BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wakaf sebagai perbuatan hukum sudah lama melembaga dan dipraktikkan di
Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf ini sudah ada sejak Islam masuk ke
Indonesia, kemudian berkembang seiring dan sejalan perkembangan agama Islam di
Indonesia. Perkembangan wakaf dari masa ke masa ini tidak didukung oleh peraturan
formal yang mengaturnya, praktik perwakafan selama itu hanya berpedoman kepada
kitab-kitab fiqih tradisional yang disusun beberapa abad yang lalu, banyak hal sudah
tidak memadai lagi. Pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur dan
praktik perwakafan dalam bentuk peraturan masih relative baru, yakni sejak lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.
Perkembangan wakaf di Indo nesia dimulai dari adanya wakaf yang telah ada
pada masyarakat hukum adat. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 telah mengatur tentang perwakafan yang dibatasi hanya tanah hak milik
saja serta harus melalui prosedur dengan akta ikrar wakaf yang nantinya sertipikat
hak milik diubah menjadi sertipikat wakaf.
Adanya ketentuan Peraturan PemerintahNomor 28 Tahun 1977 ternyata
dirasa masih kurang setelah melihat kebutuhan masyarakat. Terlebih setelah
dibentuknya Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 disebutkan bahwa
Peradilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang wakaf.
Praktik wakaf yang dilaksanakan di Indonesia masih dilaksanakan secara
konvensional yang memungkinkan rentan terhadap berbagai masalah dan tidak
sedikit yang berakhir di pengadilan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya
penyimpangan terhadap benda-benda wakaf yang dilakukan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab, dan juga sudah menjadi rahasia umum ada benda-benda wakaf
yang diperjual belikan, selain itu masih ada keluarga wakif yang menarik kembali
benda-benda yang sudah diwakafkan karena wakaf belum terdaftar dan bersertifikat.
Keadaan ini tidak hanya berdampak buruk terhadap perkembangan wakaf di
Indonesia, tetapi merusak nilai-nilai luhur ajaran Islam yang semestinya harus dijaga
kelestariannya sebab ia merupakan bagian dari Ibadah kepada Allah swt. Menyadari
tentang keadaan ini, para pihak yang berwenang telah memberlakukan beberapa
peraturan tentang wakaf untuk dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia.Namun
peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan itu dianggap masih belum memadai dalam
menghadapi arus globalisasi saat ini, diperlukan peraturan baru tentang wakaf yang
sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.
Menurut data yang ada di Departemen Agama RI sampai bulan September
2002 menunjukkan bahwa tanah wakaf yang ada di Indonesia sebanyak 362.471
lokasi dengan luas 1.538.198.586 m2, 75 % di antaranya sudah bersertifikat.1Adapun jumlah aset yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, hal ini disebabkan aset
wakaf di Indonesia belum terkoordinasi dengan baik.
1Prof. Dr. Abdul Manan, S.H., SIP., M.Hum.,
Pada hakikatnya penuangan perwakafan tanah milik dalam UUPA secara
yuridis merupakan realisasi dari pengakuan terhadap unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama.2 Hal yang demikian itu sesuai dengan Politik Hukum Agraria Nasional maupun Pancasila sebagai asas kerohanian negara yang meliputi seluruh
tertib hukum Indonesia. Dengan demikian, dalam menafsirkan dan melaksanakan
peraturan agraria (pertanahan)yang berlaku, harus berlandaskan dan bersumber pada
Pancasila.3
Perwakafan tanah milik merupakan perbuatan suci, mulia dan terpuji
yangdilakukan oleh seorang (umat Islam) atau badan hukum, dengan memisahkan
sebagiandari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya
untukselama-lamanya menjadi tanah “wakaf-sosial”, yaitu wakaf yang diperuntukkan
bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran
HukumIslam.4
Mengingat perwakafan tanah milik secara nyata sarat dengan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama, maka sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal
49 ayat 3UUPA, pada tanggal 17 Mei 1977 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang wakaf. Dalam konsiderans Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 itu disebutkan bahwa :5
a. “Bahwa wakaf adalah pembuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
2Boedi Harsono, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaan UUPA, Jilid 1, (Jakarta:
Jambatan,2003), hal. 220.
