• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Perkembangan Baru tentang konstutusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan Perkembangan Baru tentang konstutusi "

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Perkembangan-Perkembangan Baru tentang Konstitusi dan Konstitusionalisme dalam Teori dan Praktik

Buku ini ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Dalam buku ini, khususnya pada bab “Perkembangan dari Konstitusi Politik ke Ekonomi dan Sosial”, penulis berpendapat bahwa, awalnya ide konstitusi memang berawal dari kebutuhan untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan bernegara saja, sehingga wajar jika pada awalnya konstitusi hanya dipahami sebagai persoalan politik saja. Melihat dari Konstitusi Amerika Serikat yang memakai istilah “Articles of Confederation”, bukan “Constitution”. Yang berarti dalam artikel konfederansi Amerika Serikat ini hanya berkenaan dengan organisasi negara dengan warga negara, yang di dalamnya tidak termuat adanya artikel tentang perekonomian atau tentang perikehidupan sosial bermasyarakat. Karenanya, agama dan perkataan Tuhan pun tidak terdapat dalam artikel konfederasi atau naskah konstitusi tertulis Amerika Serikat itu. Tuhan dan agama merupakan persoalan kemasyarakatan yang harus dipisahkan dari persoalan politik kenegaraan.

Sejak terbentuknya Amerika Serikat dengan naskah konstitusi tertulisnya ini (US Constitution), istilah konstitusi terus dipakai dalam pengertian konstitusi politik (political consitution). Konstitusi dalam pengertian politik inilah yang banyak dijadikan rujukan oleh berbagai negara di dunia yang mengikuti jejak bangsa Amerika. Hampir semua negarayang lahir selama abad ke-20, menyusun dan memberlakukan naskah konstitusi tertulis yang tidak lain berisi pasal-pasal yang hanya mengatur mengenai kebijakan politik bernegara dengan mencontoh model menurut tradisi konstitusi politik Amerika Serikat. Sedangkan kebijakan di bidang-bidang lain seperti perekonomian, sosial, keagamaan, tidak dirumuskan dalam konstitusi, karena dianggap cukup dibiarkan tumbuh sendiri.

Jika kita berpacu pada acuan Konstitusi Amerika Serikat yang memakai istilah “Articles of Confederation”, yang dimana telah dijelaskan di atas, maka konstitusi negara yang sebenarnya adalah hanya berisi tentang organisasi negara, kegiatan bernegara, dan hubungan negara dengan warga negara saja. Tidak termuat adanya artikel tentang kehidupan sosial maupun perekonomian. Bahkan, agama dan perkataan Tuhan pun tidak terdapat dalam artikel konfederasi atau naskah konstitusi tertulis Amerika Serikat itu.

Jika konstitusi Indonesia lahir dan berkiblat pada Konstitusi Amerika Serikat ini, maka tidak sesuai dengan nyawa dan roh bangsa Indonesia itu sendiri. Dikarenakan, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang menjungjung nilai sosial, kemasyarakatan, dan nilai ketuhanan. Dimana menurut saya ini sesuai dengan Mazhab Hukum Alam, yaitu hukum yang ditemukan pada alam dimana hukum itu sesuai dan bersinergi dengan alam, bersumber dari Tuhan (irrasionalisme), bersumber dari rasio manusia (rasionalisme), dan bersumber dari panca indera manusia (empirisme).

(2)

yang dimana konstitusi merupakan pengikat hukum untuk dijalankan dan ditegakkan. Jika kita melihat pada Mazhab Hukum Alam, jelas bahwa Tuhan dan agama merupakan bagian penting dalam suatu bagian hukum. Karena itu, dalam konstitusi seharusnya aspek kehidupan sosial dan perkataan-perkataan Tuhan dituangkan dalam artikel ataupun pasal pada konstitusi tersebut. Tidak hanya berisi tentang organisasi negara, kegiatan bernegara, dan hubungan negara dengan warga negara saja.

