KEWENANGAN PERADILAN MILITER PASCA
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 34 TAHUN 2004
TENTANG
TENTARA NASIONAL INDONESIA
TESIS
Oleh
PAUL SIHOMBING
0670055037/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEWENANGAN PERADILAN MILITER PASCA
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 34 TAHUN 2004
TENTANG
TENTARA NASIONAL INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
PAUL SIHOMBING
0670055037/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : KEWENANGAN PERADILAN MILITER PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA Nama Mahasiswa : Paul Sihombing
Nomor Pokok : 077005037 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 10 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS
Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum
2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
ABSTRAK
Penulisan ini mengkaji kewenangan Peradilan Militer pasca berlakunya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini bertitik tolak dan Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR No: VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri yang ada kaitannya dengan pertahanan keamanan (HANKAM) karena pertahanan dan keamanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena merupakan politik nasional untuk mencapai tujuan negara. Kemudian diikuti Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang penundukan Militer pada peradilan umum dalam melakukan Tindak Pidana Umum. Sedangkan militer sudah merupakan Yustisiabel Peradilan Militer termasuk Civil yang berhubungan dengan Pertahanan Keamanan Negara (Bangsa dan Negara).
Politik nasional (negara) harus mampu menerapkan kebijakan pertahanan keamanan sebagai suatu strategi nasional untuk dapat mencapai tujuan nasionalnya. Kebijakan strategi pertahanan keamanan (Hankam) menyangkut harkat martabat bangsa, untuk itu politik negara hendaknya memahami akar kewibawaan negara yang merupakan konsensus dasar yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam mencapai tujuan fungsi dan hakekat Hankamnas. Guna penyelesaian permasalahan yang melemahkan Hankamnas baik pertahanan yang menyangkut tugas fungsi militer sebagai aparat pertahanan yang menyangkut kewajiban pelibatan seluruh rakyat, bila tidak terlaksana akan dapat merongrong keamanan nasional (keamanan melalui pembinaan suatu ketertiban dan keamanan penegakan hukum, pembinaan pertahanan keamanan dalam rangka mewujudkan stabilitas nasional. Dengan demikian negara kita tidak terpengaruh kepada situasi yang melemahkan martabat bangsa dimata dunia. Hal ini merupakan kendala bagi Hankamnas, karena menyangkut tugas TNI sebagai penegak Kedaulatan. Akar permasalahan dari ketidakamanan berhubungan dengan ketertiban sipil melalui penegakan hukum hendaknya bersifat Out Word Looking “sekaligus” Inword Looking sebab dalam politik negara harus merupakan kebulatan Hankamnas, Pertahanan, Keamanan yang tercermin dalam politik luar negeri. politik dalam negeri, serta hukum dan HAM sebagai bagian dari kepentingan nasional maka satu sama lain harus terkait erat dan bersinergi dengan tujuan nasional masyarakat yang adil dan makmur.
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze the authority of military court after the issuance of Law No. 34/2004 on the Indonesian National Army. The focus of study is based on Article 3 (4) a of Decision of MPR (the People’s Advisory Assembly) No: VII/MPR/2000 on the roles of the Indonesian National Army and the Indonesian Police related to defence and security which are inseparable and become the national politics to achieve the state objectives and Article 65 (2) and (3) of Law No.34/2004 on the subjection of military to public trial in performing general criminal act while the military has been subjugated into a justifiable military court including the civilian related to State Security Defense ( Nation and State).
National politics (state) must be able to apply the policy of security and defense as a national strategy to achieve the national objectives. The policy of security and defense strategy concerns with the nation’s dignity and values, therefore, the national politics should understand the national authority which has been a basic consensus namely Pancasila, UUD 1945, NKRI, and Bhinneka Tunggal Ika in achieving the objective, function and essence of Hankamnas (National Security and Defense). To settle the problem that weakens the National Security and Defense either the defense relating to the duty and function of military as defense apparatus or the involvement of all people because if not implemented it can disturb the national security (security through the development of order and security in law enforcement, the development of defense and security to materialize the national stability).So our country will not be influenced to the situation that weakens the dignity of our people in international relation. This becomes a constraint for Hankamnas because it is related to the duty of the Indonesian National Army as sovereignty upholder. The root of insecurity problem related to civilian order through law enforcement should be both out-world looking and in-world looking because in politics, state must be the unity of National Security Defense, Defense, Security portrayed in international politics, domestic politics, and law and human rights as part of national interest that they must be tightly related to each other and have synergy with the national objective of just and prosperous society.
Key words: Authority, of law Tribunal, Indonesian National Army
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dan Pengasih, karena atas
kasih dan berkatNya tesis yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan
Studi pada Pascasarjana Program Studi Ilmu Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara ini dapat terselesaikan.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS., Prof. Runtung Sitepu,
SH, M.Hum., Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH., M.H. Semua atas segala
bimbingan kesabaran dan ketelitian serta tauladannya, di tengah-tengah
kesibukan Beliau. Semoga Beliau senantiasa mendapat Berkat dan Rahmat Yang
Melimpah dan semakin diberi Kebijaksanaan serta umur panjang oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa. Begitu pula kepada seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staf
Pengajar, Staf Pasca Sarjana Ilmu Hukum atas bantuan dan pelayanan yang baik.
Dalam kesempatan ini, secara khusus disampaikan ucapan terima kasih
kepada Prof. Dr. Suhadi, SH., MH., Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum atas
koreksi, kritik dan saran demi sempurnanya tulisa ini, semoga Bapak senantiasa
diberi kemurahan dan kemudahan dalam melaksanakan tugas mulia Bapak.
Melalui kesempatan ini, secara khusus disampaikan ucapan terima kasih
kepada Istri dan anak-anakku atas pengertian, kesabaran dan dorongan serta doa
yang senantiasa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih agar penulis
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Hukum Kodam I/BB,
Kepala Pengadilan Militer Tinggi I – Medan, Kepala Oditurat Militer Tinggi I –
Medan, atas bantuan berupa pemberian ijin dan kesempatan serta kerjasama dan
pengertian Bapak juga.
Kepada Pengadilan Militer I – 02 Medan dan Kepala Oditur Militer I – 02
Medan, Kamasmil dan juga, Sdra/i para senior dan rekan-rekan sekerja di Badan
Peradilan Militer Medan serta Kepala Pemasyarakatan Militer (Ka. Masmil) atas
bantuan berupa moral dan materil, dan kepada semua rekan, sobat dan
handaitaulan yang telah menyiapkan dan memberikan data yang dibutuhkan,
demikuan pula rekan-rekan Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan 2006/2007, serta berbagai pihak
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang turut membantu dalam hal
pemberian data dan bahan diskusi, sehingga terselesaikannya penulisan ini.
Selanjutnya, seperti pepapatah tiada gading yang tak retak, maka disadari
sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini,
karena keterbatasan yang ada pada penulisan, oleh karena itu segala saran dan
masukan serta kritik yang positif dan konstruktif sangat diharapkan dalam rangka
kesempurnaan penulisan ini.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi mereka yang
membutuhkannya.
