• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya dalam Formulasi Kebijakan Luar Ne

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Budaya dalam Formulasi Kebijakan Luar Ne"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Windira Anindya

105120407111024/C.HI.4 Hubungan Internasional

Pengaruh Budaya dalam Formulasi Kebijakan Luar Negeri Iran

Dan Korelasinya dengan Hubungan Amerika Serikat-Iran

Sepak terjang Iran di dunia internasional dalam beberapa dekade terkahir ini sangat besar. Kebijakan-kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Iran memberikan cukup banyak pengaruh dalam beberapa hal seperti perekonomian, politik internasional, dan yang paling krusial dan santer dibicarakan adalah stabilitas keamanan internasional. Iran secara terang-terangan mendeklarasikan bahwa mereka anti-Amerika Serikat. Iran bahkan disebut-sebut sebagai negara penyebab harga minyak dunia melambung saat ini karena keputusannya melakukan embargo minyak ke Eropa sebagai “balasan” atas tekanan negara-negara Barat akan pengembangan nuklirnya.

Hubungan Iran dan Amerika Serikat sudah terjalin sejak Perang Dingin. Pada saat kepemimpinan Reza Shah, Iran merupakan aliasi dari Amerika Serikat. Iran pada saat itu menginginkan posisi yang penting di kawasan Timur Tengah. Dan pada saat itu, Amerika Serikat merupakan negara asing yang mendukung rezim kekuasaan Reza Shah. Di satu sisi, Amerika Serikat pun memanfaatkan Iran sebagai tameng agar pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah dapat terbendung. Selain itu, Amerika Serikat juga membutuhkan Iran sebagai negara

superpower di tingkat regional Timur Tengah sebagai salah satu upaya untuk membela kepentingannya di kawasan tersebut. Kemudian setelah terjadi revolusi Islam di tahun 1979 dan kekuasaan Reza Shah runtuh, Amerika Serikat kehilangan kesempatan besarnya menjadi mitra Iran yang notabene merupakan kawasan strategis di Timur Tengah.1 Dengan sloganneither East, nor West but Islamic republic”, hubungan Iran-Amerika Serikat dewasa ini semakin memburuk

Kasus Iran ini tercermin dalam salah satu ciri-ciri kebijakan luar negeri negara berkembang, yaitu psychological approach. Psychological approach maksudnya disini

(2)

adalah suatu pendekatan yang berasumsi bahwa eksistensi negara berkembang di tataran politik internasional tergantung dari kecakapan dan kapabilitas pemimipin negaranya. Walaupun Iran dikenal dengan statusnya sebagai negara berkembang, akan tetapi jika pemimpinnya hebat, maka citra yang tercipta di mata masyarakat internasional adalah negara yang hebat. Dalam kasus pengembangan nuklir Iran yang santer dibicarakan akhir-akhir ini, Iran terkesan sangat agresif dan berani dalam menghadapi negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Iran yang dikenal sebagai anti-Amerika Serikat, dengan berbagai kebijakan yang diambil, berhasil membuat Amerika Serikat beserta Uni Eropa “cemas” akan proyek nuklirnya.

Sifat diplomasi Iran yang cenderung agresif dan berani ini tercermin dari sikap pemimpinnya. Latar belakang pemimpin sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam analisis kasus Iran ini, saya menggunakan bureaucratic approach dimana aspek-aspek analisis dalam pendekatan ini terbagi menjadi tiga. Aspek pertama ialah bureaucratic role,

dimana dalam setiap proses pembuatan kebijakan luar negeri pasti melibatkan beberapa aktor dan aktor-aktor tersebut memahami perannya masing-masing. Kemudian aspek kedua adalah

procedural script, yang dimana di dalamnya terdapat struktur dan strategi (operational code) yang bertujuan untuk memastikan langkah-langkah kebijakan tesebut dapat berjalan serta sebagai antisipasi kegagalan dalam pembuatan kebijakan. Aspek yang terakhir adalah

cultural rationale, dimana dalam setiap kebijakan luar negeri yang dikeluarkan merupakan suatu bentuk refleksi dari latar belakang sang pemimpin. Sifatnya lebih kepada idiosinkretis (pribadi) dan bagaimana latar belakang pemimpin itu tadi dapat berpengaruh dalam setiap kebijakan yang dibuat.

Iran dan Nilai-nilai yang Tertanam dalam Masyarakatnya

(3)

penting di kancah internasional. Tidak hanya sikap nasionalisme itu saja. Agama disini diibaratkan sebagai pemersatu rakyat Iran dan juga sebagai penunjuk identitas Iran sebagai negara anti-Barat. Ada euphoria tersendiri bagi rakyat Iran ketika mereka berhasil menggulingkan Reza Shah dari kepemimpinannya pada saat Revolusi Islam pada tahun 1979, karena Reza Shah dianggap sebagai antek Amerika Serikat yang ingin mensekulerisasi Iran. Kursi kepemimpinan kemudian jatuh kepada Ayatollah Rohullah Khomeini dengan mendirikan pemerintahan yang baru yaitu, Republik Islam Iran.

