• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PENERAPAN KURIKULUM BERWAWASAN peduli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EVALUASI PENERAPAN KURIKULUM BERWAWASAN peduli "

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENERAPAN KURIKULUM

BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP

DI JENJANG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Oleh

Heppyan Redy1), Abdul Kadir Salam2), dan Dewi Agustina Iryani3), Sudjarwo4). 1) Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung

2) Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung 3) Dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lampung 4) Dosen Jurusan Magister Pendidikan IPS FKIP Universitas Lampung

Jln. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung Email: heppyanredy@gmail.com

ABSTRAK

Karakter siswa di sekolah yang menerapkan kurikulum berwawasan lingkungan harus dievaluasi. Penelitian ini difokuskan untuk: 1) mengevaluasi keefektifan pembentukan karakter siswa peduli lingkungan hidup di SMP berkurikulum wawasan lingkungan hidup, dan 2) membandingkan capaian kurikulum berwawasan lingkungan hidup di beberapa SMP alam dan non-alam guna membentuk sebuah sekolah/lembaga. Penelitian ini dilakukan di SMP Alam Lampung, SMPN 1 Jati Agung, SMP Al-Huda Jatimulyo, SMP Alam Palembang, dan SMP Alam Bogor dari Juli sampai September 2016 menggunakan instrumen berupa Angket Penilaian Sikap Siswa dan Angket Penilaian Piagam Bumi Pilar ke-2 “Keutuhan

Ekologi”. Hasil analisis terhadap Angket Penilaian Sikap Siswa menunjukkan bahwa sekolah alam secara konsisten memiliki nilai rataan sikap baik (51,8), sedangkan non-sekolah alam dengan nilai rataan cukup (37,4). Hasil analisis terhadap Angket Penilaian Piagam Bumi Pilar ke-2, sekolah alam mendapat kriteria „terdapat bukti kepedulian yang minim dalam

upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai 27,5), sedangkan non-sekolah alam mendapat kriteria „tidak terlihat sikap peduli, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat dinilai‟ (9,68). Kelima sekolah yang diteliti belum mampu menjadi sekolah berbudaya lingkungan ideal sebagaimana yang diharapkan UNESCO walaupun sekolah alam telah menunjukkan tingkat kepedulian terhadap lingkungan hidup yang lebih baik daripada non-sekolah alam. Kata kunci: Piagam Bumi, Pendidikan Lingkungan Hidup, Sekolah Alam.

ABSTRACT

(2)

and SMP Alam Bogor since July to September 2016 using The Student’s Attitude Assessment Questionnaire and second Pillar (Ecological Integrity ) of The Earth Charter Ethic-Based Assessment Tool. The result of The Student’s Attitude Assessment Questionnaire shows that sekolah alam consistently have good attitude with an average value (51.8), while the non-sekolah alam have adequate attitude average value (37.4). The result of The Earth Charter Ethic-Based Assessment Tool, sekolah alam gets the criteria of 'there are evidences of minimal concern in support of the Earth Charter' (score 27.5), while the non-sekolah alam gets the criteria of 'does not look a caring attitude, no contribution can be judged at all '(9.68). Five schools in this research have not been able to become an ideal enviromental cultured school as expected by UNESCO, although sekolah alam has shown the level of concern for the environment with value better than non-sekolah alam.

Keywords: Earth Charter, Environmental Education, Sekolah Alam.

PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 65: Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bahkan sejak Tahun Ajaran 1977-1978 pemerintah telah memulainya dengan rintisan Garis‐Garis Besar Program Pengajaran Lingkungan Hidup, Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang kemudian diujicobakan di 15 sekolah di Jakarta (Surakusumah, 2009). Hingga kini pemerintah terus menggalakkan pembentukkan sekolah yang berbudaya lingkungan melalui program Adiwiyata (Rahmah dkk., 2014).

Sistem pembelajaran yang berbasis pada tema lingkungan hidup dianggap lebih memudahkan guru untuk menanamkan karakter peduli lingkungan pada siswa dan juga dapat meningkatkan kualitas KBM kelas. Murdiyanto (2013) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa pada pembelajaran IPA yang diintegrasikan dengan PLH, siswa menjadi lebih mudah memahami pelajaran, kecakapan guru menjadi lebih baik, dan ketuntasan belajar meningkat setelah disampaikan dengan metode diskusi berbasis lingkungan hidup. Pratomo (2006) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa penyampaian materi lingkungan hidup dengan metode tematik lebih memberikan pemahaman konsep yang utuh bagi siswa. Bahkan menurut Affandi (2013) pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang berbasis lingkungan hidup lebih mampu mewujudkan sekolah berbudaya lingkungan hidup. Ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran yang berbasis lingkungan hidup berhasil meningkatkan prestasi siswa secara akademik dan mutu sekolah secara umum.