3Notonagoro,Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia,(Jakarta: Bina Aksara,
1984), hal. 69.
4Boedi Harsono,Op. Cit, hal. 348. 5
selamanya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
b. “Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur tentang perwakafan tanah milik selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-caraperwakafan juga membuka keinginan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan.”
Atas dasar peraturan perundang-undangan di atas, pada tanggal 12 Desember
1989, Menteri Agama mengeluarkan Instruksi Nomor 15 Tahun 1989 yang berisi
instruksi untuk membentuk tim koordinasi penertiban tanah wakaf di wilayah
masing-masingpropinsi sampai dengan kabupaten/kota dan kecamatan yang terdiri
dari unsur Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan
Nasional dan instansi terkait serta Majelis Ulama Indonesia setempat. Tim tersebut
bertugas mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan melaksanakan penertiban tanah
wakaf diwilayah masing-masing, dengan upaya menyelesaikan akta ikrar wakaf dan
pensertifikatan tanah wakaf berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977.
Sejak dikeluarkannya instruksi tersebut hingga sekarang, upaya-upaya
penertiban tanah wakaf belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini terlihat dengan
adanya realita bahwa masih terdapat beberapa tanah wakaf khususnya di daerah
pedesaan yang belum mempunyai kepastian hukum hak atas tanah wakaf (belum
bersertifikat) karena belum dibuatkannya akta ikrar wakaf di hadapan pejabat yang
berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan belum dilakukan
pendaftaran ke kantor pertanahan setempat. Adapun hak-hak atas tanah berupa Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang ketentuan
merupakan hak penguasa atas tanah yang memberi wewenang kepada pemegang
haknya untuk memakai status bidang tanah tertentu dalam memenuhi kebutuhan
hidup dan usahanya. Hak-hak atas tanah tersebut diatur dalam Pasal 4, 9, 16, dan
BAB II UUPA.6 Dengan diberikan Hak atas tanah, maka akan terjalin hubungan hukum dan dapat melakukan perbuatan hukum oleh pemegang hak atas tanah kepada
pihak lain. Diantara perbuatan hukum tersebut, berupa jual-beli, tukar menukar dan
lain-lain.7 Dalam penggunaannya menurut Boedi Harsono yang dikutip Sofyan Ibrahim meliputi tubuh bumi serta air serta ruang angkasa yang ada diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan tanah tersebut.8 Hal tersebut disebabkan karena masyarakat pedesaan khususnyayang
beragama Islam masih manggunakan prosedur pelaksanaan perwakafan
secarasederhana yakni dengan terpenuhinya unsur-unsur dan syarat-syarat tertentu
saja, kemudian Waqif (yang mewakafkan) cukup mengikrarkan kehendaknya di
hadapanNadzir(pengelola wakaf) dan para saksi maka terjadilah proses perwakafan
tersebut.
Proses perwakafan tersebut sangat sederhana dan mudah pelaksanaannya.
Namun demikian, perwakafan tersebut juga dapat menimbulkan masalah karena tidak
dilakukannya proses pencatatan atau pendaftaran pada instansi yang berwenang
gunamendapatkan alat bukti yang kuat berupa Serifikat Hak atas Tanah Wakaf. Jika
demikian, maka hal tersebut dapat menimbulkan suatu masalah atau sengketa di
6Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas Tri
Sakti, 2005), hal. 41.
