususnya ketika usaha yang diberikan individu tersebut tidak dapat dibedakan dengan usaha yang diberikan oleh individu lain.

Mengacu pada penalaran peneliti tentang defenisi toleransi dan social loafing diatas, peneliti mendefinisikan toleransi social loafing sebagai kemampuan individu untuk bertahan, menderita, menerima atau mengizinkan perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya.

Social loafing merupakan tindakan yang dapat merugikan, baik itu bagi

kelompok secara utuh maupun bagi anggota-anggota kelompok secara individual (Karau & Williams, 1993). Ketika seorang anggota kelompok menjadi pelaku social loafing, pelaku tersebut mengurangi kesempatan untuk mengembangkan

kemampuan dan pengetahuannya terkait dengan tugas yang seharusnya ia kerjakan (Welter, Canale, Fiola, Sweeney & L‟armand,2002). Kurangnya partisipasi seorang pelaku social loafing juga dapat membuat ia mengalami penurunan kemampuan seiring dengan pengurangan usaha yang dilakukannya (Carron, Burke & Prapavessis, 2004). Sedangkan bagi kelompok, social loafing akan merugikan kelompok dan menghasilkan penurunan kinerja dan produktivitas kelompok secara keseluruhan (Schnake, 1991).

Berdasarkan berbagai sumber yang diperolehnya, Sarwono (2005) menjelaskan penyebab individu melakukan social loafing sebagai berikut:

(3)

menjadi tidak diperlukan atau tidak penting (Kidwell & Bannet, dalam Sarwono, 2005).

2. Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas dan faktor intrinsik yang rendah (e.g. tugas tidak menarik, kurang bermakna, dan lain-lain:George, dalam Sarwono, 2005).

3. Individu tidak mau rajin jika anggota kelompok yang lain malas (sucker effect). Individu akan merasa rugi untuk memberikan kontribusi lebih terhadap kelompok. social loafing juga akan terjadi pada kondisi ini, walaupun tugas tersebut menarik. (Robbins, dalam Sarwono, 2005).

4. Pengambilalihan peran: kalau peran individu diambil alih oleh anggota kelompok lain, maka individu tersebut akan malas menjalankan perannya (Kerr & Stanfel, dalam Sarwono, 2005).

5. Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada kolektivis (Early, dalam Sarwono, 2005).

6. Tidak ada pembagian tanggung jawab (individu tidak diberi tanggung jawab tersendiri: Wagner, dalam Sarwono, 2005 ).

7. Tidak ada spesifikasi pekerjaan akan membuat perilaku social loafing semakin besar (Singh & Singh, dalam Sarwono 2005).

(4)

2. Faktor-faktor yang menentukan toleransi social loafing

Ada beberapa hal yang dapat membuat individu mentolerir social loafing, yaitu: (1) Persahabatan, (2) spesialisasi dan operasionalisasi kerja, (3)

tingkat kesulitan tugas, (4) dan keinginan untuk berprestasi. Berikut adalah penjelasannya.

1. Persahabatan

(5)

berdalih persahabatan membuat anggota-anggota kelompok lain menjadi lebih toleran terhadap pelaku social loafing. Dengan demikian, hubungan persahabatan dapat menjadi suatu faktor yang meningkatkan toleransi terhadap social loafing.

2. Spesialisasi dan operasionalisasi kerja

Sebuah kelompok terdiri dari individu-individu yang memiliki keahlian dan kompetensi yang saling melengkapi (De Janasz, Dowd, & Schneider, 2002). Kemampuan-kemampuan anggota kelompok yang berbeda di berbagai bidang dapat memicu seseorang mentolerir social loafing dengan alasan yang bersifat instrumental. Dalam mengerjakan

tugas, anggota kelompok yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam bidang tertentu akan berusaha mengerjakan tugas yang menjadi bidangnya sendirian dan membiarkan anggota kelompok lain menjadi pelaku social loafing. Sebagai imbalan, individu tersebut akan menjadi pelaku social loafing ketika ada tugas lain yang bukan merupakan bidangnya.

3. Tingkat kesulitan tugas

(6)

2008). Hal ini akan membuat individu membiarkan anggota kelompok yang lain untuk melakukan pemalasan social.

4. Keinginan untuk berprestasi

Anggota kelompok yang ingin menunjukkan kemampuannya kepada anggota-anggota lain akan terdorong memberikan kontribusi lebih ketika bekerja di dalam kelompok. Ketika terdapat anggota kelompok yang melakukan social loafing, individu tidak akan merasa terganggu dan akan berusaha mengambil alih tanggung jawab rekan kerjanya. Dengan kata lain, tindakan social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompok justru dipandang oleh individu sebagai kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya di mata anggota kelompok lain. Terlebih lagi jika anggota kelompoknya merupakan orang baru dan belum pernah menyaksikan kebolehannya di masa lalu (Seta & Seta, dalam Sarwono, 2005).

