• Tidak ada hasil yang ditemukan

intervensi kemanusiaan di hari Libiya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "intervensi kemanusiaan di hari Libiya"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas UAS Managemant Intervensi Dosen: DR Surwandono

Oleh : Restu Purnomo

Humanitarian Intervention in Libya, is it justified ?

Arab spring yang sebelumnya terjadi di Tunisia dan Mesir akhirnya sampai juga ke Libya. Pada tahun 2011 setelah 41 tahun memimpin gelombang demonstrasi mulai dilakukan oleh beberapa kelompok diLibya,hingga memancing warga lain untuk turun ke jalan. Meningkatnya jumlah warga yang turun ke jalan untuk melakukan protes ini tentu saja membuat Gaddafi khawatir. Oleh sebab itu, Gaddafi memerintahkan pasukannya untuk menghalau massa yang protes. Protes yang pada awalnya berlangsung damai pun berbuah kerusuhan.

Terjadi eskalasi konflik yang cukup serius hinggak akhirnya terjadi perang antara pemerintah dan pemberontak yang tergabung dalam Libyan National Council atau National Transitional Council (NTC) yang dipimpin oleh mantan Menteri Keadilan Mustafa Abdel Jalil yang berpusat di benghazi yang kemudian dikenal dengan kota pemberontak. Merasa kekuasaannya semakin terancam, Gaddafi tanpa ampun memerintahkan pasukannya untuk menembak dan menghabisi siapa saja yang melawannya. Sampai dengan akhir februari bahkan dilaporkan angka kematian sudah mendekati 1000 jiwa.

(2)

Masalah utama muncul ketika pada 19 Maret , pasukan koalisi yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis melancarkan operasi Odyssey Dawn. Mereka mulai memasuki dan menyerbu target-target pemerintahan di Libya dengan alasan untuk menegakkan Resolusi 1973. Setelah sekitar lima hari, tongkat kendali humanitarian intervention di Libya diambil alih oleh pasukan koalisi NATO melalui Operation Unified Protection. Pada tanggal 24 Maret, NATO mengambil alih komando operasi laut dan sehari sesudahnya mengambil alih komando operasi udara.

Hal itulah yang kemudian menimbulkan banyak pertanyaan, Apakah humanitarian intervention yang berujung pada military intervention yang dilakukan oleh NATO dan sekutunya dapat dibenenarkan ? jika memang hal tersebut dapat dibenarkan dan mempunyai landasan hukum, apakah hal tersebut juga sesuai dengan doktrin Responsibility to Protect yang di susun oleh PBB ?

Reviw Pustaka

Kajian pertama adalah artikel yang ditulis oleh Alan J. Kuperman dari Harvad Kededy School yang berjudul Lesson from Libya: How not to Intervene. Dalam artiket tersebut Alan menjelaskan bahwa apa yang dilakukan NATO di Libya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, bukan hanya karena timbul banyaknya korban sipil tapi juga akibat yang ditimbulkan setelah intervensi dilakukan. Bahkan dengan jelas alan menyebutkan bahwa intervensi ini sarat dengan kepentingan negara barat, sehingga konflik yang terjadi di Libya pun penuh akan Propaganda barat yang membuat masyarakat Libya banyak yang turun ke jalan dan berhasrat untuk menjatuhkan Qadaffi.

(3)

doktrin Responsibility to Protect, syarat-syarat yang dimiliki NATO belum cukup untuk melakukan Military Intervention.

Kajian ketiga yang penulis tinjau adalah artikel dari James Pattison berjudul The Ethics of Humanitarian Intervention in Libya, yang diterbitkan dalam jurnal Ethics and International Affair, Carnegie Council, New York, 2011. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa situasi di Libya tidak cukup terlihat serius alasan mengintervensi demi menurunkan rezim Gaddafi, atau lebih tepatnya memaksakan perubahan rezim oleh pihak-pihak eksternal yang mendukung perjuangan pemberontak Libya. Bahaya dari perubahan rezim lebih besar daripada intervensi kemanusiaan. Tujuan NATO melakukan intervensi kemanusiaan di Libya lebih karena ingin menurunkan rezim yang berkuasa, daripada melindungi warga sipil. Komentar beberapa pemimpin negara koalisi yang menyatakan bahwa Gaddafi harus turun, menunjukkan bahwa parameter keberhasilan dari intervensi ini adalah dengan berakhirnya era Moammar Gaddafi di Libya, bukan mencegah pembunuhan massal. Ini berarti koalisi yang dipimpin NATO akan melakukan pergantian rezim, sehingga misi mereka akan dianggap sukses besar dan pasukan koalisi sendiri tidak akan kehilangan muka. Yang menarik juga dari artikel ini adalah munculnya debat di publik terkait keberatan dan kritik terhadap intervensi NATO di Libya ini. keberatan umumnya muncul karena secara moral NATO telah gagal untuk juga meresponi kondisi serupa yang terjadi di Bahrain, Suriah, dan Yaman. Kegagalan untuk bertindak secara militer terhadap kasus-kasus di atas menunjukkan betapa inkonsistennya standar moral, serta dominannya kepentingan pribadi dari koalisi NATO tentang siapa yang harus diintervensi, dan tentu legitimasinya.

