• Tidak ada hasil yang ditemukan

61 BAB IV HASIL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "61 BAB IV HASIL PENELITIAN"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

61 A. Hukuman Menurut Hadis

Di antara hadis nabi saw yang berbicara mengenai hukuman adalah hadis yang memerintahkan orang tua untuk menyuruh anaknya meleksanakan shalat, seperti hadis berikut ini.

ٍماَشِه ُنْب ُلَّمَؤُم اَنَ ثَّدَح

دُواَد وُبَأ َلاَق َةَزَْحَ ِبَِأ ٍراَّوَس ْنَع ُليِعَْسِْإ اَنَ ثَّدَح َّيِرُكْشَيْلا ِنِْعَ ي

ِهِّدَج ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍبْيَعُش ِنْب وِرْمَع ْنَع ُِّفَِرْ يَّصلا ُّ ِنَِزُمْلا َةَزَْحَ وُبَأ َدُواَد ُنْب ُراَّوَس َوُهَو

لا ىَّلَص ِهَّللا ُلوُسَر َلاَق َلاَق

َينِنِس ِعْبَس ُءاَنْ بَأ مُهَو ِة َلََّصلاِب ْمُكَد َلَْوَأ اوُرُم َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّل

ِع ِجاَضَمْلا ِفِ ْمُهَ نْ يَ ب اوُقِّرَ فَو ٍرْشَع ُءاَنْ بَأ ْمُهَو اَهْ يَلَع ْمُهوُبِرْضاَو

.

(

َدُواَد ْوُ بَا ُهاَوَر

)

“Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Hisyam Al-Yasykuri telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Sawwar Abu Hamzah berkata Abu Dawud; Dia adalah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah Al-Muzani Ash-Shairafi dari Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (H.R Abu Daud).

(2)

perintah melaksanakan shalat, perintah memberikan hukuman bagi pelanggarnya, dan perintah mendidik pendidikan seks.1

Dalam penelitian ini, pendidikan yang akan penulis bahas adalah tentang perintah memberikan hukuman, tidak terbatas pada pelaku pelanggaran shalat saja, namun mencakup pemberian hukuman secara umum dalam lingkup pendidikan. Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa perintah shalat secara tegas dimulai dari usia tujuh tahun dan berlanjut sampai us ia Sembilan dan sepuluh tahun. Jika pada usia sepuluh tahun ini seorang anak tidak mau melaksanakan perintah shalat, maka orang tua diperintahkan untuk memukul.

Rasulullah menjelaskan dalam hadits ini bahwa orang tua sudah harus membiasakan anaknya untuk shalat mulai dari anak berumur tujuh sampai sepuluh tahun. Itu artinya selama tiga tahun pendidik harus bersabar dalam membimbing dan mengingatkan anak secara terus – menerus tentang shalat. Oleh karena itu bisa dihitung berapa kali perintah itu harus disampaikan kepada anak. Perintah itu selama tiga tahun, tiga tahun sama dengan 3 x 365 hari = 1095 hari. Sementara shalat 5 x sehari semalam. Jadi 1095 x 5 = 5475 x perintah.2

Oleh karena itu, pendidik mempunyai kewajiban sebanyak 5475 x mengingatkan anak untuk shalat sebelum pendidik mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman (pukul) terhadap anak. Sebagai pendidik seharusnya

1

Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi :Hadis-hadis pendidik an, (Jaka rta: Kencana, 2012), h. 263

2

(3)

guru atau orang tua bisa mengintrospeksi diri apakah kewajibannya sebagai pendidik sudah ditunaikan sebelum meminta anak berbakti kepadanya dan minta hak-haknya selaku orang tua. Tidak benar kalau pendidik hanya ingat pada kewajiban anak didik saja untuk berbakti kepada dirinya, sementara d ia belum menunaikan kewajiban sepenuhnya selaku orang tua terhadap anak. Setelah itupun masih ada kewajiban memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat sampai mereka baligh, bahkan diperintahkan untuk memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti dan membahayakan dalam artian pukulan yang mendidik bila mereka tidak mau melaksanakannya.3

Perlu diperhatikan di sini, memukul adalah cara terakhir untuk mendidik anak. Maksudnya, sebelum memukul harus menempuh cara-cara lainnya terlebih dahulu, seperti menasihati, kemudian memperingatkan dengan keras, memberi ancaman hukuman jika memang anak termasuk orang yang jera hanya dengan ancaman. Jika ketiga cara ini tidak mempan, barulah orang tua boleh memukul anaknya. Pukulan disini maksudnya adalah hukuman yang sesuai dengan kondisi, bisa jadi yang dipukul adalah batinnya (mental) dengan cara diisolasi atau sikap tidak suka, sikap marah, dan lain-lain. Atau diartikan pukulan pada fisik jika diperlukan, yang pada prinsipnya anak bisa mengubah dirinya menjadi yang lebih baik sesuai dengan perintah

3

https://zulfiak mal.wordpress.com/2012/12/30/menyuruh -anak -shalat/, diakses pada hari

(4)

atau larangan.4 Sebagai contohnya yaitu sikap marah nabi saw kepada seseorang yang meludah ke arah kiblat, sebagaimana yang terdapat dalam hadis beliau berikut ini. kalangan sahabat Nabi saw. bahwa ada seorang yang menjadi imam salat bagi sekelompok orang, kemudian dia meludah ke arah kiblat dan Rasulullah saw. melihat, setelah selesai salat Rasulullah saw. bersabda ”jangan lagi dia menjadi imam salat bagi kalian” (HR. Abu Daud no.481).5

Memberikan hukuman (marah) karena orang tersebut tidak layak menjadi imam. Seakan-akan larangan tersebut disampaikan beliau tanpa kehadiran imam yang meludah ke arah kiblat ketika salat. Dengan demikian Rasulullah SAW memberi hukuman mental kepada seseorang yang berbuat tidak santun dalam beribadah dan dalam lingkungan sosial.