Dan menurut saya, jika konstitusi awalnya hanya berisi tentang organisasi negara, kegiatan bernegara, dan hubungan negara dengan warga negara saja, maka tidak sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia yang dimana pasti ada perilaku kehidupan sosial, bahkan keagaaman yang akan berjalan terus dari awal sampai masa depan. Dan ini jelas harus diatur dalam hukum sehingga konstitusi negara harus memuat dan berisi tentang hal-hal ini.

Selanjutnya, pada bab “Perkembangan dari Hukum Konstitusi ke Etika Konstitusi”, penulis berpendapat bahwa dewasa ini perlu dikembangkan konsepsi tentang ‘ecocracy’ atau kekuasaan oleh lingkungan alam (ekologi), dengan terminologi dan konsep green constitution. Terminologi dan konsep green constitution merupakan fenomena baru di kalangan praktisi dan akademisi yang menggeluti tentang isu lingkungan, termasuk di kalangan para ahli hukum dan konstitusi. Yang dipahami sebagai pemegang kekuasaan tertinggi adalah alam semesta sebagai lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia. Alam semesta sekarang ini dapat dipahami sebagai subjek kekuasaan tertinggi atau kedaulatan juga. Inilah yang penulis namakan sebagai gagasan ekokrasi (ecocracy) yang mengimbangi ide demokrasi yang diidealkan selama ini.

Pada prinsipnya, green constitution melakukan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan kedalam konstitusi melalui menaikkan derajat norma perlindungan lingkungan hidup ke tingkat konstitusi. Dengan demikian, pentingnya prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup memiliki pijakan kuat dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu, green constitution kemudian mengintrodusir terminologi dan konsep yang disebut dengan ekokrasi (ecocracy) yang menekankan pentingnya kedaulatan lingkungan.

Menurut saya, konsepsi tentang ‘ecocracy’ yang dinyatakan oleh penulis adalah benar. Tetapi, tidak seperlu itu untuk membuat konsep konstitusi baru pada era sekarang ini. Karena menurut saya sudah cukup konsep konstitusi yaitu hanya konsep Kedaulatan Tuhan (Teokrasi), konsep Kedaulatan Rakyat (Demokrasi), konsep Kedaulatan Raja/Ratu (Monarki), dan konsep Kedaulatan Hukum (Nomokrasi).

(3)

Maksudnya adalah, tidak ada kepastian tentang kekuasaan oleh lingkungan alam. Lingkungan alam adalah sesuatu yang mati. Hanya sebagai objek, bukan subjek pengatur konstitusi. Alam semesta hanya merupakan anugerah kehidupan yang dapat dieksploitasi dan dieksplorisasi secara bebas dengan menggunakan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi yang dari waktu ke waktu terus berkembang pesat, dan hal ini manusia lah yang bisa menguasainya.

Jadi, alam semesta tidak dapat mengatur dirinya sendiri, melainkan manusia yang mengaturnya dengan menggunakan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini menurut saya merupakan alasan mengapa saya mengatakan bahwa tidak seperlu itu untuk membuat konsep konstitusi baru tentang ‘ecocracy’ atau kekuasaan oleh lingkungan alam (ekologi). Cukuplah dengan membuat kebiijakan-kebijakan tentang lingkungan alam semesta ke dalam naskah undang-undang dasar, agar kebijakan-kebijakan tersebut itu dapat diperkuat dan tidak kalah dalam bersaing dengan kepentingan-kepentingan lain.

Dalam konteks Indonesia saat ini, kebijakan green constitution dan ecocracy telah tercermin dalam gagasan tentang kekuasaan dan hak asasi manusia serta konsep demokrasi ekonomi sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H Ayat (1) dan pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hal ini sudah cukup untuk memberikan basis konstitusional bagi green constitution, walaupun tidak memasukkannya dalam konstitusi.

Kita bisa lihat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H Ayat (1) dan pasal 33 Ayat (4), yang menegaskan tercerminnya kebijakan green constitution sudah merupakan aspek dari konsep ekonomi dan sosial. Jadi menurut saya tidak perlu menjadikan alam semesta sebagai konstitusi negara.