Medan, Agustus 20009 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Paul Sihombing
Tempat/Tanggal Lahir : Deli Tua, 13 November 1963
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : TNI AD
Alamat : Jalan Gaperta VII No. 26 H Medan
Pendidikan : SD Negeri 1 Deli Tua Tamat Tahun 1976
SMP Khatolik Delimurni Deli Tua Tamat Tahun 1980
SMA Khatolik Delimurni Deli Tua Tamat Tahun 1983
Strata Satu (S1) Sekolah Tinggi Hukum Militer Tamat Tahun 1999
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 11
C. Tujuan Penelitian... 11
D. Manfaat Penelitian... 12
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14
G. Metode Penelitian ... 25
BAB II LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER DALAM KEPENTINGAN PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA ... 29
A. Peradilan Militer Pada Masa Penjajahan Belanda... 59
B. Masa Penjajahan Jepang ... 65
C. Masa Kemerdekaan Indonesia ... 67
D. Peradilan Militer Masa R.I.S Tahun 1949-1950 ………… ... 79
E. Peradilan Militer Masa Berlakunya UUDS tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 ………... .. 81
F. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966 ... .. 85
G. Peradilan Militer Tahun 1966 sampai dengan tahun 1997 . .. 92
BAB III KEWENANGAN PERADILAN MILITER BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 34 TAHUN
2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA ... 134
A. Ruang Lingkup ... 134
1. Prajurit ... 135
2. Hukum Pidana Militer ... 137
3. Hukum Pidana Umum ... 139
4. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Militer ... 142
5. Persamaan KUHP dengan KUHPM ... 145
6. Kekhususan KUHPM vis – a – vis KUHP ... 145
B. Sistem Peradilan Pidana Militer... 153
1. Perbedaan Komponen SPP dengan Komponen SPPM... 154
2. Asas Hukum Acara Pidana Militer ... 155
3. Komponen Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) ... 157
4. Proses pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh militer ... 168
C. Perundang-Undangan Yang Mengatur Penundukan Militer Kepada Kekuasaan Peradilan Umum Dalam Melakukan Tindak Pidana Umum ... 171
BAB IV EKSISTENSI PERADILAN MILITER... 180
A. Susunan Pengadilan ... 181
B. Hal-hal yang Menjadi Dasar Pemikiran Masyarakat yang Menghendaki Militer Tunduk pada Peradilan Umum Dalam Melakukan Tindakan Umum... 185
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 196
A. Kesimpulan ... 196
B. Saran ... 197
ABSTRAK
Penulisan ini mengkaji kewenangan Peradilan Militer pasca berlakunya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini bertitik tolak dan Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR No: VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri yang ada kaitannya dengan pertahanan keamanan (HANKAM) karena pertahanan dan keamanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena merupakan politik nasional untuk mencapai tujuan negara. Kemudian diikuti Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang penundukan Militer pada peradilan umum dalam melakukan Tindak Pidana Umum. Sedangkan militer sudah merupakan Yustisiabel Peradilan Militer termasuk Civil yang berhubungan dengan Pertahanan Keamanan Negara (Bangsa dan Negara).
Politik nasional (negara) harus mampu menerapkan kebijakan pertahanan keamanan sebagai suatu strategi nasional untuk dapat mencapai tujuan nasionalnya. Kebijakan strategi pertahanan keamanan (Hankam) menyangkut harkat martabat bangsa, untuk itu politik negara hendaknya memahami akar kewibawaan negara yang merupakan konsensus dasar yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam mencapai tujuan fungsi dan hakekat Hankamnas. Guna penyelesaian permasalahan yang melemahkan Hankamnas baik pertahanan yang menyangkut tugas fungsi militer sebagai aparat pertahanan yang menyangkut kewajiban pelibatan seluruh rakyat, bila tidak terlaksana akan dapat merongrong keamanan nasional (keamanan melalui pembinaan suatu ketertiban dan keamanan penegakan hukum, pembinaan pertahanan keamanan dalam rangka mewujudkan stabilitas nasional. Dengan demikian negara kita tidak terpengaruh kepada situasi yang melemahkan martabat bangsa dimata dunia. Hal ini merupakan kendala bagi Hankamnas, karena menyangkut tugas TNI sebagai penegak Kedaulatan. Akar permasalahan dari ketidakamanan berhubungan dengan ketertiban sipil melalui penegakan hukum hendaknya bersifat Out Word Looking “sekaligus” Inword Looking sebab dalam politik negara harus merupakan kebulatan Hankamnas, Pertahanan, Keamanan yang tercermin dalam politik luar negeri. politik dalam negeri, serta hukum dan HAM sebagai bagian dari kepentingan nasional maka satu sama lain harus terkait erat dan bersinergi dengan tujuan nasional masyarakat yang adil dan makmur.
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze the authority of military court after the issuance of Law No. 34/2004 on the Indonesian National Army. The focus of study is based on Article 3 (4) a of Decision of MPR (the People’s Advisory Assembly) No: VII/MPR/2000 on the roles of the Indonesian National Army and the Indonesian Police related to defence and security which are inseparable and become the national politics to achieve the state objectives and Article 65 (2) and (3) of Law No.34/2004 on the subjection of military to public trial in performing general criminal act while the military has been subjugated into a justifiable military court including the civilian related to State Security Defense ( Nation and State).
National politics (state) must be able to apply the policy of security and defense as a national strategy to achieve the national objectives. The policy of security and defense strategy concerns with the nation’s dignity and values, therefore, the national politics should understand the national authority which has been a basic consensus namely Pancasila, UUD 1945, NKRI, and Bhinneka Tunggal Ika in achieving the objective, function and essence of Hankamnas (National Security and Defense). To settle the problem that weakens the National Security and Defense either the defense relating to the duty and function of military as defense apparatus or the involvement of all people because if not implemented it can disturb the national security (security through the development of order and security in law enforcement, the development of defense and security to materialize the national stability).So our country will not be influenced to the situation that weakens the dignity of our people in international relation. This becomes a constraint for Hankamnas because it is related to the duty of the Indonesian National Army as sovereignty upholder. The root of insecurity problem related to civilian order through law enforcement should be both out-world looking and in-world looking because in politics, state must be the unity of National Security Defense, Defense, Security portrayed in international politics, domestic politics, and law and human rights as part of national interest that they must be tightly related to each other and have synergy with the national objective of just and prosperous society.
Key words: Authority, of law Tribunal, Indonesian National Army
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah perebutan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. melahirkan komitmen bangsa, jati diri bangsa keyakinan percaya pada kekuatan sendiri dan melahirkan tradisi kepejuangan.
Lahirnya peradilan militer tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah. Lahirnya Tentara Nasional Indoensia (TNI) yang telah melahirkan keamanan bagi bangsa dan negara yakni TNI dengan Rakyat bersatu padu mengusir penjajah dari bumi Indnesia meskipun telah banyak menelan korban para pahlawan perintis kemerdekaan gugur sebagai patriot, pahlawan heroik dengan gagah perkasa, berani menentang maut, sebagai bukti kecintaan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia meski harus berkorban jiwa dan raganya.