(5)

Berdasarkan pada hadits tersebut, mendidik anak dengan menggunakan hukuman (pukul) boleh dilakukan, Tetapi tentu hal ini tidak serta merta membenarkan setiap hukuman boleh diberikan kepada anak yang tidak mau shalat tanpa memperhatikan batasan-batasan tertentu. Hukuman dalam pendidikan memiliki pengertian yang luas, mulai dari hukuman yang ringan sampai pada hukuman berat. Sekalipun hukuman banyak macamnya, Ahmad Tafsir menjelaskan, bahwa pengertian pokok dalam setiap hukuman tetap satu, yaitu adanya unsur menyakitka n, baik jiwa maupun badan.6

Berdasarkan pendapat para fuqaha, jika anak telah baligh namun tidak melaksanakan shalat maka orang tua memerintahkan anaknya dengan cara memukulnya. Pengertian memukul disini adalah memberi pelajaran dan membiasakan anak melaksanakan shalat bukan pukulan hukuman atau siksaan. Oleh karena itu pukulan dimaksud agar anak melaksanakan shalat, bukan membuat anak sakit atau merusak tubuhnya. 7

Berkenaan dengan hal ini, dalam Al-Quran juga dijelaskan tentang menyuruh anak melaksanakan shalat sebagaimana tertuang dalam Surah Taha ayat 132:

ىَوْقَّ تلِل ُةَبِقاَعْلاَو َكُقُزْرَ ن ُنَْنَ ااقْزِر َكُلَأْسَن لَ اَهْ يَلَع ِْبَِطْصاَو ِةلََّصلاِب َكَلْهَأ ْرُمْأَو

6

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidik an Islam dalam Prespek tif Islam, (Bandung: Re ma ja Rosdakarya, 2007), h. 186

7

http://al-badar.net/anak-me laksanakan-shalat/, diakses pada hari senin 14/ 08/ 2017,

(6)

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”8

Prinsip pokok dalam mengaplikasikan pemberian hukuman yaitu bahwa hukuman adalah jalan terakhir dan harus dilakukan secara terbatas serta tidak menyakiti anak didik. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan anak dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Suatu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa hadis tersebut tidak dapat dijadikan legistimasi dan dasar untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal itu berdasarkan beberapa alasan, yaitu sebagai berikut:

1. Pukulan terhadap anak yang diperintahkan oleh Rasullullah itu dalam kerangka kasih sayang, bukan menyakiti, melukai, dan menimbulkan dendam. Sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Al- Alaqi dan Al- Aqami. Menurutnya, pemukulan diperintahkan hanya apabila anak sudah berusia 10 tahun. Pada usia itulah batas penanggungan pukulan (sebelumnya belum pantas menerima pukula n). Pukulan yang dimaksud di sini adalah pukulan yang tidak melukai, tidak menyakiti, dan hindari pemukulan pada wajah.

2. Sifat dan perlakuan kasar bertentangan dengan kepribadian Rasullullah saw. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa hadis dan sirah beliau, antara lain sebagai berikut:

8

(7)

a. Hadis riwayat Al-Bukhari. Abu Sulaiman Malik bin Huwairits

berkata, “kami beberapa orang pemuda sebaya mengunjungi nabi saw

lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang.

b. Hadis riwayat Muslim dari Anas bin Malik ia berkata, “saya tidak pernah melihat orang yang lebih penyayang kepada keluarganya melebihi Rasullullah saw.9

Adalagi yang mengartikan bahwa yang dimaksud memukul dalam hadis tersebut adalah untuk menyadarkan mereka bukan untuk menyakiti. Karena itu jangan sampai pukulan tersebut membuat cedera melainkan untuk menyadarkan mereka, dan lebih baik lagi apabila tanpa pukulan. Jika dengan suruhan sudah bisa menyadarkan, janganlah disertai pukulan. Pukulan adalah pilihan terakhir apabila dengan ucapan dan teguran sudah tidak bisa.10 Kemudian dalam memberikan hukuman hindarilah ba gian wajah. Sebagaimana yang terdapat dalam sabda nabi saw berikut.

َح

menceritakan kepada kami al-Mughirat, yakni al-Hizami, dari Abu Zinad, dari A’raj, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,

9

Bu khari Umar, Hadis Tarbawi: pendidik an dalam perspektif hadis, (Jakarta : AMZAH, 2014) h. 124-125

10

(8)

“Apabila memukul salah seorang kamu akan saudaranya, maka hindarilah wajah.”(H.R. Muslim)

Hadits di atas menjelaskan bahwa dilarang memukul disekitar wajah. Yang diriwayatkan oleh tujuh perawi, diantaranya: periwayat ke-1 (sanad 6) adalah Abu Hurairah, periwayat ke-2 (sanad 5) adalah A’raj, periwayat ke-3 (sanad 4) adalah Abu Zinad, periwayat ke-4 (sanad 3) adalah al- Hizami, periwayat ke-5 (sanad 2) adalah Al-Mughirat, periwayat ke-6 (sanad 1) adalah Abdullah ibn Maslamah ibn Qa’nab, dan periwayat ke-7 adalah Muslim.

Aspek Pendidikan yang dapat diambil dari hadis tersebut adalah sebagai berikut:

a. Hukuman dapat meningkatkan kesadaran dan kehati- hatian peserta didik.

b. Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati.

c. Sanksi dilakukan dengan teguran, diasingkan ata u dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam.

Dalam buku Muhammad nabil kazhim tentang mendidik anak tanpa kekerasan, dikutip dalam kitab at- tasyri’ al- jina’I al- islami

(9)

Dalam penerapan hukuman, ayah memiliki hak penuh untuk menghukum anak- anaknya (yang masih kecil), yang belum baligh, demikian juga dengan guru, ia memiliki hak untuk menghukum murid-muridnya. Adapun kakek dan orang yang mendapatkan wasiat, berhak menghukum anak-anak yang berada di bawah perwaliannya. Sedangkan ibu, ia memiliki hak untuk menghukum anaknya menurut salah satu pendapat jika ia diwasiatkan untuk itu atau jika si anak berada di bawah tanggungannya, atau jika sang ayah sedang tidak ada. Selain orang- orang yang tadi disebutkan, sama sekali tidak memiliki hak untuk menghukum anak-anak. Ini menurut pendapat yang dianggap rajih.

Adapun syarat-syarat diperbolehkannya menghukum anak- anak, sebagaimana berikut ini:

a. Hukuman diterapkan karena kesalahan yang diperbuat, bukan atas dasar kekhawatiran terhadap kesalahan berikutnya yang akan ia lakukan.

b. Hukuman pukulan hendaknya tidak menyakitkan sama sekali.

c. Hukuman pukulan harus disesuaikan dengan kondisi si anak dan usianya.

d. Hukuman pukulan dilakukan atas dasar dan untuk tujuan pembinaan, tidak boleh berlebihan, dan diluar kewajaran.11

11

(10)

Jika pukulan yang dilakukan terlalu keras, dan dinilai keluar dari ambang kewajaran sebagai sarana pembinaan, maka orangtua atau guru yang melakukannya bertanggungjawab secara hukum pidana. Asy-

Syafi’i berpendapat bahwa penghukum bertanggungjawab penuh

terhadap bahaya yang timbul pada anak akibat hukuman yang diterapkannya. Sebab, menghukum adalah hak, bukan kewajiban. Dengan demikian, ia boleh menjalankannya boleh juga tidak. Jika ia menjalankannya, konsekwensinya ia harus bertanggungjawab atas perbuatannya.