7
K. Wantjik Saleh,Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h. 17. 8
kemudian hari ketikaWaqif (yang mewakafkan),Nadzir(yang mengelola) dan
saksi-saksi telah meninggal dunia. Masalah ini terjadi karena tidak jelasnya status tanah
yang diwakafkan, manfaat atau kegunaan tanah juga tidak jelas dan terlantar atau
tidak terurusnya tanah wakaf serta tidak adanya tanda bukti atas keberadaan wakaf
tersebut. Hal ini juga menyebabkan para pihak yang tidak bertanggungjawab dapat
mengingkari keberadaan tanah wakaf tersebut. Sebagai contoh : Adanya sikap
serakah dari para ahli waris yangtidak mengakui atau mengingkari adanya ikrar
wakaf yang dilakukan oleh orang tuamereka, penggunaan tanah wakaf tidak
sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan diadakannya wakaf atau disalahgunakan
oleh Nadzir (pengelola wakaf) dan sebagainya.
Timbulnya permasalahan atau persengketaan tanah wakaf tersebut diatas
padadasarnya disebabkan oleh sebagian masyarakat khususnya yang berhubungan
dengan perwakafan telah mengabaikan unsur kepastian hukum atas objek yang
diwakafkan (khususnya tanah). Agar kepastian hukum tersebut dapat terpenuhi maka
tanah yang diwakafkan perlu didaftarkan ke kantor pertanahan setempat, yang
sebelumnya ikrar wakaf tersebut telah dibuatkan aktanya pada pejabat yang
berwenang. Dalam hal iniadalah Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di
kecamatan setempat.
Guna menjamin kepastian hukum hak atas tanah, UUPA telah menentukan
adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 1 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi :
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanahdi seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur oleh
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 49 ayat 3 UUPA juga ditegaskan bahwa :
“Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”Peraturan Pemerintah (PP) tersebut adalah PP Nomor 28 Tahun 1977
dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Pendaftaran wakaf
tanah milik juga diatur dalam Pasal 10 PP Nomor 28 Tahun 1977, yang lebih lanjut
diatur dalam peraturan pelaksana lainnya, diantaranya yaitu dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai
Perwakafan Tanah Milik.
Sebutan pendaftaran tanah atau land registration: menimbulkan kesan,
seakan-akan objek pertama pendaftaran atau satu-satunya objek pendaftaran adalah
tanah. Memang mengenai pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanah yang
merupakan objek pendaftaran, yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya,
luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga dalam daftar tanah. Katakadaster
yang menunjukkan pada kegiatan bidang fisik tersebut berasal dari istilah latin
capistratumyang merupakan daftar yang berisikan data mengenai tanah.9
Pemahaman masyarakat luas tentang pengertian “pendaftaran tanah”banyak
yang rancu. Jika atas sebidang tanah telah dilakukannya pencatatannya secara
administratif oleh instansi pemerintah banyak yang beranggapan bahwa tanahnya
sudah terdaftar. Sementara ketentuan hukum agraria (pertanahan) tidak demikian.
Pengertian pendaftaran tanah baru dimuat dalam pasal 1 angka 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yg dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
9
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hak nya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.10
Kegiatan pendaftaran yang akan menghasilkan tanda bukti hak atas tanah
yang disebut sertifikat, merupakan realisasi salah satu tujuan UUPA (Undang-undang
Pokok Agraria). Kewajiban untuk melakukan pendaftaran itu, pada prinsipnya
dibebankan kepada pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap,
daerah demi daerah berdasarkan pertimbangan ketersediaan peta dasar pendaftaran.11 Pendaftaran berasal dari katacadastre(bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah
teknis untuk suatu record (rekaman) menunjuk kepada luas, nilai dan kemilikan
misalnya atas sebidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin “capitastrum” yang
berarti suaturegister ataucapitaatau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi
(Capotatio Terreus). Dalam artian yang tegas cadastre adalah record (rekaman
daripada lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan
perpajakan).12
Pendaftaran tanah sebagaimana ketentuan pasal 19 ayat 2 UUPA adalah
meliputi kegiatan mulai dari pengukuran, perpetaan, pembukuan tanah, pendaftaran
hak-hak atas tanah dan peralihannya serta pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat)
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
10
Urip Santoso,Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 13.
