1
K EPEMI MPINAN T RANSFOR MASIONAL DALAM SEK OLAH SEBAGAI K OMUNIT AS PEMBELAJAR
(oleh: Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd)
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu proses dan sistem terbuka yang berperan dalam
pembentukan pribadi manusia. Salah satu unsur yang menentukan dalam proses
pendidikan khususnya dalam lingkup sekolah, adalah kepemimpinan. Tantangan
kepemimpinan dalam sekolah dewasa ini adalah memberdayakan semua potensi dan
menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajar menuju perubahan-perubahan yang
lebih bermakna. Kepemimpinan yang dibutuhkan dalam konteks ini adalah
kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi
sikap, persepsi, perilaku dan kinerja para guru dan karyawan di mana terjadi
peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, peningkatan motivasi, kepuasan kerja dan
mengurangi konflik dalam organisasi sekolah. Lebih dari pada itu kepemimpinan
transformasional dapat menggerakkan sekolah sebagai komunitas pembelajar menuju
sasaran dan tujuan sekolah bahkan dapat mencapai tujuan yang tidak pernah diraih
sebelumnya.
1. K EPEMI MPINAN T RANSFOR MASIONAL
1.1. K EPEMI MPINAN T RANSFOR MASIONAL DALAM T EORI ORGANISASI
Gagasan awal tentang gaya kepemimpinan transformasional beriringan dengan
konsep kepemimpinan transaksional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang
menerapkannya dalam konteks politik. Burns (1978) mengatakan: transfromational leadership as a process where leader and followers engange in a mutual process of raising ane another to higer levels of morality and motivation (Wijaya, 2005:122). Kepemimpinan transformasional sebagai proses dimana pemimpin dan pengikutnya bersama-sama
saling meningkatkan dan mengembangkan moralitas dan motivasinya. Kepemimpinan
transformasional pada hakekatnya menekankan peran pemimpin yang memotivasi para
bawahannya untuk melakukan tanggung-jawab mereka lebih dari yang mereka
harapkan (Junaidi, 2010).
Kepemimpinan transformasional memungkinkan seorang pemimpin mampu
mendefinisikan dan mengkomuniksikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan
bawahan menerima dan mengakui kredibilits pemimpinnya. Karakteristik utama
pemimpin transformasional diantaranya memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai
agen perubahan (agent of change) bagi organisasi, sehingga dapat menciptakan strategi-strategi baru dalam mengembangkan praktik-praktik organisasi yang lebih relevan.
O’Leary (2001:112) mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai
kepemimpinan yang digunakan oleh seorang manajer bila ia ingin suatu kelompok
melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi sepenuhnya baru.
Bass dan Avolio (1994) mengemukakan empat dimensi kepemimpinan
2
a. Dimensi pertama, idealized influence (pengaruh ideal). Pemimpin dengan karakter ini adalah pemimpin yang memiliki karisma dengan menunjukkan pendirian,
menekankan kepercayaan, menempatkan diri pada isu-isu yang sulit, menunjukkan
nilai yang paling penting, menekankan pentingnya tujuan, komitmen dan konsekuen
etika dari keputusan, serta memiliki visi dan sence of mission.
b. Dimensi kedua, inspirational motivation (motivasi inspirasi). Pemimpin mempunyai visi yang menarik untuk masa depan, menetapkan standar yang tinggi bagi para
bawahan, optimis dan memiliki antusiasme, memberikan dorongan dan arti terhadap
apa yang perlu dilakukan.
c. Dimensi ketiga, disebut intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin mendorong bawahan untuk lebih kreatif, menghilangkan keengganan bawahan
untuk mengeluarkan ide-denya dan dalam menyelesaikan permasalahan
menggunakan pendekatan-pendekatan baru dengan menggunakan intelengensi dan
alasan-alasan rasional.
d. Dimensi yang keempat adalah individualized consideration (konsiderasi individu). Pemimpin memperlakukan orang lain sebagai individu, mempertimbangkan
kebutuhan individual dan aspirasi-aspirasi, mendengarkan, mendidik dan melatih
bawahan. Pemimpin yang memberikan perhatian personal terhadap bawahannya.