Masih dalam buku Muhammad nabil kazhim tentang mendidik anak tanpa kekerasan, syaikh Izuddin bin Abdussalam menyebutkan dalam bukunya Qawaid Al- Ahkam: “diantara contoh- contoh perbuatan yang mengandung kemaslahatan dan kerusakan, namun maslahatnya lebih jelas daripada bahayanya, adalah memukul anak kecil gara- gara ia meninggalkan shalat dan puasa, serta maslahat- maslahat lainnya, hal ini didasarkan pada hadis Rasullullah yang tertera sebelumnya, yang berbunyi: “perintahkanlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat pada saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika

meninggalkannya) pada saat usia mereka sepuluh tahun.”

(11)

1. Semaksimal mungkin menghindari sangsi fisik.

2. Bahwa perasaan cinta kita harus diungkapkan pada anak yang dihukum.

3. Berupaya untuk selalu membangun hubungan kasih sayang dan saling memahami kepada anak yang dihukum.

4. Hukuman langsung diberikan setelah terjadi pelanggaran atau kesalahan, bukan setelah berselang waktu yang lama.

5. Hukuman dilakukan atas dasar yang jelas, bukan keragu- raguan. 6. Menjelaskan dan menguraikan apa faktor yang melatari hukuman itu. 7. Menjelaskan langkah apa yang harus ia lakukan agar bisa menjadi

lebih baik.12

Walaupun penerapan sangsi pukulan yang memang harus dilakukan sudah tidak diperselisihkan lagi, ternyata aplikasinya tidak sepenuhnya seperti itu. Kenyataan membuktikan, bahwa kebutuhan untuk memukul menjadi berkurang setiap kali sikap bijak tumbuh dalam diri seorang pendidik. Sebab seorang yang bijak mengerti, bahwa menimbulkan rasa sakit pada fisik bahkan pada psikis tidak serta merta menjadi pengubah keburukan seorang anak.

Pukulan hanyalah sebuah simbol suatu larangan, penolakan, dan ketidaksukaan. Hal yang justru menjadi perhatian, bahwa jika seorang pendidik terlalu sering menimpakan hukuman kepada anak-anak didiknya, itu menjadi bukti kegagalan disiplin dan cara pembinaannya. Abu Hamid

12

(12)

Al- Ghazali menasehatkan kepada para guru dan pendidik mengenai cara terbaik dalam memberikan sangsi atau hukuman. Beliau mengatakan,

“semaksimal mungkin hindarkan anak-anak dari perilaku buruk, jadikan

mereka berpaling dari perbuatan- perbuatan itu. Jangan pernah membukakan keburukannya, berinteraksilah dengan cara yang penuh kasih, bukan dengan cara memperoloknya. Karena membukakan keburukan hanya akan membukakan hijab diri dan mewariskan keberanian untuk melakukan kesalahan- kesalahan berikutnya.13

Pemberian sangsi fisik yang merupakan salah satu sarana pembinaan harus dijelaskan secara gamblang, agar hasil yang dikehendaki benar-benar jelas, target- target tertentu dapat tercapai, dan perilaku yang buruk dapat dihentikan. Dan di sisi lain, untuk mengokohkan nilai positif pada diri anak yang sedang tumbuh dan berkembang.

1) Hukuman bukanlah perkara pokok yang wajib dilakukan 2) Hukuman dapat menghilangkan perasaan tentram dari jiwa 3) Hukuman fisik bukanlah penanganan yang harus diagendakan 4) Sulit menentukan kadar sangsi fisik (pukulan) di lingkungan sekolah 5) Tujuan sebenarnya yang diinginkan dari penerapan sangsi pukulan 6) Hukuman tidak boleh diberlakukan jika tidak menghantarkan pada

tujuan pembinaan yang diinginkan

7) Terlalu sering memukul, justru mengikis pengaruhnya

13

(13)

Kita tidak memungkiri bahwa ada pengaruh positif dari imbalan dan hukuman, baik materi maupun moril bagi kemajuan proses pembelajaran. Dengan syarat imbalan dan hukuman itu sejalan dengan ketentuan dan syarat- syarat berikut ini:

1) Hukuman harus memenuhi standar pembinaan dan kejiwaan 2) Penerapan hukuman dilakukan oleh orangtua atau wali anak 3) Penerapan hukuman hendaknya diiringi oleh rasa kasih dan cinta 4) Sangsi diterapkan setelah sebelumnya telah diberi peringatan,

espektasi hadiah, motivasi, dan hal- hal yang memberikan kepuasan 5) Bertahap dalam memberikan hukuman.14

Kemudian dalam memberikan hukuman ada hal- hal yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan, hal- hal tersebut adalah sebagai berikut:15

1) Macam dan besar kecilnya pelanggaran: Besar kecilnya pelanggaran akan menentukan berat ringannya hukuman yang harus diberikan.

2) Pelaku pelanggaran: Hukuman diberikan dengan melihat jenis kelamin, usia dan halus kasarnya perangai dari pelaku pelanggaran.

3) Akibat-akibat yang mungkin timbul dalam hukuman: Pemberian hukuman jangan sampai menimbulkan akibat yang negatif pada diri anak.

14

Ibid., h. 63-66

15

(14)

4) : Hukuman yang dipilih harus sedikit mungkin segi negatifnya baik dipandang dari sisi murid, guru, maupun Pilihlah bentuk-bentuk hukuman yang pedagogis dari orang itu.

5) Sedapat mungkin jangan menggunakan hukuman badan: Hukuman badan adalah hukuman yang menyebabkan rasa sakit pada tubuh anak, hukuman badan.

Hukuman yang dapat dikenakan kepada anak-anak bermacam-macam jenis. Sehubungan dengan hal ini, Suwarno mengungkapkan berdasarkan pandangan W. Stern tedapat tiga tingkatan hukuman sesuai dengan perkembangan anak, yaitu:16

1) Hukuman Asosiatif, di mana penderitaan yang ditimbulkan akibat hukuman tadi ada asosiasinya dengan kesalahan anak. Misalnya seorang anak yang akan mengambil sesuatu di atas meja dipukul jarinya. Hukuman asosiasif dipergunakan bagi anak kecil.