Ketiga penelitian itu juga menunjukkan bahwa metode PLH sangat baik bila diterapkan pada beberapa mata pelajaran. Beberapa sekolah mengalami perbaikan nilai evaluasi siswa di mata pelajaran yang terintegrasi dengan PLH. Namun sampai saat ini, belum pernah dilakukan evaluasi terhadap karakter siswa dan sekolah yang kurikulumnya berwawasan lingkungan hidup/PLH, untuk dibandingkan hasilnya dengan sekolah lain yang tidak menerapkan kurikulum berwawasan lingkungan hidup.

(3)

berbasis lingkungan hidup. Sebagaimana Pratomo (2006) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa penyampaian materi lingkungan hidup dengan metode tematik lebih memberikan pemahaman konsep yang utuh bagi siswa. Hal itu didukung oleh Affandi (2013) yang menyatakan bahwa dengan mengintegrasikan PLH ke dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memudahkan gerakan mewujudkan sekolah hijau. Selanjutnya Purwanto (2012) menyimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa memecahkan masalah lingkungan yang memperoleh paket pembelajaran PLH terintegrasi lebih tinggi daripada mahasiswa yang memperoleh paket pembelajaran PLH monolitik. Sebagian sekolah berusaha menyiasati pembelajaran PLH yang dikemas dengan karya wisata, tetapi metode itu ternyata hanya sedikit menghasilkan individu yang peduli lingkungan (Siswanto, 2010). Walaupun aplikasi Piagam Bumi dalam dunia pendidikan di Indonesia belum dilakukan, telah banyak pengajar di negara lain yang menjadikan Piagam Bumi sebagai panduan dalam menentukan kegiatan belajar di dalam dan di luar kelas, sebagaimana diungkapkan Almeida (2007), Medellin dkk. (2007), dan Ovsienko (2007) dalam penelitian mereka. Piagam Bumi juga dapat dijadikan sebagai alat evaluasi sebuah lembaga terkait dengan prinsip yang dimuat dalam Piagam Bumi. Bahkan Jimenez dan Korpela (2008) menggunakan angket Piagam Bumi untuk mengevaluasi kinerja sektor pariwisata di Quepos, Costa Rika.

Penelitian ini bertujuan mempelajari ketercapaian kurikulum berwawasan lingkungan hidup di beberapa SMP Alam untuk membentuk siswa yang berkarakter peduli lingkungan hidup dan membandingkan capaian kurikulum berwawasan lingkungan hidup di beberapa SMP untuk menciptakan sekolah/lembaga yang berbudaya lingkungan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di SMP Alam Lampung, SMPN 1 Jati Agung, SMP Al-Huda, SMP Alam Palembang, dan SMP Alam Bogor (Tabel 1). Penelitian dilaksanakan dari Juli 2016 sampai dengan September 2016 selama 3 bulan.

Tabel 1. Sekolah contoh untuk penelitian “Evaluasi Penerapan Kurikulum Berwawasan Lingkungan Hidup di Jenjang SMP”.

No Nama Sekolah Alamat Keterangan

1 SMP Alam Lampung Jln. Airan, Way Huwi, Jati 3 SMP Alam Palembang Jln. Gub. H.A. Bastari, RT.026,

(4)

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket/instrumen yang dibuat peneliti untuk dijawab oleh responden dalam bentuk angket tertutup (terdapat alternatif jawaban untuk dipilih), Angket Penilaian Piagam Bumi (The Earth Charter Ethic-Based Assessment Tool) yang telah dikeluarkan oleh UNESCO melalui Komisi Piagam Bumi pada tahun 2000 yang kemudian disusun oleh Atkisson dkk. (2008), Program SPSS 1.6 for windows untuk mengolah data statistik hasil isian angket, dan siswa dan guru sekolah yang dipilih. Subyek penelitian adalah guru mata pelajaran dan siswa-siswi sekolah yang dipilih secara acak dan tersebar di kelas VII, VIII, dan IX. Penentuan jumlah contoh berdasarkan Tabel Sampel Krejcie dan Morgan, disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah populasi dan contoh yang digunakan dalam penelitian “Evaluasi Penerapan Kurikulum Berwawasan Lingkungan Hidup di Jenjang SMP”.