Pemimpin harus memiliki kemampuan berhubungan dengan bawahan (human skill), dan berupaya untuk pengembangan karier bawahan.
1.2. K EPEMI MPINAN T RANSFOR MASIONAL YESUS K RIST US
Menurut Robert Greenleaf (1977) bahwa faktor kunci dalam menghadirkan
kepemimpinan transformasional yang efektif adalah “Kepemimpinan Pelayan” (Servant Leardership) yang ditunjukkan oleh Yesus Kristus (D‘Souza, 2009:3). Kepemimpinan yang ditampilkan Yesus Kristus memberikan tiga gambaran kepemimpinan
transfromasional yang menarik (D’Souza, 2009: xxiii-vviv), yakni sebagai Pelayan
(Servant), Gembala (Shepherd) dan Pengurus (Steward).
Karakteristik kepemimpinan Yesus sebagai pelayan, yakni memberikan teladan
dengan semangat rendah hati. Memberikan teladan merupakan cara transfromasi yang
efektif sehingga para pengikut dapat melihat langsung perilaku apa yang dibuat oleh
pemimpin. Di tengah penghormatan para murid dan orang-orang yang mendengarkan
ajaran-Nya, Yesus berkata: “Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk.
22:27). “Jikalau aku membasuh kakimu, aku yang adalah Tuan dan Gurumu, maka
kamu pun wajib saling membasuh kakimu, sebab aku telah memberikan suatu teladan
kepada kamu supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah kuperbuat
kepadamu…” (Yoh.13:14).
Maxwell (2006:64) mengidentifikasikan lima prinsip untuk dapat menjadi teladan,
yaitu: memperbaiki diri sebelum memperbaiki orang lain, memperbaiki diri lebih banyak
dari pada orang lain, mengejar apa yang benar daripada melakukan apa yang benar, melakukan apa yang dapat dilihat bukan hanya dengan kata-kata, dan belajar dari
teladan orang lain. Jadi intinya adalah memimpin diri sendiri terlebih dahulu baru
memimpin orang lain. Covey (1997:30) menyebut salah satu ciri kepemimpinan yang
berprinsip ialah berorientasi pada pelayanan. Mereka melihat kehidupan sebagai suatu
3
Pemimpin sebagai gembala perhatian utama bukan pada hasil dan keuntungan
melainkan para pengikut/anggota (D’Souza, 2009:27). Yesus menyatakan diri sebagai
Gembala yang Baik (Yoh.10). Menurut Yesus ciri-ciri gembala yang baik, yakni: gembala
mengenal domba-dombanya, domba-domba mengenal gembalanya, gembala harus hadir
dan siap sedia, memimpin dari depan, berani, menuntun dan membimbing, peduli pada
domba yang bermasalah dan pergorbanan diri.
Kepemimpinan Yesus berpusat pada pribadi manusia, menjaga para anggota dan
menginginkan mereka berkembang dan berhasil memenuhi tujuan dan panggilan
mereka (Blanchard & Hodges, 2007:157-158). Pemimpin sebagai gembala didorong
dengan keutamaan cinta kasih. Pemimpin yang didorong oleh cinta kasih pada
umumnya memiliki visi untuk melihat bakat, potensi, dan harkat setiap pribadi;
memiliki keberanian, gairah, dan komitmen untuk membuka kunci potensi; kesetiaan
dan dukungan satu sama lain sebagai hasilnya, yang menyemangati dan
mempersatukan Tim (Lowney, 2005:200).
Sebagai pengurus seorang pemimpin harus memiliki karakter dapat dipercaya, bertanggung-jawab dan mampu mempertanggungjawabkan. Dalam perumpamaan
tentang talenta (Mat. 25:14-30; Luk 19:12-27), Yesus menunjukkan bahwa menjadi
pengurus berarti mengemban kepercayaan yang akhirnya yang dituntut dari
pelayan-pelayan adalah mereka dapat dipercaya.