2) Hukuman Logis, di mana anak dihukum sehingga mengalami penderitaan yang ada hubungan logis dengan kesalahannya. Hukuman logis ini dipergunakan pada anak-anak yang sudah agak besar yang sudah mampu memahami hubungan antara kesalahan yang diperbuatnya dengan hukuman yang diterimanya.

3) Hukuman Moril, tingkatan ini tercapai pada anak-anak yang lebih besar, di mana anak tidak hanya sekedar menyadari hubungan logis antara kesalahan dengan hukumannya, tetapi tergugah perasaan

16

(15)

kesusilaannya atau terbangun kata hatinya, ia merasa harus menerima hukuman sebagai sesuatu yang harus dialaminya.

Sedangkan mengenai bentuk hukuman, Soejono mengemukakan bentuk hukuman dengan tiga bentuk, yaitu:

1) Bentuk Isyarat, usaha pembetulan kita lakukan dalam bentuk isyarat muka dan isyarat anggota badan lainnya. Contohnya, ada seorang anak didik yang sedang berbuat salah, misalnya bermain-main dengan mengusik adiknya. Pendidik memandangnya dengan raut muka muram yang menandakan bahwa ia tidak menyetujui anak didik berbuat semacam itu. Ia menggelengkan kepala dan menggerakkan tangannya sebagai tanda agar anak didik pergi meninggalkan adiknya. Apabila anak didik karena asyiknya mengusik tadi tidak melihat bahwa pendidik memandangnya, maka pendidik memberi isyarat pendahuluan dengan bertepuk tangan untuk menarik perhatiaannya.

2) Bentuk kata, isyarat dalam bentuk kata dapat berisi kata-kata peringatan, kata-kata teguran dan akhirnya kata-kata ancaman. Kalau perlu bentuk isyarat diganti dengan bentuk kata berupa kata-kata peringatan, menyebut nama anak yang nakal tadi dengan suara tegas singkat, misalnya "Amir..!".

(16)

menyenangkan baginya atau ia menghala ng-halangi anak didik berbuat sesuatu yang menjadi kesenangannya.17

Dalam pemberlakuan hukuman dalam mendidik terdapat pro dan kontra. Ada yang tidak menyetujui atau melarang penerapan hukuman dan ada juga yang membolehkan. Pendapat – pendapat yang tidak menyetujui penerapan hukuman (pukulan) dalam pendidikan. a. Rasullullah

Diriwayatkan dari imam ahmad dari aisyah, ia berkata, “sama

sekali Rasullullah tidak pernah memukul wanita, dan tidak pernah memukul sesuatu apapun, kecuali saat beliau berjihad di jalan

Allah.” Banyak sekali hadis- hadis yang diriwayatkan yang

melarang tindakan pemukulan. Kecuali yang berkenaan dengan isteri yang nakal, maka diberi keringanan bagi suami untuk menjatuhkan hukuman pukulan kepada isterinya tersebut. Namun meski begitu, ketika para isteri mengadukan suami-suami mereka

yang melakukan kekerasan, Rasullullah menjawab, “mereka (para

suami kalian) bukanlah orang-orang terbaik di antara kalian.” Ketika ibnu ‘abbas bertanya mengenai pukulan, beliau menjawab, gunakan kayu siwak, atau yang sejenisnya. Pembolehan ini adalah sebagai simbol dari tindakan tersebut, bukan untuk diterapkan secara mutlak.

b. Suhnun

17

(17)

Suhnun berwasiat kepada guru anaknya, “jangan kau didik dia

kecuali dengan pujian dan kata-kata yang lembut. Dia bukanlah anak yang biasa dididik dengan pukulan dan kata-kata kasar.” c. Imam abu hamid Al-Ghazali

Imam ghazali menasehatkan kepada para guru, “arahkan para

murid agar tidak melakukan tingkah laku yang buruk. Gunakan cara yang paling memungkinkan untuk memalingkan mereka dari hal tersebut, dan hindari ucapan-ucapan kasar. Didik mereka dengan penuh kasih sayang, bukan dengan celaan. Karena tindakan mempermalukan hanya akan menyingkap hijab harga diri, mewariskan keberanian untuk melakukan pembangkangan dan penyimpangan, dam membuat mereka senang melakukan kesalahan yang berkelanjutan.

d. Abdurrahman bin khaldun

Tindakan di luar kewajaran dalam proses pembelajaran akan membahayakan murid. Apalagi jika murid- murid tersebut masih

kecil. “barangsiapa yang dididik dengan kekasaran dan kekerasan,

(18)

Perlahan semua itu akan menjadi kebiasaan dan tingkah laku yang mendarah daging, merusak nilai- nilai kemanusiaan dari sisi sosial dan adab. Lalu jadilah ia sampah masyarakat, terhina di tempat yang paling bawah.18

Semua pendidik yang sepakat terhadap penolakan hukuman fisik, beragumen dengan item- item dibawah ini:

a. Bahwa hukuman fisik adalah tindakan kuno dan kampungan, sudah tidak layak lagi untuk diterapkan di zaman kita sekarang ini.

b. Toleransi terhadap hukuman fisik, hanya menjadikan guru ringan tangan untuk melakukannya.

c. Merusak kepribadian anak dan melukai kehormatan jiwanya

d. Dengan memukul anak kita seolah telah menjadikan mereka sebagai sosok dewasa yang harus bertanggungjawab, padahal mereka masih kanak-kanak.

e. Tindakan kekerasan hanya mendukung para guru yang menyukai sikap semena- mena dan didaktoris.

f. Pukulan menjadikan murid enggan merespon gurunya. g. Pukulan akan membuat murid benci kepada gurunya.

h. Jika pukulan sudah terlalu sering, maka fungsinya beralih menjadi siksaan.

18

(19)

i. Pukulan hanya mengantarkan anak menuju pembangkangan, pelarian, dan kenakalan.19

Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa penerapan hukuman fisik dalam maksud memukul secara zahir, sama sekali tidak akan menjadikan perilaku atau jiwa anak menjadi lebih baik, tetapi malah sebaliknya, hal tersebut akan berdampak buruk pada perilaku dan jiwa anak. Tidak hanya anak, pendidikpun secara tidak langsung akan terjebak pada perilaku yang kurang mendidik, karena terbiasa melakukan kekerasan.

Adapun Pendapat-pendapat yang memperbolehkan hukuman fisik dalam pendidikan adalah sebagai berikut:

a. Empat mazhab fiqh

Keempat mazhab fiqih memperbolehkan hukuman pukulan dengan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dan menetapkan batasan tanggungjawab hukum pidana dan syariat bagi yang melakukannya. Di samping itu, keempat mazhab inipun tidak memberikan hak kepada sembarang orang untuk melakukan penerapan hukuman ini. Ketegasan ini berdasarkan pada hadis Rasullullah, “perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat saat berusia tujuh tahun, dan

pukullah mereka jika enggan menunaikannya saat telah berusia

sepuluh tahun.”

