• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI DALAM SISTEM REFORMASI PERADILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "URGENSI DALAM SISTEM REFORMASI PERADILAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam lingkungan Angkatan Perang diperlukan adanya badan-badan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya mampu menegakkan keadilan dan hukum dan mampu menilai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan pembentukan Angkatan Perang. Yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Suatu organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan Negara untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

(2)

manusia para sipir dengan dengan berbagai macam pelatihan dan kursus, memberikan saran kepada Panglima TNI untuk segera merenovasi sarana prasarana Masmil yang sangat memprihatinkan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, disarankan perlu segera dibuat Ketentuan setingkat perundang-undangan yang bersifat nasional tentang Pemasyarakatan Militer yang sesuai dengan standar ketentuan nasional maupun internasional tentang pemasyarakatan.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakaqng masalah sebagaimana dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana Implementasi dan komitmen UU Peradilan Militer terhadap Reformasi dan Perlindungan Hak sipil dan politik ?

(3)

BAB II PEMBAHSAN

1. Implementasi dan Komitmen UU Peradilan Militer terhadap Reformasi dan Perlindungan Hak Sipil dan Politik

Penegakan hukum di Indonesia sebagai wujud dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan bahwa salah satu penyelenggara kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, termasuk susunan serta acaranya diatur dalam undang-undang tersendiri. Eksistensi pengadilan di lingkungan peradilan Militer juga dimuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, lingkungan Peradilan Umum dan Mahkahmah Konstitusi.

Hukum militer dan peradilan militer, terkait pula dengan soal perang dan pengertian-pengertian mengenai hukum keadaan darurat yang mengandung aspek-aspek yang berkaitan dengan hukum internasional. Seperti dikemukakan oleh Robert Barros dalam tulisannya tentang

Dictatorship and the rule of law: rules and military power inpinochet’s chile”,

“should be associate the rule of law only with democratic legal system or can we conceive of the rule of the law as an independent phenomenon that may aqually be associated with other from form of regime? In parlicular, can we speak of an authocratic or dictatorial rule of law? In principle, under specific conditions, both are compatible with non democratic forms of rule.”

(4)

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Peradilan Militer juga ditentukan demikian. Pasal 9 (1) Undang-Undang ini menentukan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada melakukan tindak pidana adalah:

a. Prajurit;

b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit; c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau dipersamakan

sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang;

d. Seorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, huruf c,tetapi atas keputusan panglima dengan persetujuan menteri kehakiman(sekarang menteri hukum dan HAM) harus di adili oleh pengadilan militer.

Suatu kekhususan dalam penyelesaian suatu perkara yang dilakukan oleh seorang militer ialah bahwa peran komandan yang bersangkutan tidak boleh diabaikan, bahkan adakalanya (misalnya dalam daerah pertempuran) lebih diutamakan daripada peran petugas penegak hukum.Suatu negara yang menjunjung tinggi hukum tanpa mengabaikan salah satu kepentingan sudah sewajarnya apabila diadakan keseimbangan antara asas unity of command (kesatuan komando) dan kesatuan penuntutan ( de een enondeelbaarheid van het parket).

Hukum Acara Pidana Militer dalam penerapannya memberlakukan asas-asas khusus yang merupakan norma-norma dalam tata kehidupan militer, yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buah dan asas kepentingan militer. Dalam penyelenggaraan fungsi pertahanan negara, prinsip kepentingan militer harus lebih diutamakan dari pada kepentingan golongan atau perorangan, termasuk dalam proses peradilan militer kepentingan militer lebih diutamakan dan diseimbangkan dengan tidak mengesampingkan kepentingan hukum.

(5)

diakui bahwa kekhususan itu bukan merupakan keistimewan akan tetapi suatu ketentuan yang lebih memperhatikan faktor khusus yang terdapat dalam bidang kemiliteran.

Reformasi TNI, bagian akhirnya adalah reformasi peradilan militer. TNI netral, tidak berpolitik, tidak berbisnis, semuanya sudah dilakukan oleh TNI. Namun yang masih dipersoalkan adalah peradilan militernya.