B.Individualisme kolektivisme

Pemahaman terhadap budaya yang melatari dinamika kelompok diperlukan dalam upaya memahami efek social loafing (Walsh, Gregory, Lake, & Gunawardena, 2003; Karau & Williams, 1993). Salah satu faktor budaya yang penting untuk dikaji adalah dimensi individualisme kolektivisme.

1. Individualisme

Hofstede (2005) mengartikan individualisme sebagai tatanan sosial yang dikarakteristikkan oleh ikatan emosional antar individu yang longgar. Masyarakat individualisme sangat menekankan kesadaran „aku‟ dan

(7)

kesenangan bereksplorasi, kebutuhan akan relasi khusus. Individualisme adalah budaya yang menekankan gagasan bahwa individu terpisah dan tidak tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai otonom dari ingroup, tujuan pribadi menjadi prioritas di atas tujuan kelompok, sikap individu secara personal lebih menentukan perilaku sosial individu daripada norma (Triandis, 1995).

2. Klasifikasi individualisme

Triandis (dalam Lee & Choi, 2005) menyarankan bahwa individualisme dapat dibagi menjadi horisontal maupun vertikal. Individu dengan individualisme horisontal ingin menjadi unik dan melakukan yang hal yang merupakan keinginannya sendiri, namun tidak melandaskan pada hierarki tertentu. Sedangkan orang-orang individualistis vertikal tidak hanya ingin melakukan hal yang mereka ingin ia lakukan sendiri tetapi juga berusaha untuk menjadi yang terbaik berdasarkan hierarki tertentu (e.g., rangking kelas, jabatan tinggi, gengsi, dll.). Daya saing sangat tinggi terdapat pada budaya individualistis vertikal.

a. Individualisme vertikal

(8)

Dalam pola budaya ini, kompetisi merupakan aspek penting bagi setiap individu.

b. Individualisme horizontal

Individu-individu dengan derajat individualisme horizontal yang tinggi memandang diri mereka sepenuhnya otonom, dan percaya bahwa kesetaraan antar individu merupakan hal yang ideal. Mereka ingin menjadi unik dan berbeda dari kelompok di mana dirinya bernaung. Meskipun menginginkan kemandirian dan keunikan pribadi, mereka tidak tertarik untuk memiliki status yang lebih tinggi dari anggota kelompok lainnya. 3. Kolektivisme

Hofstede (2005) mengartikan kolektivisme sebagai tatanan sosial yang memiliki ikatan emosional antar individu yang kuat. Masyarakat kolektivisme

sangat menekankan kesadaran „peneliti‟ dan identitas kolektif, yang ditandai

(9)

dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompok, tujuan ingroup menjadi prioritas diatas tujuan pribadi.

4. Klasifikasi kolektivisme

Triandis dan Gelfand (1998) juga membagi kolektivisme menjadi kolektivisme horisontal maupun vertikal.

a. Kolektivisme vertikal

Individu ini melihat diri sebagai bagian dari suatu kelompok dan bersedia menerima adanya hirarki dan ketimpangan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dalam kolektivisme vertikal, individu menekankan integritas dalam kelompok, individu bersedia mengorbankan tujuan pribadi mereka demi sasaran dalam kelompok, dan dukungan untuk berkompetisi antar kelompok. Kolektivisme Vertikal adalah pola budaya di mana individu melihat diri sebagai bagian penting kelompok, tetapi anggota dalam kelompok berbeda satu sama lain, beberapa memiliki status lebih tinggi dari lain.

b. Kolektivisme horisontal

(10)

5. Individualisme kolektivisme dan kerja sama di dalam kelompok

(11)

C.Hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing.

1. Individualisme dan toleransi social loafing

a. Individualisme vertikal dan toleransi social loafing

Sebagaimana telah peneliti jelaskan, individualisme vertikal adalah budaya yang menilai individu berdasarkan keunikan, yang diakui berdasarkan hierarki atau status sosial yang didapatkan melalui kompetisi. Ketika bekerja dalam kelompok, individu yang tinggi dalam derajat dimensi ini menginginkan agar diri ia lebih baik daripada orang lain, keberhasilan atau kegagalan kelompok dipandang keberhasilan atau kegagalan pribadi (Triandis & Gelfand, 1998). Di satu sisi, ketika ada perilaku social loafing dalam kelompoknya individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi dapat merasa terganggu, karena ia mempercayai bahwa perilaku social loafing akan menurunkan kinerja dan prestasi kelompok, yang berararti kegagalan bagi pencapaian prestasi pribadinya. Sebagai konsekuensi, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi akan akan sulit mentolerir perilaku social loafing, karena kegagalan kelompok dapat ia internalisasikan sebagai kegalan pribadi. Namun, di sisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi ini menempatkan kepentingan personal di atas kepentingan kelompok (Triandis, 1995). Ketika ada anggota kelompok yang melakukan social loafing, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ia justru dapat