Sejalan sejarah perebutan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan telah disusun pula oleh para Pahlawan Perintis Kemerdekaan (BPUPKI). Konsep dasar negara kita oleh putra-putra terbaik bangsa yakni Soekarno, Soepomo dan Hatta yang kemudian menjadi Komitmen bangsa Indonesia yang berdaulat, maka lahirlah Pancasila Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Peradilan militer sebagai lembaga/peradi1an khusus bagi militer yang sudah ada sebelum Perang Dunia I dan terselenggara diberbagai negara. Peradilan
dan eksis serta fleksibel sebagai penegak hukum dan keadilan, juga sebagai perekat bangsa. Lahirnya keamanan merupakan kesadaran, keinginan, kerelaan,
sebagai perwujudan putra-putri terbaik pahlawan bangsa, dan pahlawan tumbuh dari rasa persatuan, rasa senasib terhadap tanah air tercinta yang telah membentuk barisan keamanan oleh pejuang-pejuang rakyat. Kemudian
terbentuknya BKR, TKR, TRI dan menjadi TNI, hal ini merupakan tonggak keamanan bangsa dan negara yang merupakan catatan sejarah.
Pada tanggal 30 September 1945 Pemuda Pemudi yang mencintai
kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 membentuk organisasi massa Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) di Aceh berdiri Ikatan Pemuda Indonesia (IPI). Di medan berdiri Barisan Pemuda Indonesia (BPI), Pemuda
Republik Indonesia (PRI) di Riau berdiri Pemuda Indonesia (PI). Organisasi-organisasi massa yang banyak berdiri itulah diantaranya menjelma menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Tanggal 10 Oktober 1945 secara resmi terbentuk TKR, tanggal 12 Oktober
1945 di Aceh berdiri TKR devisi V, Tanggal 10 Oktober 1945 di Sumatera Timur
berdiri TKR Devisi IV, Tanggal 10 Nopember 1945 di Tapanuli berdiri TKR
Divisi VI dan Tanggal 1 Juni 1946 di Sumatera Tengah (Sumatera Barat-Riau)
berdiri TKR Divisi III. Tanggal 13 Desember 1949 dibentuk Komando Tentara
Teritorium Sumatera Utara (KOTT-SU). 1
Dalam perjalanan sejarah Peradilan Militer telah banyak mengalami perubahan-perubahan, namun di Era Reformasi telah pula terjadi pergesaran
1
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Saat ini masih terus berlangsung revisi terhadap Peradilan Militer sebagai usul DPR terhadap
Pemerintah sebagaimana terdapat dalam TAP MPR dan tertuang dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam teori atau filsafat hukum, agar hukum ditaati, (maksudnya) ada tiga
dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, ssosiologis dan filosofis. Karena peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik harus
mengandung ketiga unsur tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsur itu? Hal ini akhirnya sangat tergantung pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan
perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur
kebaikan hukum dari “rechtsidee” tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis.2
TNI sebagai Wadah pengabdian, pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia telah timbul keyakinan yang kuat tentang hakikat pertahanan dan keamanan negara (Hankamneg) yaitu perlawanan rakyat semesta, yang dilaksanakan dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) dimana TNI sebagai angkatan perang terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU), yang menjadi komponen
2
utama kekuatan Hankamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan Hamkamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan siap yang relatif kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilisasi yang tinggi dan kekuatan cadangan yang cukup.
Peradilan Militer merupakan wadah, pembinaan prajurit TNI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan, pertahanan maupun keamanan negara. Dalam hal itu pembinaan prajurit TNI merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap Komandan/Pimpinan satuan TNI yang bersangkutan mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. 3 Tugas dan beban yang berat dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan NKRI dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta. Sejalan dan searah dengan sejarah perkembangan Peradilan Militer di Indonesia dan masa ke masa
a. Peradilan Militer pada masa penjajahan
b. Peradilan Militer pada masa perang kemerdekaan (1945-1949) c Peradilan Militer masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950) d. Peradilan Militer masa berlakunya UUDS (1950-1959)
e Peradilan Militer Periode 5 Juli I 959 sampai dengan 11 Maret 1966. f Peradilan Militer 1966 sampai dengan 1997.
g. Peradilan Militer Tahun 1997 sampai dengan sekarang.
Peradilan militer telah berjalan sebagaimana mestinya dan telah melaksanakan reformasi. Perubahan sistim dan sistem dan unsur-unsur pidana
3
akan sangat berpengaruh terhadap sub sistem lainnya. Hal ini juga menyangkut legalitas baik legal structure, legal substance dan legal culture Doktrin-doktrin yang terdapat dalam hukum militer dan hukum acara pidana militer.
Generasi yang menjalankan negeri saat ini memang bukanlah mereka yang bermandikan peluh darah dalam memperjuangkan kemerdekaan, bila tidak kita lestarikan, bisa saja apapun yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala. Akibat kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan dihargai. 4
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa para pahlawannya Kata-kata bijak ini mengandung makna yang dalam dan sangat berarti bila kita mengenang dan memaknainya dengan menghargai perjuangan para pahlawan kita, yang rela berkorban jiwa raga demi bangsa dan tanah air tercinta. Para pahlawan yang gugur di medan tempur dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, gugur menjadi bunga kesuma bangsa yang tidak ternilai harganya. Hal inilah yang diwariskan oleh para pahlawan patriot bangsa dengan keberanian dan rela berkorban seogianya kita jadikan benteng dihati sanubari setiap anak bangsa untuk melanjutkan cita-cita negara dalam mengisi kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia tercinta. Semboyan para pejuang kita dalam meraih kemerdekaan “lebih baik hancur lebur bersama debunya kemerdekaan, dari pada hidup subur di alam penjajahan”
4
www.indonesia. Kemarin. Perihal Sejarah Perjuangan Indonesia Dalam Menyambut
Sejarah Perjuangan bangsa ini pulalah yang melahirkan patriot putra-putra
bangsa. Berperang mengusir penjajah dengan gagah perkasa dalam gabungan
kesatria-kesatria dengan laskar pejuang-pejuang lainnya walau dengan
persenjataan yang amat sederhana, terkenal dengan bambu runcingnya melawan
meriam dan mortir belanda. Dari laskar pejuang yang berubah menjadi BKR,
TKR, TRI, TNI inilah penjelmaan rakyat Indonesia dalam perjuangan menjadi
tradisi bangsa manunggal TNI dengan rakyat. Dari pengalaman perjuangan yang
panjang TNI sebagai penjelmaan seluruh rakyat mampunyai tugas dan fungsi
sebagai penegak kedaulatan.
Dalam teorinya: Teori kedaulatan rakyat bertolak dari persefsi bahwa
sesungguhnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara,
bukan Penguasa karena penguasa condong mempertahankan dan memperluas
kekuasaannya, maka perlu adanya pembatasan-pembatasan atas kekuasaan yang
diserahkan kepada penguasa itu.5
Menurut John Locke utama mengadakan suatu perjanjian masyarakat
untuk membentuk negara adalah untuk mempertahankan hak-hak asasi. Dalam
perjuangan masyarakat tadi ketika dilakukan penyerahan hak-hak tersebut karena
menurut anggapan John Locke kekuasaan seorang Dewan/Pemerintah yang tanpa
batas (absolut) dikhawatirkan dapat memperkosa hak asasi. Jadi anggap dapat
melenyapkan hakekat dan tujuan membentuk negara.6
5
Majalah Advokasi Hukum, Konsep Kedaulatan Rakyat, Edisi 16 Juni 2009.