11
Maria S.W. Sumardjono,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi,(Jakarta: Kompas, 2001), hal. 181-182
12
Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1961 dan peraturan pemerintah nomor
24 Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam
rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti
yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa buku tanah dan
sertifikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur.13 Yang meliputi kegiatan-kegiatan :14
1. Pengukuran, perpetaan (lebih tepat pemetaan,) dan pembukuan tanah;
2. Pendaftaran hak-hak tersebut;
3. Pemberian surat-surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
R. Hermanses, S. H, dalam bukunya yang berjudul, Pendaftaran Tanah di
Indonesia, selanjutnya dikutip Harun Al-Rasyid dalam bukunya Sekilas Tentang Jual
Beli Tanah, bahwa kadaster dalam arti yang modern dapat dirumuskan sebagai
pendaftaran atau pembukuan bidang-bidang tanah dalam daftar-daftar berdasarkan
pengukuran dan pemetaan yang seksama dari bidang-bidang tanah itu.15
Terdapat adanya suatu indikasi bahwa proses perwakafan tanah milik di
wilayah Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara belum semuanya
mengikuti ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf beserta peraturan pelaksana lainnya
tentang Perwakafan Tanah Milik.
13
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hal. 81
14
Hasan Wargakusumah SH, dkk,Hukum Agraria I,(Jakarta: PT. Prenhallindo, 2001), hal. 80
15Harun Al-Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya),
Hal ini dapat diketahui dari adanya beberapa tanah wakaf yang proses
pensertifikatan tanah wakafnya tidak dapat diterbitkan pihak Badan Pertanahan
Nasional, selain itu persoalan tanah yang sudah diwakafkan oleh orang tua tetapi
diambil kembali oleh keturunan atau keluarga karena tanah yang diwakafkan tidak
ada sertifikatnya, kemudian kurangnya kepedulian pemerintah setempat untuk
mengurus dan mengelola tanah wakaf, artinya pemerintah setempat hanya menerima
orang yang datang untuk mewakafkan, tetapi sebelumnya pemerintah setempat tidak
ada memberikan arahan-arahan yang sebaiknya dilakukan oleh masyarakat sehingga
termotivasi untuk mewakafkan tanahnya, selain itu kurangnya pemahaman pengelola
wakaf (nazir) dalam mengelola tanah wakaf, hal ini dapat dilihat dari hasil yang di
dapat dari tanah wakaf tersebut, khususnya di percut sei tuan tanah wakaf umumnya
digunakan untuk mesjid, musholah, sekolah, makam, dan sedikit sekali tanah wakaf
yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat
dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya kaum fakir miskin. Ada
pula beberapa kasus yang masalahnya masih menggantung tanpa adanya penyelesaian
dengan alasan bahwa Allah SWT yang akan menghukum, mengadili dan mengadzab
orang atau pihak yang mengambil sebagian atau seluruh tanah wakaf tersebut.
Hal tersebut diatas dapat terjadi karena sebagian masyarakat belum
mengetahui, memahami dan mentaati secara benar ketentuan peraturan perwakafan
yang ada.
Ketidaktahuan masyarakat mengenai suatu peraturan perundang-undangan
khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 dan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, mungkin disebabkan oleh kurangnya sosialisasi atas
wilayahnya jauh daripusat pemerintahan daerah dan jauh dari pihak-pihak atau
instansi yang berkompeten untuk melakukan sosialisasi tersebut. Untuk itu diperlukan
suatu peran yang dilakukan oleh Kepala Desa sebagai bagian dari aparat pemerintah
daerah yang paling bawah dan memiliki akses secara langsung terhadap warga
masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis bermaksud untuk meneliti
dan menulis tesis yang berkaitan dengan Hukum Wakaf dengan judul:
PROBLEMATIKA PENDAFTARAN TANAH WAKAF (STUDI DI
KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah wakaf menurut perspektif hukum Islam dan hukum Agraria?
2. Bagaimanakah pendaftaran perwakafan tanah di Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang?
3. Bagaimanakah Problematika serta Peran Kantor Urusan Agama (KUA) dan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pendaftaran tanah wakaf di
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui wakaf menurut perspektif hukum Islam dan hukum Agraria.