(12)

menunjukkan kehebatannya di atas anggota-anggota kelompok lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku social loafing.

b. Individualisme horisontal dan toleransi social loafing

(13)

ini akan membuat anggota individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab individu lain, terlepas dari tinggi atau rendahnya kontribusi usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku social loafing. 2. Kolektivisme dan toleransi social loafing

a. Kolektivisme vertikal dan toleransi social loafing

(14)

Di sisi lain, individu dengan kolektivisme vertikal yang tinggi juga menjunjung tinggi fungsi kelompok secara keseluruhan. Di mana kelompok merupakan hal yang utama yang patut untuk diperjuangkan melebihi kepentingan pribadinya. Sedangkan penelitian menyebutkan bahwa social loafing merusak identitas kelompok secara keseluruhan (Triandis, 1995). Sehingga individu yang memiliki kolektivisme yang tinggi akan peduli terhadap kelompok dan tidak akan membiarkan satupun anggota kelompoknya untuk melakukan social loafing, karena akan mengganggu performa dan produktivitas kelompok secara keseluruhan menurun (Schnake, 1991).

b. Kolektivisme horisontal dan toleransi social loafing

Budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya status yang sama pada setiap individu dan penolakan terhadap otoritas atau dominasi yang bersifat hierarkis di dalam kelompok. Hubungan atau relasi dengan anggota-anggota kelompoknya sangat penting bagi individu yang memiliki derajat kolektivisme horisontal yang tinggi. Individu ini akan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota kelompoknya yang lain (Bond, dalam Triandis, 1995). Ketika anggota kelompok melakukan hal yang kurang disukainya (e.g. social loafing), individu akan mentolerir perilaku anggota kelompoknya tersebut dengan alasan untuk menjaga relasinya dengan anggota lain tersebut.

(15)

anggota kelompoknya. Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah adanya kelekatan emosional yang kuat antar anggota kelompok (Triandis, 1995). Ikatan emosional ini membuat individu untuk tidak membiarkan anggota kelompoknya melakukan social loafing, karena anggota kelompok yang melakukan social loafing akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya

dan kelompok tidak akan menghasilkan performa yang maksimal (Welter dkk., 2002). Dengan demikian, individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme vertikal akan menolak social loafing dan berusaha membantu anggota kelompok lain untuk dapat mengembangkan dirinya (Carron, Burke & Prapavessis, 2004).

D.Hipotesa penelitian

Berdasarkan uraian teori dan dinamika antara dimensi individualism kolektivisme yang telah peneliti paparkan, hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan antara individualisme vertikal dengan toleransi social loafing. Di satu sisi, hubungan yang terjadi dapat bersifat positif, yaitu

(16)

2. Ada hubungan antara individualisme horisontal dengan toleransi social loafing. di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin

tinggi derajat individualisme horisontal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat individualism horisontal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing menurun.

3. Ada hubungan antara kolektivisme vertikal dengan toleransi social loafing. Di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme vertical yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme vertikal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing menurun.

4. Ada hubungan antara kolektivisme horisontal dengan toleransi terhadap social loafing. Di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu

Referensi

Dokumen terkait

Sebaiknya PT Alas Seni Kreasi Industri memiliki pengendalian yang lebih baik lagi di dalam pengunaan jam tenaga kerja langsung yang dibutuhkan untuk mengasilkan

Umum/Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Provinsi/Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum/Sekretaris Komisi

kiat yang efektif dalam memilih sebuah buku teks pelajaran bagi peserta didik.. dan guru

Algoritma hibridisasi GA dan fuzzy sets yang dibuat untuk memproduksi paket soal terdiri dari lima proses utama, yaitu: pengkodean kromosom, pem- buatan populasi awal dengan

Table 1 presents the result of these series of experiments by showing the number of iteration needed for the initial contour to be converged to the true boundary for each approach:

Dengan ini, saya menyatakan bahwa data diatas adalah benar dan apabila ternyata tidak benar, kepesertaan saya bisa dicabut dan saya bersedia dituntut sesuai dengan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas, perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Murung Raya tentang Retribusi

180 STIKes Wira Medika Bali. 181 STIKes Wiyata