6
Distorsi militer pada masa orde baru dengan rezim yang sangat kuat tidak
terlepas dari pendelegasian kewenangan TNI sebagai penegak kedaulatan dan
sebagai kekuatan pertahanan keamanan.
Peradilan Militer dalam masa periode tahun 1966 sampai dengan tahun
1998 sebagai awal reformasi, pada masa tersebut TNI telah begitu kuat dan
disebut rezim militer yang dinamakan Orde Baru. Hal ini harus diakui
merupakan distrorsi yakni kekuatan politik yang dominan tanpa tantangan yang
berarti dari kekuatan politik sipil terhadap otoritasnya. Kesalahan orde baru ini
disebut rezim militer, terutama dalam bidang kekaryaan, yang dapat melahirkan
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Negatifnya TNI dapat melakukan
pelanggaran HAM yaitu hak demokrasi. Namun dari sisi lain (positifnya)
Indonesia telah dapat mempersatukan Asia dan diperhitungkan oleh bangsa dunia.
Pada masa orde baru telah terjadi krisis, dimulai dari krisis moneter sampai
dengan krisis global termasuk krisis kepercayaan. Dengan adanya penyelewengan
seperti : Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan
penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini hendaknya diikuti langkah-langkah nyata
dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Hingga pada saat ini masih
terjadinya campur tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan
kerancuan hukum yang mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada bagian sistem
(rechtstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat).7 Perwujudan hal
tersebut adalah dengan memainkan peran hukum sebagai pengatur sekaligus
pengawas dalam tata kehidupan nasional dengan tujuan agar tercapainya suatu
ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum.
Apa yang kita perbuat hari ini, juga merupakan sejarah depan generasi
penerus bangsa, akankah kita warisi “Devide et Impera” apakah kita melupakan
komitmen perjuangan kemerdekaan bangsa kita? karena hari ini juga merupakan
sejarah hari esok. Benar kata pepatah jangan tunggu sampai esok, apa yang dapat
kau kerjakan hari ini sesal kemudian tak berguna. Sejarah perjuangan
kemerdekaan kita merupakan saksi hidup yang hendaknya tetap melekat dihati
sanubari setiap anak bangsa. Satu-satunya yang tidak berubah dan tak pernah
berubah adalah sejarah, hal ini merupakan tugas dan kewajiban pemerintah dalam
politik nasional atau politik negara untuk membenahi sistim Hankamnas dalam
penyelenggaraan keadilan suatu negara, karena yang terjadi saat ini, saling
tumpang tindih dan tidak saling memperkuat/memelihara antara satu sistem
dengan sistim lainnya. Untuk hal itu diperlukan pengaturan pula guna
mendukung sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum dan pemeliharaan
ketertiban umum
Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1997 di
sebutkan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer merupakan badan
kekuasaan Kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata dan pelaksanaan
7
kekuasaan kehakiman sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.8
Dalam Pasal 9 ayat (1) Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah
a. Prajurit
b. Yang menurut Undang-undang dipersamakan dengan prajurit
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan-badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-undang. d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a. b. dan huruf c, tetapi
atas keputusan Panglima TNI dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.9
Saat ini Peradilan Militer baik pembinaan organisasi administrasi, tehnis dan finansial Peradilan Militer sudah berada dibawah Mahkamah Agung, akibat reformasi, krisis kepercayaan terhadap Peradilan Militer dianggap kebebasan
yang tidak mandiri masih campur tangan Mabes, kurang terbuka, sebagian masyarakat menganggap Peradilan Militer impunity karena keberadaan ankum dan adanya Papera, menjadikan penghambat, Peradilan Militer hanya berlaku
bagi anggota bawahan sedangkan petinggi militer tidak.
Dasar hal tersebut, atas hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang dibahas konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal yang
8
Undang-Undang No. 31 tahun 1937 tentang Peradilan Militer.
9
sangat mendasar adalah dalam konsep RUU mengenai perubahan atas Undang-undang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Yaitu dengan keluarnya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 3 ayat (4) mengatur “
a Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
b. Kekuasaan Peradilan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) tidak berfungsi maka prajurit TNI tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan Undang-undang.
Sampai saat ini, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, atau tindak pidana militer yang diatur dalam KUHPM, maupun tindak pidana lain yang tersebar di luar KUHP, seperti : Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Lalu Lintas dan lain-lain masih diadili dalam Peradilan Militer. Kecuali untuk perkara-perkara yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih yang masing-masing tunduk pada justisiabel peradilan yang berbeda, yaitu dilakukan oleh orang sipil (tunduk pada justisiabel peradilan umum) dan militer (tunduk pada justisiabel peradilan militer) atau yang dikenal dengan istilah perkara koneksitas, maka telah ditentukan dengan ketentuan, apabila kepentingan militer yang lebih banyak dirugikan, ia akan diadili oleh pengadilan militer, tetapi apabila kepentingan sipil lebih banyak dirugikan maka ia akan diadili oleh pengadilan umum.
kepentingan mengadili yang disebut dengan yurisdiksi (kekuasaan memeriksa dan mengadili) sedangkan yustisiabel mempersoalkan tentang asas-asas yang diperiksa dan diadili. Dengan demikian ketentuan-ketentuan mengenai yurisdiksi dapat juga ditafsirkan sebagai ketentuan-ketentuan mengenai justisiabel-justisiabel menyangkut hukum materil atau KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) sedangkan jurisdiksi merupakan hukum acara pidana militer adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997.
B. Permasalahan
Selanjutnya untuk membatasi dan memfokuskan penelitian ini diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi landasan Filosofis Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ?
2. Apakah ketentuan Perundang-undangan telah dapat mengakomodir penundukan militer pada peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum ?
3. Bagaimana kewenangan Peradilan Militer dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negera ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini adalah mengenai hal-hal sebagai berikut :
dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia terutama Pasal 65 ayat (2) dan (3) serta landasan Hukum Militer dan koneksitas agar dapat memenuhi legalitas perundang-undangan sehingga dapat diberlakukan, Perundang-undangan yang telah ada, dapat diberlakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang dimaksud.