Pembahasan

Dari beberapa artikel diatas dapat disimpulkan bahwa legalitas untuk melakuakan intervensi kemanusian itu dapat dilakukan, namun kasus intervensi militer di Libya sungguh sangat di pertanyakan. Selain karena hingga saat ini Libya menjadi negara yang belum pulih, konflik seketarian pun banyak yang muncul. Akibat yang ditimbulkan dari perganitian rezim ini lebih buruk daripada intervensi kemanusian yang dilakukan.

(4)

kriteria yaitu responsibility to prevent, react, and rebuilt. Dalam hal tersebut pasukan koalisi nato hanya memlakukan asas yang kedua yaitu responsibility to react, mereka tidak melakukan pencegahan terlebih dahulu bahkan setelah melakukan intevensi, Libiya di terkesan didiamkan sehingga perbaikan infrastruktur dan ekonomi pun terbengkalai bahkan padakenyataannya konflik seketarian banyak yang muncul.

Dalam kaitan lain, humanitarian intervention juga harus memenuhi asas just war tradisional ynag juga menjadi salah satu indikator dari Responsibility to Protect,. Dalam just war trasdisioanal ada asas yang harus dipenuhi jika igin melakukan intervensi terhadap sebuah negara. Ke enam asas tersebut adalah :

1. R2P menyatakan bahwa intervensi militer hanya terbatas dalam just cause (situasi ) yaitu : hilangnya hidup dalam skala besar, aktual atau ditangkap, dengan maksud genosida atau tidak, yang merupakan produk baik dari kesengajaan negara, atau mengabaikan negara atau ketidakmampuan untuk bertindak, atau situasi negara yang gagal; atau skala besar "pembersihan etnis", aktual atau ditangkap, apakah dilakukan oleh pembunuhan, pengusiran paksa, tindakan teror atau pemerkosaan '.

2. Syarat ke dua adalah tentang Right authority, yaitu otoritas yang berhak melakukan intervensi atau pengambil keputusannya, hal ini terkait dengan pertanyaan siapa yang berhak melakukan ekskusi terhadap negara pelaku kejahatan. Dalam hal ini setidaknya ada tiga otoritas tertinggi yaitu dewan keamanan PBB, dewan kehormatan dan organisasi regional. Dewan keamanan seharusnya menjadi tumpuan pertama dalam melakukan intervensi namun menginggat banyaknya kegagalan masalalu maka dewan kehormatan dan organisasi regional patut dipertimbangkan.

3. Syarat yang ketiga adalah mengenai right intention, Ini berarti bahwa 'tujuan utama intervensi harus menghentikan atau mencegah penderitaan manusia dan bahwa rezim penggulingan bukan alasan yang sah untuk menerapkan doktrin.

(5)

dan jalan diplomatik gagal dilaksanakan, namun apabila masih ada segala kemungkinan selain intervensi militer maka jalan itulah yang harus ditempuh.

5. Syarat yang ke lima adalah reasonable procpect, yang berarti bahwa ketika intervensi dilakukan pertimbangan baik dan buruk harus diperhitungkan. Ini juga berarti bahwa intervensi yang dilakukan harus dengan keyakinan bahwa hasilnya akan lebih baik dari keadaan sebelumnya.

6. Syarat yang ke enam adalah proportional means, yaitu Apakah skala, durasi, dan intensitas aksi militer yang direncanakan minimum yang diperlukan untuk mengamankan tujuan perlindungan manusia pasti ?

Dalam kaitannya dengan intervensi di Libiya praktis hanya syarat nomer 2 yang di penuhi oleh NATO dalam melakukan intervensi terhadap pemerintahan Qadaffi. Asas-asas yang lain seperti just cause bahkan seolah-olah hanya di buat-buat untuk menhalalkan intervensi yang sebenarnya haram untuk dilakukan. Jika kita menelisik bahkan unjuk kejahatan perang yang dilakukan oleh Qadaffi juga tidak terlalu kelihatan bahkan menurut beberapa penulis seperti alan j kuperman terjadi overwhelming korban yang sebenarnya tidak sesuai dan dilebih-lebihkan, seperti apa yang dikutip oleh Human Right Watch yang mendata bahwa sebenarnya korban awal tidak berjumlah 2000 lebih orang seperti apa yang selalu diberitakan media barat namun korban dari konfli tersebut hanyalah 233 nyawa justru yang lebih mengejutkan adalah jumlah korban ketika terjadi bentrokan justru lebih kecil daripada pasca serangan NATO, ini membuktikan bahwa asas proporsional means dari just war tidak diperhitungkan. Bahkan yang lebih mengejutkan adalah perhitungan kondisi setelah perang, kondisi Libiya era rezim Qadaffi justru lebih baik daripada setelah rezim ini tumbang, selain reasonable prospectnya tidak diperhitungkan prinsip Responsibility to Rebuilt-nya juga tidak dilakukan. Sehingga dalam hal ini doktrin Responsibility to protect menjadi sebuah hal yang terlalu dipaksakan untuk melakukan humanitarian intervention, dengan kata lain intervensi NATO dan sekutunya terhadap Libya di tumpangi dengan kepentingan-kepentingan pribadi dari negara-negara lain.