Karena akhir-akhir ini semakin kuat masyarakat terutama pemerhati HAM menghendaki terjadinya proses reformasi peradilan militer sebagai langkah untuk memutus satu mata rantai impunitas, sehingga perlu mendapat perhatian DPR-RI sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sebagai contoh Kasus penyerangan oleh anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) terhadap tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Cebongan, Sleman dapat menjadi momentum untuk merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Selain kasus tersebut Berbagai permasalahan dalam UU No. 31 Tahun 1997 yaitu, pertama, aturan hukum tersebut merupakan produk perundang-undangan yang dibangun oleh rezim Orde Baru (ORBA) dalam dominasi militer. Kedua, lemahnya praktek peradilan yang adil (fair trial)

(6)

militer, memiliki kewenangan penuntutan yang seharusnya merupakan kewenangan kejaksaan dalam perkara pidana. Sesungguhnya, agenda reformasi peradilan militer sudah menjadi mandat dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 65 ayat (2) yang berbunyi;

“Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

Urgensi reformasi terhadap peradilan militer sangat relevan ditempatkan pada komitmen terhadap reformasi dan perlindungan hak sipil dan politik. Salah satu dokumen politik kenegaraan yang penting buah reformasi adalah TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI. DPR-RI sebagai salah suatu lembaga yang menjiwai semangat dan spirit reformasi tersebut, perlu secara konsisten melanjutkan amanat TAP MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI. Keputusan politik tersebut, telah membagi peran TNI dan POLRI dan telah meletakan dasar penundukan prajurit TNI dalam peradilan militer umum apabila melakukan tindak pidana umum. Walaupun keputusan ini telah ditindaklanjuti dalam Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004, namun belum cukup apabila perubahan tersebut tidak menyentuh langsung pada undang-undang yang khusus mengatur Peradilan Militer, yaitu UU No. 31 Tahun 1997.

Di samping itu, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik atau Kovenan Sipol, (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Instrumen HAM pokok internasional lainnya, Kovenan Sipol ini tidak mengatur secara khusus sistem peradilan militer. Dalam kerangka reformasi peradilan militer kedepan, pasal-pasal dalam UU No. 31 Tahun 1997 harus dapat mengadopsi Pasal 14 Kovenan Sipol yang menganut prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam administrasi peradilan

(administration of justice) tentang prinsip-prinsip utama suatu peradilan, khususnya soal independensi institusi peradilan dan jaminan fair trial bagi mereka yang menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana.

(7)

kelahiran, atau status lainnya. Selanjutnya, penafsiran Pasal 26 Kovenan Sipol tentang prinsip persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai makna bahwa semua orang harus diperlakukan sama dalam suatu produk hukum dan legislasi. Sementara itu, perlakuan sama bukan berarti bentuk perlakuannya harus identik. Makna dari prinsip ini adalah suatu perlakuan yang sama harus diterapkan kepada suatu fakta yang polanya sama dan perlakuan yang berbeda harus diterapkan pada suatu fakta yang polanya berbeda.

Reformasi peradilan militer juga harus memperkuat secara kelembagaan jaminan indepedensi dan imparsialitas sistem peradilan militer dengan memperkuat hak dari tersangka dan hak-hak korban dan dapat diajukan banding terhadap putusan ke peradilan sipil yang lebih tinggi, misalnya ke Mahkamah Agung (MA).

Tuntutan DPR-RI untuk melakukan penyempurnaan terhadap sistem peradilan militer telah dilakukan dengan mengajukan RUU perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 oleh DPR-RI periode 2004–2009. Namun, terjadi perdebatan yang berkepanjangan antara DPR-RI dan Pemerintah mengenai substansi kewenangan peradilan militer sampai akhir masa periode DPR-RI 2004–2009. Kini perubahan tersebut mendapat dukungan yang kuat dari DPR-DPR-RI, tidak saja dari Anggota Komisi I, tetapi juga dari Komisi III. Anggota Komisi III DPR-RI Deding Ishak misalnya prihatin terhadap terjadinya kasus Cebongan dan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer dalam kasus tersebut. Pendirian Deding Ishak didasarkan pada pertimbangan aspek sosiologis dan yuridis merevisi UU No. 31 Tahun 1997.