2. Sebagai deksripsi analitis tentang eksistensi prajurit dalam mengemban tugas negara khususnya sebagai Penegak Kedaulatan, Keutuhan NKRI dan
Keselamatan Bangsa dan Negara. Peradilan Militer juga merupakan penangkal terhadap segala bentuk ancaman dari dalam maupun dari luar negeri terhadap sistem pertahanan bangsa yang dikenal dengan Sishankamrata,
agar menjadikan pedoman pengemban tugas dan kewajiban prajurit TNI dalam pelaksanaan tugas ke depan di masa damai dan masa perang, diperlukan kekhususan peradilan bagi militer untuk dapat melaksanakan tugas
dan fungsi dengan penuh wibawa dan dicintai rakyat, karena TNI sebagai bhayangkara negara, benteng terakhir bangsa dan negara, dalam menegakkan kedaulatan diperlukan regulasi dan delegasi yang menjadikan kekuasaan dan
kewenangan dalam memikul tugas dan tanggung jawab TNI ke depan.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini tujuan-tujuan yang ingin dicapai untuk memberikan masukan terhadap kegiatan revisi RUU No. 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer maka diharapkan
1. Secara teoritis, sebagai sumbangan pemikiran baik berupa perbendaharaan konsep-konsep pemikiran, metode atau teori dalam khasanah studi ilmu
hukum pada umumnya dan hukum militer pada khususnya yang sangat erat dan sarat terhadap pertahanan keamanan (Hankam) terutama yang menyangkut kewenangan peradilan militer, asas-asas militer, aspek-aspek
militer sebagai subjek hukum yang termaktub dalam hukum pidana militer sebagai hukum materil dan peradilan militer sebagai hukum Pidana Formil, serta hukum Disiplin militer yang tumbuh dan berkembang dengan penuh
kesadaran pribadi yang lahir dengan tulus dan iklas, tercermin dalam sikap dan tingkah laku sebagai insan prajurit, yang sapta margais menjungjung tingi nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menghargai jasa-jasa
para Pahlawan Kemerdekaan yang merupakan sosok pengabdian, sebagai aset bangsa yang dapat dijadikan dasar serta landasan untuk pedoman cinta tanah air, bela negara dalam menghadapi ancaman, gangguan hambatan dan
tantangan baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut merupakan sifat awal untuk pengabdian terhadap bangsa dan negara, sifat dasar untuk pembinaan, pengembangan postur prajurit dalam fungsi
pertahanan, dalam menegakkan hukum dan keadilan demi bangsa dan negara tercinta.
2. Secara praktis menghentikan praktek-praktek dan arogansi terhadap
komponen bangsa dalam memberikan penilaian dan masukan bagi pembangunan hukum yang mendukung Hankanmeg untuk mencapai tujuan
nasional dan pengembangan hukum yang sesuai dengan organisasi dan tugas TNI ke depan sebagai jati diri bangsa yang demokratis, berkedaulatan rakyat demi tercapainya tujuan nasional masyarakat yang adil dan makmur.
E. Keaslian Penelitian
Didasarkan dan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian tentang “Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia” belum pernah
dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan azas-azas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran,
rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan, kritik dan saran yang membangun dan konstruktif
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
bernegara. Hal ini penting menurut penulis sebagai kesatuan pandang dan wawasan kebangsaan yang menjujug tinggi nilai-nilai luhur. Bahwa bangsa
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan sistim pemerintahan Kabinet Presidentil. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, juga sebagai Panglima Tertinggi dalam Angkatan Perang atau Tentara Nasional
Indonesia.
Dalam sejarah perebutan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah
sama dengan negara-negara lain pada umumnya, dan masing-masing negara berbeda dalam historis, yuridis dan sosiologisnya. Adapun teori-teori atau pendapat pakar sebagai pedoman penulis juga dalam melakukan penelitian ini
menerapkan defenisi yang telah ada, penulis menggunakan beberapa teori sebagai landasan pembahasan masalah. Yang dimaksud dengan teori adalah dasar memberikan pertanggung-jawaban secara ilmiah (wetenschap pelijk verant
wourdong) karena dibicarakan dalam teori konstitusi bukanlah suatu yang serta
merta dapat diperaktekkan, bukanlah mengenai nilai-nilai (practische maarde) melainkan mengenai nilai-nilai teoritis (theoritisch waorde),
a. Teori mengenai kedaulatan b. Teori mengenai fungsi negara
c. Teori pemisahan kekuasaan oleh Montesquieu
d. Teori Lawrence M. Friedman tentang Sistim hukum
e. Teori Benhard Grossfeld dalam judul bukunya “The Strength and
2. Konsepsi
Sebagaimana tercetus dalam Era Reformasi bahwa tekad rakyat Indonesia
melalui reformasi untuk memberantas segala bentuk penyelewengan seperti :
Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan
penyalahgunaan kekuasaan ternyata belum diikuti langkah-langkah nyata dalam
menerapkan da menegakkan hukum. Hal ini terbukti dengan masih terjadinya
campur tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan kerancuan
hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 khususnya paa bagian sistem pemerintah negara yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan atas
kekuasaan (machstaat). Perwujudan hal tersebut adalah dengan memainkan peran
hukum sebagai pengatur sekaligus pengawas dalam tata kehidupan nasional
dengan tujuan agar tercapainya suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta
kepastian hukum.10
Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta
Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli
2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah
dengan kedudukan yang setara.
10
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000
tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan
dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).
Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum.
Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan
oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik
ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku
ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.
Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak
pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI
(militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum
militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran
hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9
mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh
Perundang-undangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan
Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak
Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU
Perubahan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pidana Peradilan Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada
persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan (gaps) artinya bahwa hukum
yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus.11
Rumusan secara tegas mengenai Koneksitas dapat diketemukan pada BAB
XI UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih dikenal dengan KUHAP, dengan judul Pemeriksaan Koneksitas. Sedangkan pengertian koenksitas sendiri dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 89 ayat (1).
Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Rumusan koneksitas pada BAB XI Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 KUHAP kemudian ditransfer ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam BAB IV bagian Kelima Pasal 198 sampai dengan Pasal 203.
11
Hans Kelsen Geraal Therry, dalam Jimly Asshiddigie dalam Ali Safaat, Teori Hans
Peraturan-peraturan yang bersifat umum yang hanya berlaku bagi militer
yang disebut hukum militer, selain bersifat keras dan berat, sering pula
disasarkan kepada azas-azas yang menyimpang dari teori-teori hukum pidana
termasuk sanksinya sering menjungjung dari stelsel pemidanaan yang lazim
berlaku bagi masyarakat biasa. Dalam arti perluasan jenis-jenis pidana dan
pemberatan pidana maka lahirlah di bidang hukum pidana, hukum pidana militer
dan satu jenis hukuman lagi mempunyai ciri-ciri seperti hukum pidana, tetapi
karena alasan pembentukannya mempunyai tujuan yang berlainan maka
dibedakan daripadanya dan disebut hukum disiplin militer.
Jenis-jenis hukum ini dibukukan dalam buku tersendiri yakni
berturut-turut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) sekarng
Kitab Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Kitab
Undang-Undang, Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara (KUHDT) sekarang
Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM).