Berikutnya, pada bab yang sama, penulis juga menjelaskan tentang Nomokrasi, atau yang kita tahu dengan Kedaulatan Hukum, yang dipahami sebagai sistem kekuasaan tertinggi terletak pada sistem aturan, bukan pada subjek orang atau benda. Prinsip ini tercermin dalam istilah “the Rule of Law, not of man”.

Nomokrasi adalah suatu istilah yang dikenal dari tulisan salah seorang filosof terkenal pada masa Yunani Kuno yaitu Plato. Nomokrasi berasal dari kata nomoi yang berarti undang-undang. Dalam tulisan tersebut, Plato menyatakan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang baik harus memiliki kemampuan berpikir yang baik dan sebagai wujud dari kemampuan akan pemikiran yang baik tersebut harus dibentuk suatu undang-undang yang bermanfaat sebagai alat dalam kekuasaannya.

(4)

Penulis berpendapat bahwa, yang memimpin dalam suatu sistem kekuasaan negara yang sesungguhnya bukanlah orang per orang yang kebetulan menduduki jabatan kepemimpinan negara dan pemerintahan, tetapi sesungguhnya adalah sistem aturan yang mengikat dan ditaati oleh semua orang yang disebut sebagai pemimpin dalam pemerintahan itu. Mereka diakui juga adalah pemimpin tetapi dengam persyaratan bahwa mereka itu harus bekerja dan memimpin berdasarkan apa yang ditentukan oleh hukum. Karena itu, yang memimpin sesungguhnya adalah sistem hukum itu sendiri, bukan orang per orang.

Pemimpin dan pejabat hanyalah wayang dari skenario sistem aturan yang sudah ada lebih dulu. Sebagai contoh, setiap bawahan dilarang tunduk dan taat kepada perintah atasan yang ia yakini justru melanggar hukum. Orang harus tunduk dan taat kepada atasam, karena atasan itu menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengikat untuk dijalankan sebagaimana mestinya.

Inilah yang dimaksud dengan prinsip “the Rule of Law, not of man”, yang juga terkandung dalam pengertian nomokrasi atau kekuasaan oleh nilai atau norma aturan. Ini pula yang disebut dengan prinsip supremasi hukum (supremacy of law) yang menjadi prasyarat utama suatu negara yang hendak dinilai sebagai negara hukum. Yang tertinggi bukanlah tokoh pemimpin tetapi sistem aturan hukum.

Disini, saya berpendapat bahwa, tidak semua negara yang menggap negaranya sebagai negara hukum menggunakan sistem Kedaulatan Hukum atau nomokrasi. Contohnya saja Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3), yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Jelas dikatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Tetapi, Indonesia tidak menggunakan Kedaulatan Hukum atau nomokrasi sebagai kedaulatan bernegara, melainkan demokrasi. Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pengertian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan negara.

(5)

pemerintahan itu. Mereka diakui juga adalah pemimpin tetapi dengam persyaratan

bahwa mereka itu harus bekerja dan memimpin berdasarkan apa yang ditentukan

oleh hukum. Sedangkan demokrasi,

yang melaksanakan kekuasaan negara ialah

wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan negara. Baik nomokrasi maupun demokrasi sama-sama berpatokan pada hukum, tetapi, hukum maupun aturan tidak bisa berjalan sendiri jika tidak ada yang memimpin atau melaksanakan hukum tersebut.

Jadi, seorang pemimpin juga perlu dalam kedaulatan hukum maupun kedaulatan demokrasi. Karena seperti roh dan nyawa, jika tidak ada hukum yang mengatur, maka pemimpin akan semena-mena dalam menjalankan tugasnya, baik dalam bernegara atau secara individu. Sedangkan jika tidak ada seorang pemimpin, maka tidak akan ada penegak hukum yang tegas, yang dapat mengontrol kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kesimpulannya, baik hukum ataupun pemimpin, keduanya merupakan aspek yang penting dalam kedaulatan bernegara. Hukum tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada yang memimpin, dan pemimpin tidak akan menjadi baik jika tidak ada hukum yang mengatur dan mengikatnya.