Kepercayaan menuntut tanggung-jawab. Yesus menegaskan: “Jadi, siapakah
pengurus rumah yang setia dan bijaksana yang akan diangkat oleh tuannya menjadi
kepala atas semua hambanya untuk memberikan makanan kepada mereka pada
waktunya?(Luk.12:42-43). Kepercayaan sebagai pemimpin-pengurus harus diikuti
dengan tanggung-jawab yang besar. “Setiap orang yang banyak diberi akan banyak
dituntut, dan siapa yang banyak dipercayai akan lebih banyak lagi dituntut.”
(Luk.12:48).
Donna Prestwood dan Paul Schumann (D’Souza, 2009:175) mengungkapkan
empat sifat kepemimpinan sejati menurut Yesus, yakni:
a. Ennoble (memaknai) berarti memberi atau menanamkan makna dan tujuan orang maupun kerja mereka; menanamkan visi dan misi organisasi. Memaknai diupayakan
dengan cara memberi alasan, memotivasi dan men-justifikasi untuk melakukan
inovasi. Covey (2004:81) memandang bahwa pribadi yang proaktif adalah pribadi
yang memiliki imaginasi kreatif, yakni kemampuan melihat keadaan di masa
mendatang dan saat ini bagaimana menghadapinya.
b. Enable (memampukan), berarti mendorong para pengikutnya untuk mampu berdaya guna dan efektif. Proses memampukan diupayakan dengan cara melengkapi
orang/anggota dengan pengetahuan, kecakapan dan kemampuan untuk melakukan
inovasi. Upaya-upaya ini dilakukan dari dalam diri manusia yakni: hati. Blanchard & Hodges (2006:49) mengemukakan bahwa kepemimpinan yang efektif menurut Yesus
harus mulai dari dalam, yakni dari hati yang berbelas kasih.
c. Empower (memberdayakan ), berarti meneguhkan dan memberdayakan para pengikut-Nya. Memberdayakan dengan cara membangkitkan kegairahan,
membangun kepercayaan dan menghasilkan tindakan. Covey (1997:31-32)
menyatakan bahwa salah satu ciri kepemimpinan yang berprinsip adalah
4
d. Encourage (mendorong), maksudnya mendorong untuk membuahkan hasil dan pengaruh bagi misi dan membangun kegairahan yang lebih besar sehingga dapat
membuahkan perubahan dan pemberdayaan terus-menerus. Covey (1997:262)
mengemukakan habitus ke-tujuh dari manusia yang efektif adalah ‘mengasah
gergaji’, maksudnya memperbaharui diri secara terus-menerus. Habitus ke-delapan
dari manusia efektif yaitu menemukan potensi diri sendiri dan memberikan inspirasi
bagi orang lain untuk menemukan potensi mereka.
3. I MPLEMENT ASI K EPEMI MPINAN T RANSFORMASIONAL DALAM SEK OLAH
Proses mendidik menjadi manusia pembelajar berkaitan erat dengan proses
kemanusiaan dan pemanusiaan (humanisasi). Di sinilah esensi dan eksistensi dari pendidikan dan persekolahan. Lembaga sekolah bukan saja wahana proses pendidikan,
tetapi menjadi organisasi pembelajar. Peter Senge mengemukakan bahwa organisasi
belajar sebagai suatu disiplin untuk mengembangkan potensi kapabilitas individu dalam
organisasi dengan kemampuan-kemampuan: berpikir sistem, penguasaan pribadi, pola
mental, visi bersama dan belajar beregu (Prawiradilaga & Siregar, 2004:136-139).
Sejalan dengan itu, komunitas pendidikan dan komunitas sekolah harus menjadi
manusia pembelajar, manusia belajar untuk belajar (learning to learn) atau belajar bagaimana belajar (learning how to learn).