Semula memang pernah dipersoalkan jenis hukum ini, khususnya
mengenai Hukum Pidana Militer, tidak sebaiknya dibukukan menjadi satu dalam
KUHP. Gagasan untuk membukukan Hukum Pidana Militer menjadi satu dengan
Hukum Pidana khusus kemudian dilepaskan, oleh karena perkiraan-perkiraan
yang keras dan berat, serta dalam beberapa hal sering menyimpang dari azas yang
berlaku umum ini, di samping memang memerlukan adanya hukum yang
tersendiri. Juga akan menyulitkan bila dimasukkan dalam satu buku dengan
Menurut Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan bahwa
puncak peradilan tetap ada di Mahkamah Agung, meskipun nantinya dibawa ke
peradilan umum atau dipertahankan. Seperti sekarang diperadilan militer, perkara
itu akan tetap berpuncak ke Mahkamah Agung. Semua pihak harus
memperhatikan aspek sosiologis dan aspek normatif, secara sosiologis apakah
polisi sanggup menyidik tentara dan apakah realistis. Pada bagian lain, pekerjaan
pengadilan sudah cukup banyak kalau ditambahkan lagi dengan masalah militer,
apakah Peradilan Umum sanggup dan perlu dicek apakah keputusan Peradilan
Militer selalu lebih ringan dari pada Peradilan Umum.12
Menurut Juwono Darsono (Menhan) : Aspek psikologis TNI-Polri, Belum
siapnya penegak hukum sipil di lapangan, yaitu : Polisi, Jaksa, Hakim, ketika
melayani perkara yang melibatkan prajurit TNI. KUHPM sebagai dasar hukum
materil masih belum dirubah, perubahan landasan hukum materil harus terlebih
dahulu dilakukan sebelum merevisi Undang-Undang Peradilan Militer, sebab di
KUHP tidak ada ketentuan yang memungkinkan seorang prajurit bisa dituntut
atau dihukum di Peradilan Umum, jadi harus ada aturan peralihan. Peradilan sipil
dengan peradilan militer sudah sama tingkatannya. Mencarikan alternatif agar
tidak terjadi kebuntuan dengan memasukkan/melibatkan unsur peradilan sipil,
seperti Hakim, Jaksa ke peradilan militer. 13
Menurut Muladi (Gubernur Lemhanas) : Pembuatan RUU peradilan
militer harus melibatkan hakim, jaksa, dari kalangan militer dan diterapkan
12
http://www.hukumonlinecom.jalan_tengah,Menham_usul_usul_perwakilan.
13
secara gradual dengan meniru Negara lain, namun tetap ciri khas Indonesia.
Pemberlakuan Undang-undang militer yang baru secara bertahap, bila sudah
ditetapkan pemerintah diberikan waktu 2 tahun bagi anggota TNI menyiapkan
sikap dan mental dan menerima perubahan. System campuran menjadi jalan
tengah yang baik dari koneksitas. Sulit menginplementasikan jika militer disidik
Polri. Sejarah dan aspek sosiologis TNI dan Polri tetap harus menjadi perhatian
utama.14
Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi
koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU
Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada
sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan
yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang
potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans
Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan (gaps) artinya bahwa hukum yang
berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum
yang sesuai dengan kasus.15
Teori atau filsafat hukum, kepada kita diajarkan agar hukum ditaati
(maksudnya taat secara spontan bukan dengan paksaan), hukum itu harus
mempunyai dasar, ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku
secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena
14
Ibid, hal. 3.
15
peraturan undangan adalah hukum, maka peraturan
perundang-undangan yang baik harus mengandung ketiga unsure tersebut. Yang tidak pernah
dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsur-unsur itu ? hal ini akhirnya
sangat tergantung pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati
hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal tentu akan melihat
unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum
sebagai gejala social akan melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula
mereka yang mengukur kebaikan hukum dari “rechtsidee” tentu akan
menekankan pentingnya aspek filosofis.16
Terlepas dari perbedaan titik pandang tersebut, ketiga unsur yuridis,
sosiologis dan filosofis memang penting. Sebab setiap pembuat peraturan
undangan berharap agar kaidah yang tercantum dalam
perundang-undangan itu adalah sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena
dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang
panjang.17
Pengertian kaidah hukum meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam
arti sempit atau nilai (norm) dan peraturan hukum konkrit. Pengertian kaedah
hukum dalam arti luas itu berhubungan satu sama lain dan merupakan satu sisem,
sistem hukum.18
16
Bagir Manan, Dasar-dasar Perunang-undangan, Jakarta : Penerbit Indonesia. IND. Hillco, 1992.
17
Ibid.
18
Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa asas
hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar
yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang
terdapat dalam dan belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan
dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam
peraturan konkrit tersebut (bandingkan dengan Scholten dalam G.J. Scholten,
1949 : 402). Ini berarti menunjuk pada kesamaan-kesamaan yang konkrit itu
dengan menjabarkan peraturan hukum konkrit menjadi peraturan umum yang
karena menjadi umum sifatnya tidak dapat diterapkan secara langsung pada
peristiwa konkrit. Asas hukum ditemukan dalam hukum positif. Fungsi ilmu
hukum adalah mencari asas hukum dalam hukum positif. Jadi asas hukum
sebagai pikiran dasar peraturan konkrit pada umumnya bukan tersurat melainkan
tersirat dalam kaedah atau peraturan hukum konkrit. 14
Perlu tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada
tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya
perbedaan fungsi ini tergantung dari pada ada tidaknya perbedaan kedudukan
atau tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer.19
Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan
orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus
mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta
19
kepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada
kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya
maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai
bawahannya.20
Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dari pada seorang
militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban
lainnya dari pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban
utama tadi. Melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut mungkin dapat
mengakibatkan suatu malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan
Bangsa.21 Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran
Hukum Pidana” yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun
2004 tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi
mengadili.
Undang-undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1 Pasal 56 mengenai istilah
hukum pidana sipil ini adalah lebih baik dan dapat diteruskan sebab dalam istilah
tersebut dinyatakan perbedaannya dengan hukum pidana militer. Saya katakan
berlaku untuk umum, karena juga berlaku bagi para militer (S. 1934-167 Jo
Undang-undang 1947 Nomor 39). Bahwa hukum pidana sipil juga berlaku bagi
tentara, antara lain dinyatakan Pasal 1 KUHP dikatakan bahwa aturan-aturan
umum termasuk juga BAB IX KUHP pada umumnya berlaku dalam
menggunakan KUHP militer.
20
Ibid, hal. 9.
21
Menurut Prof. Romli Atmasasmita pakar hukum Universitas Padjajaran
tentang perbedaan “tindak pidana umum, dengan tindak pidana sipil” adalah.
Tindak pidana sipil adalah : Tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat
langsung dan tidak langsung terhadap keamanan dan ketertiban sipil. Sedangkan
tindak pidana umum adalah tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat
langsung dan tidak langsung kepada pertahanan negara.22
G. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif,
penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan
pendekatan doktrinal atau normatif yang memandang hukum sebagai perangkat
aturan atau kaidah yang bersifat normatif dan sebagai ilmu normatif (ilmu
tentang norma) ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang
diberi bentuk konkrit dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang
tertentu. Untuk mengkaji unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan hukum
Indonesia dan berbagai negara. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
yuridis kompratif secara terbatas yang membandingkan dengan yurisdiksi
peradilan militer beberapa negara.
1. Spesifikasi Penelitian
Jadi pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
historis, yuridis sosiologi, pendekatan konsep, pendekatan perundang-undangan
dengan menginventarisasi, menemukan Undang-undang. Sehubungan dengan,
permasalahan yang diangkat adalah berkaitan Kewenangan Peradilan Militer
Pasca Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI. Diharapkan akan diperoleh pemahaman yang integral dan aspek
hukum maupun sistem negara.