2. Mengetahui pendaftaran perwakafan tanah di Kecamatan Percut Sei Tuan
3. Mengetahui Problematika serta Peran Kantor Urusan Agama (KUA) dan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pendaftaran tanah wakaf di
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
praktis, dalam hal ini pemerintah selaku penentu kebijakan dan pelaksana aturan
hukum.
1. Kegunaaan secara teoritis dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber
informasi ilmiah dan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
perkembangan Ilmu Hukum Agraria Indonesia dan Ilmu Hukum Islam
khususnya tentang Perwakafan Tanah Milik.
2. Kegunaan secara praktis dari hasil penelitian ini dapat memberikan masukan
dan dijadikan bahan acuan bagi Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah
Kabupaten Deli Serdang dalam meningkatkan perolehan sertifikat hak atas
tanah wakaf sebagai tanda bukti hak yang kuat dan guna menjamin kepastian
hukum hak atas tanah wakaf.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah
dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiyah Magister Hukum maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan
beberapa penelitian mengenai pendaftaran tanah wakaf, tetapi dibahas secara terpisah.
Pendaftaran Tanah Wakaf Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 di
Kota Padang, dengan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
pendaftaran tanah wakaf di Kota Padang.
2. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 di Kota Padang.
3. Upaya apa saja yang telah dan akan ditempuh oleh pihak terkait dalam
mewujudkan terlaksananya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 di
Kota Padang.
Dari hasil pembahasanan dapat disimpulkan bahwa tanah wakaf yang sudah
keluar sertifikatnya didukung oleh upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak,
baik dari pihak yang mengurus maupun dari pihak Badan Pertahanan Nasional yang
berwenang mengeluarkan sertifikat, sedangkan tanah wakaf yang masih dalam proses
penerbitan sertifikatnya, memerlukan kegigihan dalam melakukan pengurusan
tersebut, menyelesaikan secepat mungkin perselisihan yang ada dalam kelompok
kaum, serta usaha yang maksimal dari berbagai pihak dalam mencari penyelesaian
yang terjadi penghalang penerbitan sertifikat tanah wakaf tersebut.
Hasil yang didapat dalam tesis tersebut adalah bahwa dalam pelaksanaan
peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 di Kota Padang, terdapat hal-hal yang
mendukung peraturan tersebut antara lain adanya dukungan dari berbagai pihak
seperti tokoh adat dan tokoh agama, tingginya keinginan masyarakat untuk
kepastian hukum terhadap tanah wakaf, adanya proyek departemen agama yang
membebaskan pensertifikasian tanah wakaf disamping itu adapula faktor-faktor yang
menjadi penghambat antara lain: masih adanya masyarakat yang yang tidak
memahami pentingnya pensertifikatan tanah wakaf, adanya perselisihan antara wakif
dengan nadzir, wakif dengan anggota kaum, serta kurangnya tanaga yang menangani
urusan perwakafan tanah dan kurangnya koordinasi antara Departemen Agama
dengan badan pertahanan nasional untuk menyelesaikan pensertifikatan tanah wakaf
yang telah menjadi program nasional ini. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli
adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan
kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan
penelitian ini.
F. KerangkaTeori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atas butir-butir pendapat, atau
teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problematika) yang menjadi
bahan perbandingan, pegangan teoritis.16
Menurut Burhan, kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk
bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.17
Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses itu terjadi,18 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya dengan fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.19 Sedangkan Fajar
berpendapat bahwa teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk
menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena, teori juga merupakan
simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya
umum.20 Adapun fungsi teori dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.
Oleh sebab itu teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit
mencakup hal-hal sebagai berikut:21
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajaam atau lebih mangkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan system klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada suatu prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan lagi timbul di masa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangn-kekurangan pada pengetahuan peneliti.