Sekolah sebagai komunitas pembelajar perlu memiliki kemampuan untuk
membuat perubahan-perubahan dan melakukan pergeseran kinerja dari format lama ke
format baru. Reigeluth dan Garfinkle (1994) mengemukakan pergeseran-pergeseran
paradigma baru dalam organisasi dewasa ini (bdk. Danin, 2003:11-12), yakni:
NO POLA LAMA POLA BARU
1 dari pola hubungan yang saling
terpisah
ke hubungan kooperatif
2 dari organisasi birokratik ke organisasi tim
3 dari gaya kepemimpinan yang
otokratik
ke kepemimpinan partisipatif dan
delegatif
4 dari pengendalian terpusat ke otonomi dengan keseimbangan
5 dari tradisi otokrasi ke tradisi demokrasi
6 dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatif
7 dari menunggu isyarat ke inisiatif
8 dari komunikasi satu arah ke jaringan kerja
9 dari kompartementalisasi atau divisi ke holisme atau tugas-tugas terintegrasi
Penerapan kepemimpinan transformasional sangat potensial dalam membangun
komitmen yang tinggi pada diri guru pada kininerja sehingga dapat terjadi
perubahan-perubahan yang berarti dalam sekolah. Kepemimpinan transformasional juga akan
mempermudah usaha mempercepat pertumbuhan kapasitas guru-guru dalam
mengembangkan diri untuk merespons secara positif agenda reformasi sekolah tersebut.
Kepemimpinan transformasional mendorong ke arah tumbuhnya sensivitas pembinaan
dan pengembangan organisasi, pengembangan visi bersama, pendistribusian wewenang,
5
Kepemimpinan transformasional sebagai paradigma baru, menurut Erik Ress
(2001) dalam implementasinya perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut (Wijaya,
2005:123).
a. Simplikasi, kemampuan dan keterampilan dalam mengungkapkan visi secara jelas, praktis dan transformasional.
b. Motivasi, kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari setiap orang yang terlibat terhadap visi yang sudah ditetapkan.
c. Fasilitasi, kemampuan untuk secara efektif menfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan organisasi.
d. Inovasi, kemampuan untuk berani dan bertanggung-jawab melakukan suatu perubahan-perubahan secara baru.
e. Mobilitas, yaitu pengerahan semua sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
f. Tekad, yaitu tekad bulat untuk menyelesaikan sesuatu dengan mengembangan disiplin spiritualitas, emosi dan fisik serta komitmen.
Perubahan-perubahan dalam sekolah menjadi komunitas pembelajar ditentukan
oleh kepala sekolah. Kepala sekolah yang menerapkan kepemimpinan transformasional
sangat efektif dalam mendukung prakarsa-prakarsa perubahan. Peters, Dobbins &
Johnson (1996) dalam studi mereka tentang restrukturisasi dan rekulturisasi organisasi
di sekolah menemukan bukti bahwa para pimpinan sekolah khususnya dalam
kapasitasnya menjalankan fungsi kekepalasekolahan (school principalship), sangat berperan penting, terutama dalam dua hal. Pertama, mengonseptualisasikan visi untuk perubahan. Kedua, memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk mentransfromasikan visi menjadi etos dan kultur sekolah ke dalam aksi riil (bdk. Danin,
2003: 74-75).
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh kepala sekolah dalam menerapkan
kepemimpinan transformasional, yakni:
a. Menjadi pribadi yang dapat diteladani, dipercaya, dihormati, menjadi panutan oleh
para guru dan karyawannya. Mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk
kepentingan sekolah.
b. Memotivasi seluruh guru dan karyawan untuk memiliki komitmen terhadap visi
organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan
pendidikan di sekolah.
c. Menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan karyawan dengan
mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan
sekolah ke arah yang lebih baik.
d. Mampu bertindak sebagai pelatih dan penasehat sekaligus pemberdaya bagi para
guru dan karyawannya.
Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan
transformasional dalam sekolah (Sudrajat, 2008), yakni:
a. Berdayakan seluruh bawahan (guru dan staf) untuk melakukan hal yang terbaik
untuk organisasi;
b. Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi;
c. Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama;
6
e. Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh
bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan;
f. Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap
organisasi.
PENUT UP
Kepemimpinan transformasional menekankan pentingnya motivasi dan moralitas
serta sikap mental dari setiap anggota organisasi untuk mengantisipasi dan membuat
perubahan-perubahan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang lebih luhur.