Pembahasan selanjutnya adalah, pada bab “Tentang Etika Konstitusi (Constitutional Ethics)”. Penulis berpendapat bahwa, kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa hukum itu lebih tinggi dari etika. Bahkan etika juga tidak perlu atau tidak dapat dikatakan lebih tinggi daripada hukum. Hubungan diantara keduanya di samping bersifat luas-sempit, juga bersifat luar-dalam, bukan atas-bawah secara vertikal. Agama adalah sumber etika, etika adalah hukum.

Dengan demikian dalam konteks pengertian konstitusi, kita tidak boleh menafikan adanya norma hukum dan norma etika di dalamnya. Karena itu, dalam Undang-Undang Dasar terkandung pengertian tentang norma hukum konstitusi (constitutional law), dan sekaligus norma etika konstitusi (constitutional ethics). Pancasila di samping merupakan sumber hukum (source of law), juga merupakan sumber etika (source of ethics) dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-Undang Dasar 1945 di samping merupakan sumber hukum konstitusi (constitutional law), juga merupakan sumber etika konstitusi (constitutional ethics).

Disini saya setuju dan sependapat dengan penulis. Bahwa dalam era sekarang ini, etika dan hukum tidak bisa ditumpang-tindihkan, apalagi dipisahkan. Hukum berisi norma-norma beretika dalam kehidupan bermasyarakat, dan etika menjadi sumber berlakunya hukum. Karena, dimana manusia itu hidup pasti akan ada etika berkehidupan, dan dimana ada manusia, pasti ada hukum yang mengatur dan mengikat.

(6)

Karena itu, studi konstitusi harus dikembangkan tidak hanya mempelajari soal-soal yang berkenaan dengan hukum, tetapi juga etika konstitusi yang berkaitan erat dengan pemahaman mengenai roh atau ‘the spirit of the constitution’. Hal ini sama dapat kita bandingkan dengan hubungan antara Pacasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keduanya tidak boleh dipisahkan. Pancasila adalah roh yang terkandung dalam teks UUD sebagai konstitusi tertulis. Yang harus ditegakkan dan dijalankan dalam kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara adalah konstitusi, bukan sekedar teks undang-undang dasar tanpa jiwa. Pancasila beserta seluruh rangkaian nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 beserta segenap ide-ide, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang hidup dalam UUD 1945 adalah roh atau jiwa kebangsaan kita. Karena itu dalam memahami UUD 1945 sebagai jasadnya, roh atau jiwa itu tidak dapat diabaikan. Disitulah letak keadilan konstitusional dan etika konstitusional yang hendak kita wujudkan dalam kenyataan praktik berbangsa dan bernegara.

Nama : Astria Yuli Satyarini Sukendar NBI : 1311700068

Kelas : B

Referensi

Dokumen terkait

para mujtahid, karena para mujtahid hanya terbatas pada memperjelas atau memunculkan hukum Allah serta menemukannya melalui jalan Istimbath (penetapan hukum yang berdasarkan

Rimpang lempuyang wangi mengandung tannin, saponin, flavonoid, dan glikosida.Tujuan penelitian ini untuk memanfaatkan rimpang lempuyang wangi sebagai sediaan yang

Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya. Bandung, Mei 2014 Saya

Dari penjelasan di atas, guru perlu mengetahui bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh siswa sehingga siswa tidak mengalami kesalahan dalam menyelesaikan soal.

Banyak metoda yang bisa digunakan sebagai pendekatan penentuan tarif tersebut, e.g Metoda Besar Keuntungan Biaya Operasi Kendaraan (BKBOK), Kemauan Membayar (Willingness To Pay

mahasiswa praktikan untuk belajar menjadi guru yang lebih inovatif, provisional dengan gaya. mengajar yang menarik

maksud untuk memahami makna yang terkandng dalam ajaran tersebut. b) Metode komparatif, yaitu ajaran ajaran islam itu dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan

dan n %u %u&u &u. ;ntu& itu< &ami menghara,&an &e&urangan dan masih !auh dari &esem,urnaan.. #alah satu su% sistem &esehatan nasional