19

(20)

Hadis ini memerintahkan para orangtua (khususnya ayah) untuk mengajari dan mengarahkan anak-anaknya mengerjakan shalat selama tiga tahun. Setelah itu barulah dievaluasi. Jika masih enggan melaksanakannya anak boleh dipukul.

b. Ibnu sina (ilmuwan, pemikir, dan dokter)

Dalam bukunya siyasatu ar-rajul waladahu, beliau mengatakan,

“sudah seharusnya bagi para pendidik anak-anak menjarkan mereka

dari segala tingkah laku yang buruk dan kebiasaan yang tercela. Caranya dengan menakut-nakuti dan mengajak dengan baik, santun, dan keras, menolak dan menerima, sesekali memuji dan sesekali mengecam. Tapi semua itu tidak cukup. Jika dibutuhkan untuk memukul, maka diperbolehkan dengan syarat sedikit saja dan tidak menyakiti. Sebagaimana orang-orang bijak mengisyaratkan, setelah mengancam anak, mempersiapkan bantuan baginya, maka lakukan pukulan pertama. Tapi jika pukulan yang pertama ini menyakitkan, maka anak akan berprasangka buruk terhadap pukulan berikutnya, dan dia akan merasa takut sekali.

c. Izzuddin bin Abdussalam

(21)

pada hadis Rasullullah yang berbunyi, perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat pada saat usia mereka tujuh tahun. Dan

pukullah mereka pada saat usia mereka sepuluh tahun.”

d. Dr. Fakhir Aqil

Pembicaraan mengenai hukuman tidak boleh membuat kita lupa bahwa tindakan itu merupakan salah satu cara untuk memberikan ganjaran. Dan dalam mengganjar ada cara lain yaitu memberikan hadiah atau imbalan.20 Allah berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Q.S Al- Zalzalah: 7-8)21

Sesungguhnya banyak jenis hukuman fisik, di antaranya adalah: menjewer telinga, memukul punggung tangan dengan menggunakan telapak tangan, menampar pipi, memukul tangan atau kaki, atau punggung dengan kayu atau rotan, dan cara-cara lainnya. Hal yang tak kalah pentingnya untuk dijelaskan adalah seorang ayah yang waspada, jika ia terpaksa untuk menjatuhkan hukuman, maka ia akan memulai

(22)

penuh kehati- hatian. Dan ia tidak akan pernah bersentuhan dengan hukuman fisik, kecuali setelah ia melakukan semua cara dan siasat hukuman selain fisik.22

Dari pendapat-pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa mereka yang menyatakan pembolehan hukuman fisik, tidaklah menyatakan pembolehan hukuman begitu saja, akan tetapi mereka tetap mengutamakan kehati- hatian dalam pelaksanaan hukuman dan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan dan syarat dalam pelaksanaan hukuman tersebut.

Jadi, dari penjelasan–penjelasan yang telah penulis jabarkan tersebut dapat penulis ambil kesimpulan bahwa kata pukul (hukuman) dalam hadis tersebut boleh dilakukan dalam rangka mendidik. Penerapan hukuman harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari member i nasehat, teguran dan peringatan. Kalau langka- langkah tersebut masih tidak mempan, barulah boleh memberikan hukuman dalam arti hukuman fisik. Namun, perlu diperhatikan dalam memberikan hukuman, pendidik harus tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan tertentu, seperti hukuman yang dilakukan tidak boleh sampai mencederai peserta didik. kemudian, Adapun orang – orang yang setuju dan yang menolak penerapan hukuman dalam pendidikan, secara tidak langsung bermuara pada kesamaan pendapat. Hanya saja orang yang menolak hukuman dalam pendidikan

22

(23)

mengungkapkan penolakannya dengan gamblang dan jelas bahwa hukuman tidak layak digunakan dalam pendidikan.

Sedangkan kelompok yang setuju terhadap penerapan hukuman, walaupun setuju, bukan berarti mereka membolehkan penerapan hukuman begitu saja, mereka tetap melandasi pernyataan pembolehan hukuman tersebut pada ketentuan-ketentuan dan syarat- syarat yang berlaku, dan tetap memperhatikan keamanan anak atau peserta didik, baik itu dari segi umur, alat yang digunakan, maupun batas jumlah (banyak pukulan yang boleh diberikan).

B. Penerapan pemberian hukuman dalam Pendidikan anak menurut hadis

Setelah dikaji tentang makna kata pukul sebagai bentuk hukuman terhadap anak yang meninggalkan shalat yang sudah berusia sepuluh tahun, maka selanjutnya akan dibahas tentang bagaimana penerapan hukuman tersebut dalam pendidikan anak jika dikaji dari hadis berikut ini.

وُبَأ َلاَق َةَزَْحَ ِبَِأ ٍراَّوَس ْنَع ُليِعَْسِْإ اَنَ ثَّدَح َّيِرُكْشَيْلا ِنِْعَ ي ٍماَشِه ُنْب ُلَّمَؤُم اَنَ ثَّدَح

َوُهَو دُواَد

ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍبْيَعُش ِنْب وِرْمَع ْنَع ُِّفَِرْ يَّصلا ُّ ِنَِزُمْلا َةَزَْحَ وُبَأ َدُواَد ُنْب ُراَّوَس

ِعْبَس ُءاَنْ بَأ مُهَو ِة َلََّصلاِب ْمُكَد َلَْوَأ اوُرُم َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ِهَّللا ُلوُسَر َلاَق َلاَق ِهِّدَج

ُبِرْضاَو َينِنِس

ِع ِجاَضَمْلا ِفِ ْمُهَ نْ يَ ب اوُقِّرَ فَو ٍرْشَع ُءاَنْ بَأ ْمُهَو اَهْ يَلَع ْمُهو

.

(

َدُواَد ْوُ بَا ُهاَوَر

)

(24)

sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (H.R Abu Daud)

Dalam hadis di atas dikatakan bahwa anak-anak bukanlah sasaran dari pembicaraan dalam hadis tersebut, tetapi yang menjadi topik pembicaraan adalah perintah untuk para wali agar menyuruh anaknya mendirikan shalat. Maksudnya adalah hendaknya para orang tua mengajari anak-anaknya apa-apa yang berkaitan dengan shalat, baik syarat maupun rukunnya. Setelah diberikan pengajaran, barulah anak diperintahklan untuk melaksanakan shalat. Kemudian dalam hadis tersebut pendidik atau orang tua juga diperintahkan untuk memukul anak yang masih meninggalkan atau tidak melaksanakan shalat ketika si anak sudah berumur sepuluh tahun. Sekarang yang menjadi persoalan yaitu bagaimana penerapan hukuman yang benar yang harus dilakukan pendidik atau orang tua terhadap anak yang melakukan kesalahan atau yang meninggalkan perintah shalat.