Iran merupakan negara yang cukup unik dimana pemerintahanannya mengkombinasikan model semi-teokratis yang berdasarkan doktrin/ideologi velayat-e faqih

(pemerintahan oleh ulama/ahli fiqih) yang digagas oleh Khomeini. Menurut Chehabi (2001), Iran memiliki karakteristik fitur pemerintahan yang totalitarianisme dan otoritarianisme.2

Iran dan Kebijakan Luar Negerinya serta Analisa Tiga Aspek

Bureaucratic Approach

Dalam analisa proses pembuatan kebijakan luar negeri Iran, tentunya timbul pertanyaan-pertanyaan mendasar yang perlu dijawab. Yang pertama adalah bagaimana ideologi syi’ah yang diusung Ayatollah Khomeini (1979-1989) itu berpengaruh dalam setiap formulasi kebijakan. Kemudian bagaimana peran-peran elit lainnya selain Pemimpin Agung (Supreme Leader), seperti Presiden dan dewan-dewan di bawahnya. Dan juga apa saja tindakan yang akan dilakukan oleh para pembuat kebijakan tersebut untuk mengantisipasi kegagalan dari kebijakan yang sudah dibuat.

Dalam aspek analisa pertama yaitu, bureaucratic role, hal yang perlu dianalisis disini adalah peran aktor-aktor yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan. Dalam proses formulasi kebijakan di Iran, yang berperan disini adalah Pemimpin Agung, Presiden, Council of the Guardian, menteri luar negeri, NSC, dan majles. Dalam pengembangan kebijakan luar negeri, hal yang paling utama dibutuhkan adalah informasi-informasi yang dikumpulkan melalui media massa, kedutaan besar Iran yang tersebar di seluruh dunia, warga negara lain,

think tank, serta sarjana-sarjana. Pemimpin Agung dalam formulasi kebijakan luar negeri Iran memegang peran utama dalam hal keputusan final, apakah ia akan menyetujui atau tidak.

(4)

Presiden dan staf kementriannya merupakan organ utama dalam proses pembuatan kebijakan, namun kebijakan ini tetap harus dibuat sesuai dengan Pemimpin Agung. Council of the Guardian disini perannya lebih kepada memberikan rekomendasi dan pedoman-pedoman yang dapat memastikan bahwa inisiatif pemerintah dalam proses formulasi kebijakan tidak menyalahi konstitusi yang ada. Kemudian ada National Security Council (NCS) yang merupakan suatu lembaga di bawah kontrol presiden dan stafnya. Di dalam lembaga inilah terjadi perdebatan dalam proses formulasi kebijakan. Pemimpin Agung mempunyai perwakilannya dalam lembaga ini. Aktor yang terakhir adalah majles. Majles disini tidak ikut campur dalam proses formulasi kebijakan luar negeri. Perannya disini lebih kepada membahas isu-isu internasional dan pemerintah butuh persetujuan Majles untuk bisa masuk dalam perjanjian internasional, traktat, maupun MoU.3

Masuk ke aspek kedua yaitu, procedural script. Procedural script disini adalah serangkaian struktur, strategi, dan operational code yang digunakan negara untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. Analisis Operational code sendiri mengacu pada belief dan keyakinan filosofis dari pemimpin negara, serta gaya dan model yang mereka pakai untuk mencapai suatu tujuan.4 Dengan kata lain, operational code sendiri dapat membantu kita untuk menentukan konsep dan tindakan dari suatu negara sehubungan dengan kebijakan luar negeri.

Dalam menganalisa aspek ini, kita dapat melihat dari cara Iran berperilaku di tengah isu pengembangan nuklir Iran. Pada tahun 2006, presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad pernah mengirimkan surat untuk presiden Amerika Serikat, George W. Bush. Surat tersebut secara tidak langsung telah mengkonstruksikan operational code-nya Iran tentang Amerika Serikat, yaitu, ekspektasi Iran tentang kemungkinan kebijakan dan strategi Amerika Serikat selanjutnya. Operational code ini juga secara tidak langsung mengkonstruksikan Amerika Serikat sebagai defender dan Iran sebagai challenger.

Selain itu, perilaku aktor itu sendiri, dalam hal ini Ahmadinejad, terbentuk dari apa yang terjadi di dalam perpolitikan domestik di Iran, identitas suatu kelompok besar, dalam hal ini identitas masyarakat Iran yang menjunjung tinggi nasionalisme dan kebanggan mereka sebagai bangsa Persia, serta kekhawatiran akan kelangsungan hidup politiknya.