No Nama Sekolah Jumlah Populasi Jumlah Contoh

Guru Siswa Total Guru Siswa Total

1 SMP Alam Lampung 10 42 52 10 42 52

2 SMP Alam Bogor 18 137 155 18 102 120

3 SMP Alam Palembang 12 20 32 12 20 32

4 SMPN 1 Jati Agung 26 394 420 25 195 220

5 SMP Al-Huda 35 520 553 35 195 230

Penelitian ini dilakukan sebagai evaluasi terhadap kurikulum berbasis lingkungan hidup di jenjang SMP untuk mempelajari apakah proses pendidikan di SMP telah berhasil membentuk karakter siswa yang peduli lingkungan hidup. Untuk mengukur keberhasilan kurikulum itu, digunakan sebuah instrumen baru dan instrumen Penilaian Piagam Bumi (The Earth Charter Ethic-Based Assessment Tool) yang telah dikeluarkan oleh UNESCO melalui Komisi Piagam Bumi pada tahun 2000 (disajikan dalam Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5).

Sesuai dengan tujuan penelitian ini digunakan salah satu pilar dari 4 pilar dalam Piagam Bumi, yaitu Pilar ke-2 tentang „Keutuhan Ekologi‟. Pilar ke-2 dipilih pada penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang lebih fokus pada pendidikan berbasis wawasan lingkungan

karena pilar yang lain dalam Piagam Bumi membahas tentang „Memelihara dan Menghormati Komunitas Kehidupan‟ (Pilar ke-1), ‟Keadilan Sosial dan Ekonomi‟ (Pilar ke-3), dan „Demokrasi, Antikekerasan, dan Perdamaian‟ (Pilar ke-4).

(5)

Tabel 3. Kriteria/kategori hasil evaluasi penerapan kurikulum berwawasan lingkungan menurut Angket Piagam Bumi Pilar ke-2 Prinsip ke-5 sampai ke-8 untuk penilaian „menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟.

No Nilai Kriteria Kriteria/ kategori

1 0,00 – 15,00 tidak terlihat sikap peduli, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat dinilai.

2 15,01 – 30,00 Terdapat bukti kepedulian yang minim dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi.

3 30,01 – 45,00 Terdapat bukti kepedulian yang mulai berkembang dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi.

4 45,01 – 60,00 Terdapat bukti kepedulian yang sudah lebih maju dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi

Tabel 4. Kriteria/kategori hasil evaluasi penerapan kurikulum berwawasan lingkungan menurut Angket Piagam Bumi Pilar ke-2 Prinsip ke-5 sampai ke-8 untuk penilaian „menunjukkan sikap peduli dengan aksi‟.

No Nilai Kriteria Kriteria/ kategori

1 0,00 – 15,00 Aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat dinilai

2 15,01 – 30,00 Terdapat bukti aksi yang minim dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi

3 30,01 – 45,00 Terdapat bukti aksi yang mulai berkembang dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi

4 45,01 – 60,00 Terdapat bukti aksi yang sudah lebih maju dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi

Tabel 5. Kriteria/kategori hasil evaluasi penerapan kurikulum berwawasan lingkungan menurut Angket Penilaian Sikap Siswa.

Skor Kategori Predikat

64,01 – 80,00 Selalu (SL), yaitu menunjukkan sikap yang dimaksud butir pertanyaan setiap kali diperlukan.

Sangat baik

48,01 – 64,00 Sering (SR), yaitu menunjukkan sikap yang dimaksud setiap kali diperlukan, akan tetapi dalam satu atau dua kali kesempatan sikap itu pernah tidak ditunjukkan.

Baik

32,01 – 48,00

Kadang-kadang (KD), yaitu jika perkiraan jumlah melakukan dan meninggalkan sikap yang dimaksud dalam butir pertanyaan adalah seimbang.

Cukup

16,01 – 32,00 Jarang (JR), yaitu jika sikap dalam butir pertanyaan

hanya dilakukan sesekali saja atau ketika ada paksaan. Kurang

0,00 – 16,00

Tidak Pernah (TD), yaitu jika tidak pernah menunjukkan sikap yang dimaksud dalam butir pertanyaan

(6)

Pada akhir penelitian ini akan didapatkan kesimpulan yang dapat menjadi bahan perbaikan bagi setiap sekolah. Diharapkan, kelak kurikulum berbasis lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai pemicu, acuan, ataupun contoh bagi guru dan sekolah lain demi membawa

„pelestarian lingkungan‟ ke dalam ruang kelas di sekolah masing-masing.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sikap Siswa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah alam secara konsisten memiliki nilai rataan sikap baik (51,8), sedangkan non-sekolah alam dengan nilai rataan cukup (37,4) (Tabel 6). Sikap yang dinilai mencakup: pertanian organik (Sikap 1), memilah sampah (Sikap 2), kampanye pelestarian lingkungan hidup (Sikap 3), dan menggunakan sumber daya dengan efisien (Sikap 4).