Dalam syarah Sunan Abi Daud AL-‘Alqami mengatakan bahwa sesungguhnya perintah memukul berlaku saat anak sudah berumur sepuluh tahun dikarenakan pada umumnya pada usia itu anak sudah mampu bertahan dari pukulan. Pukulan di sini maksudnya adalah pukulan yang tidak menimbulkan bekas dan menghindari daerah wajah.

Kemudian kata “anak-anakmu” dalam hadis di atas tidak terbatas pada

(25)

tidur di sini maksudnya adalah sebagai sikap hati-hati dari timbulnya syahwat.23

Senada dengan uraian di atas, dalam buku “Hadis tarbawi (pendidikan dalam perspektif hadis)” karangan Bukhari Umar juga dijelaskan bahwa anak yang telah berusia 10 tahun tetapi masih meninggalkan shalat, dipandang telah melakukan pelanggaran. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya orang tua memberikan hukuman. Hal itu dimaksudkan agar anak menyadari kesalahannya sehingga tidak mau lagi mengulangi kesalahan tersebut.24

Para sarjana Islam menambahkan bahwa yang dimaksud hukuman dalam pendidikan Islam tidak lain ialah sebagai tuntunan dan perbaikan terhadap diri anak, bukan sebagai hardikan atau balas dendam. Oleh karena itu, pendidik Islam harus mempelajari terlebih dahulu tabiat dan sifat anak sebelum diberi hukuman, bahkan mengajak supaya si anak sendiri ikut serta dalam memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Jiwa santun, kasih, dan sayang nyata sekali dalam siasat pendidikan Islam. Dalam memberikan hukuman jasmaniah terhadap anak perlu diikuti syarat-syarat sebagai berikut: a. Sebelum berumur sepuluh tahun anak tidak boleh dipukul.

b. Pukulan tidak boleh lebih dari 10 kali. Yang dimaksud dengan pukulan di sini ialah pukulan dengan mnggunakan lidi atau tongkat kecil bukan tongkat besar.

23

Abu Ath-Thayyib Muhammad Sya msul Haq A l-‘Azhim Abadi, Aunul Ma’bud: Syarah

Sunan Abu Daud, (Jakarta : Pustaka Azza m, 2008), h. 536-539

24

(26)

c. Diberikan kesempatan kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menjadikan ia malu). 25

Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa sistem pendidikan Islam sudah jauh memandang kedepan tentang rasa santun, dan lemah lembut dalam memberikan hukuman kepada anak, tidak menutup kemungkinan dengan menggunakan cara-cara yang tegas, keras, dengan maksud pencegahan, sekiranya hal demikian itu dirasa perlu. Para filosof Islam juga sudah memperhatikan mengenai masalah pemberian hukuman terhadap anak, baik hukuman mental maupun hukuman fisik, yaitu sebagai berikut:

a. Hukuman menurut pendapat Al- Ghazali

Menurut pendapat imam al – ghazali seorang pendidik harus mengetahui jenis penyakit, umur sisakit dalam hal memperingati dan mendidik mereka. Karena guru dalam pandangan seorang anak adalah ibarat dokter. Jika si dokter mengobati segala macam penyakit dengan satu jenis obat saja, seorang pasien akan mati dan hati mereka akan menjadi beku. Artinya, setiap anak harus dilayani dengan layanan yang sesuai, diselidiki latarbelakang yang menyebabkan ia berbuat kesalahan, serta mengetahui umur yang yang berbuat kesalahan itu, dalam hal ini, pendidik harus bisa membedakan antara anak kecil dan anak yang agak besar dalam menjatuhi hukuman dam memberikan

25Muhammad ‘athiyah al

(27)

pendidikan. Seorang pendidik harusnya bisa bertindak seperti layaknya seorang dokter yang mahir yang sanggup mengana lisa dan mengetahui penyakit, serta memberikan obat yang dibutuhkan.

Al-ghazali tidak setuju dengan cepat-cepat menghukum seorang anak yang salah, bahkan beliau menyerukan agar diberikan kepada anak kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia menghormati dirinya dan merasakan akibat perbuatannya.

b. Hukuman menurut Al –‘Abdari

Menurut Al-‘Abdari sifat-sifat anak yang berbuat salah itu harus diteliti, dan tatapan mata saja terhadap anak mungkin sudah cukup untuk pencegahan dan perbaikan. Sebaliknya, mungkin ada anak-anak lain yang memang membutuhkan celaan atau dampratan sebagai hukumannya, di samping mungkin ada anak-anak yang harus dipukul baru ia dapat diperbaiki. Seharusnya seorang pendidik tidak boleh mempergunakan tongkat kecuali kalau memang sudah putus asa dari mempergunakan jalan-jalan perbaikan yang sifatnya halusdan lembut. Al- ‘Abdari mengkritik keras cara –cara penggunaan tongkat seperti pelepah kelapa, cabang kayu, dan cambuk karet, ataupun tongkat kayu pendek untuk memukul anak sebagai hukuman.

c. Hukuman menurut Ibnu Khaldun

(28)

pelayan ia akan selalu dipengaruhi oleh kekerasan, akan selalu merasa sempit hati, akan bersifat malas, akan menyebabkan ia berdusta serta melakukan ang buruk-buruk karena takut oleh tangan-tangan yang kejam. Hal ini selanjutnya akan mengajar dia menipu dan berbohong, sehingga sifat-sifat ini menjadi kebiasaan dan perangainya, serta hancurlah arti kemanusiaan yang masih ada pada dirinya.26

Dari hadits tentang menyuruh anak melaksanakan shalat tersebut, bisa diambil beberapa pelajaran, yaitu : Anak adalah amanah di benak orang tua. Maka, mendidik anak merupakan kewajiban orang tua karena termasuk pelaksanaan amanah. Terlebih khusus mendidik anak untuk shalat, karena ada perintah langsung dari Rasulullah untuk memerintahkan

anak shalat. Dalam hadits disebutkan “perintahkanlah”, kalimat ini

disebutkan dengan kalimat perintah, dan kalimat perintah menunjukkan wajibnya perkara yang diperintahkan.