(8)

2. Penerapan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia terhadap Pemasyarakatan Narapidana Tentara Nasional Indonesia

Prajurit TNI yang telah dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap serta tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer pada prinsipnya pelaksanaan pidananya dilaksanakan di tempat bangunan-bangunan yang dikuasai oleh militer sesuai dengan Pasal 10 KUHPM, yang berbunyi;

“Pidana penjara sementara atau pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti yang dijatuhkan kepada militer, sepanjanjang dia tidak dipecat dari dinas militer dijalani di bangunan-bangunan yang dikuasai oleh militer”.

Pelaksanaan kepenjaraan diatur dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1947 tentang Kepenjaraan Tentara merupakan penjabaran dari Staatsblad 1934 No. 169 dan 170 merupakan peninggalan Hindia Belanda yang bersifat penjeraan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kelembagaan pemasyarakatan militer dan tujuan pembinaan narapidana militer.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer diatur bahwa pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan militer atau ditempat lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk pembinaan. Pelaksanaan penyelenggaraan pemasyarakatan militer saat ini dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan internal TNI yang bersifat sementara. Penyelenggaraan pemasyarakatan militer khususnya pembinaan narapidana militer sampai saat ini tidak semua narapidana ditempatkan di lembaga pemasyarakatan militer, namun masih ada narapidana yang melaksanakan pidananya di Instalasi Tahanan Militer yang merupakan bagian dari struktur organisasi Polisi Militer dan di lembaga pemasyarakatan umum, mengingat tidak semua daerah tersedia fasilitas pelaksanaan pidana yang memenuhi syarat sebagai lembaga pemasyarakatan militer.

(9)

Pembinaan narapidana militer di lima Lembaga Pemasyarakatan Militer belum sepenuhnya menggunakan sistem pembinaan narapidana militer yang bertujuan untuk membentuk prajurit TNI yang memiliki jati diri TNI sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional dan Tentara Profesional.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Peraturan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi TNI, maka kedudukan, tugas dan fungsi lembaga pemasyarakatan militer sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 41 Tahun 1947 tentang Kepenjaraan Tentara yang semula di bawanh Menteri Pertahanan Keamanan, beralih di bawah Panglima TNI.

Di dalam Undang-Undang Pemasyarakatan Militer Nomor 41 tahun 1947 tentang Kepenjaraan Tentara, kewenangan pengawasan umum dan pengawasan tertinggi ada di Menteri Pertahanan, hal ini tidak sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang TNI dan tidak sesuai dengan adanya perubahan organisasi yang mengatur tentang tugas dan tanggung jawab Panglima TNI.

Kebijakan TNI yang menjadi dasar penyelenggaraan pemasyarakatan militer ditujukan untuk membina dan mengembalikan disiplin Napi TNI tertuang dalam Surat Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) Nomor Skep/792/XII/1997 tanggal 31 Desember 1997 pada Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer yaitu:

“Bahwa penyelenggaraan pemasyarakatan militer merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan terhadap Napi TNI dengan tujuan setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi prajurit TNI yang berjiwa Pancasila dan Sapta Marga”.

(10)

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya pada Pasal 65 ayat (2) yang menyatakan :

"Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dalam UU".

Dengan telah diundangkannya didalam suatu peraturan perundangundangan memiliki pengertian bahwa ketentuan tersebut telah memiliki ketentuan hukum yang mengikat, yang harus dilaksanakan isi dari amanat tersebut. TNI sebagai alat negara suka atau tidak suka, cepat atau lambat harus menghormati dan melaksanakan isi dari ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004. Selama ini prajurit TNI yang melakukan tindak pidana baik pidana umum maupun militer tunduk pada yurisdiksi Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, namun dengan adanya ketentuan Pasal 65 ayat (2) bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum merupakan kompetensi dari peradilan umum. Ketentuan pasal 65 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tidak serta merta langsung dapat diterapkan karena untuk dapat dilaksanakan terlebih dahulu harus diterbitkan peraturan pelaksanaannya. Selain itu dalam rangka pelaksanaan Pasal 65 ayat (2) masih harus dipersiapkan beberapa perangkat hukum yang harus disesuaikan (direvisi) terlebih dahulu antara lain, KUHP, KUHPM, KUHAP dan HAPMIL, serta Undang-Undang Pemasyarakatan Militer.