Kerangka teori yang digunakan adalah teori keadilan pemikiran Roscue Pound
yang menganut teori Sociological Jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum
18M. Hisyam,Peneliitian ilmu-ilmu Sosial,(Jakarta: FE UI, 1996) hal 203 19
Ibid,.
20Mukti Fajar et al., Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (PT. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010), hal. 134
21Soerjono Soekamto,
yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) di Masyarakat.22Teori Roscoe Pound dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya berjudul
Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, dimana hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering). Disamping itu juga
dikembangkan bahwa hukum dapat pula dipakai sebagai sarana dalam proses
pembangunan. Demikian pula halnya bahwa hukum secara potensial dapat digunakan
sebagai sarana pembangunan dalam berbagai sektor atau bidang kehidupan.23 2. Konsepsi
Konsepsi berasal dari bahasa latin,conceptusyang memiliki arti sebagai suatu
kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan
konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam
penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.24Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau
penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.25
Dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi
operasional sebaga berikut:
22Roscoe Pound dalam Dayat Limbong,
Penataan Lahan Usaha PK-5 Ketertiban Kelangsungan Hidup, (Pustaka Bangsa Press, 2006), hal.15-16.
23Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: PT.
Alumni, 2006), hal.20-21.
24
Samadi Suryabrata,Metodelogi Penelitian,(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998), hal. 3
25Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia; Suatu Tinjauan Putusan
Problematika adalah: masalah yang terkandung.26
Pendaftaran tanah adalah: rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus dan berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis
dalam bentuk angka dan data mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang
sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Wakaf adalah: menyerahkan tanah atau benda-benda lain yang dapat
dimanfaatkan oleh umat tanpa merusak atau menghabiskan pokoknya kepada
seseorang atau badan hukum agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalampenelitian ini problematika
pendaftaran tanah wakaf adalah: permasalahan-permasalahan yang terkandung di
dalam pendaftaran ataupun pencatatan data tanah wakaf.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan sebagaimana telah dirumuskan di atas maka
penelitian yang akan dilakukan termasuk penelitian deskriptif. Penelitian ini bersifat
deskriptif analitis artinya hasil penelitian ini berusahamemberikan gambaran secara
26W. J. S. Poerwardaminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1985),
menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan ataugejala yang diteliti.27 Sehingga penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran secara rinci, sistematis, dan
menyeluruh mengenai segala hal yang berkaitan dengan perwakafan tanah, prosedur
pendaftaran wakaf tanah serta kendalanya di Kabupaten Deli Serdang.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis yang merupakan gejala
masyarakat, disatu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab
(independence variable) yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai kehidupan
sosial.
Pada penelitian ini yang diteliti adalah data sekunder yang kemudian
dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan.28Dapat dikatakan pendekatan yuridis sosiologis adalah penelitian yang berusaha
menghubungkan antaranorma hukum yang berlaku dengan kenyataan yang ada di
masyarakat danpenelitian berupa studi empiris berusaha menemukan teori mengenai
prosesterjadinya dan proses bekerjanya hukum.
Pendekatan yuridis yang dimaksudkan di sini adalah ditinjau dari sudut
peraturan/norma-norma hukum yang merupakan data sekunder dan yang berkaitan
dengan penelitian yang dilakukan. Peraturan-peraturan/norma-norma hukum yang
berkaitan dengan penelitian ini adalah peraturan-peraturan/norma-norma hukum yang
berkaitan dengan perwakafan tanah serta prosedur pendaftaran wakaf tanah.