Setelah diketahui bahwa mendidik anak untuk shalat merupakan kewajiban orang tua, ketika mereka melalaikan kewajibannya maka orang tua akan dimintakan pertanggungjawabannya nanti di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas yang ia pimpin, seorang amir adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya, seora ng lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas keluarganya,

26

(29)

seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, maka ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah setiap dari

kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.”

(diriwayatkan oleh Bukhari no 7138 dan Muslim 1829)

Disebutkan dalam hadits ini “seorang lelaki adalah pemimpin bagi

keluarganya dan ia bertanggung jawab atas keluarganya”, maksudnya adalah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya terlebih khusus pendidikan agama. Setelah mengetahui bahwa mendidik anak untuk shalat merupakan kewajiban orang tua, lalu kapankah orang tua mulai mendidik anaknya untuk shalat? Perlu diketahui, mendidik anak untuk shalat itu melalui beberapa tahap, yaitu : mengajarkan dan membiasakan anak shalat, memerintahkan anak untuk shalat, dan yang ketiga adalah memukul anak jika enggan atau membangkang saat diperintah untuk s halat.Tahap pertama, yaitu tahapan mengajarkan dan membiasakan anak shalat harus dilakukan sebelum anak mencapai umur tujuh tahun. Karena saat anak berumur tujuh tahun, ia sudah diperintahkan untuk shalat, bagaimana mungkin anak akan menjalankan shalat jika belum diajari dan dibiasakan shalat sebelumnya.

Di antara perkataan salaf yang mendukung bahwa anak sudah mulai diajari shalat sebelum berumur tujuh tahun adalah perkataan Ibnu

(30)

membedakan mana kanan mana kiri.27” Jundub bin Tsabit berkata,

“Mereka mengajari anak-anak untuk shalat saat mereka bisa berhitung

sampai angka dua puluh.”

Kedua atsar ini menjelaskan bahwa mengajari anak shalat dilakukan sebelum anak berusia tujuh tahun, karena usia-usia tersebut anak sudah mampu membedakan mana kanan dan mana kiri dan sudah mampu berhitung sampai angka dua puluh. Anak yang sudah bisa membedakan kanan kiri atau menghitung hingga angka dua puluh tidak harus berusia tujuh tahun. Selain itu, makna sabda Nabi “perintahkanlah anak-anakmu

untuk shalat” secara implisit merupakan perintah kepada orang tua untuk

mengajari anak-anak shalat, termasuk rukun-rukun shalat, syarat-syarat sah shalat, dan lain sebagainya. Adapun waktu untuk memerintahkan anak shalat adalah saat anak berusia tujuh tahun. Karenanya, Imam Abu Dawud

membuat bab khusus dalam kitabnya “Bab kapan anak diperintahkan

untuk shalat” lalu menyebutkan hadits di atas. Perlu dipahami, bahwa

memerintahkan anak untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun bukanlah perintah bersifat wajib, namun perintah untuk membiasakan anak shalat.

Anak usia tujuh tahun sudah mulai meluas lingkungan bermainnya dan pengetahuannya, maka harus diimbangi dengan lingkungan agamis dan pengetahuan islami. Masa- masa paling bagus bagi anak belajar segala

27

Abu Ath-Thayyib Muhammad Sya msul Haq A l-‘Azhim Abadi, Aunul Ma’bud: Syarah

(31)

macam keterampilan, maka jika ia telah terampil menjalankan shalat, niscaya ia akan menjaga shalatnya saat telah tumbuh dewasa. Anak usia tujuh tahun telah bisa membedakan, dan ia selalu melakukan perbuatan yang diperintahkan orang tuanya untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang tuanya, sehingga jika diperintahkan untuk shalat niscaya ia segera memenuhinya. Berbeda saat anak telah berusia sebelas tahun, maka memenuhi perintah orang tua tanpa ada perdebatan dulu merupakan sifat kekanak-kanakan menurut mereka. Dan jika anak telah tumbuh dewasa, maka jika ia bisa membantah perintah kedua orang tua biasanya ia akan merasa bahwa dirinya telah dewasa.

Setelah orang tua mengajari anak tata cara shalat secara bertahap dan mengajaknya melaksanakan shalat, maka orang tua juga harus memerintahkan anaknya saat usia tujuh tahun dengan memberi motivasi dan ajakan yang baik agar anak terbiasa shalat. Kemudian saat anak sudah berusia sepuluh tahun, maka ia diperintahkan dengan perintah yang bersifat wajib, agar anak mau mengerjakan shalat. Jika anak enggan atau tidak memenuhi seruan orang tua, maka orang tua boleh memberikan pukulan mendidik yang bisa membuat mereka jera dan tidak menyakiti.

(32)

orang yang jera hanya dengan ancaman. Jika ketiga cara ini tidak mempan, barulah ia memukul anaknya.

Tentunya, saat memukul harus memerhatikan beberapa hal sebagai berikut: Tidak lebih dari sepuluh kali, karena tujuan memukul adalah mendidik bukan menyakiti. Hal ini sesuai sabda rasulullah saw:

،ِّجَشَْلأا ِنْب ِْيَْكُب ْنَع ،وٌرْمَع ِنَِرَ بْخَأ ، ٍبْهَو ُنْبا اَنَ ثَّدَح ،ىَسيِع ُنْب ُدَْحََأ اَنَ ثَّدَح

telah mengkhabarkan umar kepadaku dari bakri ibnAsyaj dia berkata: di antara kami disamping sulaiman bin yasir datanglah Abdurrahman bin Jabir, maka dia menceritakan, telah menceritakan Abdur Rahman bin Jabir dari ayahnya dari Abu Burdah Al-Anshari, sesungguhnya dia mendengar Rasullullah SAW berkata: “Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam hukuman pasti dari hukuman-hukuman yang Allah tentukan.” (H.R Muslim)

Tidak boleh memukul wajah, karena di wajah terdapat mata, hidung, mulut, lisan, dan bagian-bagian vital lainnya. Sehingga jika salah satu dari bagian ini cidera atau terganggu maka akan hilang fungsi vital dari organ tersebut.

28

(33)

Jika orang tua memukul anaknya sesuai ketentuan-ketentuan di atas, maka hal ini diperbolehkan dan ia tidak berdosa. 29Adapun memukul anak dengan pukulan yang sudah melewati batas, maka ia berdosa. Hendaklah ia selalu ingat sabda rasulullah saw.