2. Sumber dan Jenis Data
a. Bahan Hukum Primer
Penelitian ini membutuhkan jenis data yang berasal dan sumber-sumber
bahan hukum yaitu : Yang bersumber dan peraturan perundang-undangan (hukum
positif di Indonesia), catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan maupun doktrin militer yang merupakan sumber hukum
militer termasuk didalamnya berbagai literatur keputusan-keputusan yang
dikeluarkan oleh organisasi militer dalam pembinaan kehidupan militer.
b. Bahan Hukum Skunder
Yaitu data-data yang berasal dan bahan-bahan pustaka, yang meliputi
dokumen-dokumen tertulis, yang bersumber dan publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku, teks kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal maupun doktrin
militer yang hukum dan komentar-komentar atas putusan-putusan pengadilan.
c. Bahan Hukum Tertier
kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui : Studi kepustakaan (library
research). Sehubungan dengan permasalahan ini akan dilakukan pengumpulan
data melalui studi kepustakaan yaitu buku-buku, dokumen, literatur dan bahan
berkaitan dengan penelitian serta mempelajari ketentuan perundang-undangan
tentang hukum militer, tindak pidana militer. hukum disiplin militer dan
peradilan militer.
4. Analisis Data
Setelah semua bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diperoleh
dari berbagai sumber yang dibutuhkan disamping melalui studi kepustakaan
(library research) dihubungkan dengan data lain dilakukan pemeriksaan dan
evaluasi untuk mengetahui validitasnya. kemudian dikelompokkan atas data yang
sejenis terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara filosofis, yuridis
dan sosiologis melalui pendekatan sejarah maka akan dapat dilihat sistematika
penelitian dan digunakan metode deduktif dan induktif.
Metode induktif maksudnya menarik dan generasi yang berkembang dari hukum militer dan hukum disiplin militer serta pelaksanaan peradilan militer dan
koneksitas dalam kapasitas TNI sebagai fungsi pertahanan dan keamanan.
Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang
militer (hukum pidana militer) atau hukum pidana sipil (hukum pidana umum)
atau Hukum Acara Pidana Militer (HAPMIL). Dengan menggunakan metode
deduktif induktif ini maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana
kewenangan Peradilan Militer yang mengadili semua tindak pidana militer
terhadap subjek militer yang dipersamakan dan non militer dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer serta kaitannya
pertahanan keamanan negara.
Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan memperoleh
BAB II
LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER DALAM KEPENTINGAN
PENYELENGGARAAN PERTAHANAN KEAMANAN NEGARA
Dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer disebutkan :
(1)Peradilan Militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dan
keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan
keamanan negara.
(2)Oditurat merupakan Badan Pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di
bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata
berdasarkan pelimpahan dari Panglima dengan memperhatikan
kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Teori yang digunakan dalam mengkaji permasalahan ini terdiri atas 5 Teori
umum : Pertama Teori Lawrence Friedman tentang sistim hukum. Kedua
Kedaulatan dan Hukum. Ketiga Teori Kedaulatan Negara. Keempat Teori
Fungsi Negara, dan Kelima Teori Benhard Grossfeld dalam buku “The
Strength and Weak Ness of Comparative Law”.
Ada ahli yang menggolongkan sistem peradilan militer didasarkan pada
tiga sistem hukum yang berlaku di dunia mi, yaitu common law system, roman
law system dan socialist law system. Namun beberapa ahli yang lain
jurisdiksi dan pengadilan militer itu sendiri menjadi empat golongan yaitu (1)
peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum, (2) Peradilan militer
mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer, (3) Peradilan militer
mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan militer dan (4) peradilan militer
mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer. Selain
penggolongan ini masih ada sistem penggolongan yang lain. Kebanyakan
peradilan di berbagai negara lebih menganut pada sistem peradilan militer yang
berwenang mengadili kejahatan secara umum.
Sistem peradilan militer di Indonesia saat ini lebih menganut pada system
dimana peradilan militer mempunyai yurisdiksi yang bersifat umum yaitu
berwenang mengadili kejahatan umum dan kejahatan sipil disamping kejahatan
militer. Namun demikian yurisdiksi peradilan militer tersebut tidak murni lagi
seperti penggolongan yang pertama. Hal ini terjadi setelah lahirnya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dimana berdasarkan
ketentuan tersebut kejahatan HAM Berat yang dilakukan oleh Prajurit TNI diadili
Pengadilan HAM. Kemudian diikuti oleh Pandangan tentang Perang :
Sejak perang dunia kedua, kemudian disusul berakhirnya perang dingin yang
disimbolkan robohnya tembok Berlin tahun 1989 dan rumah tangga negara
adidaya Uni Soviet, otomatis eksistensi Pakta Warsawa ikut bubar, masyarakat
dunia pun mempunyai harapan besar akan datangnya perdamaian abadi di dunia.
itu pula terjadi pergeseran pandangan mengenai konsepsi pertahanan dan keamanan pada masing-masing negara di dunia. Perang dianggapnya sebagai
sesuatu yang sudah usang (old sashioned). Maka lahirlah cara baru globalisasi yang lebih membawa muatan misi ekonomi yang terlepas dari carut marut persoalan politik dan militer suasana Indonesia pun ikut terbawa oleh perubahan
dinamika politik internasional tersebut. Pemerintah dan khususnya Departemen Pertahanan sibuk mencari rumusan yang ideal.23
Praktek Peradilan Militer di Beberapa Negara
Malaysia
Sistem peradilan umum di Malaysia tidak membedakan pelaku perbuatan pidana. Oleh karena itu baik orang sipil maupun militer yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana umum diadili oleh pengadilan pidana sipil. Indepensi badan peradilan ini telah ditegaskan dalam konstitutis Federal.24
Permasalahan yang berkaitan dengan kedinasan dan pelanggaran hukum
disiplin bagi anggota Angkatan Bersenjata Malaysia diatur dalam Law of
Malaysia Act 77, disebut juga Armed Forces Act, 1972 dan ketentuan ini berlaku
khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata.25
Kondisi Peradilan di Malaysia adanya pemisahan antara pelanggaran terhadap ketentuan (pidana) umum oleh militer (civil offerenses commited by
23
Kerbiantoro H.S. Mayjen (Purn), Rudianto Dody MM, Rekonstruksi Pertahanan
Indonesia, Jakarta : PT Golden Terayon Press, 2006, cet. 1. 24
Marcus Priyo Gunarto, Redefinisi Perbuatan Pidana pada Peradilan Militer, Makalah disampaikan pada Semiloka Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukum, FH UGM, Yogyakarta : 22 – 23 Nopember 2000, hal. 5 - 6
25
military), akan diadili oleh peradilan umum/sipil, sedangkan pelanggaran yang
berkaitan dengan tugas dan atau jabatan kemiliteran akan diadili oleh peradilan
militer. 26
Amerika Serikat
Sistem Peradilan Militer di Amerikan Serikat merupakan sistem yang
paling luas dalam memproses kejahatan, seperti disampaikan Charles A. Shanor and L. Lynn Hoque dalam bukunya National Security and Military Law selama perang dunia kedua hampir dua juta kasus yang diselesaikan melalui peradilan
militer. Pada tahun 2001 ada sekitar 1753 kasus yang disidangkan pada Peradilan Militer dengan rincian, 4848 kasus pada Angkatan Laut, 1799 kasus pada Angkatan Darat, 956 kasus pada Angkatan Udara dan 50 kasus pada Penjaga
Pantai (Coast quard).27
Dalam beberapa hal sistem Peradilan Militer paralel dengan sistem peradilan sipil pada negara bagian dan negara Federal. Demikian juga Hukum
Militer baik secara substansi maupun secara hierarkhi, konstitusi berada paling puncak kemudian hukum perundang-undangan federal, dan peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden, Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan
serta yang dikeluarkan Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta yang dikeluarkan para komandan.