Tabel 6. Nilai rataan sikap siswa.

Sikap

Responden Guru 53,9 (baik) 37,2 (cukup)

Responden Siswa 51,3 (baik) 37,4 (cukup)

Sikap 1: pertanian organik. Sikap 2: memilah sampah.

(7)

Tabel 6 memperlihatkan nilai sikap siswa yang diberikan oleh responden siswa selalu lebih kecil jika dibandingkan nilai yang diberikan oleh responden guru. Munculnya perbedaan hasil penilaian sikap oleh guru dan siswa ini diduga terjadi karena adanya perbedaan pemahaman tentang maksud butir soal dan kriteria frekuensi sikap. Siswa menganggap bahwa sikap yang dimaksud dalam angket belum pernah mereka lakukan atau pernah dilakukan tetapi dengan frekuensi yang jarang. Tetapi guru menganggap bahwa siswa telah melakukannya dengan baik atau dengan frekuensi yang sering. Perbedaan persepsi ini muncul karena tidak tersampaikannya pemaknaan sebuah kegiatan dari kepada siswa.

Terlihat bahwa untuk Sikap 1 (Kegiatan Pertanian Organik) sekolah alam dan non-sekolah

alam mendapatkan predikat „cukup‟, Sikap 1 untuk sekolah alam adalah 47,5 dan untuk non-sekolah alam (42,6). Porsi kegiatan pertanian organik di non-sekolah alam lebih banyak jika dibandingkan dengan sekolah lain yang dijadikan sampel penelitian. Di sekolah alam, kegiatan proyek siswa lebih banyak yang memilih tema pertanian, sedangkan di non-sekolah alam walaupun tidak menerapkan sistem PLH terintegrasi, SMPN 1 Jati Agung merupakan sekolah yang mayoritas profesi orang tua siswanya adalah petani, sehingga sekalipun kegiatan pertanian organik di sekolah sangat kurang, kegiatan siswa di rumah bersama keluarga yang dilakukan bertahun-tahun telah memberikan porsi yang cukup besar untuk pertanian organik. Sedangkan SMP Al-Huda tidak memiliki kegiatan pertanian organik kecuali hanya sebagai sisipan teori di beberapa bab dalam mapel tertentu. Profesi orang tua siswa pun mayoritasnya adalah pedagang, sehingga di sekolah dan di rumah tidak cukup didapatkan wawasan tentang pertanian organik. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Utami dkk. (2016) dalam penelitian mereka, bahwa kegiatan di sekolah dan profesi orang tua memberi pengaruh pada perilaku sosial anak. Pengaruh orang tua terhadap anak akan semakin kuat jika orang tua menerapkan pola asuh yang otoriter, sehingga anak tidak memiliki pilihan kecuali menuruti kemauan orang tua

(

Widianingsih dan Widyarini, 2009). Hasil penilaian Sikap 1 ini menunjukkan bahwa intensitas kegiatan pertanian organik yang lebih tinggi (baik di rumah ataupun di sekolah) akan memberikan korelasi positif terhadap

sikap „menggunakan pertanian organik‟. Siswa yang di rumah atau di sekolah sering melakukan kegiatan pertanian organik ternyata lebih sering mengkonsumsi produk pertanian organik.

Pada Sikap 2 (Memilah Sampah), sekolah alam mendapatkan predikat „baik‟ (50,8), sedangkan non-sekolah alam berpredikat „kurang‟ (27,1) (Tabel 6). Hasil penilaian Sikap 2 lebih banyak dipengaruhi poin pertanyaan yang berkenaan dengan bank sampah. Sekolah alam sudah memiliki bank sampah yang rutin menerima sampah sebagai hasil memilah sampah di rumah dan sampah anorganik yang terkumpul di bank sampah itu kemudian dikreasikan oleh siswa menjadi kerajinan tangan. Adapun non-sekolah alam umumnya belum memiliki bank sampah sekolah, kerajinan tangan dari barang bekas hanya dilakukan sesekali di saat mata pelajaran Seni Budaya/Keterampilan. Pengelolaan sampah yang dilakukan sekolah alam dengan bentuk bank sampah telah diupayakan untuk melibatkan masyarakat sekitar sekolah, baik sebagai nasabah ataupun pengelola. Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sampah akan menjadikan pengelolaan berjalan lebih efektif (Sahwan, 2002).