3Ibid., halaman 147

(5)

Pada masa kekuasaan Reza Shah, Amerika Serikat menjadi aliasi dari Iran karena beberapa alasan, salah satunya adalah membendung ideologi komunis masuk ke Timur Tengah. Pada masa sekarang, Iran menjadi anti-Amerika Serikat. Namun Amerika Serikat sendiri tetap mempunyai kepentingan di Timur Tengah, khususnya di Iran yang diimplementasikan dalam kebijakan luar negerinya. Ada tiga alasan yang mendasari hal tersebut5:

a. Amerika Serikat tertarik dalam hal kepemilikan gas alam di Iran untuk kemudian dapat dipasok ke Eropa dan Jepang karena merasa tersaingi oleh China dan India yang juga sama-sama menguasai kepemilika sumber daya ini.

b. Melarang pembangunan pipa gas dari Kaspia, karena hal ini ditakutkan akan membentuk suau aliansi strategis antara Iran, Russia, dan China.

c. Hubungan Amerika Serikat-Israel yang sangat berpengaruh dalam formulasi kebijakan Amerika Serikat serta pengadaan senjata pemusnah massal di Iran.

Akhir-akhir ini, dalam pengembangan nuklirnya, Iran terkesan lebih keras menanggapi cibiran dari dunia internasional yang menginginkan denuklirisasi. Pada akhir tahun 2011, Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz. Selat Hormuz adalah selat yang menghubungkan negara-negara penghasil minyak di Teluk seperti Bahrain, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dengan Samudera Hindia. Sekitar 40% kapal tanker minyak dunia melewai selat tersebut.6 Iran melakukan hal tersebut sebagai ancaman jika Barat tetap memberikan sanksi pada Iran terkait pengembangan nuklirnya. Di samping itu, negara-negara besar juga menginisiasikan adanya perundingan damai dengan Iran agar Iran mau menutup fasilitas pengayaan uraniumnya. Di satu sisi, sebenarnya hal inilah yang meningkatkan kepercayaan diri Iran untuk terus melanjutkan pengembangan nuklirnya. Karena secara psikologis, Iran merasa kalau negaranya sudah mulai ditakuti oleh dunia internasional. Dari sini, kita bisa melihat bagaimana upaya-upaya yang dilakukan Iran dalam mencapai tujuannya.

5 Eva Patricia Rakel, The Iranian Political elite, state and society relations, and foreign relations since the Islamic revolution (Academisch Proefschrift), Duitsland: 2008, Universiteit van Amsterdam, halaman 164

6

Iran ancam akan tutup Selat Hormuz –

(6)

Kemudian aspek ketiga, yaitu cultural rationale. Pemimpin Agung Iran saat ini, Ayatollah Ali Khameini, cenderung melanjutkan kebijakan yang dicetuskan oleh Ayatollah Khomeini. Walaupun melanjutkan apa yang sudah ada sebelumnya, tetap saja ada perbedaan di antara kedua ulama besar tersebut.

Khomeini di samping adalah seorang pemimpin revolusi Islam Iran yang kharismatik, beliau juga diakui sebagai Marja'i Taqlid mutlaq (pemimpin agama tertinggi dalam Islam Syiah). Beliau juga merupakan pemimpin spiritual (faqih) dimana beliau mempunyai kekuasaan otoritatif atas politik dan agama. Khomeini disini karena memang latar belakangnya yang merupakan seorang pejuang revolusi Islam, gelar yang disandangnya sebagai faqih tentunya lebih kuat pengaruhnya dalam masyarakat. Segala sesuatu yang pernah diperjuangkan oleh Khomeini pada masa revolusi Islam 1979 sangat membekas di hati rakyat dan hal ini menjadikannya sebagai sosok pemimpin yang kharismatik.

Kepemimpinan Khamenei memang tidak sekharismatik Khomeini. Pengangkatan Ali Khamenei sendiri sebagai Pemimpin Agung kedua diinisiasi oleh Khomeini melalui surat wasiat. Sebelum Khomeini meninggal, konstitusi tentang kriteria seorang faqih diubah.

Faqih yang dulunya harus menyandang gelar ayatollah diganti menjadi tidak harus menyandang gelar ayatollah, yang penting adalah kemampuan agama orang tersebut tinggi. Hal ini menjadikan kedudukan faqih yang tadinya religius menjadi politis. Khomeini melakukan hal ini karena beliau merasa tidak ada kandidat-kandidat faqih yang benar-benar mampu meng-handle politik dan agama secara bersamaan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dengan didasari analisis data hasil observasi beserta temuan-temuannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Evaluasi

Secara amnya, jika dilihat purata min bagi setiap bahagian seperti dalam jadual 7, dapat digambarkan bahawa persepsi pelajar terhadap aktiviti kokurikulum berada dalam

Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan Bagi Mahasiswa Program Kependidikan Universitas Negeri

Hasil perhitungan data yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar siswa, pada kelas VII E, VII F, dan VII G mengalami peningkatan

MS 004 /POKJA/BULUSPESANTREN/2017 YULIANTI P CILACAP, 07 JULI 1981 DS SETROJENAR RT 01/V

Disarankan kepada rekan-rekan fisioterapi untuk menambahan jumlah subyek penelitian pada penelitian berikutnya, diupayakan dapat mengontrol aktivitas sampel penelitian yang dapat

Hasil uji-t terhadap koefisien jalur pada hubungan ini sebesar2,684 dengan nilai analisis jalur 0,231adalah signifikan (sig,t = 0,000), sehingga individu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran predisposing karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan, agama, suku), pengetahuan, sikap dalam penggunaan alat kontrasepsi