(6)

terjadi di Mali tahun 2012 ketika negara tersebut dikuasai oleh jaringan exstrimisme namun tidak dilakukan intervensi. Apa yang terjadi di Mali juga tidak bisa dilepaskan dengan apa yang terjadi di Libya, ketika banyak kombatan yang kemudian berjuang di Mali setelah keberhasilan menggulingkan pemerintahan Moamar Qadaffi di Libya. Kemudian jika alasan intervensi yang dilakukan di Libya karena kasus kejahatan perang mengapa hal yang sama juga tidak dilakukan di Sri lanka ketika pemerintah melakukan pembunuhan ratusan masyarakat sipil ketika melawan gerakan Liberation Tigers of Tamil Eelam pada tahun 2009, sangksi yang diberikan terhadap pemerintahan Srilanka hanyalah bersifat normatif. Hal yang sama adalah ketika kita melihat apa yang terjadi di Suriah dan Krimea, Ukraiana, konflik berkepanjangan terjadi di daerah tersebut,, bahkan korban yang di timbulkan akibat adanya konflik juga lebih besar daripada apa yang terjadi di Libya, namun tidak ada humanitarian intervention di dua daerah tersbut, kembali hanya sangsi-sangsi normatif yang diberikan bahkan pemerintahan negara-negara tersebut tetap berjalan walaupun sedang terjadi konflik. Hal tersebut kemudian menjadikan pertanyaan pada hakekat intervensi itu sendiri.

Kasus-kasus diatas juga berimplikasi terhadap analisis konflik di Libya dan semakin menguatkan bahwa intervensi yang dilakukan di Libya dengan doktrin R2P terlalu dipaksakan dan penuh dengan kepentingan NATO. DK PBB dalam hal ini juga terkesan terburu-buru untuk menjatuhkan hukuman intervensi terhadap pemerintahan Libya, karena sebenarnya masih banyak hal yang dapat dilakukan, termasuk unsur Responsibility to Prevent dalam Responsibility to Protect.

Kesimpulan

(7)
(8)

Referensi

http://www.foreignaffairs.com/articles/68233/stewart-patrick/libya-and-the-future-of-humanitarian-intervention

http://www.cfr.org/humanitarian-intervention/dilemma-humanitarian-intervention/p16524

http://www.responsibilitytoprotect.org/ICISS%20Report.pdf

http://www.counterfire.org/articles/book-reviews/17060-the-way-it-starts-libya-and-the-disaster-of-humanitarian-intervention

http://www.iai.it/pdf/Transworld/TW_WP_15.pdf

http://www.academia.edu/576116/The_Libya_Humanitarian_Intervention_Is_it_Lawful_in_Inter national_Law

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh penerapan PBL terhadap kemampuan komunikasi matematis ditinjau dari level sekolah menunjukkan bahwa untuk level sekolah tinggi siswa yang lebih baik daripada

Dari hasil analisis kondisi eksisting agroindustri karet remah serta analisis kebutuhan pelaku terhadap implementasi sistem produksi bersih dapat timbul berbagai

Semakin tinggi kualitas pakan yang ditunjukan dengan protein kasarnya dan tingginya persentase protein intake, maka keluaran N dari feses sapi potong akan semakin

Hasil penelitian yang sama ditemukan bahwa frekuensi berkedip pada pria usia 20-40 tahun yang merokok lebih sering dibandingkan dengan yang tidak merokok (Jansen,

Retribusi pemerikasaan alat pemadam kebakaran, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pelayanan pemeriksaan dan atau

21 Jalaluddin Rahmat, “Prinsip-prinsip Komunikasi menurut Al-Qur’an”, 81.. Menilik arti qawl maysu>ra> di atas, baik dari segi asba>b al-nuzu>l, kaitan teks

Barang Inventaris adalah barang yang merupakan bagian dari kekayaan negara baik merupakan barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang berada dalam

1 1) Tulislah nomor surat pejabat yang membuat pernyataan melaksanakan tugas sebagai Auditor. 4 4) Tulislah pangkat dan golongan ruang dari pejabat yang membuat pernyataan. 5 5)