Pada Sikap 3 (Kampanye Pelestarian Lingkungan Hidup) sekolah alam mendapat predikat

(8)

Untuk non-sekolah alam mendapatkan nilai rendah pada Sikap 3 (Tabel 6) karena minimnya aksi kampanye pelestarian lingkungan, sekolah belum memberikan porsi yang besar untuk kegiatan ini. Kegiatan sekolah lebih banyak berkonsentrasi pada peringatan hari kepahlawanan, pendidikan, dan lainnya yang bukan hari peringatan bertema lingkungan hidup, seperti Hari Air, Hari Sampah, Hari Kehutanan, dan lainnya (Redy, 2015).

Untuk Sikap 4 (Menggunakan Sumber Daya dengan Efisien), sekolah alam mendapat

predikat „baik‟ (57,4), sedangkan non-sekolah alam mendapatkan predikat „cukup‟ (42,1). Pencapaian nilai pada Sikap 4 erat kaitannya dengan kebiasaan warga sekolah untuk menghemat penggunaan listrik dan air. Setiap sekolah pada umumnya menghimbau warganya untuk menghemat penggunaan air dan listrik, di sekolah alam himbauan tentang penghematan sumber daya juga tentang penggunaan kemasan makanan dan minuman sekali pakai yang harus dibatasi demi meminimalkan jumlah sampah kemasan di sekolah. Walaupun di sekolah alam belum seluruh siswa melakukannya secara rutin, hal itu telah mengurangi jumlah sampah sekolah. Sebagaimana dijelaskan oleh Mulyana (2009) bahwa sekolah yang berbudaya lingkungan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana. Hal ini jarang ditemukan di non-sekolah alam, siswa lebih banyak menggunakan wadah makanan sekali pakai untuk makanan dan minuman, sehingga jumlah sampah semakin banyak.

Pada Sikap 4, nilai yang didapatkan oleh SMPN 1 Jati Agung dan SMP Al-Huda lebih kecil dari pada nilai yang didapatkan oleh ketiga sekolah alam yang menjadi obyek penelitian. Hal itu terutama karena penggunaan kendaraan ramah lingkungan yang mereka gunakan untuk sarana pulang pergi ke sekolah. Pada ketiga sekolah alam, sekolah telah dapat diakses oleh angkutan umum atau memiliki kendaraan antar-jemput siswa. SMPN 1 Jati Agung dan SMP Al-Huda belum dapat diakses oleh angkutan umum dan tidak memiliki kendaraan antar-jemput siswa, sehingga mayoritas siswa membawa kendaraan roda dua sebagai sarana pulang pergi sekolah. Dengan keadaan tersebut, kedua non-sekolah alam tersebut lebih banyak menggunakan kendaraan tidak ramah lingkungan, sehingga capaian nilai Sikap 4 pada non-sekolah alam menjadi lebih kecil.

Penilaian Piagam Bumi

Rataan nilai Piagam Bumi Pilar ke-2 (Keutuhan Ekologi) hasil olah data penelitian disajikan pada Tabel 7. Terlihat pada Tabel 7, sekolah alam mendapat kriteria „terdapat bukti

kepedulian yang minim dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai 27,5), sedangkan non-sekolah alam mendapat kriteria „tidak terlihat sikap peduli, sama sekali tidak

ada kontribusi yang dapat dinilai‟ (9,68).

Nilai sikap mendukung Piagam Bumi dalam bentuk „pernyataan‟ oleh sekolah ternyata

memberikan hasil yang nilainya berbeda dengan dukungan oleh sekolah dalam bentuk „aksi‟.

(9)

Tabel 7. Nilai Piagam Bumi Pilar ke-2 “Keutuhan Ekologi”.

Tabel 8. Nilai Piagam Bumi Pilar ke-2 “Keutuhan Ekologi” untuk kolom menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan.

Prinsip 5: Menjaga dan memulihkan kerusakan ekologi terutama keanekaragaman flora dan fauna dan proses penting di lingkungan yang menunjang kelestariannya.

Prinsip 6: Mencegah kerusakan lingkungan dan menghindari dengan tindakan kehati-hatian.