Sedangkan pendekatan sosiologis dipergunakan untuk menyelidiki dan
mempelajari gejala-gejala sosial mengenai pendaftaran perwakafan tanah di
Kecamatan Percut Sei Tuan, serta sebagai perilaku masyarakat yangmenggejala dan
mempola dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan berhubungan dengan
aspek kemasyarakatan serta politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai temuan
dilapangan yang bersifat individual dan dijadikan bahan utama dalam
mengungkapkan permasalahan yang diteliti dengan berpegang pada ketentuan yang
normatif.29
Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penyebaran kuisioner serta studi terhadap bahan-bahan dokumen lainnya.
a. Kuisioner dengan menggunakan pedoman daftar kuisioner dan wawancara
dengan menggunakan pedoman wawancara. Langkah pertama dilakukan daftar
kuisioner bersifat tertutup dan terbuka terhadap para pewakif dan nadzir yang
sertifikat tanah wakafnya belum terbit, sebagai responden dan informan untuk
memperoleh informasi data primer. Wawancara dilakukan bagi nara sumber dan
informan untuk melengkapi data dan untuk menjawab permasalahan yang ada.
Responden dan Informan dimaksud yaitu :
- 4 pewakif yang mewakafkan tanahnya di kecamatan Percut Sei Tuan,
Kabupaten Deli Serdang.
29Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
- 4 nadzir yang mengelola tanah wakaf di kecamatan Percut Sei Tuan,
Kabupaten Deli Serdang.
- Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten
Deli Serdang.
- Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Deli Serdang.
b. Bahan-bahan dokumen atau bahan pustaka.
Bahan-bahan dokumentasi diperoleh dari berita koran, mempelajari dan
menganalisis literatur atau buku-buku, dan peraturan perundang-undangan. Studi
kepustakaan sebagai bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan masalah pelaksanaan pelepasan hak atas tanah. Demikian
pula dikaji bahan hukum sekunder berupa karya hasil penelitian. Untuk
melengkapi bahan hukum tersebut didukung oleh bahan tersier seperti kamus,
ensiklopedia, media massa dan lain sebagainya.
3. Sumber Data
Bahan Penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder yaitu
berupa:
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan dengan
melakukan interview kepada nara sumber dan informan, yakni pegawai yang
menangani permasalahan wakaf di KUA dan di BPN sebagai nara sumber dan
beberapa wakif sebagai informan.
1. Bahan Hukum Primer yang merupakan peraturan perundang-undangan,
yuridis sprudensi, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pertanahan
khususnya pelaksanaan wakaf tanah di Kecamatan Percut Sei Tuan
Kaupaten Deli Serdang.
2. Bahan Hukum Sekunder yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum
primer antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum di bidang
pertanahan mengenai asas-asas berlakunya hukum pertanahan terutama
dalam menetapkan kebijakan pelaksanaan perwakafan tanah untuk
kepentingan umum.
3. Bahan hukum tersier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, dan berbagai majalah yang berkaitan dengan
pelaksanaan perwakafan tanah.
4. Teknik Pengumpulan Data
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemegang hak atas tanah yang
tanahnya diwakafkan, dimana antara satu populasi dengan populasi lain mempunyai
karakteristik sama yang menyebabkan sampel identik dengan populasi. Penentuan
sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan
menentukan sendiri sampel mana yang dapat mewakili populasi.30 Tahapan penentuan terlebih dahulu ditetapkan cirri atau karakteristik dari sampel, menurut
jenis dan status tanah yang dikuasai responden, letak geografis, tahapan pelepasan
hak, kemudian cirri-ciri tersebut diterapkan pada sampel, kemudian dipilih mana
yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.31Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dilaksanakan dua tahap penelitian
yaitu penelitian kepustakaan dan studi lapangan. Penelitian Kepustakaan dilakukan
untuk memperoleh data sekunder, baik berupa bahan hukum primer dan sekunder
maupun bahan hukum tersier. Setelah di inventarisasi dilakukan penelaahan untuk
membuat intisari dari setiap peraturan yang berhubungan dengan perwakafan
tanah.Selanjutnya dilakukan studi lapangan terhadap responden yaitu beberapa wakif
dalam rangka memperoleh data primer melalui alat pengumpulan data yang
merupakan bahan utama dalam penelitian ini.
5. Analisa Data
Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh
melalui penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan kemudian disusun secara
sistematis, dan selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan
masalah yang akan dibahas. Data tersebut kemudian dianalisa secara interpretatif
menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan kemudian secara
deduktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.32