Secara prosedural juga hampir sama dengan pengadilan sipil, yaitu terdiri
dari pengadilan militer tingkat pertama dan tingkat banding dua. Tingkat banding
26
Ibid.
27
pertama hakimnya terdiri dari hakim militer dan banding tingkat kedua hakimnya terdiri dari hakim sipil, putusan banding terakhir dapat ditinjau kembali oleh
Mahkamah Agung.
Sumber hukum militer adalah Uniform Code of Military Justice (UCMU)
dan Manual for Court-Martial (MCM), ketentuan lain yaitu Rules for
court-Martial (RCM), Military Rules of Evidence (MRE).28 Pelanggaran atau kejahatan
militer dapat diproses melalui tindakan disiplin (Nonjudicial Measures),
Hukuman disiplin (Nonjudicial punishement) dan pengadilan Militer.29
a. Tindakan disiplin
Tujuan dari tindakan disiplin ini bukanlah sebagai hukum tetapi
sebagai tindakan koreksi terhadap kekurangan prajurit, komandan atau atasan
yang bertanggung jawab diberikan wewenang untuk menjatuhkan tindakan
disiplin untuk menegakkan ketertiban dan disiplin.
b. Hukum disiplin
Diatur dalam Pasal 15 UCMJ komandan diberi kewenangan
menjatuhkan hukuman disiplin tanpa adanya intervensi dari pengadilan
militer terhadap pelanggaran ringan dimana tindakan disiplin dianggap tidak
memadai. Hal ini dalam menjaga agar moral dan disiplin prajurit tidak
menurun.
28
PLT, Sihombing, Perbandingan Sistem Peradilan Militer dengan Amerika Serikat, Makalah disampaikan pada Workshop Peradilan.
29
c. Peradilan Militer terdiri dari : 1) Pengadilan Militer Singkat
Pengadilan ini terbatas hanya mengadili prajurit berpangkat tamtama dan
hukuman yang dijatuhkan terbatas pada hukuman penjara tidak lebih dari satu bulan, hukuman kerja paksa tidak lebih dari 45 hari serta
pemotongan gaji tidak lebih dari 2/3 (dua pertiga gaji), Peradilan
Militer Singkat ini hanya dilakukan oleh seorang hakim perwira yang
juga bertindak sebagai oditur dan pembela. 2) Pengadilan Militer Khusus
Pengadilan Militer khusus merupakan pengadilan militer yang berbeda dari Peradilan Militer Singkat dengan Peradilan Militer Umum.
Hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan adalah pemberhentian
karena perilaku buruk, penjara tidak lebih dari 1 tahun, kerja berat
tanpa penahanan tidak lebih dari 3 bulan dan pemotongan gaji tidak lebih dari 2/3 gaji selama maksimum1 tahun. Peradilan Militer khusus
terdiri dari 1 orang perwira sebagai hakim militer dan minimal 3
anggota sebagai juri.
3) Pengadilan Militer Umum
Pengadilan Umum mempunyai kewenangan untuk mengadili setiap orang
yang tunduk pada UCMJ atas setiap pelanggaran yang diancam pidana
berdasarkan UCMJ. Apabila pemerintah sipil digantikan oleh pendudukan militer, Peradilan Militer Umum dapat mengadili setiap
juga dapat menjatuhkan semua jenis hukuman termasuk hukuman
mati.
Prosedur Pengadilan Militer Umum adalah semua pengacara yang terlibat dalam persidangan adalah pengacara militer yang telah
bersertifikat dan hakim militer adalah hakim yang diangkat dan
disumpah.
Juridiksi Pengadilan Militer pada dasarnya ditentukan berdasarkan pada : 1) Subjek
Peradilan Militer berwenang mengadili anggota Militer, penjahat perang, orang yang melakukan serangan pada daerah pendudukan.
2) Perbuatannya
Pengadilan Militer berwenang mengadili semua kejahatan Militer yang diatur UCMJ dan kejahatan yang terdapat dalam hukum pidana lainnya.
3) Locus delictinya.
Pengadilan Militer berwenang mengadili kejahatan yang dilakukan
militer Amerika Serikat yang terjadi pada instalasi Militer, kejahatan yang
terjadi di negara lain dan kejahatan yang terjadi dalam wilayah pendudukan.
Dalam proses pengadilan militer, Perwira penyerah perkara berwenang
melimpahkan ke pengadilan apabila berdasarkan pemeriksaan pendahuluan
dianggap sebagai pelanggaran pendahuluan dianggap sebagai pelanggaran
yang cukup serius. Pasal 22 UCMJ, yang dapat menjadi Perwira penyerah
perkara pada Peradilan Milter Umum adalah perwira senior seperti Komandan
Komandan Kamando Udara, Komandan Armada Laut, Presiden Amerika
Serikat, Menteri Pertahanan, Perwira yang diangkat oleh Preseiden atau
Menteri Pertahanan.
Sedangkan pasal 23 UCMJ Papera untuk Pengadilan Militer khusus
selain disebut di atas dapat juga Komandan Distrik, Komandan Garnisun,
Komandan Kamp, Komandan Group, Komandan Skuardron, Komandan
Pangkalan. Selanjutnya Papera untuk Pengadilan Militer Singkat terdiri dari
semua Papera yang disebut di atas ditambah dengan Komandan Kompi berdiri
sendiri.
Belanda
Perbuatan pidana yang diadili di lingkungan Peradilan Militer adalah
pelanggaran Wetboek van Militaire Strafrecht (WvMSr) dan Oorlog Wet yang
di dalamnya juga meliputi beberapa perbuatan pidana umum, sebagaimana
diatur dalam MvS. Dengan demikian, di Belanda Peradilan Militer juga
mengadili perbuatan pidana umum yang dilakukan oleh anggota militer.
Menurut Marcus, hal yang menarik dan berbeda dengan negara lainnya adalah tata cara peradilan yaitu :
Tata cara Peradilan Militer Belanda telah mengalami beberapakali
perubahan. Tahun 1945 sampai dengan tahun 1965 yang menjadi central
figure dalam penyelidikan adalah Komandan di atasnya, pelakanaannya harus
diberitahukan kepada Komandan Jenderal. Komandan Jenderal kemudian