Prinsip 7: Melakukan kegiatan produksi dan konsumsi yang memerhatikan prinsip keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

(10)

Tabel 9. Nilai Piagam Bumi Pilar ke-2 “Keutuhan Ekologi” untuk kolom menunjukkan sikap

Prinsip 5: Menjaga dan memulihkan kerusakan ekologi terutama keanekaragaman flora dan fauna dan proses penting di lingkungan yang menunjang kelestariannya.

Prinsip 6: Mencegah kerusakan lingkungan dan menghindari dengan tindakan kehati-hatian.

Prinsip 7: Melakukan kegiatan produksi dan konsumsi yang memerhatikan prinsip keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Prinsip 8: Meningkatkan pendidikan tentang ekologi yang berkelanjutan, secara luas dan terbuka.

Hasil penilaian ini menunjukkan bahwa kelima sekolah yang dimaksud di atas belum mampu menjadi sekolah berbudaya lingkungan ideal sebagaimana yang diharapkan UNESCO melalui Piagam Bumi, walaupun sekolah alam telah menunjukkan tingkat kepedulian terhadap lingkungan hidup. Kelima sekolah di atas terbukti lebih banyak memberikan dukungan kepada prinsip-prinsip Piagam Bumi dalam bentuk pernyataan daripada aksi yang memang akan lebih sulit untuk dilakukan. Semestinya sekolah sebagai lembaga pendidikan mampu memberikan dukungan dalam bentuk aksi karena akan memberikan dampak yang lebih besar bagi lingkungan dan pembentukan karakter siswa. Aksi itu akan terangkat menjadi sebuah berita sebagai bagian dari kampanye lingkungan yang merupakan maksud

dari adanya sikap mendukung Piagam Bumi dengan „pernyataan‟.

Tabel 8 dan Tabel 9 memperlihatkan bahwa untuk Prinsip 5 hasil penilaian kolom

„menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟ ataupun „menunjukkan sikap peduli dengan

(11)

mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai „pernyataan‟ 26,4 dan „aksi‟ 24,4). Sedangkan non -sekolah alam berkriteria „aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat dinilai„ (nilai „pernyataan‟ 9,01 dan „aksi‟ 8,16), atau lebih kecil daripada nilai sekolah alam. Sekolah alam selama ini memberikan pernyataan-pernyataan yang mendukung upaya untuk menjaga dan memulihkan kerusakan ekologi, biasanya dalam bentuk poster dan film pendek bertema lingkungan hidup yang dibuat oleh siswa, aksi simpatik pada Hari Ozon, Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, Hari Pohon Nasional, dan sebagainya. Di non-sekolah alam aksi peduli lingkungan hidup lebih banyak berupa kerja bakti di lingkungan sekolah, dan sebagian besar dilakukan melalui kegiatan pramuka yang tidak semua siswa aktif mengikuti organisasi tersebut.

Tabel 8 dan Tabel 9 memperlihatkan bahwa pada Prinsip ke-6 (Mencegah Terjadinya Kerusakan Lingkungan dan Menghindarinya dengan Tindakan Kehati-hatian), hasil penilaian

kolom „menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟ ataupun „menunjukkan sikap peduli dengan aksi‟ sekolah alam mendapatkan kriteria „terdapat bukti aksi yang minim dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai „pernyataan‟ 24,5 dan „aksi‟ 23,1). Sedangkan non-sekolah alam berkriteria „aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat dinilai„ (nilai „pernyataan‟ 10,1 dan „aksi‟ 8,12), atau lebih rendah daripada sekolah alam. Hal itu menunjukkan bahwa kelima sekolah tersebut belum memenuhi harapan UNESCO untuk melakukan upaya kehati-hatian dalam setiap kegiatannya agar tidak terjadi kerusakan lingkungan akibat kegiatan yang mereka lakukan. Di sekolah alam, tindakan seperti Prinsip ke-6 ini misalnya dilakukan saat kegiatan berkemah dengan menghimbau siswa untuk tetap menjaga lingkungan asri, tidak merusak/memangkas tanaman, dan sebagainya.

Tindakan berhati-hati agar kegiatan sekolah tidak merusak lingkungan harus selalu ditekankan karena pada umumnya sebuah kawasan adalah lingkungan yang asri sampai sebuah kegiatan/pembangunan (sekolah, perkantoran, pabrik, pasar, dan sebagainya) merubah fungsi lahan yang memberi dampak positif dan negatif bagi lingkungan, yang jika dampak negatif itu tidak ditanggulangi maka akan menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar lingkungan (Lima dan Neto, 2015). Upaya ini dapat dipadukan dengan kebijakan pemerintah menerapkan denda dan insentif bagi sekolah/lembaga lainnya terkait dilaksanakan atau tidaknya kegiatan daur ulang sebagaimana telah diupayakan oleh pemerintah Brazil (Murakami dkk., 2015).