Belajar dan pembelajaran menjadi inti di dalamnya. Komunitas pembelajar merupakan
sebuah komunitas/organisasi di mana pemimpin dan setiap anggota memperbesar
kapasitas dan peranannya untuk mengantisipasi dan membuat perubahan-perubahan
yang mendasar. Kepemimpinan transformational menjadi suatu model kepemimpinan
yang dapat diterapkan dalam lingkup komunitas pembelajar.
Sekolah merupakan komunitas pembelajar membutuhkan kepemimpinan
transformasional menjadi sebuah komunitas pembelajar. Dalam konteks ini peranan
kepala sekolah sebagai pemimpin menjadi sangat penting. Dalam mengimplementasikan
kepemimpinan transformasional kepala sekolah perlu memiliki
kemampuan-kemampuan tertentu, yakni: menjadi teladan dan panutan, memotivasi, menumbuhkan
kreativitas dan inovasi, bertindak sebagai pelatih dan penasehat bagi para guru dan
karyawan untuk memiliki komitmen yang tinggi terhadap sekolah. Dalam lingkup
sekolah katolik atau bagi pengelolah dan pemimpin sekolah dengan visi kristiani dapat
menerapkan kepemimpinan transformasional Yesus Kristus. Krakateristik
kepemimpinan sebagai pelayan, gembala dan pengurus seperti yang ditunjukkan oleh
Yesus Kristus dapat menjadi model kepemimpinan kristiani dalam sekolah. Kemampuan
untuk memaknai, memampukan, memberdayakan, dan mendorong para guru dan
karyawan merupakan kualitas kepemimpinan transformasional yang dapat diterapkan
dalam sekolah. Dengan demikian kiranya akan terjadi perubahan-perubahan yang lebih
bermakna dalam sekolah.
K EPUST AK AAN
Blanchard Ken & Hodges Phil, 2007, Lead Like Jesus, Belajar dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman, penerjemah: Dinonisius Pare, Jakarta: Visi Media.
Covey R. Stephen, 1997, Principle Centered Leadership (Kepemimpinan yang Berbrinsip),
alih bahasa: Julius Sanjaya, Jakarta: Binarupa Aksara.
_________________, 1997, The 7 Habits of Highly Effective People, penerjemah: Budijanti, Jakarta: Bina Rupa Aksara.
_________________, 2006, The 8th Habit, Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan,
penerjemah: Brata S. Wandi & Isa Zein, Jakarta: Gramedia.
7
___________________, 2006, Visi Baru Manajemen Sekolah, Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta: Bumi Aksara.
D’Souza Anthony., Ennoble, Enable, Empower, Kepemimpinan Yesus Sang Almasih,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Junaidi W., 2010, Model Kepemimpinan Transformasional (Models of Transformational Leadership), 6 Januari 2010, Blogspot.com.
Lowney Chris, 2005, Heroic Leadership, alih bahasa: Alfons Taryadi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Maxwell C. John, 2001, The 21 Indispensable Qualities of A Leader (21 Kualitas Kepemimpinan Sejati), alih bahasa: Saputra Arvin, Batam: Interaksara.
_______________, 2006, 5 Teladan Kpemimpinan, Jakarta: Gramedia. O’Leary Elizabeth, 2001, Kepemimpinan, Yogyakarta: Andi.
Prawiradilaga D. S., & Siregar E., 2004, Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, Universitas Negeri Jakarta.
Sudrajat A., 2008, Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah, 15 April 2008, Blogspot.com.
Sunarsih, 2001, Kepemimpinan Transformasional Dalam Era Perubahan Organisasi, Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol 5 No. 2, Desember 2001.
Wijaya M., 2005, Kepemimpinan Transformasional dalam Meningkatkan Outcomes Peserta Didik, Bandung: Jurnal Pendidikan Penabur-No.05/Th.IV/Desember 2005.
Manado, 10 Maret 2011.
Disampaikan dalam Temu Konsultasi Pimpinan Sekolah Katolik se-Provinsi Sulawesi Utara
oleh Bimas Katolik Kanwil Kementerian Agama Prov. Sulut