Di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Umum, pola pembinaan Napi sudah mengacu pada Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sedangkan di lingkungan Pemasyarakatan Militer masih mengacu pada Peraturan Penjara Staatblad 1934 Nomor 169 dan 170 yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1947 tentang Kepenjaraan Tentara.

(11)
(12)

BAB III PENUTUP SIMPULAN

1. Bahwa Perbedaan pandangan politik hukum kewenangan atas tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota militer merupakan suatu bentuk perbedaan antara pandangan yang konsisten dan yang tidak konsisten untuk melanjutkan reformasi nasional yang dimulai dari tahun 1998. Substansi dari agenda perubahan atau reformasi peradilan militer adalah memastikan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan prinsip-prinsip HAM serta tidak ada perlakuan khusus terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum atas warga negara lain dalam bentuk kompetensi peradilan militer. Revisi terhadap UU No. 31 Tahun 1997 merupakan sesuatu yang urgen untuk menjamin proses peradilan yang adil dengan mengubah ketentuan Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997 yang mendasarkan kewenangan peradilan militer pada tempat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit menjadi kewenangan atas tindak pidana militer dalam arti, bukan mengadili tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI. Ketentuan ini dimaksudkan supaya selaras dengan prinsip persamaan di depan hukum serta Kovenan Sipol yang berlaku secara universal.

(13)

SARAN

1. Seharusnya setiap TNI yang melakukan suatu tindak pidana umum selaian dihukum didalam Peradilan Militer juga harus dihukum didalam Persidangan Umum karena menyangkut masalah umum atau masyarakat sipil/biasa, sehingga terbukanya prinsip persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai makna bahwa semua orang harus diperlakukan sama di muka hukum.

(14)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Bagir Manan (eds). (1996). Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum.Kumpulan Essai Guna Menghormati Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignyo,SH.,Jakarta : Gaya Media Pratama.

Barda Nawawi Arief (2006).Barda Nawawi Arief, Menuju Sistem Peradilan Militer yang Sesuai dengan Reformasi Hukum Nasional dan Reformasi Hukum TNI, Makalah disampaikan pada Workshop Peradilan Militer,Dephan RI-Kerdutaan besar Jerman-FRR Law Office, Hotel Salak Bogor,Maret.2006

Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara RI 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

Artikel

Inosentius Samsul. Urgensi Reformasi Peradilan Militer. Info Singkat Vol. V. No. 18/II/P3DI/September/2013.

Eko Karyadi. (2011). Implementasi Pemasyarakatan Narapidana Tentara Nasional Indonesia di Lembaga Pemasyarakatan Militer Pasca Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang: diterbitkan.

(15)

MAKALAH

URGENSI DALAM SISTEM REFORMASI PERADILAN MILIER DAN

SISTEM PEMASYARAKATAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL

INDONESIA

Disusun

Anggy Eka Cahya Nugraha

E0011023

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Referensi

Dokumen terkait

Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan

Ubah data Data golongan yang akan dirubah di dalam database, klik simpan maka Data pada server Database akan berubah. Data golongan yang akan dirubah di dalam database,

Secara berkelanjutan, pada tahun 2016 dalam pertemuan APEC di Peru yang mengangkat tema “Quality Growth and Human Development” yang melihat kualitas manusia dalam

Deskripsi data tentang keterampilan kepemimpinan kepala sekolah pada penelitian ini dibuat angket yang terdiri dari 13 item pernyataan yang kemudian diukur dengan skor 1

Pada contoh Gambar 3.9 file data raster memiliki ekstensi .asc dan telah tergeoreferensi sehingga akan menempati lokasi yang benar dalam peta QGIS.. Apabila data raster

Pada acara ini, pihak pesantren mengundang pula para habaib (ahlu bait Nabi), baik dari Jombang dan sekitarnya, sebagai penghormatan bagi keturunan dari Nabi Muhammad

[r]

PERANAN ORGANISASI GREENERATION INDONESIA DALAM MENGEMBANGKAN KARAKTER PEDULI LINGKUNGAN SEBAGAI WUJUD PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: Studi kasus terhadap organisasi