Rendahnya capaian nilai pada Prinsip ke-6 ini disebabkan banyaknya penggunaan kendaraan bermotor roda dua oleh siswa untuk transportasi ke sekolah dan belum pernahnya sekolah melakukan penuntutan terhadap pihak-pihak yang melakukan pengrusakan lingkungan. Tabel 8 dan Tabel 9 memperlihatkan bahwa pada Prinsip ke-7 (Melakukan Kegiatan Produksi dan Konsumsi yang Memperhatikan Prinsip Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakat), hasil

penilaian kolom „menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟ ataupun „menunjukkan sikap peduli dengan aksi‟ sekolah alam mendapatkan kriteria „terdapat bukti aksi yang minim dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai „pernyataan‟ 29,1 dan „aksi‟ 28,2). Sedangkan non-sekolah alam berkriteria „aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat dinilai„ (nilai „pernyataan‟ 18,4 dan „aksi‟ 10,8).

(12)

lingkungan hidup ke dalam KBM. Kegiatan insidental yang selama ini mereka lakukan, seperti kerja bakti, dan ekstrakurikuler Pramuka dan berkebun, ternyata masih jauh dari cukup. Kegiatan 3R di sekolah alam ditopang oleh bank sampah dan pembuatan kerajinan tangan dari barang bekas, adapun non-sekolah alam keberadaan bank sampah yang masih jarang ditemui menjadikan kegiatan 3R lebih sulit untuk dilakukan. Jika setiap sekolah dan lembaga lainnya menyelenggarakan kegiatan 3R maka akan ada begitu banyak dana yang bisa dihemat karena efektifnya pemanfaatan sumber dana (Wilson dan Velis, 2015).

Tabel 8 dan Tabel 9 memperlihatkan bahwa hasil penilaian untuk Prinsip ke-8 (Meningkatkan Pendidikan tentang Ekologi yang Berkelanjutan, Secara Luas dan Terbuka)

penilaian kolom „menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟ ataupun „menunjukkan sikap peduli dengan aksi‟ sekolah alam mendapatkan kriteria „terdapat bukti aksi yang minim dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai „pernyataan‟ 27,5 dan „aksi‟ 26,0). Sedangkan non-sekolah alam berkriteria „aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat dinilai„ (nilai „pernyataan‟ 9,81 dan „aksi‟ 3,51), atau lebih rendah dari sekolah alam.

Pada Prinsip ke-8, sekolah alam terlihat tidak memiliki permasalahan selain perlunya upaya untuk terus menggiatkan KBM berwawasan lingkungan hidup. Wawasan siswa sekolah alam tentang pelestarian lingkungan hidup menjadi lebih baik daripada siswa non-sekolah alam karena terintegrasinya PLH dengan KBM secara keseluruhan. Siswa non-sekolah alam memiliki wawasan lingkungan hidup yang lebih sedikit karena keterbatasan informasi yang mereka terima dan teralihkannya isu lingkungan hidup yang kalah dominan jika dibandingkan dengan materi KBM yang bersifat umum.

KESIMPULAN

1. Kurikulum berbasis lingkungan hidup di sekolah alam telah berjalan baik dengan rataan nilai sikap siswa 51,8.

2. Kelima sekolah yang dimaksud di atas belum mampu menjadi sekolah berbudaya lingkungan ideal sebagaimana yang diharapkan UNESCO melalui Piagam Bumi, walaupun sekolah alam telah menunjukkan tingkat kepedulian terhadap lingkungan hidup yang lebih baik daripada non-sekolah alam.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. 2013. Integrasi pendidikan lingkungan hidup melalui pembelajaran IPS di sekolah dasar sebagai alternatif menciptakan sekolah hijau. Pedagogia 2(1) 98-108. Almeida, M. 2007. Enviromental Education and Sustainability Tool. Good Practice 3(1):

34-39.

(13)

Atkisson, A., Stucker, D., Wener, L. 2008. EC-Assess: The Earth Charter Ethics-Based Assessment Tool Version 5. Earth Charter International Secretariat San José, Costa Rica.

Jimenez, A., Koperla, D. 2008. Using EC-Assess to Evaluate Commitment and Action of Tourism Stakeholders Towards Sustainability in Quepos, Costa Rica. EC International Secretariat. Costa Rica.