،ُةَوْ يَح ِنَِرَ بْخَأ ، ٍبْهَو ُنْب ِللها ُدْبَع اَنَرَ بْخَأ ،ُِّبِيِجُّتلا َيََْيَ ُنْب ُةَلَمْرَح اَنَ ثَّدَح

“Sesungguhnya Allah maha lembut dan menyukai kelembutan, Allah memberikan manfaat atas kelembutan dengan manfaat yang tidak diberikan atas kekerasan dan tidak diberikan kepada yang lainnya pula.” (Diriwayatkan oleh Muslim no 6766)

Dari hadis tersebut dapat kita pahami bahwa Allah lebih suka pada kelembutan, dan secara tidak langsung Allah menyuruh umat manusia untuk bersikap lemah lembut. Artinya, kalau kita bawakan dalam hal mendidik anak, maka pendidik atau orang tua harusnya terlebih dahulu mendidik anak itu dengan sikap yang lembut tidak boleh langsung menggunakan kekerasan atau hukuman fisik.

Jika pukulan yang dilakukan terlalu keras, dan dinilai keluar dari ambang kewajaran sebagai sarana pembinaan, maka orangtua atau guru yang melakukannya bertanggungjawab secara hukum pidana.

29

Fikih Ke luarga, Ma jalah Sak inah, Vol. 11 No. 7

30

(34)

Asy- Syafi’i berpendapat bahwa penghukum bertanggungjawab penuh terhadap bahaya yang timbul pada anak akibat hukuman yang diterapkannya. Sebab, menghukum adalah hak, bukan kewajiban. Dengan demikian, ia boleh menjalankannya boleh juga tidak. Jika ia menjalankannya, konsekwensinya ia harus bertanggungjawab atas perbuatannya.

Dalam memberikan hukuman kepada anak tidaklah dibenarkan jika hukuman tersebut dilakukan oleh orang-orang yang ada hak atas anak. Orang yang memberikan hukuman harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Orang yang melakukan hukuman itu sudah mendapatkan izin. b. Dia melakukan hal itu untuk tujuan penanganan dan niat yang tulus c. Ia melakukannya sesuai dengan teknik dan keahliannya.

d. Ia mendapatkan izin dari anak yang terhukum atau dari walinya.31

Masih dalam buku Muhammad nabil kazhim tentang mendidik anak tanpa kekerasan, syaikh Izuddin bin Abdussalam menyebutkan dalam bukunya Qawaid Al- Ahkam: “diantara contoh- contoh perbuatan yang mengandung kemaslahatan dan kerusakan, namun maslahatnya lebih jelas daripada bahayanya, adalah memukul anak kecil gara- gara ia meninggalkan shalat dan puasa, serta maslahat- maslahat lainnya, hal ini didasarkan pada hadis Rasullullah yang tertera sebelumnya, yang

31

(35)

berbunyi: “perintahkanlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat pada saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika

meninggalkannya) pada saat usia mereka sepuluh tahun.”

Pukulan terhadap anak tidaklah perlu diterapkan kecuali jika cara- cara lain memang sudah tidak mempan. Dalam buku at- tadris wa ash- shihah an- nafsiyah yang dikutip oleh muhammaad nabil kazhim, disebutkan mengenai syarat- syarat hukuman atau sangsi, sebagai berikut:

1. Semaksimal mungkin menghindari sangsi fisik.

2. Bahwa perasaan cinta kita harus diungkapkan pada anak yang dihukum.

3. Berupaya untuk selalu membangun hubungan kasih sayang dan saling memahami kepada anak yang dihukum.

4. Hukuman langsung diberikan setelah terjadi pelanggaran atau kesalahan, bukan setelah berselang waktu yang lama.

5. Hukuman dilakukan atas dasar yang jelas, bukan keragu- raguan. 6. Menjelaskan dan menguraikan apa faktor yang melatari hukuman itu. 7. Menjelaskan langkah apa yang harus ia lakukan agar bisa menjadi

lebih baik.32

Walaupun penerapan sangsi pukulan yang memang harus dilakukan sudah tidak diperselisihkan lagi, ternyata aplikasinya tidak sepenuhnya seperti itu. Kenyataan membuktikan, bahwa kebutuhan untuk

32

(36)

memukul menjadi berkurang setiap kali sikap bijak tumbuh dalam diri seorang pendidik. Sebab seorang yang bijak mengerti, bahwa menimbulkan rasa sakit pada fisik bahkan pada psikis tidak serta merta menjadi pengubah keburukan seorang anak.

Pukulan hanyalah sebuah simbol suatu larangan, penolakan, dan ketidaksukaan. Hal yang justru menjadi perhatian, bahwa jika seorang pendidik terlalu sering menimpakan hukuman kepada anak-anak didiknya, itu menjadi bukti kegagalan disiplin dan cara pembinaannya. Abu Hamid Al- Ghazali menasehatkan kepada para guru dan pendidik mengenai cara terbaik dalam memberikan sangsi atau hukuman. Beliau mengatakan,

“semaksimal mungkin hindarkan anak-anak dari perilaku buruk, jadikan

mereka berpaling dari perbuatan- perbuatan itu. Jangan pernah membukakan keburukannya, berinteraksilah dengan cara yang penuh kasih, bukan dengan cara memperoloknya. Karena membukakan keburukan hanya akan membukakan hijab diri dan mewariskan keberanian untuk melakukan kesalahan- kesalahan berikutnya.33

33

(37)

Referensi

Dokumen terkait

30 Pada tabel dibawah dapat dideskripsikan perbandingan gaya – gaya yang terjadi pada kondisi bermasalah yaitu kondisi 3 blade yang tidak sama pitchnya dengan kondisi

Seluruh pelabuhan yang diusahakandi wilayah nusantara dibagi dalam 4 (empat) kelompok yang pengusahaannya diselenggarakan secara profesional dan menerapkan prinsip –

Sentuhan mata : Gejala yang teruk boleh termasuk yang berikut: kesakitan atau kerengsaan.. berair kemerahan Kesan Kesihatan

b) Melakukan montoring target di bawah ini sesuai dengan Lampiran I: setidaknya 95% hewan dipingsankan dengan efektif pada kali pertama proses pemingsanan. • Lakukan

Mengisi daftar hadir peserta setiap mata pelajaran yang diujikan (rangkap 2) sesuai dengan jumlah peserta yang hadir (huruf kapital), diharapkan lebih memperhatikan nomor

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran kooperatif tipe Snowball

1) Membuat perencanaan yang matang, kemudian menetapkan kebijakan pembangunan instalasi komputer yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan. 2) Mensosialisasikan

Kita semakin menyadari sekarang jika berpikir positif dan berhenti mengkhawatirkan segala sesuatu adalah sesuatu yang penting kita lakukan dalam meraih suatu kerberhasilan,