Lima, RM., Neto, JS. 2015. Socio-environmental conflicts: environmental law as an instrument for legitimizing the actions of public authorities. An intervention in Jardim Icaraí, Curitiba, PR. Ambiente and Socieadade 18(2): 129-144.

Medellin, E., Ventura, G., McDermott, B. 2007. Earth Charter Booklets for Pre-scholl and Primary-school Children. Good Practice 3(1): 60-66.

Mulyana, R. 2009. Penanaman etika lingkungan melalui sekolah perduli dan berbudaya lingkungan. Jurnal Tabularasa PPS Unimed 6(2): 175-180.

Murakami, F., Sulzbach, A., Pereira, GM., Borchardt, M., Sellitto, MA. 2015. How the Brazilian government can use public policies to induce recycling and still save money? Journal of Cleaner Production 96: 94-101.

Murdiyanto, H. 2013. Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Strategi Inkuiri Berbasis Lingkungan Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Tambakaji 03. UNS Press. Semarang.

Ovsienko, L V. 2007. Reorienting Tatarstan’s Educational System Towards Educational for Sustainability. Good Practice 3(1): 54-59

Pratomo, S. 2006. Jurnal Model Pembelajaran Tematik Dalam Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di Sekolah Dasar. UPI. Purwakarta.

Purwanto, A. 2012. Pengaruh paket pembelajaran pendidikan lingkungan hidup dan gaya kognitif terhadap kemampuan memecahkan masalah Lingkungan. Jurnal FMIPA 13(1): 55-68.

Rahmah, YD., Indradi, SS., Riyanto. 2014. Implementasi program sekolah adiwiyata (studi pada SDN Manukan Kulon III/540 Kota Surabaya). Jurnal Administrasi Publik 2(4): 753-757.

Redy, H. 2015. Dokumen 1 Kurikulum SMP Alam Lampung Tahun Ajaran 2015-2016. SAL Publishing. Lampung Selatan.

Sahwan, FL., Wahyono, S. 2002. Pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, studi kasus di Kampung Banjarsari, Cilandak - Jakarta Selatan. Jurnal Teknologi Lingkungan 3(1): 7-12

Siswanto, H. 2010. Pengaruh metode pembelajaran dan persepsi lingkungan hidup terhadap kepedulian taruna pada pelestarian laut. Jurnal Lingkungan 11(1): 49-70.

(14)

Utami, NA., Hernawati, N., Alfiasari (2016). Pengasuhan orang tua yang seimbang sebagai kunci penting pembentukan karakter remaja. Jurnal Pendidikan Karakter 6(1): 1-16. Widianingsih, R., Widyarini, N. (2009). Dukungan orang tua dan penyesuaian diri remaja

mantan pengguna narkoba. Universitas Gunadarma. Jurnal Psikologi 3(1): 10-15

Widoyoko, E.P. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1.  Sekolah contoh untuk penelitian “Evaluasi Penerapan Kurikulum Berwawasan  Lingkungan Hidup di Jenjang SMP”
Tabel 2.   Jumlah populasi dan contoh yang digunakan dalam penelitian “Evaluasi Penerapan Kurikulum Berwawasan Lingkungan Hidup di Jenjang SMP”
Tabel 6.  Nilai rataan sikap siswa.
Tabel 7.  Nilai Piagam Bumi Pilar ke-2 “Keutuhan Ekologi”.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan di Pemerintah Kota Yogyakarta ini adalah untuk mengetahui kontribusi retribusi pasar terhadap Pendapatan Asli Daerah, perkembangan kontribusi retribusi

[r]

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Pengaruh Berbagai Jenis Kotoran Ternak Terhadap Kualitas Pupuk Organik “ adalah bukan skripsi orang lain baik sebagian maupun

Aspek pertumbuhan dan biologi reproduksi yang akan dianalisis terkait dengan hubungan panjang berat, faktor kondisi, rasio kelamin, tingkat kematangan gonad

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar matematika menggunakan model pembelajaran STAD dan CIRC pada siswa kelas 4 SD Gugus Merbabu.. Penelitian ini

 melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari

Fakta diatas menunjukkan bahwa pemahaman ibu yang cukup merupakan suatu kemampuan dalam hal pemahaman rehidrasi oral pada balitadiare, ibu yang memiliki pemahaman cukup tentang

jumlah dan identitas lengkap Warga Negara yang berhak memperoleh barang dan/atau jasa kebutuhan dasar secara minimal sesuai dengan Jenis Pelayanan Dasar dan Mutu